




Masjid Assyuhada
Antara Gowa dan Waturenggong
Islam menjadi agama resmi di Kerajaan Gowa pada tahun 1605. Sejak itu berturut-turut raja-raja lainnya di Sulawesi Selatan, memeluk Agama Islam.
Perkembangan politik dan ekonomi juga membuat kerajaan-kerajaan memperluas pengaruhnya untuk menyebarkan Agama Islam ataupun memperluas hubungan dagang. Usaha itu didukung oleh bakat masyarakanya yang sejak dulu memiliki keahlian di laut, sehingga hampir di setiap pesisir kepulauan Indonesia dihuni oleh orang-orang Bugis Makasar.
Kerajaan Gowa sebenarnya sejak dulu pernah kontak dengan Bali, saat pemerintahan Raja Dalem Waturenggong (tahun 1480-1550). Wilayah kekuasaannya diperkirakan sampai Pulau Lombok dan Sumbawa.
Penguasaan kedua pulau tersebut dilanjutkan hingga masa pemerintahan Raja Dalem Sagening (tahun 1580-1665).
Kemenangan Sulawesi Selatan ini membuat orang-orang Bugis Makasar lebih leluasa bergerak di Pulau Lombok dan Sumbawa, kemudian mencoba berlayar ke perairan Bali secara sembunyi-sembunyi. Babad Dalem menyebutkan ketika pemerintahan Raja Dalem Sagening terjadi pemberontakan di pantai Tulamben yang dilakukan oleh bajak laut sunantara, yang mungkin sekali dilakukan oleh orang-orang Bugis.
Memperhatikan masa kedatangan orang-orang Bugis di Bali, hubungannya dengan Kerajaan Badung diperkirakan sudah terjadi sejak abad XVII Masehi.

1. Mimbar
Tinggi : 364 cm
Lebar : 101 cm
Panjang : 202 cm
Kayu
Mimbar yang ditemukan di dalam Masjid Assyuhada terbuat dari kayu yang konon didatangkan dari Kalimantan, berbentuk menara semakin ke atas semakin kecil dengan lima buah anak tangga untuk tempat berkhotbah, bagian depan mimbar berhiaskan relung sebagai gerbang masuknya, dan pada permukaan relung dipahatkan tulisan Arab berbunyi “asyhadu anla ilaaha ilallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah”, Hiasan lain berupa pahatan tumbuh-tumbuhan, seperti suluran daun dan tangkai tanpa bunga ditempatkan pada kanan maupun kiri mimbar, sebagian besar warnanya menggunakan warna hijau yang dikombinasikan dengan warna emas, serta atap mimbar berupa kubah berwarna hijau.
Jika dilihat dari bentuknya, mimbar di Serangan ini menyerupai mimbar di Kepaon yang pada salah satu papannya terpahat angka tahun 1326 Hijriah (1908 Masehi). Kemungkinan besar mimbar di Serangan lebih dahulu dibuat dari mimbar di Kepaon, yaitu sebelum tahun 1897 Masehi (Fadillah, 1986: 199-200).

2. Al quran
Tebal : 7 cm
Lebar : 24 cm
Panjang : 33 cm
Kulit unta dan palepah pisang
Al Quran ini sebenarnya dulu disimpan di Masjid Assyuhada, tetapi karena kondisinya yang mulai rusak kemudian sekarang disimpan di rumah salah satu masyarakat Kampung Bugis bernama Marjui (Wak Juk’i).
Sampul Alquran terbuat dari kulit unta, sedangkan kertasnya terbuat dari pelepah pisang, setiap halaman terdiri dari 15 baris tulisan, dan ditulis tangan menggunakan tinta Cina. Sampul depan bertuliskan kalimat “Al Quran tua Suhada Kampung Bugis Serangan Kabupaten Badung abad ke XVII”, tetapi kemungkinan tulisan ini ditulis belakangan ketika diketahui bangunan masjid dibangun sekitar abad XVII Masehi.
Tulisan pada isi Alquran terdiri dua jenis warna, yaitu tinta warna hitam untuk menulis ayat dan tanda baca, sedangkan tinta merah untuk menulis surat dan tanda baca mmaupun kalaimat-kalimat penting.
Alquran kuno ini sekarang digunakan untuk tradisi Kirab Alquran dengan mengelilingi Kampung Bugis sebanyak tiga kali mengusung Alquran disertai dengan pembacaan Kitab Diba. Tradisi ini tetap dilakukan oleh masyarakat Kampung Bugis sebagai upaya pelestarian warisan leluhur berupa Alquran yang diwariskan oleh Syekh Haji Mukmin yg dipercaya sebagai pendiri kampung. Amanatnya ketika itu adalah “kalau ada musibah atau bahaya apapun, kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa Alquran ini”, hal ini menyebabkan setiap tahun sekali, yaitu pada tanggal 9 Muharram kirab ini dilakukan dan pada tanggal 10 Muharram dilanjutkan dengan mengadakan syukuran di Masjid Assyuhada.

3. Bedug
Diameter : 63 cm
Panjang : 89 cm
kayu dan kulit
Bedug merupakan alat musik dua sisi yang terbuat dari kayu berlubang, kedua sisinya ditutup dengan kulit tipis sebagai media pukulnya. Bedug di Masjid Assyuhada Serangan dikatakan oleh masyarakat sudah ada sejak dulu, hanya saja kulitnya beberapa kali sudah diganti. Bedug setiap hari digunakan sebagai penanda waktu sholat, yaitu sholat dzuhur dipukul sebanyak empat kali, sholat ashar empat kali pukulan, sholat magrib 3 kali pukulan, sholat isya empat kali pukulan, sholat subuh dua kali pukulan, dan sholat jum’at pukulannya lebih banyak, cepat, dan berirama.

4. Sumur Kuno
Luas : 63 cm x 63 cm
Kedalaman : 700 cm
Sumur kuno ini terletak di sisi utara Masjid Assyuhada, tepatnya pada bangunan baru yang ditambahkan untuk tempat sholat, dulunya digunakan sebagai tempat berwudu, dan sekarang sumur kuno ini berada di tengah-tengah ruangan sholat sisi utara ditutup dengan kaca tebal.
Leave A Comment