Pura Puseh Sumerta

Pura Puseh Sumerta terletak di Gang Merak, Jl. Kenyeri, Banjar Sima, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar.  Berada pada koordinat 50 L 0305218 UTM 9043892 (58 Meter dpl). Latar belakang sejarah Pura Puseh Sumerta secara pasti, dan tertulis sampai saat ini belum ditemukan, tetapi penulis berusaha menyusun sejarah keberadaan Desa Sumerta berdasarkan hasil wawancara dan studi kepustakaan. Menurut kisah dari penglingsir/tetua yang tercantum dalam Eka Suwarnita Desa Adat Sumerta (2014: 2-3) dikatakan Desa Sumerta dahulunya bernama Wongaya, dan lama kelamaan menjadi Sumerta Wongaya. Mengenai kata Sumerta ini diturunkan dari nama salah seorang penguasa wilayah pada saat itu yang ditemukan dalam Babad Ki Bendesa Kerobokan Badung. Adapun kutipan babad tersebut sebagai berikut.

“…walian ikang kata, ceritanen mangke tmajanira Ki Gusti Pasek Gelgel Aan, pada sahing Hyang Widi, apasanakan rahning nalikang rat, tembenia Gde Pasek Sumerta tmajanira Ki Gusti Pasek Aan, angalih lungguh mareng jagat bandana, sira kawuwus Pasek Sumerta, muang lungguh hira raju ingaranan Sumerta, apan sira Ki Pasek Gegel winuwus widagda wicaksana, sida pwa sira anampa sajnira Sang Natheng Bandana…” (Anonim, 2014: 3)

Kepergian Ki Pasek Sumerta ke jagat bandana (Badung) menurut cerita di atas diperkirakan pada akhir masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Kata-kata Sumerta dalam kutipan di atas muncul beberapa kali dalam menyebutkan nama tokoh dan berdasarkan hasil wawancara dengan Pemangku Pura Puseh Sumerta juga menerangkan dulu Desa Sumerta pernah dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama I Gusti Ngurah Sumerta. Hal tersebut memunculkan sebuah asumsi bahwa wilayah yang dulunya bernama Wongaya berubah namanya menjadi Sumerta yang disebabkan oleh keturunan nama tokoh yang pernah memimpin wilayah ini, yaitu menurut Babad Ki Bendesa Kerobokan Badung ialah Gde Pasek Sumerta dan menurut penuturan Pemangku Pura Puseh Sumerta ialah I Gusti Ngurah Sumerta. 

Mengenai keberadaan Pura Puseh Sumerta dapat diketahui latar belakang pembangunannya berdasarkan piagam abad XV Śaka yang masih dibawa sampai saat ini oleh keluarga Pemangku Puseh Sumerta di Banjar Sima. Piagam tersebut isinya kurang lebih mengenai perintah dari I Gusti Ngurah Sumerta kepada Ki Bendesa Bekung di Sumerta Wongaya, agar secepatnya membangun Pura Puseh dan Pura Kebon dalam waktu setahun dengan mendapatkan imbalan berupa tanah lengkap dengan biji/bibit tanaman (Anonim, 2014: 3). Pura Puseh Sumerta memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) merupakan halaman terbuka,  jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta (bhuwana agung) seperti nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, madya mandala melambangkan bwahloka yaitu alam pitra/roh atau alam peralihan, dan utama mandala melambangkan swah loka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Puseh Sumerta memiliki tiga halaman yang memiliki sedikit variasi yaitu bagian nista mandala (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan gang) di sisi selatan. 

Utama mandala (jeroan/halaman paling suci), dan madya mandala (jaba tengah) dikelilingi oleh tembok keliling terbuat dari batu bata merah, serta dibatasi dengan gapura/paduraksa. Sedangkan nista mandala dengan madya mandala  dibatasi dengan sebuah candi bentar dan tembok batu bata merah. Pura Puseh Sumerta dapat dikategorikan sebagai situs Cagar Budaya karena di dalamnya menyimpan benda, struktur, dan bangunan Cagar Budaya.

Pura Puseh Sumerta memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga, tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu beserta sakti. Berdasarkan karakter pura, yang mengempon adalah penyatusan Banjar Tegal Kuwalon dan Banjar Sima, serta menyungsung Pura Puseh Sumerta ini adalah masyarakat Desa Pakraman Sumerta dengan upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Purnama Sasih Katiga.

1. Gapura/Paduraksa Kori Agung

Gapura/paduraksa yang dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya ini merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari balok-balok batu padas panjang besar dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Balok-balok batu padas panjang dan besar ini memunculkan sebuah asumsi bahwa dasar kaki gapura adalah yang masih asli belum mengalami perbaikan, sementara bagian badan sampai atap merupakan hasil perbaikan tahun 1941 Masehi dengan ditemukannya angka tahun tersebut di dinding badan sisi utara. Daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala berupa karang boma dengan mata melotot dan taring mencuat keluar, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk tapak dara, kuping, dan util. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk, simbar gantung, dan hiasan antefik berupa suluran daun, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Gedong Ratu Puseh yang dapat dikategorikan sebagai bangunan Cagar Budaya ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Sumerta, terletak di halaman jeroan (utama mandala). Bangunan Gedong Ratu Puseh ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki bangunan berupa bebaturan diperkirakan berumur lebih tua daripada badan dan atapnya yang terbuat dari susunan balok-balok batu padas dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Kaki bangunan beberapa bagiannya berhiaskan karang tapel pada sudut depan, karang manuk pada sudut belakang, karang gajah pada sudut bagian bawah, karang bintolo (karang mata) pada sisi muka depan, pelipit-pelipit membentuk pepalihan berupa hiasan berpola patra kakul dan patra mas-masan, serta panil-panil relief terpahat pola patra mesir. Badan bangunan juga terbuat dari batu padas dengan hiasan pepalihan, sudut bawah depan berhiaskan karang tapel, memiliki dua pintu masuk menuju garbha graha yang terbuat dari kayu berwarna coklat, pada selasar depan terdapat tiga buah arca singa menopang tiang kayu pada punggungnya, dan pada tengah-tengah selasar diletakkan arca Ganesha. Atap bangunan terbuat dari konstruksi kayu dan susunan ijuk dengan hiasan terakota pada puncaknya.

3. Arca Ganesha

Arca dipahatkan duduk dengan sikap wirasana di atas lapik padma ganda setinggi 9 cm, bersandar pada stela, badan arca tambun, dan berperut buncit. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga, mata terbuka, dahi bagian tengah terdapat lubang yang kemungkinan bagian dari hiasan kapala (tengkorak), belalai terjuntai mengarah ke kiri yang kemungkinan menghisap isi patra, upawita berupa ular melintasi bahu kiri hingga pinggang kanan, dan kedua danta sudah patah. Arca menggunakan kundala cukup besar hingga menutupi sebagian daun telinga, bertangan empat (chaturbhuja), tangan kanan depan membawa benda yang sudah patah kemungkinan patahan danta, tangan kanan belakang membawa aksamala, tangan kiri belakang membawa parasu, dan tangan kiri depan membawa patra menumpu belalai. Kaki arca pada pergelangannya menggunakan kankana berupa susunan manik-manik serta kain arca sebatas lutut berpola kotak-kotak geometris dilengkapi dengan sampur dan uncal pada samping kanan kiri pinggang.

4. Lingga     

Lingga yang ditemukan ini diletakkan bersama-sama dengan arca perwujudan bhatara – bhatari di Pura Alit (Pura Purbakala), merupakan lingga lengkap (tri bhaga) dengan memiliki tiga bagian, yaitu brahma bhaga sebagai dasar berbentuk persegi empat, wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan. Lingga juga memiliki cerat pada sisi depan bulatan (siwa bhaga).

5. Arca Perwujudan Bhatara – Bhatari di Pura Alit

Arca-arca diletakkan berjajar di atas bebaturan, dengan memiliki ciri-ciri ikonografi yang sama, diperkirakan berasal dari abad XI – XV Masehi. Ditemukan ada 17 arca, ada yang masih utuh, ada juga yang sudah rusak. Secara umum, arca dipahatkan berdiri tegak lurus seperti mayat dengan sikap samabhanga. Kemungkinan berdiri di atas lapik tetapi lapik hingga pergelangan kaki sudah ditutup dengan semen, bersandar pada stella bagian atasnya berbentuk bulatan telur, buah dada bulat besar. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga dilengkapi dengan petitis lebar pada dahi arca dan belakang telinga berhiaskan ron-ronan, serta muka arca nampak datar karena mata, bibir, dan hidung sudah aus. Arca menggunakan kundala cukup panjang terjuntai hingga menyentuh pundak, kedua tangan ditekuk ke depan menempel pada pinggang membawa benda bulatan, masing-masing pergelangan tangan ataupun kaki menggunakan kankana berbentuk pilinan polos bersusun tiga, keyura pada lengan arca berupa suluran daun membentuk segitiga seperti gunung, kain perca bermotif polos sebatas lutut ditengah-tengahnya terdapat lipatan wiron hingga menyentuh lapik, serta pinggang arca berhiaskan sampur dan uncal yang terjuntai ke bawah.

6. Arca Balagana I

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kanan ditekuk lebih tinggi daripada kaki kiri, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

7. Arca Balagana II

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kiri ditekuk lebih tinggi daripada kaki kanan, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *