
PRASASTI BLANJONG
Prasasti Blanjong, tugu kemenangan, tugu proklamasi. Begitu kebanyakan orang ketika itu menyebutnya. Tugu berupa batu padas (sailaprasasti) berbentuk pilar dengan di atasnya berhiaskan pahatan bunga lotus (padma ganda) dan terpahat tulisan sebagai penanda kemenangan perang.
Raja yang bergelar Ādhipatiḥ Śri Kesarī Warmmadewa meresmikannya pada tahun yang tertera : śake’bde śara wahnimūrtigaṇite (dibaca : Śaka 835) atau tahun 913 Masehi. Lokasi prasasti ini masuk di kawasan Pura Blanjong, Sanur.
Teks prasastinya dipahatkan pada dua sisi, yaitu sisi barat laut menggunakan aksara pre-negari yang biasa digunakan di India Utara terdiri atas enam baris tulisan dengan dua bahasa, yakni baris pertama sampai tiga menggunakan bahasa Sansekerta. Baris empat sampai enam menggunakan bahasa Bali Kuno. Teks pada sisi tenggara menggunakan aksara Bali Kuno (Kawi) berjumlah 13 baris tulisan dengan bahasa Sansekerta.
Prasasti Blanjong dapat diistilahkan sebagai teks bisisi (terdiri atas dua sisi), biaksara (menggunakan dua aksara), dan bilingual (menggunakan dua bahasa). Uniknya lagi bahkan antara aksara dan bahasa digunakan secara bersilang dalam artian, jika aksaranya aksara asing (pre-negari) bahasanya bahasa dalam negeri (Bali Kuno/Kawi), begitu juga sebaliknya. Keadaan yang dijelaskan ini memberikan kondisi prasasti yang sangat unik dan langka dengan belum pernah ditemukannya prasasti dengan jenis seperti ini di belahan dunia lainnya.

Catatan sejumlah penelitian, prasasti ini diartikan sebagai penanda keberhasilan mengalahkan musuh dari gurun dan s(u)wal. Hal ini seperti teks yang terpahat di prasasti ini. Penafsiran gurun sampai saat ini adalah Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, atau wilayah Gerung di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Peneliti masih menafsirka s(u)wal ditafsirkan merupakan wilayah pesisir Ketewel, Gianyar, Bali, wilayah Sowa di Bima-Sumbawa, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penyebutan Prasasti Blanjong karena ditemukan di wilayah Banjar Blanjong-Sanur yang pada awalnya ditemukan dalam keadaan setengah tertanam dalam tanah pasir, awalnya masyarakat mengira batu ini sebagai patok untuk mengikat tali perahu yang sedang bersandar.

Arkeolog asal Belanda, W.F. Stutterheim, peneliti pertama yang mampu menerjemahkan Prasasti Blanjong. Ia menjelaskan bahwa Śri Kesari Warmadewa, raja yang pertama mengeluarkan prasast ini. Raja ini berstana di Singhadwala, angka tahunnya dikabarkan adalah candrasangkala yang berbunyi “śakai (j)e……u….hnimūrtigaṇite…”.
- Goris, arkeolog dan antropolog asal Belanda yang ahli mengenai Bali, R. Goris, menyempurnakan hasil bacaan candrasangkala tersebut. Selanjutnya peneliti lainnya, seperti Stein Konov, terus menyempurkannya. Ia menyebutknya “śaka khecara wahnimūrtigaṇite” yang memiliki nilai tahun śaka 839 yang tentunya pada tahun itu adalah masa pemerintahan Raja Ugrasena di Bali. Alasan inilah yang menyebabkan R. Goris menempatkan Śri Kesari Warmadewa pada urutan kedua di antara raja-raja yang memerintah pada masa Bali Kuno setelah Raja Ugrasena.
Candrasangkala Prasasti Blanjong kembali dipelajari oleh L.C. Damais dengan bantuan ghuru lagu Sardula Wikridita yang berhasil membaca “śaka ‘bde śara wahnimūrtigaṇite” yang berarti tahun śaka 835.
Damais melanjutkannya dengan membahas mengenai nama keraton yang berbeda dengan pendapat Stutterheim, yaitu singhadwāla menjadi singharccāla. Angka tahun tersebut membuat R. Goris memperbaiki urutan dengan memberikan Prasasti Blanjong nomor 005b. Sehingga jelas sudah bahwa Śri Kesari Warmadewa raja Bali Kuno yang namanya pertama kali tercantum dalam prasasti sebelum Raja Ugrasena.
Pura Blanjong

Pura Blanjong
Pura Blanjong
Nah, Prasasti Blanjong ini berada di Pura Blanjong. Pura berlokasi di lingkungan pesisir Banjar Blanjong, Desa Adat Intaran, Desa Sanur Kauh.
Berdirinya kawasan Pura Blanjong tercatat abad X dengan bangunannya sebagaian besar berbahan batu padas dan batu bata. Prasasti Blanjong menjadi salah satu bagian pura yang menunjukkan sejarah kemenangan peperangan pada tahun 913 Masehi.
Kata Blanjong berasal dari penggalan dua kata, yaitu labuan berarti tempat berlabuh (pelabuhan) dan jung (jong) berarti perahu. Wilayah pesisirnya dari Pantai Mertasari hingga Pantai Semawang, dan perahu-perahu nelayan masih banyak berlabuh.
Secara mitologi Blanjong oleh masyarakat setempat dikaitkan cerita tentang pecahnya perahu milik I Renggan. Mitos itu yang memunculkan adanya istilah belahan = pecah dan jung/jong = perahu. Jika dibaca cepat, belahan dan jong itu menjadi belanjong.
Cerita pecahnya perahu milik I Renggan ini, seperti yang dikisahkan oleh I Made Sutama, Bendesa Desa Pakraman Renon. Ia menceritakan ada seorang spiritual bernama Ki Dukuh Jumpungan sebagai penganut ajaran Siwa yang rajin melakukan semadi di Pura Puncak Mundi Nusa Penida. Kesaktian dan ajaran-ajarannya diturunkan kepada kedua putranya, I Renggan dan I Renggin.
Lalu, kedua putranya ini terus mengembangkan ajaran ayahandanya. Hanya saja, keduanya mengembangkannya dengan cara berbeda. I Renggan memilih ilmu hitam. Adiknya, I Renggin memilih ilmu putih.
I Renggan mendapatkan sebuah perahu yang sangat sakti oleh ayahnya. Perahu ini besar dan kekuatannya mampu menghancurkan daratan jika ditabrakkan.
Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, alkisah menyatu dengan daratan Pulau Bali. Konon, perahu I Renggan ini yang memisahkannya sehingga seperti sekarang ini terpisah lautan.
Keinginannya terus bertambah. Renggan ingin memisahkan Gunung Agung dengan daratan Pulau Bali. Rencananya membuat murka para Dewa.
Kelakuan I Renggan akhirnya ditentang oleh adiknya sendiri yaitu I Renggin dengan dibantu oleh Sri Kesari Warmadewa. Pertentangan tersebut akhirnya diakhiri dengan pertempuran yang dilakukan di atas perahu (jung/jong). Renggan kalah. Perahunya pecah.
Selanjutnya, tempat dimana terdapat perahu (jung/jong) pecah (belah) tersebut kemudian menjadi nama tempat yang sekarang dikenal Blanjong. Bidak perahunya juga terdampar di pesisir Pantai Nusa Penida yang sekarang tempat tersebut menjadi Pura Blembongan.
Kekalahan tersebut membuat I Renggan tunduk kepada adiknya dan ditugaskan untuk mengabdi di Bhatara Luhuring Dalem Peed. Sekarang ini dikenal bernama Ida Ratu Gde Mecaling.
Kisah pertempuran antara ilmu hitam dan putih itu digambarkan pada cerita pementasan tari. Tari itu dinamakan Baris Wayang di Desa Pakraman Renon.
Apa hubungan Blanjong di Sanur dengan Renon? Karena, Sanur dan Renon merupakan kawasan yang berbeda.
Dahulu, sisa pasukan yang selamat dari peperangan itu memilih tinggal dipesisir Blanjong. Mereka menetap dan bermatapencaharian sebagai nelayan.
Seiring berjalannya waktu, terjadilah pageblug atau bencana. Ikan-ikan mati hampir memenuhi sepanjang pantai pesisir Blanjong. Masyarakatnya pun terkena banyak wabah penyakit. Hingga pada akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke daerah pedalaman dengan membawa peninggalan alat perang seperti gong beri, pedang, sangkha, kober, dan lainnya. Gamelan-gamelan itu, cikal bakal mengiringi kemunculan dari Tari Baris Cina.
Mata pencaharian mereka berubah. Nelayan menjadi petani sawah. Mereka pun berhasil menjadi petani dan masyarakat pun reno yang artinya bahagia. Reno ini menjadi asal muasal nama kawasan itu, Renon.
Keterikatan mereka masih terpelihara di antara keduanya. Hal tersebut membuktikan bahwa Pura Blanjong saat ini pengemponnya bukan masyarakat sekitar Blanjong, diempon pula oleh masyarakat Desa Pakraman Renon. Pengempon lainnya adalah masyarakat dari Banjar Lantang Hidung Batuan – Sukawati Gianyar yang khusus mengempon Palinggih Lantang Hidung yang menyimpan arca Ganesha, dan Banjar Ceramcam Kesiman.
Ketiga kelompok masyarakat (Desa Pakraman Renon, Banjar Lantang Hidung, dan Banjar Ceramcam) ini dalam melaksanakan upacara piodalan (Pamendakan Ida Bhatara) yang jatuh setiap 210 hari (6 bulan) sekali, tepatnya pada hari Soma Pahing Wuku Langkir memiliki cara maupun waktu yang berbeda-beda. Pemendakan Ida Bhatara pertama dilakukan oleh kelompok masyarakat Banjar Lantang Hidung Batuan – Sukawati Gianyar yang khusus melaksanakan kegaiatan pemujaan di Palinggih Lantang Hidung, selanjutnya dilakukan oleh kelompok masyarakat Banjar Ceramcam Kesiman yang prosesinya dipusatkan di Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung kemudian dilanjutkan di Tugu Prasasti Blanjong, dan terakhir dilakukan prosesi oleh kelompok masyarakat asyarakat Desa Pakraman Renon yang terpusat di areal Pura Blanjong lengkap dengan pangilen–ngilen.



Pura Blanjong
Pura Blanjong memiliki struktur dwi mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) merupakan halaman terbuka dan jeroan (utama mandala). Secara simbolis nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia dan utama mandala melambangkan swahloka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Blanjong Sanur memiliki tiga halaman yang memiliki sedikit variasi yaitu bagian nista mandala (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan) di sisi barat.
Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan jaba sisi (nista mandala) dikelilingi dengan tembok keliling terbuat dari batu padas serta dibatasi dengan candi bentar. Halaman utama mandala terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Palinggih Lantang Hidung, Palingging Ida Dalem Blanjong, Palinggih Lingga Yoni (Siwa Budha), Palinggih Jro Luh, Palinggih Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung), Bale Banten, Bale Pawedan, Palinggih Ratu Tuan, Tajuk, dan Bale Kulkul.
Pura Blanjong Sanur memiliki karakter Pura Umum tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi, karena berdasarkan pengempon dan panyungsungnya dalah kelompok masyarakat Desa Pakraman Renon, Banjar Lantang Hidung Batuan – Sukawati Gianyar, dan Banjar Ceramcam Kesiman, sedangkan yang hanya menyungsung adalah kelompok masyarakat dari Desa Pakraman Intaran, Desa Pakraman Kesiman, dan ada juga berasal dari Sesetan.

A. Palinggih Lingga Yoni
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi keseluruhan : 401 cm
Tinggi kaki : 122 cm
Tinggi badan : 95 cm
Tinggi puncak : 184 cm
Panjang kaki : 221 cm
Panjang badan : 120 cm
Panjang puncak : 53 cm
Lebar kaki : 221 cm
Lebar badan : 121 cm
Lebar puncak : 50 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu – Budha
Periodisasi : Abad XIX – XX Masehi
Bahan : Batu padas dan batu bata
Kondisi : Baik
Deskripsi : Palinggih Lingga Yoni atau disebut juga dengan Siwa-Budha terletak di sisi timur halaman jeroan (utama mandala). Struktur palinggih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan puncak. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari susunan batu bata merah dengan dihiasi simbar gantung dan simbar duduk pada setiap sudutnya. Pada bagian dindingnya terdapat hiasan tapak dara yang ditumpuk-tumpuk semakin ke depan semakin mengecil. Pada atas selasar bebaturan diletakkan fragmen umpak bangunan berelief di keempat sudutnya. Badan bangunan berbentuk kelopak bunga teratai yang sedang mekar namun bentuk dasarnya dibuat persegi. Badan bangunan disusun oleh batu bata merah dengan hiasan daun-daun pada dinding-dindingnya, selasar atas badan bangunan dilengkapi dengan antefik berbentuk daun yang mencuat ke atas terbuat dari batu padas. Struktur ini pada dasarnya sebenarnya di bangun kembali oleh masyarakat, tetapi tetap menggunakan fragmen-fragmen bangunan pada masa lampau. Hal tersebut dapat dilihat pada puncak struktur terdapat dua fragmen berbentuk persegi disusun untuk menopang menur sebagai kemuncaknya. Fragmen bangunan tersebut berukuran tinggi 74 cm, panjang 38, dan lebar 33 cm. Pemangku pura menuturkan dulu pada puncak bangunan terdapat lesung batu yang menyerupai lingga yoni dan hal tersebut membuat struktur ini disebut Palinggih Lingga Yoni oleh masyarakat.

B. Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi keseluruhan : 260 cm
Tinggi kaki : 130 cm
Tinggi badan : 59 cm
Tinggi puncak : 71 cm
Panjang kaki : 220 cm
Panjang badan : 217 cm
Panjang puncak : 98 cm
Lebar kaki : 220 cm
Lebar badan : 210 cm
Lebar puncak : 53 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XIX – XX Masehi
Bahan : Batu padas dan batu bata
Kondisi : Baik
Deskripsi : Palinggih Bebaturan Padma Capah atau disebut juga dengan Padma Agung terletak di sisi timur halaman jeroan (utama mandala). Struktur palinggih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan puncak. Kaki bangunan berbentuk persegi empat terbuat dari susunan batu padas, struktur ini mengindikasikan sebagai Cagar Budaya ditunjukkan pada bagian kaki, sementara bagian badan dan tangga pada bagian depan kumungkinan besar merupakan bangunan baru. Kaki pelinggih terbuat dari batu bata yang setiap sudutnya berhiaskan bakal relief simbar gantung dan simbar duduk. Selasar bagian depan struktur ditempatkan dua arca nandi yang sudah rusak dan terdapat ruang terbuka untuk meletakkan sesaji sebagai puncak bangunan.

C. Palinggih Ida Dalem Blanjong
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi kaki : 27,5 cm
Tinggi badan : 185 cm
Panjang kaki : 252 cm
Panjang badan : 176 cm
Lebar kaki : 240 cm
Panjang badan : 162 cm
Arah Hadap : Selatan
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XIX – XX Masehi
Bahan : Batu padas, batu bata, dan kayu
Kondisi : Baik
Deskripsi : Pelinggih Ida Dalem Blanjong terletak pada sisi utara halaman jeroan (utama mandala) pura, bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Indikasi sebagai cagar budaya ditunjukkan pada bagian kaki yang masih menggunkan komponen bangunan lama, sementara badan dan atap bangunan kemungkinan besar merupakan bangunan baru. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah yang setiap sudut kakinya dihiasi dengan simbar gantung dan simbar duduk serta pada pelipit sudut dihiasi oleh garis-garis lurus berbentuk tirai dan suluran daun. Badan bagunan berbentuk persegi panjang yang terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berwarna coklat. Pada setiap sudut badan bangunan ini juga dihiasi oleh simbar duduk dan simbar gantung serta pada bagian dindingnya terdapat hiasan bunga teratai yang sedang mekar. Atap bangunan berbentuk kerucut yang terbuta dari batu pada dengan menur pada bagian atasnya.

D. Arca Ganesha
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 107 cm
Lebar : 65 cm
Tebal : 44 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad X – XIII Masehi
Bahan : Batu padas putih
Kondisi : Rusak
Deskripsi : Arca diletakkan dalam Palinggih Lantang Hidung, dipahatkan duduk dengan sikap wirasana di atas lapik padma ganda setinggi 19 cm, bersandar pada stela, badan arca tambun, dan berperut buncit. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk jatamakuta dengan hiasan manik-manik di atas dahi, mata terbuka, belalai sudah patah kemungkinan terjuntai mengarah ke kiri menghisap isi patra, upawita berupa ular melintasi bahu kiri hingga pinggang kanan, dan kedua danta sudah patah. Arca bertangan empat (caturbhuja), tangan kanan depan membawa benda yang sudah patah kemungkinan patahan danta, tangan kanan belakang patah, tangan kiri belakang patah, dan tangan kiri depan patah kemungkinan membawa patra menumpu belalai. Kedua tangan depan masing-masing menggunakan keyura berupa gelang berbentuk segitiga seperti gunung, sedangkan kaki arca pada pergelangannya menggunakan kankana berupa bulatan polos.

E. Lingga I
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi keseluruhan : 43 cm
Tinggi brahma bhaga : 16 cm
Tinggi wisnu bhaga : 13 cm
Tinggi siwa bhaga : 14 cm
Lebar : 13 cm
Tebal : 15 cm
Diameter siwa bhaga : 13 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad X – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Lingga yang ditemukan pada Palinggih Jro Luh ini merupakan lingga lengkap (tri bhaga) dengan memiliki tiga bagian, yaitu brahma bhaga sebagai dasar berbentuk persegi empat, wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan. Lingga juga memiliki cerat pada sisi depan bulatan (siwa bhaga).

F. Lingga II
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi keseluruhan : 28 cm
Tinggi wisnu bhaga : 8 cm
Tinggi siwa bhaga : 20 cm
Diameter siwa bhaga : 15 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad X – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Lingga diletakkan pada Palinggih Jro Luh keadaannya sudah sangat rusak, yang tersisa hanya bagian wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan, sedangkan bagian brahma bhaga yang berbentuk persegi sudah pecah dan hilang.

G. Fragmen Arca Perwujudan I
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 26 cm
Lebar : 10 cm
Tebal : 17 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan pada Palinggih Jro Luh yang masih dapat diamati adalah pinggang hingga lapik saja, sisanya sudah patah dan hilang. Arca dipahatkan berdiri dengan sikap samabhanga diatas lapik persegi polos berukuran tinggi 7 cm, panjang, 23 cm, dan lebar 19 cm. Kankana pada pergelangan kaki polos dan sampur terjuntai hingga menyentuh lapik, serta kain arca hanya sampai lutut dengan dengan lipatan wiron hingga menyentuh lapik.

H. Fragmen Arca Perwujudan II
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 33 cm
Lebar : 23 cm
Tebal : 9 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan pada Palinggih Jro Luh, bagian arca yang masih tersisa adalah bagian tengah arca hingga ke belakang, sementara bagian tengah ke depan sudah rusak dan hilang. Arca kemungkinan duduk di atas sebuah lapik yang berukuran tinggi 4 cm, bersandar pada stela, dan digambarkan tambun. Karena memang sudah rusak sehingga sikap tangan dan kaki, raut muka, dan lainnya tidak dapat diidentifikasi lagi.

I. Fragmen Arca Perwujudan III
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 14 cm
Lebar : 13 cm
Tebal : 9 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan di atas puncak padma Prasasti Blanjong, bagian yang masih dapat diamati adalah pinggang hingga lapik saja, sisanya sudah patah dan hilang, arca dipahatkan berdiri dengan sikap samabhanga di atas lapik persegi polos berukuran tinggi 7 cm, panjang 16 cm, dan lebar 14 cm dan bersandar pada stela. Kankana pada pergelangan kaki berbentuk bulatan polos, sampur dan uncal terjuntai menyentuh lapik, serta kain arca hanya sampai lutut dengan lipatan wiron hingga menyentuh lapik.

J. Fragmen Arca Perwujudan IV
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 16 cm
Lebar : 15 cm
Tebal : 12 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan di atas puncak padma Prasasti Blanjong, bagian yang masih dapat diamati adalah badan saja lengkap dengan tangan tertempel disamping pinggang, karena kepala dan kaki sudah patah.

K. Fragmen Arca Perwujudan V
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 27 cm
Lebar : 15 cm
Tebal : 10 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan di atas puncak padma Prasasti Blanjong, bagian yang masih dapat diamati hanya bagian kepalanya saja, terlihat pada bagian atas memakai penutup kepala, namun sudah tidak jelas lagi bentuknya. Raut muka sudah tidak dapat diamati.

L. Kemuncak Bangunan I
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 27 cm
Diameter : 24 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : kemuncak bangunan ini diletakkan pada Palinggih Jro Luh berbentuk persegi delapan dan dasarnya berbentuk silinder. Pada bagian tepi bawah dihiasai oleh rangkaian gunungan-gunangan yang menghadap ke atas. Dilihat secara sepintas kemungkinan fragmen bangunan ini merupakan bagian dari kemuncak sebuah bangunan.

M. Kemuncak Bangunan II
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 42 cm
Diameter : 31 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Kemuncak bangunan ini diletakkan pada Palinggih Lingga Yoni berbentuk persegi delapan menyerupai gada. Kondisi kemuncak bangunan sudah pecah terbagi dua.

N. Kemuncak Bangunan III
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 29 cm
Diameter : 20 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Kemuncak bangunan ini diletakkan pada Palinggih Lingga Yoni berbentuk dasar persegi empat, dengan antefik di atasnya menopang bulatan.

O. Fragmen Miniatur Bangunan Terakota
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : –
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XIV – XV Masehi
Bahan : Tanah liat dibakar
Kondisi : Pecah dan rusak
Deskripsi : Fragmen miniatur bangunan terbuat dari tanah liat atau sering disebut dengan terakota sejumlah empat buah dengan ukuran terpanjang 19 cm dan terpendek 8 cm. Miniatur bangunan ini kemungkinan bagian dari sebuah miniature candi dengan hiasan pelipit dan bermotif sulur –suluran. Pada salah satu fragmen miniatur pada bagian dindingnya terdapat relung-relung.

P. Batu Alam (monolit)
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 8 cm
Diameter : 48 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : –
Bahan : Batu andesit
Kondisi : Tidak beraturan
Deskripsi : Batu alam (monolit) ini diletakkan di Palinggih Jro Luh, tepatnya di depan deretan tinggalan arkeologi lainnya. Batu alam berbentuk silinder pipih yang kemungkinan digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji pada masa lampau.

Q. Arca Nandi I
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 36 cm
Panjang : 63 cm
Tebal : 35 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Rusak
Deskripsi : Arca Nandi ini diletakkan di atas selasar selatan struktur bebaturan yang bernama Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung, berbaring di atas lapik polos dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, kaki belakang dilipat ke depan menyangga badan, kepala sudah patah hilang, ekor arca diarahkan melintang di pinggul bagian kanan, memperlihatkan buah zakar diantara paha belakang, dan secara umum arca ini sudah sangat rusak.

R. Arca Nandi II
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : Tinggi : 36 cm
Lebar : 55 cm
Tebal : 25 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Rusak
Deskripsi : Arca Nandi ini diletakkan di atas selasar utara struktur bebaturan yang bernama Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung, berbaring di atas lapik polos dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, kaki belakang dilipat ke depan menyangga badan, kepala arca sudah sangat aus, moncong sudah pecah, ekor arca diarahkan melintang di pinggul bagian kanan, memperlihatkan buah zakar diantara paha belakang, dan secara umum arca ini sudah sangat rusak.

S. Umpak berelief
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : A: tinggi 29 cm, lebar 30 cm, dan tebal 13 cm;
B: tinggi 37 cm, lebar 28 cm, dan tebal 26 cm;
C: tinggi 39 cm, lebar 37 cm, dan tebal 27 cm;
D: tinggi 21 cm, lebar 22 cm, dan tebal 13 cm;
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XI – XV Masehi
Bahan : Batu padas
Kondisi : Rusak
Deskripsi : Umpak berelief ini ditemukan berjumlah empat buah diletakkan di atas selasan Palinggih Lingga Yoni (Siwa-Budha), dengan keadaan yang sangat rusak, dua buah umpak dapat dideskripsikan tokoh relief tersebut seperti dua orang manusia sedang berpegangan tangan, kepala memakai mahkota, dan dua orang tokoh pendeta sedang berpegangan tangan. Sedangkan dua umpak lainnya tidak dapat diamati kembali karena sudah rusak.

T. Kelompok Batu Alam (monolit)
Lokasi : Pura Blanjong
Ukuran : –
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : –
Bahan : Batu andesit
Kondisi : Tidak beraturan
Deskripsi : Batu alam (monolit) ini berjumlah tujuh buah diletakkan tergeletak pada permukaan tanah di jeroan (utama mandala) Pura Blanjong, tepatnya di samping kiri Palinggih Ratu Tuan. Batu alam ini bentuknya tidak teratur dan memiliki ukuran yang berbeda-beda.
Leave A Comment