PURA SEGARA
PURA SEGARA
Pura Segara. Keberadaannya masih sederetan di Pantai Segara Ayu. Bangunan dari pura ini hampir serupa dengan kondisi Pura Dalem Jumeneng. Bentuknya bebatuan gamping yang bertingkat-tingkat, punden berundak, sebagai tradisi dari periode megalitik.
Keberadaan pura ini dipesisir berkaitan erat dengan pekerjaan masyarakat setempat sebagai nelayan, terutama zaman itu. Pura Segara Ayu menjadi tempat bersembahyang agar mendapatkan lindungan dan keselamatan dari-Nya selama melaut. Pantai atau laut dalam bahasa Bali berarti segara, yang juga sebagai manifestasi Dewa Wisnu. Piodalan digelar setiap tahunnya pada Purnama Kedasa (purnamaning sasih kedasa).
Terdapat tempat pemujan, Palinggih Gunung Agung, Palinggih Gunung Batur, dan Palinggih Dalem Segara. Palinggih ini bagian dari pemujaan rasa syukur kepada alam lingkungan dan gunung. Masyarakat setempat menambahkan ornamen arca di setiap seperti arca naga, penyu, ikan berkepala gajah.
Segara sebagai nama pura dikaitkan dengan lokasinya yang berada dekat dengan pantai. Nah, penyebutan pantai dalam bahasa Bali adalah segara.
Istilah segara juga dikaitkan dengan air sebagai manifestasi Dewa Wisnu dalam ajaran Hindu Bali. Karenanya, masyarakat menganggap Pura Segara Sanur juga sebagai Pura Puseh.
Upacara piodalannya dilaksanakan setiap tahunnya pada Purnama Kedasa (purnamaning sasih kedasa). Pengempon yang bertanggung jawab mengurus dan membina keberadaan Pura Segara Sanur adalah kelompok keluarga sebanyak enam kepala keluarga, sedangkan penyungsungnya adalah masyarakat Desa adat Intaran dan masyarakat umum lainnya. Berdasarkan pengempon dan penyungsung pura, dapat dikatakan Pura Segara Sanur tersebut berkarakter sebagai pura geneologis dan umum.
Tri mandala
Pura Segara
Struktur Pura Dalem Jumeneng adalah tri mandala, yaitu terdiri dari jaba sisi (nista mandala) berada di sisi utara, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala) berada di sisi selatan. Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta (bhuwana agung) seperti nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, madya mandala melambangkan bwahloka yaitu alam pitra/roh atau alam peralihan, dan utama mandala melambangkan swahloka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Jaba sisi (nista mandala) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman terbuka yaitu Jalan Segara Ayu.
Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan madya mandala (jaba tengah) dikelilingi oleh tembok keliling terbuat dari susunan batu gamping (karang laut) dibatasi dengan candi bentar terbuat dari susunan batu padas. Halaman utama mandala terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Penyawangan Gunung Agung, Penyawangan Gunung Batur, Palinggih Dalem Segara, Palinggih Penyarikan, Palinggih Manik Kembar, Palinggih Linggih Bhatara Bayu, Palinggih Ratu Mas Melanting, Palinggih Jilih Lambih, Bale Pawedan Bhatara Bayu, Palinggih Ratu Niang Gobleh, Piyasan, Bale Tajuk, Bale Paruman, Pale Pawedan, Bale Gong, Aling-aling, Bale Kulkul, Wantilan, dan Palinggih Linggih Ratu Dalem Peed.
Punden berundak dan tahta batu di Pura Segara jika ditinjau dari keilmuan arkeologi, dapat dikatakan sebagai tinggalan yang berasal dari masa prasejarah akhir, tepatnya pada masa tradisi megalitik yang masih berlanjut hingga awal masa sejarah (protohistoris). Struktur punden berundak sebagai hasil budaya masa tradisi megalitik berlanjut hingga saat ini masih tetap bertahan dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya sebagai media pemujaan, hal tersebut dapat disebut juga dengan living megalithic tradition.
Susunan punden berundak di Pura Segara berjumah empat buah struktur, yaitu punden berundak paling besar disisi selatan menghadap ke barat sebagai Penyawangan Gunung Agung, Penyawangan Gunung Batur, Palinggih Dalem Segara, dan Palinggih Penyarikan. Terdapat juga punden berundak sebagai Linggih Bhatara Bayu, punden berundak sebagai Linggih Ratu Mas Melanting dan Linggih Ratu Jilih Lambih, serta terdapat juga tahta batu Linggih Ratu Manik Kembar.
Setelah mengetahui letak kondisi geografis, latar belakang sejarah, struktur, dan karakteristik Pura Segara, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan Sanur, seperti punden berundak, tahta batu, sumur, menhir, dan kedok muka.
1. Punden Berundak I
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 219 cm
Panjang : 1.265 cm
Lebar : 600 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Beberapa bagian rusak
Deskripsi : Punden berundak I ini dibentuk menggunakan susunan batu gamping asli tanpa proses pembentukan, berada di sisi selatan halaman utama mandala pura berbentuk teras berundak dengan tiga tingkatan semakin ke atas semakin kecil. Teras pertama merupakan bagian dasar tanpa hiasan berbentuk persegi panjang dengan ukuran tinggi 87 cm, panjang 1.265 cm, dan lebar 600 cm. Selanjutnya tingkatan teras kedua berbentuk persegi panjang berukuran lebih kecil dari pada teras dasar dengan tinggi 70 cm, panjang 1030 cm, dan lebar 365 cm. Pada selasar teras kedua ini ditancapkan menhir disamping tangga yang menghubungkan kedua teras ini. Antara undakan/teras pertama dengan kedua dihubungkan dengan empat struktur tangga untuk menuju tahta batu pada puncak punden berundak ini.
Tingkatan ketiga struktur punden berundak ini berukuran tinggi 62 cm, panjang 960 cm, dan lebar 287, terdapat tahta batu berjajar dari utara sebagai tempat pemujaan atau penyawangan yang disebut dengan Palinggih Gunung Agung, Palinggih Gunung Batur, dan Palinggih Dalem Segara. Sedangkan paling selatan tidak berbentuk tahta batu, tetapi bangunan beratap terbuat dari batu gamping yang disebut dengan Palinggih Penyarikan. Hal menarik nampak pada tahta batu yang disebut sebagai Palinggih Dalem Segara, karena pada sandaran tahtanya terdapat pahatan kedok muka yang disamar-samarkan. Punden berundak ini oleh masyarakat ditambahkan dengan ornament arca pada setiap terasnya seperti arca naga, penyu, ikan berkepala gajah, dan arca-arca tokoh.
Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan menyerupai gunung, digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dengan adanya menhir dan kedok muka pada salah satu tahta batu, serta masyarakat masih melakukan pemujaan kepada alam lingkungan seperti gunung dan segara (laut) yang merupakan budaya kental tradisi megalitik.
2. Punden Berundak II
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 308 cm
Panjang : 374 cm
Lebar : 365 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Punden berundak ini dibentuk menggunakan susunan batu gamping asli tanpa proses pembentukan, berbentuk teras berundak dengan lima tingkatan semakin ke atas semakin kecil di halaman utama mandala. Teras pertama merupakan bagian dasar berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 20 cm, panjang 374 cm, dan lebar 365 cm dilengkapi dengan tangga bersusun tiga sebagai penghubung ke teras kedua. Selanjutnya tingkatan teras kedua berbentuk persegi berukuran tinggi 82 cm, panjang 316 cm, dan lebar 336 cm, teras ketiga berukuran tinggi 25 cm, panjang 255 cm, dan lebar 250 cm, teras keempat berukuran tinggi 87 cm, panjang 247 cm, dan lebar 240 cm, serta teras kelima sebagai puncak berukuran tinggi 96 cm, panjang 173 cm, dan lebar 150 cm lengkap dengan tahta batu di atasnya.
Punden berundak ini dipercayai oleh masyarakat sebagai Palinggih Bhatara Bayu yang ditambahkan dengan ornament arca pendeta, arca tokoh, dan arca kera. Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang diakulturasikan dengan budaya agama Hindu tetap mempertahankan bentuk bertingkat-tingkat menyerupai gunung dan digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dan Dewa Bayu sebagai dewa penguasa angin dalam agama Hindu di Bali.
3. Punden Berundak III
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 399 cm
Panjang : 439 cm
Lebar : 356 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Punden berundak III ini dibentuk menggunakan susunan batu gamping asli berbentuk teras berundak dengan tiga tingkatan semakin ke atas semakin kecil di sisi utara halaman utama mandala menghadap ke barat. Teras pertama merupakan bagian dasar berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 19 cm, panjang 439 cm, dan lebar 356 cm dilengkapi dengan tangga sebagai penghubung ke teras kedua. Selanjutnya tingkatan teras kedua berbentuk persegi berukuran tinggi 76 cm, panjang 370 cm, dan lebar 303 cm, serta teras ketiga sebagai puncak punden berundak berukuran tinggi 304 cm, panjang 304 cm, dan lebar 247 cm. Pada teras puncak ini dilengkapi dengan tahta batu pada sisi utara sebagai tempat pemujaan atau penyawangan Ratu Mas Melanting dan pada sisi selatan terdapat palinggih yang memiliki atap terbuat dari batu gamping sebagai pemujaan atau penyawangan Ratu Jilih Lambih.
Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan bertingkat-tingkat menyerupai gunung, digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur, serta masyarakat masih menggunakan istilah atau nama lokal seperti Ratu Melanting dan Ratu Jilih Lambih yang biasanya dikaitkan dengan permohonan kesuburan, keselamatan, dan kemakmuran.
4. Tahta Batu I
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 206 cm
Panjang : 67 cm
Lebar : 63 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Tahta batu I ini disebut oleh masyarakat sebagai Linggih Ratu Manik Kembar terbuat dari susunan batu gamping berbentuk bebaturan yang di atasnya terdapat tiga ruang tahta batu. Ukuran kaki bebaturan adalah tinggi 13 cm, panjang 67 cm, dan lebar 63 cm, sedangkan bebaturannya sendiri berukuran tinggi 90 cm, panjang 61 cm, dan lebar 56 cm, dan puncaknya berupa tahta batu berukuran tinggi 90 cm, panjang 52 cm, dan lebar 54 cm. Sandaran tahta batu dibuat tidak menggunakan susunan batu, tetapi menggunakan batu gamping utuh yang cukup lebar. Pada kanan kiri tahta batu dibuat lagi bebaturan dari susunan batu gamping sebagai tempat meletakkan arca tokoh.
Tahta batu di atas bebaturan ini secara fungsional dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk berupa singgasana tempat berstananya para roh leluhur yang oleh masyarakat sekarang difungsikan sebagai media memohon keselamatan dan kemakmuran.
5. Tahta Batu II
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 85 cm
Panjang : 140 cm
Lebar : 40 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Tahta batu II ini terbuat dari susunan batu gamping berbentuk bebaturan yang di atasnya terdapat sandaran berupa susunan batu gamping berbentuk segitiga menyerupai gunung. Tahta batu ini hanya memiliki sandaran, tanpa adanya susunan batu pembatas pada kanan atau kirinya, dan di tengah-tengahnya diletakkan pahatan kedok muka yang kemungkinan sebagai simbol dari roh leluhur pada masa lampau.
Berdasarkan bentuk yang menyerupai gunung dan dengan adanya hiasan kedok muka, dapat dikatakan tahta batu ini sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai media pemujaan.
6. Tahta Batu III
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 141 cm
Panjang : 58 cm
Lebar : 52 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Tahta batu III ini terbuat dari susunan batu gamping berbentuk bebaturan yang di atasnya berbentuk kusi duduk (singgasana) dengan sandaran dan pembatas disampingnya terbuat dari batu gamping utuh. Tahta batu ini pengerjaannya sangat sederhana dan sedikitpun tidak menonjolkan hiasan.
Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk yang sangat sederhana dan sesaui fungsi masa lampau bahwa tahta batu difungsikan sebagai media pemujaan kepada roh suci leluhur. Tahta batu (singgasana) dipercayai oleh masyarakat tradisi megalitik sebagai tempat duduknya para roh leluhur yang telah disucikan.
7. Sumur
Lokasi : Pura Segara
Ukuran : Tinggi : 57 cm
Diameter : 107 cm
Arah Hadap : –
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Sumur ini merupakan struktur yang disusun sedemikan rupa membentuk silinder sebagai sumber mata air terletak diantara tahta tahta batu I dan III. Sumur sebagai sumber mata air masih difungsikan oleh masyarakat untuk memohon air suci (tirta) yang digunakan untuk kegiatan keagamaan di Pura Segara.
8. Menhir
Lokasi : Pura Segara Sanur
Ukuran : Tinggi : 62 cm
Lebar : 35 cm
Tebal : 17 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal
sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Rusak
Deskripsi : Menhir diletakkan pada teras tingkatan pertama punden berundak I. Menhir ini merupakan monolit (batu tunggal) berbahan batu gamping dengan bentuk yang tidak beraturan. Menhir merupakan hasil kebudayaan tradisi megalitik yang paling sederhana, karena hanya berupa batu tegak (berdiri) yang belum dikerjakan, tetapi diletakkan dengan sengaja pada suatu tempat untuk kepentingan memperingati jasa-jasa orang yang telah meninggal, sebagai simbol atau tempat bersemayamnya para roh leluhur.
9. Kedok Muka I
Lokasi : Pura Segara Sanur
Ukuran : Tinggi : 37 cm
Lebar : 22 cm
Tebal : 7 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Rusak
Deskripsi : Kedok muka I ini bentuknya sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata, hidung, dan mulut, dengan diletakkan pada tengah tahta batu Pelinggihan Dalem Segara di atas punden berundak. Tradisi megalitik ditandai dengan adanya pemujaan kepada roh leluhur sehingga oleh masyarakat prasejarah dimasa lalu kedok muka dijadikan penggambaran orang yang sudah meninggal atau leluhur. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.
10. Kedok Muka II
Lokasi : Pura Segara Sanur
Ukuran : Tinggi : 32 cm
Lebar : 29 cm
Tebal : 15 cm
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Tradisi Megalitik
Periodisasi : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)
Bahan : Batu gamping (karang laut)
Kondisi : Baik
Deskripsi : Kedok muka ini berbentuk bulat, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata, hidung, dan mulut yang memperlihatkan gigi. Kedok muka ini diletakkan di atas tahta batu I. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.