Tracing Historical Footsteps at Puri Pemecutan: A Legacy of Bali's Struggle Against Colonizers

Puri Agung Pemecutan merupakan salah satu puri atau keraton kerajaan Bali yang masih berdiri hingga sampai saat ini. Pemecutan berasal dari kata pecut/cambuk sehingga sering dikaitkan dengan pecut/cambuk. Dahulunya Puri Agung Pemecutan Kuno dilalap kobaran api pada tanggal 20 September 1906 atas perintah Raja Gusti Ngurah Pemecutan yang bergelar Ida Cokorda Pemecutan IX saat memimpin rakyat bali turun ke medan perang untuk memperjuangkan tanah airnya yang dikenal dengan Perang Puputan Badung. Walaupun dengan semangat yang membara, Raja bersama rakyatnya akhirnya gugur dalam perang dengan latar belakang puri terbakar di belakangnya. Untuk mengenang beliau telah dibuat monumen Ida Cokorda Pemecutan IX diperempatan jalan Puri Agung Pemecutan

Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X

Ida Meparab Anak Agung Sagung Adi

Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan

Setelah Perang Puputan Badung, terjadi kekosongan pemerintahan terjadi di Puri Agung Pemecutan. Dikarenakan Ida Cokorda Pemecutan IX tidak memiliki keturunan laki-laki dan hanya memiliki seorang putri yaitu Ida Meparab Anak Agung Sagung Adi, kemudian atas prakarsa keluarga besar Puri Agung Pemecutan dan Warga Ageng Pemecutan dan untuk melestarikan budaya leluhur terdahulu, maka diangkatlah keponakannya I Gusti Ngurah Gde Pemecutan/ Kyahi Ngurah Gde Pemecutan untuk menjadi Raja Pemecutan yang kemudian bergelar Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X serta kakak beliau dari lain ibu yang Bernama Ida Anak Agung Gede Lanang Pemecutan sebagai wakilnya. Beliau sebagai kakak beradik menampakan kehidupan yang rukun dan selalu mengutamakan musyawarah mufakat dalam penyelesaian masalah sehingga masyarakat sangat segan kepada mereka.

Dikarenakan Puri Agung Pemecutan Kuno sudah hancur dan hanya menyisakan Bale Kulkul di sebelah selatan Puri Agung Pemecutan Kuno, maka Jero Kanginan yang berada tepat didepan Puri Agung Pemecutan Kuno direhab menjadi Puri Agung Pemecutan yang baru, beralamat di Jalan Thamrin Nomor 2 Denpasar. Sampai saat ini Puri Agung Pemecutan masih dijaga keaslian dan kesakralannya serta menjadi tempat tinggal bagi keturunan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X dan Ida Anak Agung Gede Lanang Pemecutan. Sehingga menjadikan Puri Agung Pemecutan yang berada di Pusat Kota Denpasar sebagai salah satu cagar budaya yang patut untuk dilestarikan.

Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X

Di Puri Agung Pemecutan terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Puri Agung Pemecutan sendiri terdiri dari 3 bagian utama yaitu:

Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala.

Nista Mandala

Nista Mandala adalah bagian terluar dari Puri disebut juga sebagai “jaba puri” terdapat bangunan sebagai pemisah antara Madya Mandala dan Nista Mandala yaitu Kori Agung Puri Agung Pemecutan. 

Merupakan gerbang utama yang terdiri dari 1 pintu utama yang terletak di tengah-tengah dan 2 “betel”. Pintu utama hanya dipergunakan saat diadakan upacara adat dan keagamaan, dan disakralkan oleh keluarga Puri Agung Pemecutan, sedangkan 2 “betel” dipergunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Di pojokan barat daya jaba puri terdapat Bale Bengong, yang dipergunakan oleh keluarga Puri Agung Pemecutan untuk memantau kegiatan masyarakat disekitaran Puri Agung Pemecutan. Terdapat kulkul yang dahulunya dipergunakan sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat.

Selain itu pada Barat laut terdapat Bale Kulkul Puri Agung Pemecutan yang baru. Bale kulkul ini dipergunakan sebagai sarana komunikasi pada masyarakat di sekitar Puri. Bale kulkul ini khusus dipergunakan untuk memberi tahu kepada masyarakat bahwa adanya pelaksanaan kegiatan di Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan.

Tepat di depan Bale Kulkul, terdapat Kori Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan sebagai tempat masuk bagi masyarakat dari luar Keluarga Puri untuk melaksanakan persembahyangan di Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan yang terletak di areal Utama Mandala

Madya Mandala

Madya Mandala

Madya Mandala adalah bagian tengah dari Puri, areal ini merupakan areal dimana kegiatan sehari-hari biasa dilakukan oleh keluarga Puri Agung Pemecutan. Menjadi tempat tinggal keluarga Puri, madya mandala Puri Agung Pemecutan dibagi menjadi 2 bagian yaitu saren daje dan saren delod, yang dimana saren daje ditempati oleh keluarga Ida Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan dan saren delod yang ditempati oleh keluarga Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan. Saren daje berarti kamar di sebelah utara dan saren delod berarti kamar di sebelah selatan.

Dibagian paling selatan areal madya mandala terdapat Bale Lantang yang berarti Bale yang Panjang, dipergunakan multifungsi seperti untuk menerima tamu, pelatihan tari dan gambelan, atau pelaksanaan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan adat ataupun keagamaan. 

Pada Tahun 1970an hingga 1990an, atas tingginya antusiasme wisatawan pada saat itu agar bisa menginap di Puri Agung Pemecutan, maka Bale Lantang ini dimultifungsikan sebagai hotel, sehingga sebagaian bale ini sudah menjadi kamar hotel dan sebagian dipergunakan sebagai lobi hotel, namun seiiring berkembangnya jaman, hotel di Puri Agung Pemecutan kalah saing dengan kompetitor sehingga hotel pada saat ini tidak berfungsi.

Dibagian paling selatan areal madya mandala terdapat Bale Lantang yang berarti Bale yang Panjang, dipergunakan multifungsi seperti untuk menerima tamu, pelatihan tari dan gambelan, atau pelaksanaan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan adat ataupun keagamaan. 

Pada Tahun 1970an hingga 1990an, atas tingginya antusiasme wisatawan pada saat itu agar bisa menginap di Puri Agung Pemecutan, maka Bale Lantang ini dimultifungsikan sebagai hotel, sehingga sebagaian bale ini sudah menjadi kamar hotel dan sebagian dipergunakan sebagai lobi hotel, namun seiiring berkembangnya jaman, hotel di Puri Agung Pemecutan kalah saing dengan kompetitor sehingga hotel pada saat ini tidak berfungsi.

Ditengah areal ini terdapat Gedong Agung, yaitu sebagai tempat tinggal Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X, setelah sepeninggalnya Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X, Bale ini dipergunakan oleh Keluarga Puri Agung Pemecutan untuk melaksanakan rapat dalam rangka persiapan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di Puri Agung Pemecutan.

Sebelah barat Gedong Agung terdapat bale yang dipergunakan oleh keluarga Ida Anak Agung Gede Lanang Pemecutan tinggal, bale tersebut disambung dengan bangunan besar yang sekarang menjadi tempat tinggal anak cucu beliau.

Bagian paling utara di areal Madya Mandala adalah Bale Daje/Bale Bandung, seperti namanya “daje” berarti utara. Bale ini diperuntukan untuk anak gadis ataupun kepala keluarga. Di Puri Agung Pemecutan, bale ini ditempati oleh Parab Ida Anak Agung Sagung Adi. Ibu semasa hidupnya sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Sekarang sering dipergunakan untuk upacara “ngekeb”, yaitu upacara mengisolir anak gadis yang hendak menikah, “ngerajaswala” atau “mepandes”

Sebelah timur bale daje/bale bandung terdapat bale “dangin” yang berarti timur, bale ini difungsinkan sebagai tempat melanaksanakan upacara adat dan keagamaan yang berhubungan dengan manusa yadnya seperti pernikahan, “mepandes”, “otonan”, “ngerajaswala” dan lain – lain.

Disebelah selatan terdapat Bale murda/Bale Delod, yaitu bale yang dipergunakan untuk peletakan jenazah sambil menunggu hari baik untuk melaksanakan upacara “Ngaben” apabila ada keluarga dari Puri Agung Pemecutan meninggal dunia.

Sebelah barat terdapat bale “dauh”, dauh sendiri berarti barat. Bale ini dahulu dipergunakan sebagai tempat tidur untuk anak laki – laki, namun sekarang dipergunakan untuk menerima tamu pada saat upacara adat dan agama dilaksanakan.

Utama Mandala

Utama Mandala

Utama Mandala adalah bagian terdalam dari Puri disebut Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan, tempat keluarga puri melaksanakan persembahyangan dan berdoa kepada tuhan dan leluhurnya. Tempat ini merupakan tempat yang disucikan oleh keluarga Puri, bagi wanita yang sedang menstruasi tidak diperkenankan untuk memasuki areal ini.

Pemerajan Puri Agung Pemecutan memiliki beberapa “pelinggih”, pelinggih sendiri sebagai simbol pemujaan terhadap Dewa-Dewa tertentu, selain itu terdapat “pewaregan suci” atau dapur suci yang dipergunakan khusus untuk persiapan sarana upacara di Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan. Diatas Pewaregan terdapat “Jineng” sebagai tempat penyimpanan padi (lumbung)

Pada tembok Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan, terdapat ornamen ukiran kisah-kisah pewayangan yang menambahkan keunikan dari Pemerajan Puri Agung Pemecutan itu sendiri

Sempat mengalami kebakaran 11 pelinggih pada tanggal 11 Agustus 1995, Pemerajan Puri Agung Pemecutan sempat dipugar dan selesai pada tanggal 11 Agustus 1996 dan dilaksanakan Karya Memungkah Ngeteg Linggih pada Purnama Sasih Kelima Tanggal 26 November 1996. Kejadian ini dibuatkan Pracasti dan diletakan tepat di depan Kori Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan.

Big Garden Corner: A Photographer's Paradise and Instagrammable Spot in Sanur, Bali

For photography enthusiasts and Instagram lovers, this spot should be on your list when exploring Bali’s capital city. Opened in 2016, Big Garden Corner started as a simple gallery showcasing stone sculptures.

True to its name, Big Garden Corner is situated at the intersection of Jalan Waribang and Jalan By Pass Ngurah Rai Padanggalak in Sanur. Spanning 2.5 hectares, this expansive garden offers numerous photo opportunities. Visitors can snap pictures against backdrops of megalithic stones, stone tables, large-scale statues, and colorful umbrella canopies.


One of the highlights is a 5-meter-high replica of the Borobudur temple. There’s also a small tree house, wooden pathways shaded by intertwining branches, and a butterfly garden home to over 100 species of butterflies.

The garden also features grassy areas, making it a perfect spot for families and couples to spend some quality time. There’s a restaurant and a children’s playground, making it an ideal destination for all ages. Located in the Sanur area, it’s a great stop on your way to explore East Bali.

Exploring Bali's History at the Bali Museum: The Oldest Cultural Collection in Denpasar

Museum Bali is a legendary museum that many people pass by every day without realizing it. It is located on Jalan Mayor Wisnu, just east of Puputan Badung Field and south of Pura Jagatnatha. The museum was inaugurated on December 8, 1932, under the name Bali Museum and is managed by the Bali Museum Foundation.

Covering an area of 2,600 square meters, this museum is the oldest in Bali and has inspired the establishment of other museums. Based on its collections, the Bali Museum is an ethnographic museum that houses and displays cultural artifacts from prehistoric times to the present, reflecting all aspects of Balinese culture. Its collections include archaeological, historical, fine art, and ethnographic items.

If you want to learn about the history of Balinese cultural heritage, this museum is the perfect place to visit. You can see collections such as traditional dance costumes, various types of masks, wayang (puppets), keris (daggers), and a range of prehistoric artifacts that help you understand Balinese culture.

Initially established as an ethnographic museum by W.F.J. Kroon, the assistant resident for South Bali, in 1910, the museum was created to protect and preserve cultural artifacts. This idea was based on a proposal by Th.A. Resink and received positive responses from scholars, artists, cultural figures, and all the kings in Bali. Kroon then commissioned Kurt Gundler, a German architect in Bali, to collaborate with traditional Balinese builders (undagi) like I Gusti Ketut Rai and I Gusti Ketut Gede Kandel to plan the museum’s construction.

One of the unique features of this museum is its architecture, which adopts local culture based on the lontar (palm leaf manuscript) Asta Kosala-Kosali. The museum has three courtyards: the outer courtyard (jaba), the middle courtyard (jaba tengah), and the inner courtyard (jeroan), each separated by walls and gates (candi bentar and candi kurung) as entrances. There is also a Balai Kulkul (bell tower) in the southern part of the middle courtyard.

In the northwest corner stands a Balai Bengong, which was used during the royal era as a resting place for the royal family to observe the surroundings. In front of the Tabanan building, there is a Beji (bathing place for the royal family). The roofs are made of ijuk (coconut fiber), a material traditionally used only for temples in Bali. The inner courtyard features three main buildings to exhibit the museum's collections:

  1. Gedung Karangasem: with traditional East Bali architecture, showcasing Panca Yadnya collections.
  2. Gedung Tabanan: for displaying prehistoric, historical, and fine art collections.
  3. Gedung Buleleng: featuring North Bali architectural style, dedicated to traditional textile collections.
Come and discover the history of Bali by visiting the Bali Museum!

Great Temple Jagatnatha: A Starting Point for Exploring Denpasar, Rich in Spiritual and Historical Value

If you’re looking to explore Denpasar’s city tour program, Pura Agung Jagatnatha is a perfect starting point to begin your journey around Bali's capital. More than just a place of worship, this grand temple attracts tourists with its stunning beauty and unique features.

Located on a popular tourist route, the temple is always bustling with visitors—both those coming to pray and those who simply want to admire its magnificence. It’s conveniently situated on Mayor Wisnu Street, right next to Puputan Badung Field and adjacent to the Bali Museum.

This great temple is open 24 hours to anyone who wishes to worship, including tourists. However, there are a few things to keep in mind. Visitors must always show respect and refrain from disturbing Hindu devotees as they carry out their prayers and rituals within the temple.

This temple is the largest in Denpasar City. It was built facing west, toward Mount Agung, which is believed to be the home of the gods. Pura Agung Jagatnatha was constructed as a place of worship for Sang Hyang Widhi Wasa, the Almighty God.

In March 2023, Pura Agung Jagatnatha underwent a renovation. The restoration included enhancements to various structures like the boundary walls, the main shrines, and several pavilions, using premium red stone from Tulikup, Gianyar. This has given the temple a dominant red hue, symbolizing Bhatara Brahma, the Hindu god of creation.

The renovation was undertaken to restore the temple’s architecture to the traditional Bebadungan style, which is distinctive to Denpasar. However, the Padmasana structure, with its historical significance, was preserved in its original form. With this restoration, the Denpasar City Government aims to ensure that Pura Agung Jagatnatha remains a strong and enduring symbol of Balinese spirituality for the next 100 years.

 

The Uniqueness of the Sidik Jari Museum in Denpasar: Exploring Finger Painting Art

Here’s one of the unique museums in Denpasar that you won’t want to miss. As the name suggests, it might sound strange at first, but when you visit, you'll be amazed by the collections at this museum located at Jalan Hayam Wuruk No. 175, Tanjung Bungkak.

The Fingerprint Museum showcases artistic works painted using a unique technique that involves creativity and imagination through fingertip dots of primary colors on canvas, resulting in stunning and spectacular artworks. The owner, Gede Ngurah Rai Pemecutan, is also the artist and the grandson of the National Hero from Bali, I Gusti Ngurah Rai.

This fingerprint painting technique was discovered accidentally while he was painting a Baris dance theme on July 9, 1967. However, the painting was never completed as he had hoped, which frustrated him. In an attempt to ruin the unfinished painting, he pressed his paint-covered fingers onto the canvas, sparking the idea to create paintings solely with his fingertips instead of using brushes.

The painting method developed by Gede Ngurah Rai Pemecutan earned him recognition from the Museum of Indonesian Records (MURI) as the pioneer of fingertip painting techniques and for having the largest collection of fingerprint paintings. The museum now houses 640 paintings created by him. His goal in establishing the Fingerprint Museum in Denpasar was to showcase a variety of his art collections and display his poetry written on stone.

At the Fingerprint Museum in Denpasar, visitors can not only view paintings and poetry but also delve into Balinese culture, particularly Balinese dance. The museum offers courses in Balinese dance, painting, and Balinese music taught by professional instructors. Isn’t it exciting to learn about the origins of the Fingerprint Museum? So, what are you waiting for? Visit this museum soon!

The Charm of Badung Traditional Market Murals: Transforming the Traditional Market with Modern Art Touches

For art enthusiasts and social media aficionados, this spot is a must-visit: the Mural Market at Pasar Badung. Don’t think of it as just a place for buyers and sellers. Pasar Badung, the largest market in Bali, is adorned with vibrant murals scattered across its walls. These murals were created back in 2019, following a renovation due to a fire. You can find them everywhere—from the entrance gates, elevators, and kiosks, to waiting areas, and even in the bathrooms. 

If you’re not satisfied with the smaller artworks, head over to the east side of the market. Here, you'll find a colossal mural painted on a 308-square-meter wall canvas. The visuals are not only captivating but also carry messages encouraging people to take pride in shopping and trading at traditional markets, reimagined in a modern setting like Pasar Badung.

These creative embellishments aim to position Pasar Badung as an inspiration for traditional markets across Bali and even Indonesia. The murals were crafted by 30 young artists from the Bali School of Design (STD), in an effort to change the perception that traditional markets are just a place for transactions. At Pasar Badung, tourists are welcomed as well.

By the way, you can visit and capture the murals at any time, as the market is open 24 hours a day, except on the holy day of Nyepi. Being the largest market in Bali, Pasar Badung serves as the starting point for various goods distributed throughout the island. So, whether you're an early bird or a night owl, Pasar Badung's art awaits!

Kumbasari Art Market: An Affordable Hub for Balinese Art and Souvenirs

Art enthusiasts must know about Kumbasari Art Market. Long before the famous souvenir centers emerged, this market was a must-visit destination for tourists seeking artistic souvenirs for their family and friends. To this day, Kumbasari Art Market remains vibrant and worth visiting.

It is located on the west side of the Badung Traditional Market, precisely in the Gajah Mada Heritage Area. The market is separated from Badung Market by the "Korea" River, Tukad Badung. Having undergone three phases of revitalization, this market is referred to as the only art market in Denpasar. Kumbasari Market was established in 1977, experienced a fire in 2000, and was renovated, reopening in 2001.

The building is quite spacious, covering an area of 6,230 square meters. It consists of five floors, with four floors designated for art product vendors. The remaining floor is allocated for vendors selling basic necessities and religious ceremony supplies.

On the second floor of Kumbasari Art Market, various types of clothing are sold, including traditional Balinese attire such as udeng, kain, and destar. Bed covers, beach sarongs, and various woven crafts from Bali are also available. The third floor features an array of paintings, sculptures, and Balinese ornaments like carvings, shoes, sandals, and women's bags. On the fourth floor, you can find various handicrafts and souvenirs made from shells, paper, and some crafts from outside Bali.

Not many people realize how vital this market is, as it serves as a wholesale center supplying products to art vendors in Sanur, Kuta, Canggu, and Ubud. Most locals are unaware of this because the majority of vendors here source directly from artisans in remote areas.

The range of crafts sold at Kumbasari Art Market is diverse, including brasswork, ceramics, glass, rattan, and wooden crafts. An important piece of information that tourists often overlook is the pricing. Don’t be surprised when shopping here; prices are significantly lower compared to souvenir centers. Since the products are sold wholesale, they are naturally much cheaper.

For those who know about these affordable prices, it’s worth a visit. Additionally, prices are negotiable, as is common in traditional markets. The location is also very accessible.

narasi-pembangunan-kampung-kuliner-serangan-docx-google-docs

Pembangunan Kampung Kuliner Serangan

Desa Serangan di Denpasar, Bali, yang dikenal dengan keindahan alam dan warisan budayanya, kini sedang membangun proyek unggulan yaitu Pembangunan Kampung Kuliner Seafood Serangan, pemerintah berupaya menciptakan destinasi wisata kuliner baru yang terletak di Jl. Tukad Pekaseh No.2, Serangan, Denpasar Selatan. Proyek ini berfokus pada penyediaan fasilitas kuliner berbasis makanan laut yang khas dengan nuansa lokal.
Proyek ini berlokasi di lapangan I Wayan Bulit, Serangan, yang dibangun di lahan dengan mempunyai luas lapangan = 21,190 m2 dan luas lahan BTID = 2,420 m2. Didukung penuh oleh Dinas Pariwisata Kota Denpasar sebagai pemberi tugas. Dengan dibantu Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik 2024 yang disalurkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, pembangunan ini akan mengoptimalkan fasilitas fisik untuk mendukung keberlangsungan wisata kuliner di Serangan.
Proyek ini melibatkan beberapa pihak ahli, termasuk PT. TATA RENCANA HIJAU sebagai konsultan perencana dan CV. BINA BWANA WISESA sebagai konsultan pengawas, dilaksanakan oleh kontraktor pelaksana PT. MEGAH TAMA PERKASA dengan nilai kontrak sebesar Rp 5.204.246.761,00. Pembangunan ini direncanakan berlangsung selama 180 hari kalender dari 14 Juni hingga 10 Desember 2024, di mana setiap tahapannya diawasi dengan ketat untuk memastikan hasil yang optimal.

Pengembangan Kampung Kuliner Serangan merupakan bagian dari tiga program unggulan yang dirancang untuk meningkatkan potensi Desa Serangan secara menyeluruh. Program pertama adalah penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan desa, di mana pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat lokal agar mampu mengelola potensi wisata secara efektif, sekaligus memperkuat kelembagaan desa agar masyarakat terlibat aktif dalam pengelolaan kampung kuliner. Program kedua adalah memformulasikan branding, paket kegiatan, dan promosi desa wisata, yang berfokus pada pengembangan branding Desa Serangan sebagai destinasi kuliner yang khas, didukung oleh promosi intensif melalui media sosial dan kampanye pemasaran, serta kolaborasi dengan travel influencer. Selain itu, paket wisata kuliner yang dirancang akan memberikan pengalaman lengkap yang mencakup wisata kuliner, budaya, dan alam. Program ketiga adalah 55 rencana aksi yang mencakup berbagai aspek pengembangan desa, seperti peningkatan infrastruktur, pelatihan SDM, dan pengembangan produk wisata, yang semuanya bertujuan untuk memaksimalkan potensi wisata dan ekonomi Desa Serangan. Pembangunan Kampung Kuliner Seafood Serangan mencakup berbagai fasilitas penting, seperti pembangunan 14 bangunan dan 28 kios kuliner yang akan menjadi tempat bagi pedagang lokal untuk menawarkan hidangan seafood serta makanan khas Bali. Plaza Kuliner dirancang sebagai pusat kegiatan sosial dan rekreasi, di mana pengunjung dapat menikmati suasana santai sambil mencicipi berbagai hidangan. Selain itu, fasilitas toilet umum juga dibangun untuk memastikan kenyamanan pengunjung, dengan kebersihan dan standar fasilitas yang baik. Sebanyak 16 unit gazebo disediakan di sekitar area kuliner untuk tempat bersantai yang nyaman, didukung oleh area parkir yang memudahkan akses pengunjung. Infrastruktur pendukung seperti rumah STP dan resapan, serta tandon air bawah tanah (Ground Water Tank), berperan penting dalam menjaga pengelolaan air dan kebersihan lingkungan. Sebagai tambahan, 64 unit bangku taman tersebar di area plaza dan taman untuk menambah kenyamanan pengunjung selama menikmati suasana kuliner di Serangan.

Proyek Kampung Kuliner Seafood Serangan memanfaatkan dana DAK Fisik 2024 dengan total anggaran sebesar Rp 5.204.246.761,00 yang mencakup berbagai aspek penting dalam pembangunan infrastruktur kampung kuliner. Dana ini digunakan untuk penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMKK) sebesar Rp 18.640.000,00, pekerjaan persiapan senilai Rp 436.623,97, serta pembangunan inti berupa 14 bangunan dan 28 kios kuliner dengan anggaran Rp 1.637.899.041,95, di mana kios-kios tersebut akan diisi oleh pedagang yang menawarkan kuliner khas Bali dan Serangan. Selain itu, pembangunan plaza kuliner sebesar Rp 1.767.823.405,96, toilet senilai Rp 443.690.627,97, serta 16 unit gazebo dengan anggaran Rp 399.699.204,80 disiapkan untuk kenyamanan pengunjung. Fasilitas pendukung lainnya termasuk area parkir A sebesar Rp 106.424.186,73, rumah STP dan resapan sebesar Rp 72.450.829,52, Ground Water Tank (tandon air bawah tanah) senilai Rp 63.236.431,05, serta 64 unit bangku taman dengan total Rp 178.210.244,42. 

Namun, proyek ini menghadapi keterbatasan anggaran sehingga pemerintah memanfaatkan dana CSR sebesar Rp 2.599.991.078,00 dari perusahaan swasta untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan penting. Dana CSR tersebut digunakan untuk penerapan SMKK Rp 25.643.650,00, pekerjaan persiapan Rp 552.056,28, pembangunan pergola kayu Rp 468.000.000,00, softscape (penataan area hijau) Rp 11.900.000,00, meja taman Rp 54.000.000,00, meja gazebo Rp 6.400.000,00, service area Rp 238.000.000,00, peningkatan daya listrik Rp 139.521.228,00, pengadaan alat kios kuliner Rp 1.124.676.000,00, pembangunan bak sampah Rp 145.345.492,55, serta signage sebesar Rp 128.295.877,68 untuk membantu pengunjung menemukan area penting di kampung kuliner.

 

Showcasing Bali's Heritage: The Marvel of Barong Dance and Keris by Sekaa Barong and Keris Sari

This is one of the most commonly found cultural performances in Denpasar City—the Barong and Keris Dance. One of the prominent groups involved is Sekaa Barong and Keris Sari, a cultural tourism group in Bali, Indonesia, dedicated to preserving and showcasing traditional Balinese arts and culture. The group is committed to promoting the beauty and significance of Bali’s cultural heritage through their performances and activities.

Sekaa Barong and Keris Sari specializes in two important cultural elements: the Barong dance and the Keris dance. The Barong dance is a traditional Balinese dance that depicts the eternal battle between good and evil. It features a large mythical creature called Barong, representing good, and a demon-like creature called Rangda, representing evil. The dance is accompanied by vibrant music and colorful costumes, captivating the audience with its energetic movements and dramatic storyline.

The Keris dance, on the other hand, showcases the traditional Indonesian weapon known as the keris. The dance incorporates fluid and graceful movements, symbolizing the beauty and precision of the keris. It is often performed as a solo dance, accompanied by traditional gamelan music.

Sekaa Barong and Keris Sari actively participate in cultural tourism activities, including performances at various venues and events. They contribute to the promotion of Balinese arts and culture by showcasing their skills and talent to both local and international audiences. Their performances often attract tourists who are interested in experiencing the rich cultural traditions of Bali.

In addition to their performances, Sekaa Barong and Keris Sari also engage in educational activities. They offer workshops and training sessions to teach the younger generation about the traditional dances and the cultural significance behind them. By passing down their knowledge and skills, they ensure the continuity of Balinese cultural heritage for future generations.

Furthermore, Sekaa Barong and Keris Sari actively collaborate with other cultural groups and organizations to promote cultural exchange and cooperation. They participate in festivals, exhibitions, and cultural events both locally and internationally, representing the vibrant artistic traditions of Bali.

Through their dedication and commitment, Sekaa Barong and Keris Sari contribute to the preservation and promotion of Balinese cultural tourism. They play a significant role in showcasing the rich artistic heritage of Bali, attracting visitors from all around the world who are eager to witness the beauty and uniqueness of Balinese arts and culture.

Tracing Historical Footsteps at Puri Pemecutan: A Legacy of Bali's Struggle Against Colonizers

Although Denpasar is known as a modern city in Bali, traces of historical struggles remain for visitors to discover in the island’s capital. One such place is Puri Pemecutan Denpasar, a royal palace that serves as a reminder of the significant influence of ancient kingdoms on Bali’s development.

Located on Jalan Tamrin, Puri Pemecutan stands proudly on a 4.2-hectare estate. This area does not include the expansions made to the west, north, east, and south at Puri Tanjung Pemecutan, which serves as the residence of royal descendants. To the west of the palace, there is an armory with rifles and cannons. On the eastern side are Jero Ukiran and Jero Kanginan, which now form the new Puri Agung Pemecutan.

The palace has also been a symbol of Bali’s resistance against Dutch colonial forces. In 1906, during the Puputan war, the palace was set ablaze in a dramatic standoff against the Dutch. Today, the palace is in excellent condition, retaining its distinct Balinese ornaments that cover nearly every corner of the building.

The architecture of Puri Pemecutan is still reminiscent of its original form before the fire, featuring traditional elements. The front courtyard, known as Jaba Jeroning Cerangcang, greets visitors, while the Jaba Bale Gong, located in the western corner, serves as a storage space for ancient musical instruments like gamelan. There are also kitchens and rooms that once housed royal family members. The bale kulkul, a watchtower on the southern side of the palace, silently witnessed the Puputan war and remains intact, the only structure that survived the flames.

Visiting Puri Pemecutan feels like stepping back into a pivotal chapter of Bali’s history, reflecting on the island's resistance against Dutch occupation. If you're lucky, you might not only catch a glimpse of what the royal palace looked like in the past but also witness a film crew on-site, as the palace is occasionally used for national movie productions. So, what are you waiting for? Plan your visit to Puri Pemecutan and experience a piece of Balinese history firsthand.