Pura Puseh Peguyangan terletak pada koordinat 50 L 0303451 UTM 9048721 (85 Meter dpl), berdampingan dengan Pura Desa Peguyangan, merupakan tempat suci milik masyarakat Desa Adat Peguyangan, dan secara administratif terletak di Kecamatan Denpasar Utara. Latar belakang sejarah keberadaan Desa Adat Peguyangan dapat dipahami melalui isi Dresta Ilikita Desa Pakraman Peguyangan, yaitu ditemukan beberapa hal yang merujuk pada kesejarahan desa, seperti nama Desa Adat Peguyangan muncul berdasarkan kisah gajah Kyai Panji Sakti yang maguyang (berguling-guling) dan ditempat gajah tersebut maguyang disebut dengan peguyangan. Istilah peguyangan juga dikaitkan dengan isi prasasti tembaga di Pura Dalem Batan Celagi yang menyebutkan penyungsung prasasti tersebut dianugerahi kebebasan membayar pajak, karena telah diberikan tanggung jawab menyungsung dan ngaci sam sat kahyangan yang berarti “yang menjaga tempat hyang”. Menjaga parahyangan tersebut harus pageh (kukuh/konsisten) yang kemudian kata pageh dan hyang tersebut menjadi cikal bakal nama peguyangan (Anonim, 2011: 1)
Mengenai prasasti yang ditemukan di Pura Dalem Batan Celagi (Prasasti Peguyangan) tersebut ditemukan hanya satu lempeng yaitu lembar ke-8 sisi A dan B dengan menggunakan aksara Bali Kuna (Kawi – Bali) dan bahasa Jawa Kuna. Prasasti Peguyangan ini dimasukkan kedalam kelompok prasasti-prasasti terbitan Raja Sri Haji Jayapangus kisaran tahun Śaka 1099 – 1103 (1177 -1181 Masehi) yang secara ringkas isinya menyebutkan nama desa Er Saling dan tentang pembebasan beberapa jenis pajak (drwi haji) karena desa tersebut dulunya merupakan jataka (daerah pengelola bangunan suci yang bebas dari sejumlah pajak dan kewajiban lainnya) pundut dyun Bhaṭāra di Burwan yang telah dijadikan sawah oleh penduduk desa. Mereka tidak diwajibkan membayar beberapa jenis iuran yang berkaitan dengan upacara, termasuk para pengantin baru tidak diwajibkan mempersembahkan pamapas kepada Sanghyang Candi di Burwan. Isi lainnya adalah tentang ketentuan atau ijin dalam beternak itik, memelihara asu tugel, pirung, dan bebas bepergian ke desa lain (Wiguna dkk, 2015: 19).
Ada sebuah asumsi bahwa sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah Desa Adat Peguyangan pernah berdiri bangunan candi kuno serupa dengan miniatur candi yang ditemukan di Pura Desa Peguyangan, Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut.
Pura Puseh Peguyangan memiliki struktur dwi mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) berada dan menghadap timur sedangkan jeroan (utama mandala) berada dan menghadap barat, menjadi satu kompleks dengan Pura Desa, Pura Bale Agung, Pura Penyarikan, dan Pura Manik Tahun Peguyangan. Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dengan nista mandala (halaman luar) dibatasi dengan gapura/paduraksa menghadap ke timur dikelilingi dengan tembok keliling terbuat dari batu bata merah. Secara karakter, Pura Puseh Peguyangan masuk sebagai pura teritorial (kahyangan tiga) tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu beserta sakti dengan pengempon dan penyungsungnya adalah masyarakat Desa Adat Peguyangan. Upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Redite Wuku Sinta (Banyu Pinaruh).
1. Gapura/paduraksa
Gapura/paduraksa atau disebut dengan Kori Agung, merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba sisi (nista mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Gapura/paduraksa yang tersusun dari batu bata dipadukan dengan batu padas sebagai hiasan-hiasan relief suluran daun dan arca-arca seperti arca singa pada setiap sudut kaki gapura dan arca dwarapala sebagai penjaga pintu menghadap ke timur. Bagian badan gapura di tengah-tengahnya terdapat daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan taring mencuat keluar berhiaskan suluran daun. Badan gapura pada masing-masing sisinya, yaitu pada sisi timur sebelah kiri dihiasi dengan relief Rahwana dengan ciri-ciri bermahkota cecandian kurung, dua taring atas mencuat keluar, membawa pedang dan menggendong Dewi Sita, pada sisi timur sebelah kanan gapura berhiaskan relief tokoh Wilmana (wahana Rahwana) dengan ciri-ciri raksasa bersayap membawa senjata dengan dua tazaman. Bagian badan sisi barat sebelah kanan gapura terdapat juga relief Wilmana dan relief garuda di sebelah kiri gapura dengan ciri-ciri berkepala burung mencengkeram ular dengan kakinya. Gapura ini dipercantik juga dengan hiasan piring dan mangkuk terbuat dari porselin berbagai ukuran sebanyak 279 biji. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk lengkap dengan menara sudat berbentuk bulat, relief simbar gantung, dan pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.
2. Gedong Ratu Puseh
Bangunan ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Peguyangan, terbuat dari susunan batu bata merah dengan perpaduan batu padas terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Berdiri candi bentar terbuat dari batu padas berhiaskan simbar gantung, simbar duduk, dan antefik menghiasi selasar lengkap dengan naga kanan kiri tangga. Badan atas gedong terbuat dari susunan batu bata merah berhiaskan relief jambangan bunga dengan sulur-suluran daun dipahatkan pada sisi kanan-kiri badan gedong, terdapat garbha graha di tengah-tengah badan gedong, dua buah arca mengapit garbha graha, yaitu arca balagana yang disebut juga dengan gajawaktra dan arca tokoh yang tidak diketahui perwujudan siapa, karena tidak memiliki atribut yang jelas, serta pada ambang pintu di atasnya dipahatkan kepala kala dengan ciri-ciri mata melotot tanpa tangan ataupun pahatan suluran daun di sampingnya. Atap bangunan berbentuk limas semakin ke atas semakin kecil disangga dengan tiang kayu berjumlah 10 buah dan ditopang dengan arca-arca wanara. Gedong Ratu Puseh ini pada sisi depannya dari bagian kaki hingga badan berhiaskan piring berjumlah 106 keping, mangkuk berjumlah 162 buah yang terbuat dari porselin (keramik) berwarna putih, kuning, dan hijau.
3. Kemuncak Sudut Atap Candi I
Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kanan gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.
4. Kemuncak Sudut Atap Candi II
Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.
5. Kemuncak Sudut Atap Candi III
Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kondisinya sudah sangat rusak, masyarakat Desa Adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.
6. Kemuncak Sudut Atap Candi IV
Kemuncak ini diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat lima semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan.
7. Kemuncak Sudut Atap Candi V
Kemuncak juga diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, bentuknya berupa bulatan bertingkat empat semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan. Secara mitologi, masyarakat Desa adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.
8. Ambang Pintu Candi
Balok batu padas ini kemungkinan pada masa lampau sebagai ambang pintu bangunan candi berbentuk persegi panjang dengan takikan pada beberapa bagiannya. Kemungkinan ambang pintu ini memiliki hubungan dengan temuan kemuncak-kemuncak bangunan sebagai komponen bangunan penopang pintu masuk garbha graha sebuah bangunan candi pada masa lampau.
9. Arca Balagana
Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos pada sisi depannya terpahat angka 1933. Arca dipahatkan berkepala gajah (bukan Ganesha), tetapi sebagai perwujudan balagana/gajawaktra dengan menggunakan mahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan menopang belalai di samping perut, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.
10. Arca Tokoh I
Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos. Arca dipahatkan bermahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan ditekuk di samping perut bersikap abhaya mudra, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.
Leave A Comment