Patung-La-Mayeur

Museum Le Mayeur

J. Le Mayeur berasal dari keluarga bangsawan Belgia. Ia yang biasa dipanggil Mayeur itu lahir pada 9 Pebruari 1880 di Ixelles, Brussel. Ayahnya bernama Adrien Le Mayeur de Mepres dan ibunya, Louisa de Bosch.

Mayeur memiliki darah seni dari ayahnya, seorang pelulis laut terkenal. Ayahanda bergabung dalam kelompok pelukis Group Van Dendermonde. Bakat melukis diwarisinya, meski ayahanda tak ingin Mayeur menjadi pelukis.

Pada tahun 1897, Mayeur mengikuti saran ayahnya untuk masuk perguruan tinggi yaitu Politeknik di Universitas Libre Brussel. Setelah lulus ia kembali  menekuni bidang seni lukis. Karena ia tidak tertarik pada perkerjaan yang sesuai dengan keahliannya di perguruan tinggi.  Melukis membuatnya keliling dunia seperti ke Prancis, Italia, Maroko, Tunisia, Aljasair, India, Thailand, Kamboja, Tahiti, dan sampai Bali (Indonesia).

Ia melukis berkeliling dunia dan berlabuh di Singaraja, Bali, pada tahun 1932. Bertemu dengan Ni Nyoman Pollok, penari Legong Keraton, dan dijadikannya model lukisannya. Pada tahun 1935, Le Mayeur pun menikahi Pollok dengan upacara adat Bali.

Sampai Bali

Monumen Le Mayuer dan Ni Pollok

Mayeur pertama kali sampai di Bali pada tahun 1932, melalui jalur laut berlabuh di Singaraja. Kemudian, ia melanjutkan perjalan menuju Badung (sekarang Denpasar). Ketika itu, Mayeur menyewa rumah di Banjar Kelandis, dekat Pura Jurit, dan ditempat ini ia berkenalan dengan seorang gadis penari Legong Keraton yang bernama Ni Nyoman Pollok.

Pollok dijadikannya sebagai model lukisan. Sebelumnya, Mayeur mengajak Ni Ketut Reneng  sebagai modelnya, yang juga penari Legong Keraton dari Banjar Kedaton. Banyak lukisan dapat dihasilkan Mayeur dengan model Ni Nyoman Pollok, hingga dua kali karyanya dipamerkan di Singapura pada tahun 1933. Dua tahun kemudian, Mayeur menyunting Pollok. Ia anjutkan ke jenjang pernikahan pada tahun 1935 dengan upacara adat Hindu Bali.

Pendirian museum

Museum Le Mayeur

Pada tahun 1937 dan 1941, Mayeur kembali mengikuti pameran di Singapura dan Kuala Lumpur dengan mengajak istrinya, Pollok. Sepulangnya dari pameran,  mengadakan pameran di Singapura, Mayeur membeli tanah seluas 3,2 are, di dekat pesisir Pantai Sanur. Ia membangun rumah tinggal dengan undagi (ahli bangunan gaya Bali) Ida Bagus Made Mas. Pigura-pigura lukisa dikerjakan oleh Ida Bagus Ketut Bagus.    

Lukisan Mayeur makin dikenal luas di dalam negeri maupun mancanegara. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Nehru pun pernah datang. Tahun 1956, Bahder Djohan yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, datang dan menggagas rumah tinggal Mayeur sekaligus menjadi Perusahaan Seni Lukis.

Gagasan pendirian museum ini sebenarnya sudah pernah dirintis sebelumnya oleh Mayeur. Ia menghadiahkan rumahnya, perlengkapan rumah tangga, dan sejumlah lukisan kepada istrinya Ni Nyoman Pollok, pada tanggal 18 Januari 1949. Hanya saja, pendirian museum itu kurang sah secara hukum karena berlangsung di bawah tangan.

Lalu, Bahder Djohan memberi gagasan, pada tanggal 28 Agustus 1957 dengan akte hadiah no. 37, dan Mayeur secara sah menghibahkan hak miliknya yang tertuang ke dalam Perusahaan Seni Lukis kepada istrinya Ni Nyoman Pollok. Saat itu juga, Pollok selaku pewaris menyerahkan langsung kepada Pemerintah Indonesia berdasarkan akte hadiah (Schaking) no. 38. Persembahan tersebut diberikan kepada Anak Agung Bagus Sutedja, yaitu Gubernur Bali ketika itu dan sekaligus sebagai wakil dari Pemerintah Republik Indonesia dengan kuasa dari Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Disaksikan juga ketika itu oleh J. Vermer dan R. M. Ibnu Umar Sastrokusumo, serta dilakukan di depan notaris Ida Bagus Ketut Rurus yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Bali.     

Pada tahun 1958, kondisi kesehatan Mayeur menurun. Ia sakit kanker telinga. Bersama istrinya, ia pergi berobat ke Belgia. Keberangkatan ini juga sebenarnya keinginannya untuk memperkenalkan istrinya kepada keluarga dan kerabatnya di Belgia yang terus tertunda akibat Perang Dunia II.

Tak berapa lama masih di Brussel, Belgia, Mayeur meninggal pada tanggal 31 Mei 1958, di usia 78 tahun di Brussel. Istrinya, Pollok meninggal pada tahun 1985. Selanjutnya, Pemerintah Provinsi Bali mengelola museum ini yang dikenal bernama Museum Le Mayeur.

Rumah yang artistik

Rumah tinggal Mayeur dulunya dibangun sangat sederhana, tetapi sangat artistik. Pada awalnya hanya ada satu bangunan tempat tinggal dan dapur. Bangunan utama sebagai tempat tinggal terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, studio, kamar tidur, dan kamar mandi.

 

Semua ruangan ini sekarang penuh dengan lukisan-lukisan karya A. J. le Mayeur, yang dikerjakan di Bali maupun yang dibawa dari Belgia. Selain itu pada bangunan utama ini diletakkan arca-arca dwarapala, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, dinding sisi timur berupa relief-relief ukiran suluran daun lengkap dengan ornament kepala kala, dan wilamana (raksasa bersayap membawa pedang) yang merupakan wahana Rahwana.

 

Dinding sisi selatan dipahatkan relief yang menceritakan cerita Kumbakarna Karebut, yaitu ketika Sang Kumbakarna direbut oleh pasukan kera yang dipimpin Hanoman. Dinding sebalah baratnya yang dibatasi dengan pintu kayu dipahatkan relief Sang Ramadewa memanah rusa yang merupakan jelmaan suruhan Rahwana, ialah Patih Marica. Dalam relief ini juga dipahatkan kisah ketika Rahwana berhasil melarikan Dewi Sita. Terpahat burung Jatayu diangkasa tengah menghalangi Rahwana, yang membuat sayapnya terpotong pedang Rahwana.

 

Cerita dilanjutkan pada dinding barat bangunan, yaitu pahatan relief dengan tokoh Sang Ramadewa, Laksmana, Hanoman menyaksikkan peperangan antara kakak beradik Sugriwa dan Subali yang nantinya akan dimenangkan oleh Sugriwa atas bantuan Sang Ramadewa.

 

Dinding sisi utara bangunan utama juga dipahatkan dengan relief yang menceritakan pertarungan Sugriwa dan Subali, yang kemudian Subali kalah dan gugur akibat terkena panah Sang Ramadewa. Pada relief ini juga dipahatkan inskripsi tulisan aksara bali berbunyi “ i saka ning loka 1878” atau tahun 1956 Masehi. Kemungkinan inskripsi ini sebagai tanda peringatan perampungan pembangunan bangunan utama dan pada tahun 1956 merupakan kunjungan dari menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bahder Djohan.

 

Di tengah museum terdapat patung  setengah badan A. J. Le Mayeur, berbahan batu karang dari seorang pemahat bernama I Made Panti, dan pada tanggal 1 April 1959, patung tersebut diletakkan di halaman tengah museum dengan tulisan pada lapik patung berbunyi “In Loving Memory of A. J. Le mayeur de Merpres. Born: February 9, 1880 Bruxelles, Belgium. Arrived in Bali 1932. Died in Peace: May 31, 1958 Buxelles (Begium)”. Patung ini dipesan Pollok sepulang dari Belgia.

 

Bangunan di sisi utara bangunan utama, yang bernama Bale Pecanangan digunakan untuk membuat sesaji atau banten Hindu Bali, juga digunakan untuk tempat mengajar anak-anak menari dan juga menenun. Patung memorial Ni Nyoman Pollok dibuat oleh keponakannya yang bernama I Nyoman Arka untuk disandingkan dengan patung A. J. Le Mayeur. Pada lapik patung Ni Nyoman Pollok dituliskan “In Loving Memory of Ni Nyoman Pollok. Born: March. 3. 1917 Kelandis Village. Died in Peace: July. 21. 1985 Kelandis Denpasar”.

Koleksi

Koleksi Museum Le Mayeur

Koleksi Museum Le Mayeur berjumlah 89 buah, berdasarkan katalog museum yang disusun tahun 1983 ketika masih dikelola sendiri oleh Ni Nyoman Pollok. Selanjutnya, Pemerintah Provinsi Bali menginvetarisasi ulang pada tahun 1985 dan satu buah lukisan berjudul “Lotus” tidak ditemukan. Karenanya, koleksi tercatat 88 buah.

Bahan dasar lukisan terdiri dari lima jenis, yaitu kanvas, hardboard, triplek, kertas, dan bagor. Hanya saja, kondisi lukisan tahun 1942, yang berbahan dasar bagor di tahun  kondisinya rusak. Bahan dasar bagor ini dilukis menggunakan cat air dan warna batik, karena ketika itu pengiriman kanvas dan cat dari Belgia sempat tersendat akibat dari meletusnya Perang Dunia II.

Tahun koleksi lukisan di Museum Le Mayeur adalah empat lukisan merupakan produksi tahun 1921, empat lukisan lagi tahun 1927, tiga lukisan tahun 1928, 28 lukisan tahun 1929, tiga lukisan 1937, 14 lukisan tahun 1938, 23 lukisan tahun 1942, dan 10 lukisan tahun 1957. Berdasarkan jumlah, sebanyak 89 lukisan itu terdata 47 lukisan dengan tema Bali.

Selain lukisan, museum mengoleksi benda-benda milik Mayeur dan istrinya. Benda itu berupa almari, meja, piring, guci, kursi, pelawah gamelan, dan lain sebagainya sebagai kelengkapan rumah tangga.

Koleksi Museum Le Mayeur pada awalnya berjumlah 89 buah, hal ini berdasarkan katalog museum yang disusun tahun 1983 ketika masih dikelola sendiri oleh Ni Nyoman Pollok. Tetapi setelah dilakukan inventarisasi ulang oleh Pemerintah Provinsi Bali di bawah Museum Bali pada tahun 1985 ternyata satu buah lukisan nomor inventaris 57 berjudul “lotus” tidak ditemukan, sehingga sampai saat ini jumlah koleksi lukisan di museum hanya berjumlah 88 buah. Bahan dasar lukisan terdiri dari lima jenis, yaitu kanvas, hardboard, triplek, kertas, dan bagor.

Khusus untuk kondisi lukisan yang berbahan dasar bagor kondisinya sangat rusak, dilukis pada tahun 1942 ketika meletusnya Perang Dunia II.

Pelukis A. J. Le Mayeur, berasal dari keluarga bangsawan Belgia.

Lukisan-lukisan Bali karya Le Mayeur makin mendunia. Banyak tokoh berdatangan dari penjuru dunia mengunjungi rumahnya yang sekaligus ruang pamer di kawasan pesisir Pantai Sanur. Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, ketika itu di tahun 1956, Bahder Djohan, menggagas untuk menjadikan museum agar karya seninya lestari.

Pada tahun 1957, Pollok sebagai pewaris memberikan akta hadiah rumah tersebut menjadi museum kepada pemerintah. Persembahan tersebut diserahkan kepada Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja dan sekaligus sebagai wakil  Pemerintah Republik Indonesia dengan kuasa dari Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

La Mayeur meninggal di Belgia, tahun 1958, di usia 78 tahun.

Selain lukisan, museum juga terdapat relief, di antaranya cerita Sugriwa dan Subali. Tertera pahatan tulisan aksara bali berbunyi “ i saka ning loka 1878” atau tahun 1956 Masehi. Kemungkinan inskripsi ini penanda peringatan perampungan pembangunan bangunan utama dan pada tahun 1956 merupakan kunjungan dari menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bahder Djohan.

pura DALEM KADEWATAN

Pura Dalem Kadewatan

Kala itu…

Banjir kerap melanda warga Tangtu. Ritual upacara keagamaan pun sulit digelar. Maka, Pura Dalem Kadewatan pun pindah ke arah selatan, menyusuri pesisir (Sanur). Pura Dalem Kadewatan berlokasi di Tangtu, berdekatan dengan Sungai Sagsag (Sungai Ayung).

Keberadaan Pura Dalem Kadewatan tidak dapat terlepas dari perjalanan putra dari Ida Made Wetan, bernama Pedanda Anom Bendesa yang merupakan keturunan dari Dang Hyang Nirartha dari Kamasan Klungkung menuju Tangtu yang ketika itu dikuasasi oleh I Gusti Ngurah Agung Pinatih sebagai penguasa Kertalangu Kesiman. Tangtu sekarang merupakan sebuah banjar yang berada di bawah naungan Desa Kesiman Kertalangu secara kedinasan dan Desa Adat Kesiman secara adatnya.

Diceritakan mengenai kedekatan Ida Pedanda Anom Bendesa dengan I Gusti Agung Pinatih, membuat Ida Pedanda Anom Bendesa memperistri adiknya yang bernama Ni Gusti Ayu Putu Pacung, selain itu I Gusti Ngurah Agung Pinatih juga menyerahkan kawula warga sebanyak 40 keluarga.

Lambat laun sebagai penunjang kehidupan sosial-religius membuat Ida Pedanda Anom Bendesa membangun beberapa pura yang mengikat masyarakat Tangtu seperti Pura Dalem Kadewatan, Pura Puseh, Pura Kentel Gumi, Pura Padang Sakti, Palinggih Pengayatan Bhatara Batur, dan Palinggih Gunung Agung. Begitu juga dengan I Gusti Ngurah Agung Pinatih membangun Pura Bangun Sakti di sebelah timur Tangtu atas petunjuk Ida Pedanda Anom Bendesa.

Hal inilah yang menyebabkan kemudian cucu Ida Pedanda Anom Bendesa memindahkan Pura Dalem Kadetawan ke tempat yang lebih aman. Ida Pedanda Anom Bendesa di Tangtu menurunkan putra bernama Ida Pedanda Sakti Ngenjung yang kelak memiliki dua putra bernama Ida Pedanda Wayahan Bendesa dan Ida Pedanda Made Bendesa.

Pemindahan beberapa pelinggih Pura Dalem Kadewatan yang dilakukan oleh dua bersaudara atau dikenal dengan surya kalih melibatkan juga masyarakat pengiring yang setia, mencari tempat ke arah selatan menyusuri pesisir pantai dengan mengusung pratimapratima, dan akhirnya perjalanan yang ditempuh sekitar 4 kilometer dijumpai lahan datar yang kosong, kemudian disebut dengan Tegal Asah.

Menemukanlah, tanah lapang di Tegal Asah, yang terdapat undak-undak tanah yang cukup tinggi  dan menyembulkan sinar menjulang tinggi. Sinar tersebut yang menjadi cikal bakal nama Sanur : Sa artinya tunggal dan Nur itu sinar suci

Pura Dalem Kadewatan

Pura Dalem Kadewatan, Desa Sanur, merupakan pura warisan budaya Denpasar di wilayah pesisir Sanur. Tak hanya pada warisan bangunannya, melainkan juga keberadaan tari sakralnya. Bangunan pura berdiri kisaran abad XV – abad XX.

Ketika telah memantapkan tempat yang disebut dengan Tegal Asah itu, kemudian surya kalih, yaitu Ida Pedanda Wayahan Bendesa dan Ida Pedanda Made Bendesa beserta para masyarakat pengiring kembali membangun tempat suci sebagai identitas religius menghubungkan diri dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), yang kemudian tetap diberi nama Pura Dalem Kadewatan.

Tari-tari sakral

Ritual keagamaan, Pura Dalem Kadewatan menggunakan waktu spiritual, pada hari Tilem (bulan mati) menuju triwara Kajeng, tepatnya di Tilem Kajeng. Tilem merupakan prabhawa dari Sang Hyang Siwa yang juga sebagi wujud Sang Hyang Yamadipati (dewa kematian) yang memiliki kekuatan melebur (pralina).

Tari-tarian sakral berupa Sang Hyang dipentaskan ketika piodalan itu. Salah satunya, Sang Hyang Jaran merupakan tarian sakral hanya ditarikan setiap upacara piodalan Tilem Kajeng. Namun pernah tidak dimunculkan dan terakhir pada tahun 1938. Kembali Sang Hyang Jaran ditarikan pada tahun 2016.

Sang Hyang Jaran merupakan sebuah tarian kuda (jaran) yang bermain-main hingga mandi (masiraman) dengan api oleh dua sungsungan pratima Sang Hyang Jaran berwarna putih dan merah. Sang Hyang Jaran mulai masolah (menari) ketika serabut-serabut kelapa sudah mulai dibakar api di halaman madya manda (jaba tengah) pura, dilanjutkan dengan iringan-iringan nyanyian (kidung) Sang Hyang Jaran mulai dinyanyikan untuk memanggil (nedunang) taksu Sang Hyang Jaran.

Sehari selepas puncak acara piodalan  Tilem Kajeng, warga menghaturkan gebogan yang diwakili oleh ibu-ibu rumah tangga berbusana kebaya putih dan kuning. Mereka berbaris menyunggi gebogan sebagai sarana persembahan rasa syukur atas berkah Ida Sang Hyang Widi, atau disebut Mepeed.

Konsep catus patha

Pura Dalem Kadewatan

Pura Dalem Kadewatan dibangun menggunakan konsep catus patha desa, yaitu di sebalah timur ada Pura Surya Batanpoh, di sebelah barat Pura Surya Bolong, di sebelah utara Pura Dalem Kadewatan, dan di sebelah selatan Pura Kembar, sedangkan di tengah-tengahnya adalah Griya Jero Gede Sanur sebagai tempat tinggal sang surya kalih.

Pura Dalem Kadewatan dipercayai sebagai tempat memuja Bhatari Hyang Nini Dewati, yaitu nama lain dari Bhatari Giri Putri ketika turun ke dunia menempati arah utara. Selain itu, masyarakat juga mempercayai Pura Dalem Kadewatan juga bersthana Bhatara Siwa, sehingga pemujaan di Pura Dalem Kadewatan adalah untuk Siwa – sakti sebagai simbol purusa dan pradana.

Secara karakteristik dan fungsi, Pura Dalem Kadewatan merupakan pura territorial atau Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Sanur. Prosesi upacara piodalan di Pura Dalem Kadewatan menggunakan waktu spiritual, yaitu pada hari Tilem (bulan mati) menuju triwara Kajeng. Hal inilah upacara piodalan di Pura Dalem Kadewatan disebut dengan Tilem Kajeng.

Hari Tilem (bulan mati) atau disebut juga kresna paksa adalah siklus 30 atau 29 hari sekali sesuai dengan sistem waktu Bali. Tilem merupakan prabhawa dari Sang Hyang Siwa yang juga sebagi wujud Sang Hyang Yamadipati (dewa kematian) yang memiliki kekuatan melebur (pralina). Identitas aktivitas tersebut nampak pada hari upacara piodalan Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan yang menunjukkan sebuah proses ritual sakral bercorak Siwaistis.

Upacara Piodalan Tilem Kajeng diawali dengan prosesi nanceb sanggar tawang/surya yang merupakan sthana sementara Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Surya Raditya dan Sang Hyang Catur Lokapala, selanjutnya adalah acara ngingsah beras, upacara ngaturang bendu guru piduka yang dilakukan untuk permohonan maaf kepada bhatarabhatari yang bersthana di Pura Dalem Kadewatan sebelum puncak acara piodalan, setelah itu adalah prosesi upacara mapepada dengan mengarak hewan-hewan kurban mengelilingi pura, dan kemudian prosesi menghias pratima sungsungan di Pura Dalem kadewatan, Griya Jero Gede Sanur, serta pura-pura prasanak untuk dihadirkan ke pura pada upacara piodalan Tilem Kajeng.

Setelah mengetahui letak, latar belakang sejarah, dan karakteristik Pura Dalem Kadewatan, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan sanur, seperti acara Melasti, Mapeed, Tari Sang Hyang Jaran, dan Tari Baris Gede sebagai potensi heritage intangible, sedangkan heritage tangiblenya adalah Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan, Palinggih Babaturan Rong Solas Linggih Ratu Pangenter, Gedong Simpen Linggih Ratu Pamayun, Palinggih Gunung Agung, dan Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung).

1. Melasti

Lokasi                  : Pura Dalem Kadewatan

Latar Budaya     : Hindu

Deskripsi             : Melasti sebagai salah satu rangkaian penting acara piodalan Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan dengan melibatkan ratusan umat di Desa Adat Sanur mengarak mengiringi pratimapratima ke Pantai Sanur. Selain pratima ada juga sasuhunan berupa Barong dan Rangda diiringi ke pesisir pantai untuk melaksanakan penyucian. Iringan-iringan biasanya lengkap dengan Tari Baris Gede, iringan tombak, tamiang, tedung, pasepan, dan Gamelan Baleganjur. Masyarakat meyakini rangkaian acara melasti ini sebagai proses penyucian pratima, sasuhunan, dan simbol-simbol lainnya di Sanur, mereka memohon agar Bhatara Baruna (dewa penguasa laut) senantiasa memberikan tirtha paleburan mala (kotoran) bagi bhuwana agung maupun bhuwana alit. Pantai digunakan sebagai tempat acara melasti karena laut dianggap sebagai tempat peleburan segala jenis mala (kotoran), sebagai muara akhir, dan sari-sari kehidupan diyakini berada di tengah laut (telengin segara).

2. Mapeed

Lokasi                  : Pura Dalem Kadewatan

Latar Budaya     : Hindu

Deskripsi             : Tradisi mapeed dilaksanakan pada manis piodalan (sehari setelah acara puncak piodalan) Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan, berupa barisan iring-iringan ibu-ibu berbusana putih kuning sambil memunut gebogan di atas kepalanya, berjalan berbaris rapi menuju Pura Dalem Kadewatan. Mapeed dengan memunut gebogan ini sebagai wujud syukur masyarakat ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi karena telah menganugerahkan kesejahteraan, berkah yang melimpah.

3. Tari Sang Hyang Jaran

Lokasi                  : Pura Dalem Kadewatan

Latar Budaya     : Hindu

Deskripsi            : Sang Hyang Jaran merupakan tarian sakral di Pura Dalem Kadewatan, yang biasa ditarikan setiap upacara piodalan Tilem Kajeng, tetapi pernah selama 78 tahun tidak ditarikan lagi karena sempat tidak ada yang nyungsung (menarikan), yaitu terakhir ditarikan pada tahun 1938 dan kembali ditarikan lagi pada tahun 2016. Kembali ditarikan itu karena ada pamuwus bahwa akan ada saja wabah-wabah penyakit di Sanur jika terus menerus Ida Sang Hyang Jaran tidak masolah (menari).

Sang Hyang Jaran merupakan sebuah tarian kuda (jaran) yang bermain-main hingga mandi (masiraman) dengan api. Sang Hyang Jaran mulai masolah (menari) ketika serabut-serabut kelapa sudah mulai dibakar api di halaman madya manda (jaba tengah) pura, dilanjutkan dengan iringan-iringan nyanyian (kidung) Sang Hyang Jaran mulai dinyanyikan untuk memanggil (nedunang) taksu Sang Hyang Jaran, mulai dua sungsungan pratima Sang Hyang Jaran berwarna putih dan merah dipundut oleh dua orang, suara kidung mulai dinyanyikan dengan tempo cepat, mulai juga kedua penari trance tidak sadarkan diri mendekati kobaran api, meloncat-loncat bermain api, dan hingga mandi (masiraman) api. Setelah sekian lama bermain api, biasanya juru pundut pratima Sang Hyang Jaran mulai lemas dan tersungkur, dengan cepat kemudian masyarakat mengambil pratima agar tidak menyentuh tanah.

4. Tari Baris Gede (I Kebo Dengkol)

Lokasi                  : Pura Dalem Kadewatan

Latar Budaya     : Hindu

Deskripsi              : Tari Baris Gede sebagai tarian sakral yang wajib dipentaskan ketika upacara piodalan Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan, disebut juga dengan I Kebo Dengkol sebagai identitas religius masyarakat Desa Adat Sanur dalam penganut agama Hindu (Siwaistik). Keberadaan Tari Baris Gede ini dapat ditelisik melalui cerita proses pemindahan Pura Dalem Kadewatan dari Tangtu ke Tegal Asah (Sanur sekarang). Diceritakan ketika itu seluruh masyarakat mengiringi surya kalih, yaitu Ida Pedanda Wayahan Bendesa dan Ida Pedanda Made Bendesa dengan membawa bahan-bahan bangunan pura termasuk pratima menelusuri pesisir nampaknya disertai dengan suasana kegembiraan, tanpa disadari ternyata ada beberapa pengiring yang mengalami trance. Saat itulah terdengar pawisik (sabda) yang meminta kepada masyarakat pengiring bahwa ketika Ida Bhatara di Pura Dalem Kadewatan turun (tedun) ke dunia atau disebut juga dengan napak pertiwi, wajiblah diiringi dengan Tarian I Kebo Dengkol (Tari Bari Gede) (Putra dkk, 2015: 228-229).

Tari Baris Gede biasanya dipentaskan di halaman nista mandala (jaba sisi) Pura Dalem Kadewatan, terdiri dari 12 – 16 orang penari yang masing-masingnya menggunakan kostum sederhana seperti babuntilan, calana putih, baju putih, kain putih kuning di dalamnya berisi kain gringsing, menggunakan gelungan berhiaskan bunga gumitir, dan hanya satu orang penari yang berbeda disebut dengan petelek (senapati) menggunakan baju hitam. Masing-masing penari membawa perlengkapan perang seperti tombak dan keris, biasanya tokoh petelek (senapati) ketika telah mengalami trance akan ditikam-tikam dengan tombak.

Sang senapati berbusana hitam biasanya keluar dengan sorot mata tajam, inilah I Kebo Dengkol, berjalan mondar-mandir menatap seluruh pasukan tombak, suatu saat sang senapati I Kebo Dengkol menghunus kerisnya memenggal bunga gumitir di gelungan pasukan penari pembawa tombak.  Seketika pasukan penari tombak mulai mengambil ancang-ancang siaga, membungkuk, dan satu persatu mulai mengarahkan mata tombaknya ke dada sang senapati I Kebo Dengkol dengan teriakan-teriakan bersemangat, akhirnya seluruh penari mengalami trance mulai diboyong masuk ke halaman utama mandala (jeroan) Pura Dalem Kadewatan untuk dipercikan tirtha suci.

5. Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan

Lokasi                   : Pura Dalem Kadewatan

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : batu bata, kayu, dan ijuk

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan merupakan bangunan sentral utama di Pura Dalem Kadewatan, letaknya di tengah-tengah halaman utama mandala (jeroan) pura, pada sisi timur menghadap ke barat , bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah yang setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, pada sisi baratnya terdapat lima susun anak tangga untuk menuju garbhagraha pada bagian badan gedong. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berukir berwarna emas, sama halnya dengan kaki setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, di atas ambang pintu terdapat ornament kala berupa pahatan karang sae, sedangkan pada altar badan gedong diletakkan dua arca dwarapala, dan terdapat umpak-umpak batu padas berukir sebagai landasan tiang-tiang kayu sebanyak sembilan buah penopang atap gedong. Atap bangunan gedong berbentuk limasan terbuat dari susunan kayu dan ijuk, puncak atap diletakkan bentala terbuat dari batu padas berbentuk gunungan dengan hiasan karang bentulu, karang manuk, dan suluran daun.

6. Palinggih Babaturan Rong Solas Linggih Ratu Pangenter

Lokasi                  : Pura Dalem Kadewatan

Arah Hadap       : Selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : batu bata

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Bangunan ini memiliki keunikan, yaitu berbentuk memanjang dan memiliki 11 ruangan suci (garbha graha), berdiri di sisi utara halaman utama mandala (jeroan) pura menghadapa ke selatan, bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan polos berupa susunan batu bata, badan bagunan juga terbuat dari batu bata merah polos tanpa hiasan, hanya terdapat 11 garbha graha, begitu juga atapnya berupa 10 susunan batu bata dengan bentuk bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin mencil.

7. Gedong Simpen Linggih Ratu Pamayun

Lokasi                   : Pura Dalem Kadewatan

Arah Hadap       : Selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : batu bata, kayu, dan ijuk

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Bangunan Gedong Simpen Linggih Ratu Pamayun berdiri di halaman utama mandala (jeroan) pura, pada sisi timur menghadap ke barat , bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah yang setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, pada sisi baratnya terdapat lima susun anak tangga untuk menuju garbhagraha. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berukir berwarna emas, sama halnya dengan kaki setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, di atas ambang pintu terdapat ornament kala berupa pahatan karang sae, sedangkan pada altar badan gedong diletakkan dua arca dwarapala, dan empat umpak-umpak berukir sebagai landasan tiang-tiang kayu penopang atap gedong. Atap bangunan gedong berbentuk limasan terbuat dari susunan kayu dan ijuk, puncak atap diletakkan bentala terbuat dari batu padas dihiasi dengan ornament suluran daun.

8. Palinggih Gunung Agung

Lokasi                   : Pura Dalem Kadewatan

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : batu bata dan batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Palinggih Gunung Agung berdiri di halaman utama mandala (jeroan) pura, pada sisi timur menghadap ke barat, tepat di samping kanan Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan. bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah kombinasi batu padas sebagai hiasan ornamentnya, keempat sudat bawahnya berhiaskan ornament karang gajah, dan setiap sudut atasnya berhiaskan pahatan simbar. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata merah dengan kombinasi batu padas sebagai hiasan ornament, pada keempat sudut bawahnya dihiasi dengan pahatan karang manuk, bagian atasnya pada sisi barat terdapat pintu ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berwarna coklat, pada altar badan palinggih diletakkan dua arca, yaitu arca tokoh dan arca balagana. Atap bangunan palinggih berbentuk limasan terbuat dari batu padas, pada puncaknya diletakkan murdha berupa kuncup padma, dan setiap sudut atapnya berhiaskan karang manuk.

9. Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung)

Lokasi                  : Pura Dalem Kadewatan

Arah Hadap       : Utara – selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XV – XVI Masehi

Bahan                  : Batu bata

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung) di Pura Dalem Kadewatan ini merupakan gapura yang menghubungkan halaman tengah (madya mandala) ke halaman dalam (utama mandala/jeroan). Kori Agung ini terbuat dari susunan batu bata secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap. Bagian kaki Kori Agung terbuat dari susunan batu bata, bagian kaki pada setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, pada sisi depan yang merupakan sebagai tempat meletakkan arca dwarapala diberikan hiasan simbar gantung dan simbar duduk yang lengkap di tengah-tengahnya berhiaskan pepalihan khas bebadungan, serta pada bagian kaki sisi luar terdapat undakan berupa anak tangga bertingkat tujuh.

Bagian badan Kori Agung terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, ditengah-tengahnya tedapat pintu masuk yang terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya, serta di atas ambang pintu pada sisi depan dan belakang (utara – selatan) terdapat hiasan kepala kala dengan ciri-ciri mata melotot, mulut terbuka dengan gigi runcing, taring mencuat keluar, telinga runcing ke atas, dan rambut di atas kepala dipahatkan ikal menyerupai karang batu. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng. Badan pegandong merupakan struktur yang terbuat dari susunan batu bata yang berukuran lebih kecil sebagai penyambung tembok pura pada setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas.

Bagian atap Kori Agung terbuat dari susunan batu bata terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat lima yang semakin ke atas semakin kecil, pada bagian kemuncak berbentuk mahkota ratna, setiap sudutnya berhiaskan antefik yang terbuat dari batu padas berupa suluran daun, setiap sisi atap berhiaskan simbar duduk dan setiap sudutnya berhiaskan simbar gantung. Bagian atap caping pada sisi kanan ataupun kiri memiliki ciri-ciri sama yaitu terbuat dari susunan batu bata, pada setiap sudut dan puncaknya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung lengkap dengan antefik terbuat dari batu padas berupa suluran daun, dan pada puncak atap caping disusun batu bata menjulang  tinggi yang disebut dengan kampid (sayap) gapura. Bagian atap pegandong terbuat dari batu bata yang disusun dengan hiasan simbar duduk dan simbar gantung lengkap dengan antefik pada setiap sudutnya, serta pada kemuncak atap pegandong diletakkan kemucak susunan batu bata seperti atap caping, tetapi lebih kecil.

Pura-Dalem-Penataran

Pura Dalem Penataran

Jalan-jalan bangunan cagar budaya di Sanur, berlanjut ke Pura Dalem Penataran. Pura ini berdekatan dengan Pura Siwa Dampati.

Bangunan di kawasan Pura Dalem Penataran diperkirakan ada dalam periode abad XVIII – XIX. Dinding Gedong Dalem, tertulis dalam aksara Bali, yakni angka 1793, dan kemungkinan sebagai tahun śaka atau 1871 Masehi. Sebagian besar bangunan Gedong Dalem, Palinggih Sumur Suci, Palinggih Hyang Api (Lebuh Geni), Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung), serta arca-arca menggunakan batu bata merah dan padas.

Keberadaan Pura Dalem Penataran memiliki kaitan dengan Pura Siwa Dampati, sehingga tidak dapat terlepas dari keberadaan Griya Gede Taman Intaran yang hingga saat ini masih mengempon bersama masyarakat Banjar Taman Sari.

Menurut para tetua setempat,  pura ini erat kaitannya dengan perjalanan Ida Pedanda Made Alangkajeng dari Griya Delod Pasar. Beliau membuat parahyangan di sekitar tetamanan Mimba/Intaran (Udiyana Mimba) yang menjadi cikal bakal nama Banjar Taman Sari.

Pura Dalem Penataran dulunya merupakan pura keluarga Griya Gede Taman Intaran. Perkembangannya, desa adat harus memiliki tri kahyangan, akhirnya Pura Dalem Penataran di sungsung oleh Desa Adat Intaran sebagai salah satu Pura Kahyangan Tiga. Pura Dalem Penataran diperkirakan sudah ada sejak abad XVIII-XIX Masehi. Hal tersebut dapat ditelisik berdasarkan inskripsi angka tahun menggunakan aksara Bali yang terpahat di bangunan Gedong Dalem berbunyi 1793 yang kemungkinan sebagai tahun śaka atau 1871 Masehi.

Pura Dalem Penataran

Struktur tri mandala dari pura, yaitu jaba sisi (nista mandala) merupakan halaman terbuka, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan jaba tengah (madya mandala) dikelilingi dengan tembok keliling, serta dihubungkan dengan candi bentar dari jaba sisi ke jaba tengah, dan candi kurung atau Kori Agung dari jaba tengah ke jeroan pura.

Halaman jeroan (utama mandala) di dalamnya terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Gedong Dalem,  Palinggih Hyang Api, Sumur Suci, Palinggih Prajapati, Bale Pesanekan Sasuhunan Siwa Dampati, Sumur, Bale Pesantian, Tajuk, Bale Pawedan, Bale Pesanekan, dan Bale Gong. Sedangkan di halaman jaba tengah (madya mandala) terdapat bangunan wantilan.

Karakteristik pura ini geneologis dan territorial. Geneologis ditandai dengan keluarga Griya Gede Taman Intaran sebagai pangemponnya, termasuk juga sebagai pura territorial (kahyangan tiga desa).  Hal ini karena pangemponnya adalah masyarakat Banjar Taman Sari dan penyungsungnya adalah masyarakat Desa Adat Intaran. Upacara piodalan Pura Dalem Penataran dilaksanakan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada hari Anggarakasih Wuku Tambir.

Setelah mengetahui letak, sejarah, struktur, dan karakteristik Pura Dalem Penataran, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan Sanur, seperti Gedong Dalem, Palinggih Sumur Suci, Palinggih Hyang Api (Lebuh Geni), Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung), dan arca dwarapala.

1. Gedong Dalem

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                : Tinggi                      :    –   cm

                                Panjang                  : 375 cm

                                Lebar                       : 349 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Tahun Śaka 1793 (1871 Masehi)

Bahan                  : Batu bata, kayu, dan ijuk

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Gedong Dalem merupakan bangunan utama di Pura Dalem Penataran, terletak di halaman jeroan (utama mandala) pada  sisi timur menghadap ke barat. Kaki bangunan berbentuk bebaturan, sudah pernah mengalami renovasi, terbuat dari batu bata merah yang setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, keempat sudut atasnya berhiaskan relief karang manuk lengkap dengan pahatan simbar gantung berupa suluran daun, sedangkan pada setiap sisi ditengahnya berhiaskan relief karang bentulu lengkap dengan simbar gantung berupa pahatan patra cina, dan pada sisi baratnya terdapat lima susun anak tangga untuk menuju garbhagraha pada bagian badan gedong.

Badan bangunan gedong juga terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berukir berwarna coklat, sama halnya dengan kaki setiap sisi dan sudutnya dipahatkan pepalihan khas bebadungan, di atas ambang pintu terdapat pahatan surya candra, yaitu matahari ditopang bulan sabit, dan pada ambang pintu bagian dalam terdapat goresan inskripsi angka tahun menggunakan aksara Bali berbunyi 1793 yang kemungkinan sebagai tahun śaka atau 1871 Masehi. Keempat sisi badan sangat raya dengan ukiran seperti karang manuk lengkap dengan simbar patra sari, patra cina, dan pada masing-masing sisi tengahnya berhiaskan karang bentulu lengkap dengan simbar gantung berupa patra sari dan patra cina, dan pada selasar badan gedong diletakkan tiga arca dwarapala terbuat dari batu padas. Atap bangunan gedong berbentuk limasan terbuat dari susunan kayu dan ijuk yang ditopang dengan empat tiang kayu berwarna coklat, pada puncak atap diletakkan murdha terbuat dari batu padas berbentuk ratna dengan hiasan karang bentulu dan karang manuk.

2. Palinggih Sumur Suci

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                : Tinggi keseluruhan  : 196 cm

                                Panjang                        : 180 cm

                                 Lebar                             : 132 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu bata dan padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Palinggih Sumur Suci merupakan struktur yang terbuat dari susunan batu bata berbentuk babaturan lengkap dengan sandaran yang puncaknya dihiasi dengan bentala berukir. Palinggih ini posisinya di  halaman jeroan (utama mandala) pada  sisi timur laut menghadap ke barat. Kaki bangunan berbentuk bebaturan polos, badannya terbuat dari batu padas persegi bertingkat tiga sebagai penutup lobang subur, lengkap dengan tabeng pada kanan dan kirinya. Sumur suci ini oleh masyarakat dimanfaatkan untuk memohon air suci (tirtha) untuk kelengkapan sarana upakara ketika prosesi upacara piodalan berlangsung.

3. Palinggih Hyang Api (Lebuh Geni)

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                : Tinggi                      :    –   cm

                                Panjang                  : 130 cm

                                Lebar                       : 124 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu bata dan padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Palinggih Hyang Api (Lebuh Geni) merupakan bangunan yang terletak di halaman jeroan (utama mandala) pada  sisi timur menghadap ke barat, yaitu di sebelah kanan Gedong Dalem. Kaki palinggih berbentuk bebaturan yang setiap sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung polos, serta pada sisi baratnya terdapat tiga anak tangga. Badan bangunan palinggih juga terbuat dari batu bata merah, terdiri dari dua bagian, yaitu badan bagian bawah berupa susunan batu bata polos berhiaskan simbar gantung dan simbar duduk pada setiap sudutnya, sedangkan badan bagian atas terdapat ruangan suci (grabhagraha) lengkap dengan pintu berbahan kayu berwarna coklat, ambang pintunya berupa balok batu padas yang dipahat dengan hiasan karang bentulu yang disamarkan dengan stilir suluran daun dan diapit dengan ceplok bunga. Atap palinggih berbentuk limasan terbuat dari susunan batu bata yang sudah disemen, pada puncak atap diletakkan murdha terbuat dari batu padas berbentuk ratna.

4. Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung)

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Arah Hadap       : Timur – barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XX ( Tahun 1955)

Bahan                  : Batu bata dan padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung) di Pura Dalem Kadewatan ini merupakan gapura yang menghubungkan halaman tengah (madya mandala) ke halaman dalam (utama mandala/jeroan). Kori Agung ini terbuat dari susunan batu bata secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap. Bagian kaki Kori Agung terbuat dari susunan batu bata, bagian kaki pada setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, pada sisi depan yang merupakan sebagai tempat meletakkan arca dwarapala diberikan hiasan simbar gantung dan simbar duduk yang lengkap di tengah-tengahnya berhiaskan pepalihan khas bebadungan, serta pada bagian kaki sisi luar dan dalam terdapat undakan berupa anak tangga bertingkat lima.

Bagian badan Kori Agung terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, ditengah-tengahnya tedapat pintu masuk yang terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya, serta di atas ambang pintu pada sisi barat terdapat tulisan angka tahun yang berbunyi T.22 B.11 T.1955 yang artinya tanggal 22 bulan Nopember tahun 1955. Selain itu terdapat juga hiasan kepala kala atau disebut dengan karang bhoma memiliki ciri-ciri mata melotot, mulut terbuka dengan gigi runcing, taring mencuat keluar, telinga lebar, kedua tangan terbuka, rambut di atas kepala dipahatkan ikal menyerupai karang batu menopang relief tokoh dewa, dan dikelilingi dengan suluran-suluran daun maupun ceplok bunga. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng. Badan pegandong merupakan struktur yang terbuat dari susunan batu bata yang berukuran lebih kecil sebagai penyambung tembok pura pada setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas.

Atap Kori Agung terbuat dari susunan batu bata terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat tiga, pada bagian kemuncak berbentuk murdha mahkota, setiap sudutnya berhiaskan antefik yang terbuat dari batu padas berupa suluran daun, setiap sisi atap berhiaskan simbar duduk dan setiap sudutnya berhiaskan simbar gantung. Bagian atap caping pada sisi kanan ataupun kiri memiliki ciri-ciri sama yaitu terbuat dari susunan batu bata, pada setiap sudut dan puncaknya berhiaskan simbar duduk dan lengkap dengan antefik terbuat dari batu padas berupa suluran daun, dan pada puncak atap caping disusun batu bata menjulang  tinggi yang disebut dengan kampid (sayap) gapura. Bagian atap pegandong terbuat dari batu bata yang disusun dengan hiasan simbar duduk lengkap dengan antefik pada setiap sudutnya, serta pada kemuncak atap pegandong diletakkan kemucak susunan batu bata seperti atap caping dengan ukuran lebih kecil.

5. Arca Dwarapala I

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 29 cm

                                 Lebar        : 22 cm

                                 Tebal        : 18 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Rusak

Deskripsi             : Arca Dwarapala I di Pura Dalem Penataran ini berukuran sangat kecil, diletakkan pada selasar sisi barat Gedong Dalem, arca sudah dalam keadaan rusak keropos, muka arca bulat telur, rambutnya tebal, berbadan tambun, duduk di atas lapik persegi polos. Tangan kanan arca membawa gada menempel di samping kanan perut hingga samping kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk di samping dada membawa prisai berbentuk bulat.

6. Arca Dwarapala II

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 72 cm

                                 Lebar        : 40 cm

                                 Tebal        : 38 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala II di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan pada selasar Gedong Dalem sisi barat sebelah kiri, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi berhiaskan karang batu dengan menekuk kaki kanan lebih tinggi, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke kiri atas, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan rambut ikal terurai tanpa menggunakan hiasan kepala. Tangan kanan arca membawa gada diletakkan di atas kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk di samping perut, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik, leher arca berhiaskan badong, dan ikat pinggang berhiaskan ceplok bunga.

7. Arca Dwarapala III

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 77 cm

                                 Lebar        : 35 cm

                                 Tebal        : 33 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala III di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan pada selasar Gedong Dalem sisi barat sebelah kanan, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi dengan menekuk kaki kanan lebih tinggi, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke kiri atas, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan rambut ikal terurai tanpa menggunakan hiasan kepala. Tangan kanan arca membawa gada diarahkan ke samping kiri kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk di samping perut, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik, leher arca berhiaskan badong, dan ikat pinggang berhiaskan ceplok bunga.

8. Arca Dwarapala IV

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 107 cm

                                 Lebar        : 39 cm

                                 Tebal        : 41 cm

Arah Hadap       : Tenggara

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala IV di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan pada lantai sudut tenggara Bale Pawedan, arca ini tidak sebagai penjaga pintu masuk, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi polos dengan menekuk kaki kanan lebih tinggi, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke depan, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan terikat di atas kepala. Kedua tangan masing-masing diletekkan di samping pinggang. Arca menggunakan baju rompi dengan memperlihatkan perutnya yang buncit, menyelipkan keris dipinggang belakang, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, dan lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik.

9. Arca Dwarapala V

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 94 cm

                                 Lebar        : 33 cm

                                 Tebal        : 37 cm

Arah Hadap       : Barat daya

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala V di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan pada lantai sudut barat daya Bale Pawedan, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi dengan sikap menekuk kedua kakinya, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan rambut ikal terurai tanpa menggunakan hiasan kepala. Tangan kanan arca membawa gada disamping dada, sedangkan tangan kiri ditekuk di depan dada, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik, leher arca berhiaskan badong, menggunakan upawita, dan ikat pinggang berhiaskan karang bentulu.

10. Arca Dwarapala VI

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 97 cm

                                  Lebar        : 38 cm

                                  Tebal        : 36 cm

Arah Hadap       : Barat laut

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala VI di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan pada lantai sudut barat laut Bale Pawedan, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi dengan sikap menekuk kedua kakinya, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan rambut diikat di atas kepala. Tangan kanan arca membawa pedang golok di depan dada, sedangkan tangan kiri ditekuk di samping dada, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik, leher arca berhiaskan badong, menggunakan upawita, dan ikat pinggang berhiaskan karang bentulu.

11. Arca Dwarapala VII

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 97 cm

                                 Lebar        : 38 cm

                                  Tebal        : 36 cm

Arah Hadap       : Barat laut

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala VII di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan pada lantai sudut timur laut Bale Pawedan, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi dengan sikap menekuk kedua kakinya, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan rambut diikat di atas kepala. Tangan kanan arca membawa pedang golok di depan dada, sedangkan tangan kiri ditekuk di samping dada, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik, leher arca berhiaskan badong, menggunakan upawita, dan ikat pinggang berhiaskan ceplok bunga.

12. Arca Dwarapala VIII

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 132 cm

                                 Lebar        :   48 cm

                                 Tebal        :   51 cm            

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala VIII di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan sebelah kiri depan Kori Agung, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi polos dengan menekuk kaki kanan lebih tinggi, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke kanan atas, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, menggunakan mahkota dan petitis. Tangan kanan arca membawa gada menempel di samping kiri kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk disamping perut, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron bercabang dua hingga menyentuh lapik, menggunakan badong, dan ikat pinggang berhiaskan karang bentulu.

13. Arca Dwarapala IX

Lokasi                  : Pura Dalem Penataran

Ukuran                 : Tinggi       : 136 cm

                                  Lebar        :   49 cm

                                  Tebal        :   52 cm            

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala IX di Pura Dalem Pentaran ini diletakkan sebelah kanan depan Kori Agung, ciri-ciri raksasanya sama dengan arca dwarapala VIII disebelahnya, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi polos dengan menekuk kaki kiri lebih tinggi. Tangan kanan arca membawa gada disamping dada, sedangkan tangan kiri ditekuk di depan perut, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron bercabang dua hingga menyentuh lapik, menggunakan badong, dan ikat pinggang berhiaskan karang bentulu.

pura siwa dampati

Pura Siwa Dampati

Pura Siwa Dampati, pura yang terletak di Jalan Danau Buyan, Banjar Taman Sari, Desa Intaran, diperkirakan terbangun diperiode abad XVIII-XIX. Khas bangunan ini bertahan dengan batu bata merah asli sejak berdirinya.

Mengenai keberadaan Pura Siwa Dampati tidak dapat terlepas dari keberadaan Griya Gede Taman Intaran, yang masih sebagai pengempon pura ini, begitu juga Banjar Taman Sari sebagai penyungsungnya.  Menurut para tetua banjar tersebut, pura ini sangat erat kaitannya dengan perjalanan Ida Pedanda Made Alangkajeng dari Griya Delod Pasar. Beliau membuat parahyangan di sekitar tetamanan Mimba/Intaran (Udiyana Mimba).

Pura ini juga erat kaitannya dengan Pura Dalem Penataran yang pertemuan niskalanya terjadi di pura ini.  Cikal bakal inilah yang menyebabkan disebut dengan Siwa Dampati.

Kata dampati berarti pertemuan. Dalam Regweda bisa diartikan sebagai laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut dengan dampati, tidak dapat dipisahkan. Hal ini manifestasi dari penyatuan Dewa Siwa dengan Sakti, Dewi Durga yang bersthana di Pura Dalem Penataran.

Struktur bangunan

Pura Siwa Dampati

Bangunan cagar budayanya di antaranya, Gedong Siwa Dampati, Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung), arca dwarapala, dan arca tokoh pendeta (Brahmana). Secara lengkap, Pura Siwa Dampati memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) merupakan halaman terbuka langsung jalan raya, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala).

Secara simbolis nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, sedangkan madya mandala merupakan alam transisi menuju utama mandala yang melambangkan swahloka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan jaba tengah (madya mandala) dikelilingi dengan tembok keliling, serta dihubungkan dengan candi bentar dari jaba sisi ke jaba tengah, dan candi kurung atau Kori Agung dari jaba tengah ke jeroan pura.

Halaman jeroan (utama mandala) di dalamnya terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Tugu Pengapit Gedong Siwa Dampati,  Bale Tajuk, Gedong Siwa Dampati, Piyasan, Sumur, Bale Pesanekan, dan Bale Gong. Sedangkan di halaman jaba tengah (madya mandala) terdapat beberapa bangunan utama dan penunjang seperti Gedong Parerepan untuk menyimpan Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda, Tugu Pangameng, Tajuk Ida Dewa Rangda, dan Bale Gong Parerepan.

Pura Siwa Dampati memiliki karakteristik pura geneologis dan territorial, karena secara geneologis ditandai dengan keluarga Griya Gede Taman Intaran sebagai pangemponnya, dan masyarakat umum Banjar Taman Sari sebagai penyungsungnya. Upacara piodalan Pura Siwa Dampati dilaksanakan setiap tahun yang jatuh pada hari Purnamaning Sasih Kapat (sekitar bulan September – Oktober), sedangkan piodalan di Parerepan atau Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda yang terletak di jaba tengah (madya mandala) dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari Saniscara Wuku Wayang (Tumpek Wayang).

Setelah mengetahui letak, sejarah, struktur, dan karakteristik Pura Siwa Dampati, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan Sanur, seperti Gedong Siwa Dampati, Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung), arca dwarapala, dan arca tokoh pendeta (Brahmana).

1. Gedong Siwa Dampati

Lokasi                  : Pura Siwa Dampati

Ukuran                : Lebar kaki              : 240 cm

                                Panjang kaki         : 325 cm

                                Panjang badan     : 247 cm

                                 Lebar badan         :   99 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu bata, kayu, dan ijuk

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Gedong Siwa Dampati merupakan bangunan utama di Pura Siwa Dampati, terletak di halaman jeroan (utama mandala) pura, sisi timur menghadap ke barat. Kaki bangunan berbentuk bebaturan, sudah pernah mengalami renovasi, terbuat dari batu bata merah yang setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, beberapa bagiannya ditempelkan ornament keramik piring, pada sisi baratnya terdapat lima susun anak tangga untuk menuju garbhagraha pada bagian badan gedong. Badan bangunan gedong juga terbuat dari batu bata merah yang masih asli, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berukir berwarna coklat, sama halnya dengan kaki setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, di atas ambang pintu terdapat lubang persegi dikelilingi dengan garis-garis berbentuk segitiga menyerupai sinar matahari, lubang persegi tersebut ditutup dengan kaca. Ketiga sisi badan, yaitu depan dan samping dihiasi dengan keramik piring maupun mangkuk berwarna putih, abu-abu, dan biru, sedangkan pada selasar badan gedong diletakkan dua arca, yaitu sebuah arca dwarapa dan sebuah arca pendeta (Brahmana). Atap bangunan gedong berbentuk limasan terbuat dari susunan kayu dan ijuk yang ditopang dengan empat tiang kayu berwarna coklat, pada puncak atap diletakkan murdha terbuat dari batu padas berbentuk ratna dengan hiasan karang bentulu dan karang manuk.

2. Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung)

Lokasi                  : Pura Siwa Dampati

Ukuran                : Lebar keseluruhan            : 558 cm

                                Tebal                                      :   97 cm

Arah Hadap       : Utara – selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu bata, kayu

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung) di Pura Siwa Dampati merupakan gapura penghubung jaba tengah (madya mandala) ke jeroan (utama mandala). Kori Agung ini terbuat dari susunan batu bata secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap. Kaki Kori Agung terbuat dari susunan batu bata, bagian kaki ini sudah pernah direnovasi dengan menggunakan bahan bata baru, pada sisi depan yang merupakan tempat meletakkan arca dwarapala juga sudah direnovasi dengan bahan bata baru, arca dwarapala di depan Kori Agung adalah Mahakala dan Nandiswara membawa gada, serta pada bagian kaki sisi luar terdapat undakan berupa anak tangga bertingkat lima.

Bagian badan Kori Agung terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan terdiri dari badan pengawak gede dan badan caping sekaligus sebagai badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, ditengah-tengahnya tedapat pintu masuk yang terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun tiga, pada setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya, Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata polos tanpa hiasan, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata berbahan baru yang biasa disebut dengan subeng.

Atap Kori Agung terbuat dari susunan batu bata disusun bertingkat tiga yang semakin ke atas semakin kecil, puncak atap berbentuk rata tanpa hiasan ratna, setiap sudutnya berhiaskan antefik yang terbuat dari batu bata berupa simbar duduk maupun simbar gantung.

3. Arca Dwarapala I

Lokasi                  : Pura Siwa Dampati

Ukuran                 : Tinggi       : 74 cm

                                 Lebar        : 37 cm

                                 Tebal        : 33 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala I di Pura Siwa Dampati ini diletakkan sebelah utara depan sumur, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik bulat dengan kedua lutut sedikit ditekuk, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke kiri, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, dan rambut ikal terurai tanpa menggunakan hiasan kepala. Tangan kanan arca membawa gada menempel di samping kanan perut, sedangkan tangan kiri ditekuk di depan perut dengan memperlihatkan kuku panjang tajam, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron ujungnya bercabang dua hingga menyentuh lapik.

4. Arca Dwarapala II

Lokasi                  : Pura Siwa Dampati

Ukuran                 : Tinggi       : 75 cm

                                 Lebar        : 38 cm

                                 Tebal        : 31 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala II di Pura Siwa Dampati ini diletakkan sebelah selatan depan sumur, ciri-ciri arca sama dengan arca Dwarapala I, karena kedua arca ini memang sepasang, tetapi yang membedakan adalah arca ini menoleh ke kanan, tangan kiri arca menempel di samping perut, sedangkan tangan kanan membawa gada diletakkan di samping kiri kepalanya.

5. Arca Dwarapala III

Lokasi                  : Pura Siwa Dampati

Ukuran                 : Tinggi       : 80 cm

                                 Lebar        : 33 cm

                                 Tebal         : 31 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala III di Pura Siwa Dampati ini diletakkan pada selasar sisi barat sebelah kiri Gedong Siwa Dampati, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi dengan kedua lutut sedikit ditekuk, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke kiri, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, menggunakan petitis di atas dahi, dan ron-ronan pada belakang telinga arca. Tangan kanan arca membawa gada menempel di sebelah kanan perut, sedangkan tangan kiri ditekuk di depan perut, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron bercabang dua hingga menyentuh lapik.

6. Arca Dwarapala Mahakala

Lokasi                   : Pura Siwa Dampati

Ukuran                 : Tinggi       : 116 cm

                                 Lebar       :   47 cm

                                 Tebal        :   53 cm            

Arah Hadap       : Selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala Mahakala ini diletakkan sebelah barat depan paduraksa, berpasangan dengan Arca Dwarapala Nandiswara, dalam ikonografi Hindu kedua arca dwarapala ini memang bertugas untuk menjaga kuil Dewa Siwa, Arca Dwarapala Mahakala bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik berhiaskan suluran daun dan karang batu, kaki kiri diangkat lebih tinggi daripada kaki kanan, tidak menggunakan gelang pada pergelangan kaki, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke depan, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, rambut ikal, dan menggunakan ikat pinggang berhiaskan karang bentulu. Tangan kanan arca membawa gada disamping perut, sedangkan tangan kanan dilipat ke depan dada terkepal memperlihatkan kuku ibu jari yang panjang.

7. Arca Dwarapala Nandiswara

Lokasi                   : Pura Siwa Dampati

Ukuran                 : Tinggi       : 114 cm

                                 Lebar       :   43 cm

                                 Tebal        :   43 cm            

Arah Hadap       : Selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala Nandiswara ini diletakkan sebelah timur depan paduraksa, berpasangan dengan Arca Dwarapala Mahakala, dalam ikonografi Hindu kedua arca dwarapala ini memang bertugas untuk menjaga kuil Dewa Siwa, Arca Dwarapala Nandiswara bermuka kera, berbadan tambun, berdiri di atas lapik berhiaskan suluran daun dan karang bentulu, kaki kiri diangkat lebih tinggi, tanpa menggunakan gelang kaki, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke depan, gigi taring mencuat keluar, hidung kecil, menggunakan mahkota, dan menggunakan ikat pinggang berhiaskan samar-samar karang bentulu. Tangan kiri arca dilipat disamping dada, sedangkan tangan kanan membawa gada diletakkan di samping kiri kepalanya.

8. Arca Pendeta (Brahmana)

Lokasi                  : Pura Siwa Dampati

Ukuran                 : Tinggi       : 82 cm

                                 Lebar        : 34 cm

                                 Tebal        : 30 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XIX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Pendeta (Brahmana) di Pura Siwa Dampati ini dapat dikenali melalui ciri-ciri ikonografinya, seperti jenggot, menggunakan baju, upawita, dan mahkota berupa ketu. Arca diletakkan pada selasar sisi barat sebelah kanan Gedong Siwa Dampati, arca berdiri di atas lapik persegi dengan menekuk lutut kanan lebih tinggi, bibir tersenyum memperlihatkan gigi, mata melotot, menoleh ke depan, hidung besar, menggunakan petitis di atas dahi, dan ron-ronan pada belakang telinga. Tangan kanan arca ditekuk di depat dada dengan sikap nyambir, sedangkan tangan kiri ditekuk di samping pinggang membawa bulatan, menggunakan kain bawah tebal hanya sebatas lutut kanan, sadangkan lutut kirinya tertutup kain, menggunakan baju lengkap dengan upawita. Kemungkinan arca Pendeta (Brahmana) ini merupakan wujud simbolisasi tokoh Ida Pedanda Made Alangkajeng dari Griya Delod Pasar yang membangun Pura Siwa Dampati di Udiyana Mimba (Taman Mimba/Intaran).

Pura-Segara

Pura Segara

Pura Segara. Keberadaannya masih sederetan di Pantai Segara Ayu. Bangunan dari pura ini hampir serupa dengan kondisi Pura Dalem Jumeneng. Bentuknya bebatuan gamping yang bertingkat-tingkat, punden berundak, sebagai tradisi dari periode megalitik.

Keberadaan pura ini dipesisir berkaitan erat dengan pekerjaan masyarakat setempat sebagai nelayan, terutama zaman itu. Pura Segara Ayu menjadi tempat bersembahyang agar mendapatkan lindungan dan keselamatan dari-Nya selama melaut. Pantai atau laut dalam bahasa Bali berarti segara, yang juga sebagai manifestasi Dewa Wisnu. Piodalan digelar setiap tahunnya pada Purnama Kedasa (purnamaning sasih kedasa).

Terdapat tempat pemujan, Palinggih Gunung Agung, Palinggih Gunung Batur, dan Palinggih Dalem Segara. Palinggih ini bagian dari pemujaan rasa syukur kepada alam lingkungan dan gunung. Masyarakat setempat menambahkan ornamen arca di setiap seperti arca naga, penyu, ikan berkepala gajah. 

Segara sebagai nama pura dikaitkan dengan lokasinya yang berada dekat dengan pantai. Nah,  penyebutan pantai dalam bahasa Bali adalah segara.

Istilah segara juga dikaitkan dengan air sebagai manifestasi Dewa Wisnu dalam ajaran Hindu Bali. Karenanya, masyarakat menganggap Pura Segara Sanur juga sebagai Pura Puseh.

Upacara piodalannya dilaksanakan setiap tahunnya pada Purnama Kedasa (purnamaning sasih kedasa). Pengempon yang bertanggung jawab mengurus dan membina keberadaan Pura Segara Sanur adalah kelompok keluarga sebanyak enam kepala keluarga, sedangkan penyungsungnya adalah masyarakat Desa adat Intaran dan masyarakat umum lainnya. Berdasarkan pengempon dan penyungsung pura, dapat dikatakan Pura Segara Sanur tersebut berkarakter sebagai pura geneologis dan umum.

Tri mandala

Pura Segara

Struktur Pura Dalem Jumeneng adalah tri mandala, yaitu terdiri dari jaba sisi (nista mandala) berada di sisi utara, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala) berada di sisi selatan. Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta (bhuwana agung) seperti nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, madya mandala melambangkan bwahloka yaitu alam pitra/roh atau alam peralihan, dan utama mandala melambangkan swahloka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Jaba sisi (nista mandala) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman terbuka yaitu Jalan Segara Ayu.

Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan madya mandala (jaba tengah) dikelilingi oleh tembok keliling terbuat dari susunan batu gamping (karang laut) dibatasi dengan candi bentar terbuat dari susunan batu padas. Halaman utama mandala terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Penyawangan Gunung Agung, Penyawangan Gunung Batur, Palinggih Dalem Segara, Palinggih Penyarikan, Palinggih Manik Kembar, Palinggih Linggih Bhatara Bayu, Palinggih Ratu Mas Melanting, Palinggih Jilih Lambih, Bale Pawedan Bhatara Bayu, Palinggih Ratu Niang Gobleh, Piyasan, Bale Tajuk, Bale Paruman, Pale Pawedan, Bale Gong, Aling-aling, Bale Kulkul, Wantilan, dan Palinggih Linggih Ratu Dalem Peed.

Punden berundak dan tahta batu di Pura Segara jika ditinjau dari keilmuan arkeologi, dapat dikatakan sebagai tinggalan yang berasal dari masa prasejarah akhir, tepatnya pada masa tradisi megalitik yang masih berlanjut hingga awal masa sejarah (protohistoris). Struktur punden berundak sebagai hasil budaya masa tradisi megalitik berlanjut hingga saat ini masih tetap bertahan dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya sebagai media pemujaan, hal tersebut dapat disebut juga dengan living megalithic tradition.

Susunan punden berundak di Pura Segara berjumah empat buah struktur, yaitu punden berundak paling besar disisi selatan menghadap ke barat sebagai Penyawangan Gunung Agung, Penyawangan Gunung Batur, Palinggih Dalem Segara, dan Palinggih Penyarikan. Terdapat juga punden berundak sebagai Linggih Bhatara Bayu, punden berundak sebagai Linggih Ratu Mas Melanting dan Linggih Ratu Jilih Lambih, serta terdapat juga tahta batu Linggih Ratu Manik Kembar.

Setelah mengetahui letak kondisi geografis, latar belakang sejarah, struktur, dan karakteristik Pura Segara, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan Sanur, seperti punden berundak, tahta batu, sumur, menhir, dan kedok muka.

1. Punden Berundak I

Lokasi                  : Pura Segara

Ukuran                : Tinggi                             :    219 cm

                                Panjang                         : 1.265 cm

                                Lebar                              :    600 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi          : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Beberapa bagian rusak

Deskripsi       : Punden berundak I ini dibentuk menggunakan susunan batu gamping asli tanpa proses pembentukan, berada di sisi selatan halaman utama mandala pura berbentuk teras berundak dengan tiga tingkatan semakin ke atas semakin kecil. Teras pertama merupakan bagian dasar tanpa hiasan berbentuk persegi panjang dengan ukuran tinggi 87 cm, panjang 1.265 cm, dan lebar 600 cm. Selanjutnya tingkatan teras kedua berbentuk persegi panjang berukuran lebih kecil dari pada teras dasar  dengan tinggi 70 cm, panjang 1030 cm, dan lebar 365 cm. Pada selasar teras kedua ini ditancapkan menhir disamping tangga yang menghubungkan kedua teras ini. Antara undakan/teras pertama dengan kedua dihubungkan dengan empat struktur tangga untuk menuju tahta batu pada puncak punden berundak ini. 

              Tingkatan ketiga struktur punden berundak ini berukuran tinggi 62 cm, panjang 960 cm, dan lebar 287, terdapat tahta batu berjajar dari utara sebagai tempat pemujaan atau penyawangan yang disebut dengan Palinggih Gunung Agung, Palinggih Gunung Batur, dan Palinggih Dalem Segara. Sedangkan paling selatan tidak berbentuk tahta batu, tetapi bangunan beratap terbuat dari batu gamping yang disebut dengan Palinggih Penyarikan. Hal menarik nampak pada tahta batu yang disebut sebagai Palinggih Dalem Segara, karena pada sandaran tahtanya terdapat pahatan kedok muka yang disamar-samarkan. Punden berundak ini oleh masyarakat ditambahkan dengan ornament arca pada setiap terasnya seperti arca naga, penyu, ikan berkepala gajah, dan arca-arca tokoh.

              Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan menyerupai gunung, digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dengan adanya menhir dan kedok muka pada salah satu tahta batu, serta masyarakat masih melakukan pemujaan kepada alam lingkungan seperti gunung dan segara (laut) yang merupakan budaya kental tradisi megalitik.

2. Punden Berundak II

Lokasi                   : Pura Segara

Ukuran                 : Tinggi                             : 308 cm

                                 Panjang                         : 374 cm

                                 Lebar                              : 365 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi         : Punden berundak ini dibentuk menggunakan susunan batu gamping asli tanpa proses pembentukan, berbentuk teras berundak dengan lima tingkatan semakin ke atas semakin kecil di halaman utama mandala. Teras pertama merupakan bagian dasar berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 20 cm, panjang 374 cm, dan lebar 365 cm dilengkapi dengan tangga bersusun tiga sebagai penghubung ke teras kedua. Selanjutnya tingkatan teras kedua berbentuk persegi berukuran tinggi 82 cm, panjang 316 cm, dan lebar 336 cm, teras ketiga berukuran tinggi 25 cm, panjang 255 cm, dan lebar 250 cm, teras keempat berukuran tinggi 87 cm, panjang 247 cm, dan lebar 240 cm, serta teras kelima sebagai puncak berukuran tinggi 96 cm, panjang 173 cm, dan lebar 150 cm lengkap dengan tahta batu di atasnya.

              Punden berundak ini dipercayai oleh masyarakat sebagai Palinggih Bhatara Bayu yang ditambahkan dengan ornament arca pendeta, arca tokoh, dan arca kera. Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang diakulturasikan dengan budaya agama Hindu  tetap mempertahankan bentuk bertingkat-tingkat menyerupai gunung dan digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dan Dewa Bayu sebagai dewa penguasa angin dalam agama Hindu di Bali.

3. Punden Berundak III

Lokasi                   : Pura Segara

Ukuran                 : Tinggi                             : 399 cm

                                 Panjang                         : 439 cm

                                 Lebar                              : 356 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi        : Punden berundak III  ini dibentuk menggunakan susunan batu gamping asli berbentuk teras berundak dengan tiga tingkatan semakin ke atas semakin kecil di sisi utara halaman utama mandala menghadap ke barat. Teras pertama merupakan bagian dasar berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 19 cm, panjang 439 cm, dan lebar 356 cm dilengkapi dengan tangga sebagai penghubung ke teras kedua. Selanjutnya tingkatan teras kedua berbentuk persegi berukuran tinggi 76 cm, panjang 370 cm, dan lebar 303 cm, serta teras ketiga sebagai puncak punden berundak berukuran tinggi 304 cm, panjang 304 cm, dan lebar 247 cm. Pada teras puncak ini dilengkapi dengan tahta batu pada sisi utara sebagai tempat pemujaan atau penyawangan Ratu Mas Melanting dan pada sisi selatan terdapat palinggih yang memiliki atap terbuat dari batu gamping sebagai pemujaan atau penyawangan Ratu Jilih Lambih.

              Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan bertingkat-tingkat menyerupai gunung, digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur, serta masyarakat masih menggunakan istilah atau nama lokal seperti Ratu Melanting dan Ratu Jilih Lambih yang biasanya dikaitkan dengan permohonan kesuburan, keselamatan, dan kemakmuran.

4. Tahta Batu I

Lokasi                   : Pura Segara

Ukuran                 : Tinggi                             : 206 cm

                                 Panjang                         :   67 cm

                                 Lebar                              :   63 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Tahta batu I ini disebut oleh masyarakat sebagai Linggih Ratu Manik Kembar terbuat dari susunan batu gamping berbentuk bebaturan yang di atasnya terdapat tiga ruang tahta batu. Ukuran kaki bebaturan adalah tinggi 13 cm, panjang 67 cm, dan lebar 63 cm, sedangkan bebaturannya sendiri berukuran tinggi 90 cm, panjang 61 cm, dan lebar 56 cm, dan puncaknya berupa tahta batu berukuran tinggi 90 cm, panjang 52 cm, dan lebar 54 cm. Sandaran tahta batu dibuat tidak menggunakan susunan batu, tetapi menggunakan batu gamping utuh yang cukup lebar. Pada kanan kiri tahta batu dibuat lagi bebaturan dari susunan batu gamping sebagai tempat meletakkan arca tokoh.

              Tahta batu di atas bebaturan ini secara fungsional dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk berupa singgasana tempat berstananya para roh leluhur yang oleh masyarakat sekarang difungsikan sebagai media memohon keselamatan dan kemakmuran.

5. Tahta Batu II

Lokasi                   : Pura Segara

Ukuran                 : Tinggi                             :   85 cm

                                 Panjang                         : 140 cm

                                 Lebar                              :   40 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Tahta batu II ini terbuat dari susunan batu gamping berbentuk bebaturan yang di atasnya terdapat sandaran berupa susunan batu gamping berbentuk segitiga menyerupai gunung. Tahta batu ini hanya memiliki sandaran, tanpa adanya susunan batu pembatas pada kanan atau kirinya, dan di tengah-tengahnya diletakkan pahatan kedok muka yang kemungkinan sebagai simbol dari roh leluhur pada masa lampau.

              Berdasarkan bentuk yang menyerupai gunung dan dengan adanya hiasan kedok muka, dapat dikatakan tahta batu ini sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai media pemujaan.

6. Tahta Batu III

Lokasi                   : Pura Segara

Ukuran                 : Tinggi                             : 141 cm

                                 Panjang                         :   58 cm

                                  Lebar                              :   52 cm

Arah Hadap       : Barat                 

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Tahta batu III ini terbuat dari susunan batu gamping berbentuk bebaturan yang di atasnya berbentuk kusi duduk (singgasana) dengan sandaran dan pembatas disampingnya terbuat dari batu gamping utuh. Tahta batu ini pengerjaannya sangat sederhana dan sedikitpun tidak menonjolkan hiasan.

              Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk yang sangat sederhana dan sesaui fungsi masa lampau bahwa tahta batu difungsikan sebagai media pemujaan kepada roh suci leluhur. Tahta batu (singgasana) dipercayai oleh masyarakat tradisi megalitik sebagai tempat duduknya para roh leluhur yang telah disucikan.

7. Sumur

Lokasi                   : Pura Segara

Ukuran                 : Tinggi                             :   57 cm

                                 Diameter                       : 107 cm

Arah Hadap       : –

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Sumur ini merupakan struktur yang disusun sedemikan rupa membentuk silinder sebagai sumber mata air terletak diantara tahta tahta batu I dan III.  Sumur sebagai sumber mata air masih difungsikan oleh masyarakat untuk memohon air suci (tirta) yang digunakan untuk kegiatan keagamaan di Pura Segara.

8. Menhir

Lokasi                   : Pura Segara Sanur

Ukuran                 : Tinggi       : 62 cm

                                 Lebar        : 35 cm

                                 Tebal        : 17 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal

                                sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Rusak

Deskripsi             : Menhir diletakkan pada teras tingkatan pertama punden berundak I. Menhir ini merupakan monolit (batu tunggal) berbahan batu gamping dengan bentuk yang tidak beraturan. Menhir merupakan hasil kebudayaan tradisi megalitik yang paling sederhana, karena hanya berupa batu tegak (berdiri) yang belum dikerjakan, tetapi diletakkan dengan sengaja pada suatu tempat untuk kepentingan memperingati jasa-jasa orang yang telah meninggal, sebagai simbol atau tempat bersemayamnya para roh leluhur.

9. Kedok Muka I

Lokasi                   : Pura Segara Sanur

Ukuran                 : Tinggi       : 37 cm

                                 Lebar        : 22 cm

                                 Tebal        :   7 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Rusak

Deskripsi             : Kedok muka I ini bentuknya sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata, hidung, dan mulut, dengan diletakkan pada tengah tahta batu Pelinggihan Dalem Segara di atas punden berundak. Tradisi megalitik ditandai dengan adanya pemujaan kepada roh leluhur sehingga oleh masyarakat prasejarah dimasa lalu kedok muka dijadikan penggambaran orang yang sudah meninggal atau leluhur. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

10. Kedok Muka II

Lokasi                   : Pura Segara Sanur

Ukuran                 : Tinggi       : 32 cm

                                 Lebar        : 29 cm

                                 Tebal        : 15 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Kedok muka ini berbentuk bulat, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata, hidung, dan mulut yang memperlihatkan gigi. Kedok muka ini diletakkan di atas tahta batu I. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

Pura-Jumeneng

Pura Dalem Jumeneng

Meyusuri tepian Pantai Segara Ayu, di Sanur, Anda akan menjumpai bangunan ini masuk dalam periodesasi prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris). Bangunan itu berupa Pura Dalem Jumeneng, Banjar Taman Sari, Desa Adat Intaran. Pura tersebut masuk sebagai bangunan cagar budaya dengan tradisi megalitik.

Kawasan Pura Dalem Jumeneng dan sekitarannya, dahulu, adalah tempat singgah para nelayan untuk beristirahat. Suatu ketika saat singgah, nelayan menemukan batu karang (gamping) dengan susunan bertumpuk atau berundak-undak. Susunan ini termasuk gaya dari megalitik. Urutan batuannya dari ukuran besar dari bawah hingga ke atas itu ukurannya mengecil. Hanya saat ditemukan, batuan itu tidak sepenuhnya berturan, dan berserakan. 

Tumpukan batu tersebut kemudian dibersihkan, disusun kembali reruntuhannya. Selanjutnya, masyarakat setempat  tempat tersebut digunakan sebagai media pemujaan. Susunan punden berundak tersebut hingga saat ini masih dapat dijumpai dengan utuh berjumlah tiga buah struktur yang masing-masingnya dinamakan Bebaturan Gedong Simpen menghadap ke barat, Bebaturan Ida Ulun Danu menghadap ke selatan, dan Bebaturan Ida Bhatara Sakenan menghadap ke utara.

Masyarakat pun menamai kompleks tersebut sebagai Pura Dalem Jumeneng, tempat ibadah umat Hindu Bali. Upacara keagamaan piodalan dilaksanakan setiap tahunnya pada Purnama Kapat (purnamaning sasih kapat).

Areal tersebut oleh masyarakat digunakan sebagai tempat melakukan pemujaan memohon keselamatan. Pengempon yang bertanggung jawab mengurus dan membina keberadaan Pura Dalem Jumeneng Sanur ini adalah keluarga keturunan yang menemukan dulu sebanyak tiga keluarga.

Penyungsungnya adalah masyarakat Banjar Taman Sari, Desa Pakraman Intaran dan masyarakat umum lainnya. Berdasarkan pengempon dan penyungsung pura, dapat dikatakan Pura Dalem Jumeneng tersebut berkarakter sebagai pura geneologis dan umum.

Struktur Bangunan

Pura Dalem Jumeneng

Keberadaan struktur punden berundak di Pura Dalem Jumeneng Sanur jika ditinjau dari keilmuan arkeologi, dapat dikatakan sebagai tinggalan yang berasal dari masa prasejarah akhir, tepatnya pada masa tradisi megalitik yang masih berlanjut hingga awal masa sejarah (protohistoris). Struktur punden berundak sebagai hasil budaya masa tradisi megalitik berlanjut hingga saat ini masih tetap bertahan dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya sebagai media pemujaan, hal tersebut dapat disebut juga dengan living megalithic tradition.

Struktur Pura Dalem Jumeneng adalah tri mandala, yaitu terdiri dari jaba sisi (nista mandala) berada di sisi timur merupakan pinggir pantai yang sudah dipenuhi artshopjaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala) berada di sisi barat. Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta (bhuwana agung) seperti nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, madya mandala melambangkan bwahloka yaitu alam pitra/roh atau alam peralihan, dan utama mandala melambangkan swahloka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Jaba sisi (nista mandala) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman terbuka diantara artshop di pinggir pantai.

Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan madya mandala (jaba tengah) dikelilingi oleh tembok keliling terbuat dari susunan batu gamping (karang laut) dibatasi dengan candi bentar terbuat dari susunan batu gamping (karang laut). Halaman utama mandala terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Bebaturan Gedong Simpen, Palinggih Ida Bebaturan (ulun danu), Bebaturan Ida Bhatara Sakenan, Tajuk Bebaturan Gedong Simpen, Tajuk Palinggih Ida Bebaturan (ulun danu), Tajuk Bebaturan Ida Bhatara Sakenan, Piyasan, dan Perantenan.

Setelah mengetahui letak kondisi geografis, latar belakang sejarah, struktur, dan karakteristik Pura Dalem Jumeneng, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan Sanur, seperti punden berundak, struktur gapura, struktur tembok, kedok muka, arca perwujudan bhatari, dan arca dwarapala.

1. Punden Berundak I

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi  keseluruhan   : 316 cm

                                 Tinggi teras I                : 116 cm

                                 Tinggi teras II               : 145 cm

                                 Tinggi teras III              :   55 cm

                                 Panjang teras I           : 387 cm

                                 Panjang teras II          : 345 cm

                                 Panjang teras III        : 270 cm

                                 Lebar teras I                : 382 cm

                                 Lebar teras II              : 335 cm

                                 Lebar teras III             : 254 cm

Arah Hadap       : Selatan

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Beberapa komponennya sudah rusak

Deskripsi             : Punden berundak ini dinamakan oleh masyarakat Palinggih Ida Bebaturan (ulun danu), dibentuk menggunakan susunan batu gamping, terletak di sisi utara halaman utama mandala pura berbentuk teras berundak dengan tiga tingkatan semakin ke atas semakin kecil. Puncak punden berundak yang merupakan tingkatan ketiga struktur ini terdapat tahta batu yang ditengahnya diletakkan kedok muka. Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan menyerupai gunung semakin ke atas semakin kecil, digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dengan adanya kedok muka di tengah tahta batu, serta masyarakat masih melakukan pemujaan kepada alam lingkungan yaitu ulun danu sebagai simbol air (danau) yang merupakan budaya kental tradisi megalitik.

2. Punden Berundak II

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi  keseluruhan   : 337  cm

                                 Tinggi teras I                : 118 cm

                                 Tinggi teras II               : 75 cm

                                 Tinggi teras III              : 55 cm

                                 Tinggi teras IV             : 89 cm

                                 Panjang teras I            : 795 cm

                                 Panjang teras II           : 680 cm

                                 Panjang teras III          : 590 cm

                                 Panjang teras IV          : 390 cm

                                 Lebar teras I                 : 540 cm

                                 Lebar teras II                : 380 cm

                                 Lebar teras III               : 313 cm

                                 Lebar teras IV              : 303 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Punden berundak ini dinamakan oleh masyarakat Bebaturan Gedong Simpen, dibentuk menggunakan susunan batu gamping, terletak di sisi timur halaman utama mandala pura berbentuk teras berundak dengan empat tingkatan semakin ke atas semakin kecil. Puncak punden berundak yang merupakan teras IV struktur ini diletakkan bangunan (palinggih) baru terbuat dari kayu beratap genteng tempat menyimpan lima buah batu monolit yang dianggap sebagai pratima dan sangat disakralkan oleh masyarakat. Teras I dengan teras II pada bagian tengah-tengah dihubungkan anak tangga sejumlah Sembilan undakan. Anak tangga teras pertama pada samping kanan dan kiri dihiasi dengan naga, selasar teras I diletakkan dua arca singa sebagai dwaraphala yang diletakkan pada samping kanan-kiri tangga, sedangkan pada teras II terdapat dua kedok muka yang diletakkan pada samping kanan-kiri tangga. Teras III tidak mempunyai selasar bagian depan (barat), hanya terdapat selasar bagian kanan, kiri, dan belakang.

         Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan menyerupai gunung semakin ke atas semakin kecil, serta digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dengan adanya kedok muka.

3. Punden Berundak III

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi  keseluruhan   : 205 cm

                                 Tinggi teras I                :   50 cm

                                 Tinggi teras II               :   35 cm

                                 Tinggi teras III              : 120 cm

                                 Panjang teras I            : 284 cm

                                 Panjang teras II           : 211 cm

                                 Panjang teras III          : 208 cm

                                 Lebar teras I                 : 289 cm

                                 Lebar teras II                : 170 cm

                                 Lebar teras III               : 142 cm

Arah Hadap        : Utara

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Punden berundak ini dinamakan oleh masyarakat Bebaturan Ida Bhatara Sakenan, dibentuk menggunakan susunan batu gamping, terletak di sisi selatan halaman utama mandala pura berbentuk teras berundak dengan tiga tingkatan semakin ke atas semakin kecil. Puncak punden berundak yang merupakan teras III terdapat tahta batu yung ditengah-tengahnya diletakkan kedok muka raksasa. Teras I dan teras II hanya memiliki selasar pada bagian depannya saja, sedangkan teras I memiliki anak tangga dan terdapat dua kedok muka pada selasar teras II.

         Secara fungsi punden berundak ini dapat dikatakan sebagai tinggalan tradisi megalitik yang masih berlanjut, dengan ciri-ciri bentuk masih dipertahankan menyerupai gunung semakin ke atas semakin kecil, serta digunakan sebagai pemujaan kepada roh suci leluhur dengan adanya kedok muka.

4. Struktur Gapura I

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi gapura timur          : 219 cm

                                 Tinggi gapura barat          : 212 cm           

                                 Panjang gapura timur     : 103 cm

                                 Panjang gapura barat      :   82 cm

                                 Lebar gapura timur          :   90 cm

                                 Lebar gapura barat          :   69 cm            

Arah Hadap        : Utara dan Selatan

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Gapura ini dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya, yang berfungsi sebagai pintu masuk di sisi utara menuju halaman jeroan (utama mandala) Pura Dalem Jumeneng Sanur dari Pura Segara Sanur. Gapura ini berbentuk candi bentar yang terbuat dari batu gamping (karang laut). Pada sisi utara gapura ini terdapat dua anak tangga yang terbuat dari campuran semen dan pasir.

5. Struktur Gapura II

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi gapura selatan      : 269 cm

                                 Tinggi gapura utara          : 301 cm           

                                 Panjang gapura selatan   : 210 cm

                                 Panjang gapura utara                     : 214 cm

                                 Lebar gapura selatan       : 160 cm

                                 Lebar gapura utara           : 190 cm           

Arah Hadap        : Timur dan Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Gapura ini dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya, yang berfungsi sebagai pintu masuk di sisi timur menuju halaman jeroan (utama mandala) Pura Dalem Jumeneng Sanur dari halaman jaba tengah (madya mandala) pura . Gapura ini berbentuk candi bentar yang terbuat dari batu gamping (karang laut). Pada sisi timur gapura ini terdapat empat anak tangga yang terbuat dari susunan batu gamping.

6. Struktur Tembok Batu Gamping

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng Sanur

Ukuran                 : Luas     : 16 x 18,75 meter            

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi      : Tembok ini dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya, yang berfungsi sebagai tembok keliling Pura Dalem Jumeneng Sanur. Struktur tembok keliling ini terbuat dari batu gamping (karang laut). Struktur batu gamping sebagai tembok keliling di Pura Dalem Jumeneng dan Pura Segara dapat dikatakan memiliki fungsi sebagai pembatas antara halaman suci dengan halaman luar (profan) yang mengelilingi bangunan di dalamnya. Secara simbolis struktur tembok batu gamping ini memiliki nilai religius magis sebagai penghalang kekuatan jahat (penolak bala) masuk ke halaman suci pura.

7. Kedok Muka I

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 23 cm

                                  Lebar        : 14 cm

                                  Tebal        :   9 cm

Arah Hadap        : Selatan

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Kedok muka ini berbentuk bulat telur, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata, hidung, mulut, dan goresan kumis. Kedok muka ini diletakkan di atas tahta batu pada punden berundak Palinggih Ida Bebaturan (ulun danu). Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

8. Kedok Muka II

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 18 cm

                                      Lebar        : 14 cm

                                      Tebal        :   8 cm

Arah Hadap        : Utara

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Kedok muka ini berbentuk bulat telur, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata bulat, hidung, dan mulut. Kedok muka ini diletakkan di atas lapik pada teras I punden berundak Bebaturan Ida Bhatara Sakenan. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

9. Kedok Muka III

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng Sanur

Ukuran                 : Tinggi       : 16 cm

                                  Lebar        : 12 cm

                                  Tebal        :   9 cm

Arah Hadap        : Utara

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal

                               sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Kedok muka ini berbentuk bulat telur, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata bulat, hidung, dan mulut. Kedok muka ini diletakkan di atas lapik pada teras I punden berundak Bebaturan Ida Bhatara Sakenan. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

10. Kedok Muka IV

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 37 cm

                                 Lebar        : 30 cm

                                 Tebal         : 23 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Kedok muka ini berbentuk bulat telur, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata bulat, hidung, serta  mulut dengan gigi dan taring mencuat. Kedok muka ini diletakkan di atas lapik pada teras II punden berundak Bebaturan Gedong Simpen. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

11. Kedok Muka V

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 42 cm

                                 Lebar        : 32 cm

                                 Tebal         : 15 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Tradisi Megalitik

Periodisasi         : Prasejarah akhir dan awal sejarah (protohistoris)

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Kedok muka ini berbentuk bulat telur, dibuat dengan sangat sederhana, hanya berupa goresan-goresan membentuk mata bulat, hidung, serta mulut dengan gigi dan taring mencuat ke luar.  Kedok muka ini diletakkan di atas lapik pada teras II punden berundak Bebaturan Gedong Simpen. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

12. Kedok Muka Raksasa

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 30 cm

                                 Lebar        : 21 cm

                                 Tebal         : 22 cm

Arah Hadap        : Utara

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII-XX Masehi

Bahan                  : Batu gamping (karang laut)

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Berbeda dengan kedok muka lainnya, kedok muka ini berbentuk persegi, mata melotot, mulut besar memperlihatkan gigi dan taring mencuat, hidung besar, lidah menjulur, serta memiliki hiasan di atas kepala. Kedok muka ini diletakkan di atas tahta batu pada punden berundak Bebaturan Ida Bhatara Sakenan. Sama halnya dengan kedok muka lainnya pada masa tradisi megalitik terdapat kebiasaan melakukan pemujaan kepada roh leluhur dengan membuat kedok muka sebagai simbolnya. Biasanya juga dijadikan sebagai media pemujaan untuk meminta perlindungan dan keselamatan sebagai penolak bala.

13. Arca Perwujudan Bhatari

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca perwujudan bhatari ini oleh masyarakat disebut sebagai Ida Bhatari Lingsir, diletakkan pada Palinggih Tajuk, arca berwajah menyeramkan, kepala berbentuk persegi, dengan mulut terbuka lebar tebal, memperlihatkan barisan gigi besar-besar, dan taring dipahatkan mencuat keluar. Mata arca dipahatkan melotot berbentuk bulat besar, menggunakan subeng sebagai hiasan telinga, berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos, kain bawah dipahatkan sangat berat tebal, badan arca tidak menggunakan kain, sehingga buah dadanya terlihat besar bulat, tangan kanan ditekuk menempel di pinggang, sedangkan tangan kiri terjuntai ke bawah menempal di paha, kuku jari tangan semuanya dipahatkan panjang tajam, dan menggunakan kalung di leher berbentuk bulatan-bulatan lebar.

14. Arca Dwarapala I

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 100 cm

                                 Lebar        :   31 cm

                                 Tebal         :   34 cm            

Arah Hadap       : Timur

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala I di Pura Dalem Jumeneng ini diletakkan sebelah utara depan struktur gapura II, arca bermuka raksasa, berbadan tambun, berdiri di atas lapik persegi polos dengan kedua lutut sedikit ditekuk, raut wajah sangat menyeramkan, mata melotot, menoleh ke kanan, gigi taring mencuat keluar, hidung besar, menggunakan mahkota dan petitis. Tangan kanan arca membawa gada menempel di samping kiri kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk disamping dada, menggunakan kain bawah hanya sebatas lutut, lengkap dengan kain wiron bercabang dua hingga menyentuh lapik.

15. Arca Dwarapala II

Lokasi                   : Pura Dalem Jumeneng

Ukuran                 : Tinggi       : 102 cm

                                 Lebar        :   33 cm

                                 Tebal         :   33 cm            

Arah Hadap       : Timur

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XVIII – XX Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Arca Dwarapala II di Pura Dalem Jumeneng ini diletakkan sebelah selatan depan struktur gapura II, ciri-ciri arca sama dengan arca Dwarapala I, karena kedua arca ini memang sepasang, tetapi yang membedakan adalah arca ini menoleh ke kiri, tangan kiri arca membawa gada menempel di samping dada, sedangkan tangan kiri ditekuk ke depan dada.

Tarian Baris Cina

Tari Baris Cina Di Pura Kesumajati Semawang

Gerakan tarinya menyerupai gerakan-gerakan pencak silat. Pakaian yang dikenakan para penari serupa dengan para saudagar yang berasal dari Cina di zaman itu. Gong Bheri mengiringi. Gong ini merupakan flat gong (gong datar) banyak ditemukan sebagai alat musik di Cina. Meski serupa gerakan bela diri, tarian ini masuk dalam tari sakral.

Cerita tarian ini berasal dari masyarakat setempat secara turun temurun. Tarian tersebut berasal dari Ida Ratu Tuan yang tedun (trance) yang berbicara menggunakan logat Cina. Karenanya, tarian itu bernama Baris Cina.

Pementasannya ada di Pura Kesumajati, Semawang. Pura Kesumajati terletak di Banjar Semawang, Desa Adat Intaran, Kelurahan Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, ini merupakan pura dengan sebutan Linggih Ida Ratu Tuan. Sakral karena tariannya hanya dipentaskan ketika upacara piodalan pura.

Pada 10 Oktober 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun mencatatkannya sebagai obyek warisan budaya tak benda (intangible heritage). Pencatatannya bersamaan dengan Tari Baris Cina Renon.

Para peneliti belum menemukan adanya prasati atau sejenisnya yang melatarbelakangi cerita masyarakat mengenai tari Baris Cina ini. Belum ditemukan data tertulis berupa prasasti yang menyebutkan tentang penciptaan maupun penyebutan nama Baris Cina sebagai tarian.

Mengenai Gong Beri penyebutannya muncul pada Tugu Prasasti (jaya stmbha) Blanjong berangka tahun Śaka 835 (913 Masehi) yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmmadewa dengan kata bheri. Penduduk yang semula hidup di pesisir pantai Blanjong dan Semawang Sanur tentunya sudah banyak berhubungan dengan para pedagang-pedagang yang datang berdagang terutama saudagar asal Cina. Tarian maupun gong ini memungkinkan sebagai cerminan akulturasi di kala itu.

Unsur-unsur budaya Cina yang ditampilkan itulah yang membedakannya dengan Tari Baris ritual lainnya. Kedekatan hubungan budaya Bali dan Cina sudah berlangsung dalam berbagai segi kehidupan. Proses akulturasi budaya Bali dan Cina seperti kehadiran Tari Baris Cina ini, juga terjadi di tempat lain, seperti penggunaan uang kepeng Cina dalam sarana banten, dan adanya istilah patra cina dalam motif-motif ukiran Bali.

Menurut keyakinan masyarakat penyungsung, Baris Cina ini merupakan perwujudan dari Ida Ratu Tuan yang diiringi dengan Gong Bheri. Secara fungsi, tarian ini tergolong dalam tari wali (sakral) yang ditarikan ketika sedang berlangsung upacara piodalan di pura-pura. Pura-pura itu adalah berada di Banjar Semawang maupun Desa Adat Intaran. Yakni, di antaranya Pura Cemara Geseng, Pura Ketapang Kembar, Pura Giri Kusuma, Pura Dalem Pengembak, Pura Bengkel, Pura Kedaton, dan Pura Desa Kelandis.

Penyungsung Ida Ratu Tuan Baris Cina ini adalah sebagaian besar masyarakat Banjar Semawang Desa Adat Intaran Sanur yang memiliki kepercayaan kuat terhadap keberadaan Ida Ratu Tuan yang di sungsung secara turun-temurun. Upacara piodalan di Pura Kesumajati sebagai Linggih Ida Ratu Tuan dan Gong Bheri dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari Saniscara Wuku Wayang (Tumpek Wayang).

Baris Cina juga ditarikan untuk upacara Bhuta Yadnya di pura-pura ataupun di catus patha desa,  juga dipentaskan untuk upacara Manusa Yadnya, seperti membayar kaul (naur sesangi). Mereka meyakini dan telah membuktikan bahwa Baris Cina memiliki kekuatan magis dan kekuatan untuk melindungi masyarakat penyungsungnya, serta mengabulkan permohonan yang betul-betul tulus ikhlas.

Pasukan Tari Baris Cina ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Baris Selem (Baris Hitam) dan Baris Putih. Kelompok Baris Selem memakai kostum hitam dengan slempot, yaitu kain putih yang diikatkan di pinggang, sedangkan Baris Putih memakai kostum putih dengan slempot hitam.

Rangkaian menarikan Baris Cina, pertama, upacara pemedek, yang diikuti oleh seluruh masyarakat penyungsung, penari, penabuh, pemangku, sadeg, pepatih duduk di jeroan pura. Tujuannya adalah untuk memohon ijin kepada Ida Ratu Tuan bahwa mereka akan mementaskan Tari Baris Cina. Selanjutnya, kedua,  mempersembahkan banten penyambleh terdiri dari daksina, anaman kelanan, soda kepelan, rayunan, canang gantal, canang sari, tepung tawar, kawas, segehan, arak-berem, toya anyar, pitik selem atau putih untuk pelengkap segehan.

Ketiga, berlanjut dengan penampilan tari Baris Selem sebagai pembuka, kemudian semua penari Baris Selem duduk di depan gamelan Gong Bheri, yang kemudian dilanjutkan dengan tarian Baris Putih.

Pada rangkaian keempat, upacara nuwur, terjadi dialog antara panyungsung dengan yang disungsung melalui sadeg yang trance, saat inilah keluar bahasa dan logat Cina dalam berkomunikasi. Penutupnya berupa upacara panyimpenan. Upacara ini  merupakan bagian penutup yang kembali melakukan persembahan sesajen dan tetabuhan arak berem, memohon agar Ida Ratu Tuan kembali berstana di palinggihnya.

Prasasti-batu-Jimbar

Prasasti Batu Jimbar

Jangan lupa, jalan-jalannya simpang (mampir) di rumah Nyoman Sumariana, Banjar Betngandang, Desa Sanur Kauh, Desa Adat Intaran, ya! Ada peninggan budayanya juga, lho…

Ya, Prasasti Batu Jimbar. Prasastinya berupa lempengan-lempengan tembaga. Berdasarkan penelitian, lempengan yagn tak lengkap ini pembuatannya pada periode abad XII – XIV.

Sayangnya sudah tidak lengkap.

Karena tinggal berjumlah enam buah yang tersimpan. Kemungkinan, dulunya ada lebih dari enam lempengan. Tapi para peneliti masih mampu menerjemahkannya. Secara garis besar, isi prasasti-prasasti ini menggunakan aksara Bali kuna dengan bahasa Jawa kawi.

Peneliti membagi lempengan menjadi dua kelompok prasasti. Prasasti kelompok pertama, lempeng II, VI, VII, XIII, dan XIV , berisi kewajiban pajak bagi Karaman Indrapura. Pajak ini kaitannya mempunyai kewajiban melaksanakan pemujaan terhadap bhatara yang berstana di Bukit Tunggal. Hanya saja, prasasti ini belum bisa dipastikan pembuatannya ketika pemerintahan atau kerajaan siapa karena tidak lengkapnya lempengan. Namun diperkirakan, prasasti ini diterbitkan oleh Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti yang memerintah di Bali sekitar tahun Śaka 1055 – 1071 (1133 – 1149 Masehi).

Disebutkan, mereka diperbolehkan menebang kayu larangan seperti kemiri yang menaungi sawah, rumah, balai tempat pertemuan, dan pohon aren atau enau. Begitu pula penyebutan sejumlah pejabat dan jabatannya seperti Samgat Caksu Karanakranta dijabat oleh Pangdudal, Mpungku Lokeswara dijabat oleh Dang Aacaryya Abhipura, Mpungkwing Canggini Dang Upadhayaya Widyottama, dan Samgat Mangirendiren Wandani dijabat oleh Sangkawiryya.

Pada prasasti kelompok kedua hanya terdapat satu lempeng, lempeng III. Lempengan ini berisi anugrah sebidang tanah cukup luas oleh pejabat yang bergelar Rsi Nara Rajapatih.

Pemberian tanah dihadiri para pejabat dan berisikan kutukan apabila ada orang yang berani melanggarnya. pejabat-pejabat seperti Senapati Sarbwa, Senapati Wresanten, Senapati, Balmbunut, Senapari Manyiringan dan Manyuratang I Halu yang menyaksikan penganugrahan prasasti tersebut dimuat juga dalam Prasasti Cempaga C yang dikeluarkan oleh Raja Bhatara Sri Mahaguru pada tahun Śaka 1246 (1334 Masehi), begitu juga dalam Prasasti Selumbung Karangasem yang dikeluarkan oleh Raja Bhatara Sriwijaya Kartaningrat dan ibundanya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru pada tahun Śaka 1250 (1338 Masehi).

Ada tercantum batas-batasnya di timur panjangnya sama seperti yang dulu. Batas utara adalah sebelah barat desa Bangkyang Siddhi, sampai Kalkalan, Air Bakung dan Srimuka, ke utara lagi hingga Darawati batas dari Srimuka.

Prasasti Batu Jimbar

Jumlah              : 2 kelompok

                            – Kelompok 1 terdiri dari 5 lempeng (II, VI, VII, XIII dan XIV)

                            – Kelompok 2 terduri dari 1 lempeng (III)

Ukuran          : Kelompok 1

                        – Panjang  :    37 cm

                        – Lebar     :   8.7 cm

                        – Tebal     : 0,20 cm

                        Kelompok 2

                        – Panjang : 41,6 cm

                        – Lebar     :   7,6 cm

                        – Tebal     : 0,15 cm

Aksara           : Kawi (Bali Kuno)

Bahasa          : Jawa Kuno

Latar Budaya: Hindu – Buddha

Periodisasi    : Abad XII – XIV Masehi

Bahan            : Lempengan tembaga

Kondisi         : Tidak lengkap 

Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong, tugu kemenangan, tugu proklamasi. Begitu kebanyakan orang ketika itu menyebutnya. Tugu berupa batu padas (sailaprasasti) berbentuk pilar dengan di atasnya berhiaskan pahatan bunga lotus (padma ganda) dan terpahat tulisan sebagai penanda kemenangan perang.

Raja yang bergelar Ādhipatiḥ Śri Kesarī Warmmadewa meresmikannya pada tahun yang tertera : śake’bde śara wahnimūrtigaṇite (dibaca : Śaka 835) atau tahun 913 Masehi. Lokasi prasasti ini masuk di kawasan Pura Blanjong, Sanur.

Teks prasastinya dipahatkan pada dua sisi, yaitu sisi barat laut menggunakan aksara pre-negari yang biasa digunakan di India Utara terdiri atas enam baris tulisan dengan dua bahasa, yakni baris pertama sampai tiga menggunakan bahasa Sansekerta. Baris empat sampai enam menggunakan bahasa Bali Kuno. Teks pada sisi tenggara menggunakan aksara Bali Kuno (Kawi) berjumlah 13 baris tulisan dengan bahasa Sansekerta.

Prasasti Blanjong dapat diistilahkan sebagai teks bisisi (terdiri atas dua sisi), biaksara (menggunakan dua aksara), dan bilingual (menggunakan dua bahasa). Uniknya lagi bahkan antara aksara dan bahasa digunakan secara bersilang dalam artian, jika aksaranya aksara asing (pre-negari) bahasanya bahasa dalam negeri (Bali Kuno/Kawi), begitu juga sebaliknya. Keadaan yang dijelaskan ini memberikan kondisi prasasti yang sangat unik dan langka dengan belum pernah ditemukannya prasasti dengan jenis seperti ini di belahan dunia lainnya.

 

sisi tenggara (beraksara bali kuno, berbahasa sansekerta)

Catatan sejumlah penelitian, prasasti ini diartikan sebagai penanda keberhasilan mengalahkan musuh dari gurun dan s(u)wal. Hal ini seperti teks yang terpahat di prasasti ini. Penafsiran gurun sampai saat ini adalah Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, atau wilayah Gerung di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Peneliti masih menafsirka s(u)wal ditafsirkan merupakan wilayah pesisir Ketewel, Gianyar, Bali, wilayah Sowa di Bima-Sumbawa, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penyebutan Prasasti Blanjong karena ditemukan di wilayah Banjar Blanjong-Sanur yang pada awalnya ditemukan dalam keadaan setengah tertanam dalam tanah pasir, awalnya masyarakat mengira batu ini sebagai patok untuk mengikat tali perahu yang sedang bersandar.

sisi barat laut (beraksara pranegari, berbahasa bali kuno)

Arkeolog asal Belanda, W.F. Stutterheim, peneliti pertama yang mampu menerjemahkan Prasasti Blanjong. Ia menjelaskan bahwa Śri Kesari Warmadewa, raja yang pertama mengeluarkan prasast ini. Raja ini berstana di Singhadwala, angka tahunnya dikabarkan adalah candrasangkala yang berbunyi “śakai (j)e……u….hnimūrtigaṇite…”.

 

  1. Goris, arkeolog dan antropolog asal Belanda yang ahli mengenai Bali, R. Goris, menyempurnakan hasil bacaan candrasangkala tersebut. Selanjutnya peneliti lainnya, seperti Stein Konov, terus menyempurkannya. Ia menyebutknya “śaka khecara wahnimūrtigaṇite” yang memiliki nilai tahun śaka 839 yang tentunya pada tahun itu adalah masa pemerintahan Raja Ugrasena di Bali. Alasan inilah yang menyebabkan R. Goris menempatkan Śri Kesari Warmadewa pada urutan kedua di antara raja-raja yang memerintah pada masa Bali Kuno setelah Raja Ugrasena.

Candrasangkala Prasasti Blanjong kembali dipelajari oleh L.C. Damais dengan bantuan ghuru lagu Sardula Wikridita yang berhasil membaca “śaka ‘bde śara wahnimūrtigaṇite” yang berarti tahun śaka 835.

 

Damais melanjutkannya dengan membahas mengenai nama keraton yang berbeda dengan pendapat Stutterheim, yaitu singhadwāla menjadi singharccāla. Angka tahun tersebut membuat R. Goris memperbaiki urutan dengan memberikan Prasasti Blanjong nomor 005b. Sehingga jelas sudah bahwa Śri Kesari Warmadewa raja Bali Kuno yang namanya pertama kali tercantum dalam prasasti sebelum Raja Ugrasena.

Pura Blanjong

Pura Blanjong

Nah, Prasasti Blanjong ini berada di Pura Blanjong. Pura berlokasi di lingkungan pesisir Banjar Blanjong, Desa Adat Intaran, Desa Sanur Kauh.

Berdirinya kawasan Pura Blanjong tercatat abad X dengan bangunannya sebagaian besar berbahan batu padas dan batu bata. Prasasti Blanjong menjadi salah satu bagian pura yang menunjukkan sejarah kemenangan peperangan pada tahun 913 Masehi.

Kata Blanjong berasal dari penggalan dua kata, yaitu labuan berarti tempat berlabuh (pelabuhan) dan jung (jong) berarti perahu. Wilayah pesisirnya dari Pantai Mertasari hingga Pantai Semawang, dan perahu-perahu nelayan masih banyak berlabuh.

Secara mitologi Blanjong oleh masyarakat setempat dikaitkan cerita tentang pecahnya perahu milik I Renggan. Mitos itu yang memunculkan adanya istilah belahan = pecah dan jung/jong = perahu. Jika dibaca cepat, belahan dan jong itu menjadi belanjong.

Cerita pecahnya perahu milik I Renggan ini, seperti yang dikisahkan oleh I Made Sutama, Bendesa Desa Pakraman Renon. Ia menceritakan ada seorang spiritual bernama Ki Dukuh Jumpungan sebagai penganut ajaran Siwa yang rajin melakukan semadi di Pura Puncak Mundi Nusa Penida. Kesaktian dan ajaran-ajarannya diturunkan kepada kedua putranya, I Renggan dan I Renggin.

Lalu, kedua putranya ini terus mengembangkan ajaran ayahandanya. Hanya saja, keduanya mengembangkannya dengan cara berbeda. I Renggan memilih ilmu hitam. Adiknya, I Renggin memilih ilmu putih.

I Renggan mendapatkan sebuah perahu yang sangat sakti oleh ayahnya. Perahu ini besar dan kekuatannya mampu menghancurkan daratan jika ditabrakkan.

Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, alkisah menyatu dengan daratan Pulau Bali. Konon, perahu I Renggan ini yang memisahkannya sehingga seperti sekarang ini terpisah lautan.

Keinginannya terus bertambah. Renggan ingin memisahkan Gunung Agung dengan daratan Pulau Bali. Rencananya membuat murka para Dewa.

Kelakuan I Renggan akhirnya ditentang oleh adiknya sendiri yaitu I Renggin dengan dibantu oleh Sri Kesari Warmadewa. Pertentangan tersebut akhirnya diakhiri dengan pertempuran yang dilakukan di atas perahu (jung/jong). Renggan kalah. Perahunya pecah.

Selanjutnya, tempat dimana terdapat perahu (jung/jong) pecah (belah) tersebut kemudian menjadi nama tempat yang sekarang dikenal Blanjong. Bidak perahunya juga terdampar di pesisir Pantai Nusa Penida yang sekarang tempat tersebut menjadi Pura Blembongan.

Kekalahan tersebut membuat I Renggan tunduk kepada adiknya dan ditugaskan untuk mengabdi di Bhatara Luhuring Dalem Peed. Sekarang ini dikenal bernama Ida Ratu Gde Mecaling.

Kisah pertempuran antara ilmu hitam dan putih itu digambarkan pada cerita pementasan tari. Tari itu dinamakan Baris Wayang di Desa Pakraman Renon.

Apa hubungan Blanjong di Sanur dengan Renon? Karena, Sanur dan Renon merupakan kawasan yang berbeda.

Dahulu, sisa pasukan yang selamat dari peperangan itu memilih tinggal dipesisir Blanjong. Mereka menetap dan bermatapencaharian sebagai nelayan.

Seiring berjalannya waktu, terjadilah pageblug atau bencana. Ikan-ikan mati hampir memenuhi sepanjang pantai pesisir Blanjong. Masyarakatnya pun terkena banyak wabah penyakit. Hingga pada akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke daerah pedalaman dengan membawa peninggalan alat perang seperti gong beri, pedang, sangkha, kober, dan lainnya. Gamelan-gamelan itu, cikal bakal mengiringi kemunculan dari Tari Baris Cina.

Mata pencaharian mereka berubah. Nelayan menjadi petani sawah. Mereka pun berhasil menjadi petani dan masyarakat pun reno yang artinya bahagia. Reno ini menjadi asal muasal nama kawasan itu, Renon.

Keterikatan mereka masih terpelihara di antara keduanya. Hal tersebut membuktikan bahwa Pura Blanjong saat ini pengemponnya bukan masyarakat sekitar Blanjong, diempon pula oleh masyarakat Desa Pakraman Renon. Pengempon lainnya adalah masyarakat dari Banjar Lantang Hidung Batuan – Sukawati Gianyar yang khusus mengempon Palinggih Lantang Hidung yang menyimpan arca Ganesha, dan Banjar Ceramcam Kesiman.

Ketiga kelompok masyarakat (Desa Pakraman Renon, Banjar Lantang Hidung, dan Banjar Ceramcam) ini dalam melaksanakan upacara piodalan (Pamendakan Ida Bhatara) yang jatuh setiap 210 hari (6 bulan) sekali, tepatnya pada hari Soma Pahing Wuku Langkir memiliki cara maupun waktu yang berbeda-beda. Pemendakan Ida Bhatara pertama dilakukan oleh kelompok masyarakat Banjar Lantang Hidung Batuan – Sukawati Gianyar yang khusus melaksanakan kegaiatan pemujaan di Palinggih Lantang Hidung, selanjutnya dilakukan oleh kelompok masyarakat Banjar Ceramcam Kesiman yang prosesinya dipusatkan di Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung kemudian dilanjutkan di Tugu Prasasti Blanjong, dan terakhir dilakukan prosesi oleh kelompok masyarakat asyarakat Desa Pakraman Renon yang terpusat di areal Pura Blanjong lengkap dengan pangilenngilen.

Pura Blanjong

Pura Blanjong memiliki struktur dwi mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) merupakan halaman terbuka dan jeroan (utama mandala). Secara simbolis nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia dan utama mandala melambangkan swahloka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Blanjong Sanur memiliki tiga halaman yang memiliki sedikit variasi yaitu bagian nista mandala (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan) di sisi barat.

Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dan jaba sisi (nista mandala) dikelilingi dengan tembok keliling terbuat dari batu padas serta dibatasi dengan candi bentar. Halaman utama mandala terdapat bangunan-bangunan utama dan penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan pemujaan, seperti Palinggih Lantang Hidung, Palingging Ida Dalem Blanjong, Palinggih Lingga Yoni (Siwa Budha), Palinggih Jro Luh, Palinggih Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung), Bale Banten, Bale Pawedan, Palinggih Ratu Tuan, Tajuk, dan Bale Kulkul.

Pura Blanjong Sanur memiliki karakter Pura Umum tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi, karena berdasarkan pengempon dan panyungsungnya dalah kelompok masyarakat Desa Pakraman Renon, Banjar Lantang Hidung Batuan – Sukawati Gianyar, dan Banjar Ceramcam Kesiman, sedangkan yang hanya menyungsung adalah kelompok masyarakat dari Desa Pakraman Intaran, Desa Pakraman Kesiman, dan ada juga berasal dari Sesetan.

A. Palinggih Lingga Yoni

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi keseluruhan   : 401 cm

                                 Tinggi kaki                   : 122 cm

                                 Tinggi badan               : 95 cm

                                 Tinggi puncak             : 184 cm

                                 Panjang kaki               : 221 cm

                                 Panjang badan          : 120 cm

                                 Panjang puncak        : 53 cm

                                 Lebar kaki                    : 221 cm

                                 Lebar badan               : 121 cm

                                 Lebar puncak             : 50 cm

Arah Hadap       : –

Latar Budaya     : Hindu – Budha

Periodisasi         : Abad XIX – XX Masehi

Bahan                  : Batu padas dan batu bata

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Palinggih Lingga Yoni atau disebut juga dengan Siwa-Budha terletak di sisi timur halaman jeroan (utama mandala). Struktur palinggih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan puncak. Kaki bangunan berbentuk bebaturan  terbuat dari susunan batu bata merah dengan dihiasi simbar gantung dan simbar duduk pada setiap sudutnya. Pada bagian dindingnya terdapat hiasan tapak dara yang ditumpuk-tumpuk semakin ke depan semakin mengecil. Pada atas selasar bebaturan diletakkan fragmen umpak bangunan berelief di keempat sudutnya. Badan bangunan berbentuk kelopak bunga teratai yang sedang mekar namun bentuk dasarnya dibuat persegi. Badan bangunan disusun oleh batu bata merah dengan hiasan daun-daun pada dinding-dindingnya, selasar atas badan bangunan dilengkapi dengan antefik berbentuk daun yang mencuat ke atas terbuat dari batu padas. Struktur ini pada dasarnya sebenarnya di bangun kembali oleh masyarakat, tetapi tetap menggunakan fragmen-fragmen bangunan pada masa lampau. Hal tersebut dapat dilihat pada puncak struktur terdapat dua fragmen berbentuk persegi disusun untuk menopang menur sebagai kemuncaknya. Fragmen bangunan tersebut berukuran tinggi 74 cm, panjang 38, dan lebar 33 cm. Pemangku pura menuturkan dulu pada puncak bangunan terdapat lesung batu yang menyerupai lingga yoni dan hal tersebut membuat struktur ini disebut Palinggih Lingga Yoni oleh masyarakat.

B. Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung

    Lokasi                   : Pura Blanjong

     Ukuran                 : Tinggi keseluruhan    : 260 cm

                                      Tinggi kaki                    : 130 cm

                                      Tinggi badan                :   59 cm

                                      Tinggi puncak              :   71 cm

                                        Panjang kaki               : 220 cm

                                        Panjang badan          : 217 cm

                                        Panjang puncak         :   98 cm

                                        Lebar kaki                    : 220 cm

                                        Lebar badan               : 210 cm

                                        Lebar puncak             :   53 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XIX – XX Masehi

Bahan                  : Batu padas dan batu bata

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Palinggih Bebaturan Padma Capah atau disebut juga dengan Padma Agung terletak di sisi timur halaman jeroan (utama mandala). Struktur palinggih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan puncak. Kaki bangunan berbentuk persegi empat terbuat dari susunan batu padas, struktur ini mengindikasikan sebagai Cagar Budaya ditunjukkan pada bagian kaki, sementara bagian badan dan tangga pada bagian depan kumungkinan besar merupakan bangunan baru. Kaki pelinggih terbuat dari batu bata yang setiap sudutnya berhiaskan bakal relief simbar gantung dan simbar duduk. Selasar bagian depan struktur ditempatkan dua arca nandi yang sudah rusak dan terdapat ruang terbuka untuk meletakkan sesaji sebagai puncak bangunan.

C. Palinggih Ida Dalem Blanjong

    Lokasi                   : Pura Blanjong

     Ukuran                 : Tinggi kaki             : 27,5 cm

                                      Tinggi badan         : 185 cm

                                      Panjang kaki         : 252 cm

                                      Panjang badan     : 176 cm

                                      Lebar kaki              : 240 cm

                                      Panjang badan     : 162 cm

Arah Hadap       : Selatan

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XIX – XX Masehi

Bahan                  : Batu padas, batu bata, dan kayu

Kondisi                : Baik

Deskripsi             : Pelinggih Ida Dalem Blanjong terletak pada sisi utara  halaman jeroan (utama mandala) pura, bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Indikasi sebagai cagar budaya ditunjukkan pada bagian kaki yang masih menggunkan komponen bangunan lama, sementara badan dan atap bangunan kemungkinan besar merupakan bangunan baru. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah yang setiap sudut kakinya dihiasi dengan simbar gantung dan simbar duduk serta pada pelipit sudut dihiasi oleh garis-garis lurus berbentuk tirai dan suluran daun. Badan bagunan berbentuk persegi panjang yang terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berwarna coklat. Pada setiap sudut badan bangunan ini juga dihiasi oleh simbar duduk dan simbar gantung serta pada bagian dindingnya terdapat hiasan bunga teratai yang sedang mekar. Atap bangunan berbentuk kerucut yang terbuta dari batu pada dengan menur pada bagian atasnya.

D. Arca Ganesha

    Lokasi                   : Pura Blanjong

     Ukuran                 : Tinggi                      : 107 cm

                                      Lebar                       :   65 cm            

                                      Tebal                       :   44 cm

Arah Hadap       : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad X – XIII Masehi

Bahan                  : Batu padas putih

Kondisi                : Rusak

Deskripsi             : Arca diletakkan dalam Palinggih Lantang Hidung, dipahatkan duduk dengan sikap wirasana di atas lapik padma ganda setinggi 19 cm, bersandar pada stela, badan arca tambun, dan berperut buncit. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk jatamakuta dengan hiasan manik-manik di atas dahi, mata terbuka, belalai sudah patah kemungkinan terjuntai mengarah ke kiri menghisap isi patra, upawita berupa ular melintasi bahu kiri hingga pinggang kanan, dan kedua danta sudah patah. Arca bertangan empat (caturbhuja), tangan kanan depan membawa benda yang sudah patah kemungkinan patahan danta, tangan kanan belakang patah, tangan kiri belakang patah, dan tangan kiri depan patah kemungkinan membawa patra menumpu belalai. Kedua tangan depan masing-masing menggunakan keyura berupa gelang berbentuk segitiga seperti gunung, sedangkan kaki arca pada pergelangannya menggunakan kankana berupa bulatan polos.

E. Lingga I

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi keseluruhan           : 43 cm

                                 Tinggi brahma bhaga     : 16 cm

                                 Tinggi wisnu bhaga          : 13 cm

                                 Tinggi siwa bhaga             : 14 cm

                                 Lebar                                     : 13 cm

                                      Tebal                                     : 15 cm

                                      Diameter siwa bhaga       : 13 cm

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad X – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Lingga yang ditemukan pada Palinggih Jro Luh ini merupakan lingga lengkap (tri bhaga) dengan memiliki tiga bagian, yaitu brahma bhaga sebagai dasar berbentuk persegi empat, wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan. Lingga juga memiliki cerat pada sisi depan bulatan (siwa bhaga).

F. Lingga II

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi keseluruhan           : 28 cm

                                 Tinggi wisnu bhaga          : 8 cm

                                 Tinggi siwa bhaga             : 20 cm

                                 Diameter siwa bhaga       : 15 cm

Arah Hadap       : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad X – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Lingga diletakkan pada Palinggih Jro Luh keadaannya sudah sangat rusak, yang tersisa hanya bagian wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan, sedangkan bagian brahma bhaga yang berbentuk persegi sudah pecah dan hilang.

G. Fragmen Arca Perwujudan I

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 26 cm

                                 Lebar                       : 10 cm

                                 Tebal                        : 17 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan pada Palinggih Jro Luh yang masih dapat diamati adalah pinggang hingga lapik saja, sisanya sudah patah dan hilang. Arca dipahatkan berdiri dengan sikap samabhanga diatas lapik persegi polos berukuran tinggi 7 cm, panjang, 23 cm, dan lebar 19 cm. Kankana pada pergelangan kaki polos dan sampur terjuntai hingga menyentuh lapik, serta kain arca hanya sampai lutut dengan dengan lipatan wiron hingga menyentuh lapik.

H. Fragmen Arca Perwujudan II

    Lokasi                   : Pura Blanjong

     Ukuran                 : Tinggi                      : 33 cm

                                      Lebar                       : 23 cm

                                      Tebal                       :   9 cm

     Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan pada Palinggih Jro Luh, bagian arca yang masih tersisa adalah bagian tengah arca hingga ke belakang, sementara bagian tengah ke depan sudah rusak dan hilang. Arca kemungkinan duduk di atas sebuah lapik yang berukuran tinggi 4 cm, bersandar pada stela, dan digambarkan tambun. Karena memang sudah rusak sehingga sikap tangan dan kaki, raut muka, dan lainnya tidak dapat diidentifikasi lagi.

I. Fragmen Arca Perwujudan III

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 14 cm

                                 Lebar                       : 13 cm

                                 Tebal                       :   9 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan di atas puncak padma Prasasti Blanjong, bagian yang masih dapat diamati adalah pinggang hingga lapik saja, sisanya sudah patah dan hilang, arca dipahatkan berdiri dengan sikap samabhanga di atas lapik persegi polos berukuran tinggi 7 cm, panjang 16 cm, dan lebar 14 cm dan bersandar pada stela. Kankana pada pergelangan kaki berbentuk bulatan polos, sampur dan uncal  terjuntai menyentuh lapik, serta kain arca hanya sampai lutut dengan lipatan wiron hingga menyentuh lapik.

J. Fragmen Arca Perwujudan IV

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 16 cm

                                 Lebar                       : 15 cm

                                 Tebal                        : 12 cm

Arah Hadap         : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan di atas puncak padma Prasasti Blanjong, bagian yang masih dapat diamati adalah badan saja lengkap dengan tangan tertempel disamping pinggang, karena kepala dan kaki sudah patah.

K. Fragmen Arca Perwujudan V

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 27 cm

                                 Lebar                       : 15 cm

                                 Tebal                        : 10 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Fragmen arca perwujudan ini dilatakkan di atas puncak padma Prasasti Blanjong, bagian yang masih dapat diamati hanya bagian kepalanya saja, terlihat pada bagian atas memakai penutup kepala, namun sudah tidak jelas lagi bentuknya. Raut muka sudah tidak dapat diamati.

L. Kemuncak Bangunan I

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 27 cm

                                 Diameter                : 24 cm

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : kemuncak bangunan ini diletakkan pada Palinggih Jro Luh berbentuk persegi delapan dan dasarnya berbentuk silinder. Pada bagian tepi bawah dihiasai oleh rangkaian gunungan-gunangan yang menghadap ke atas. Dilihat secara sepintas kemungkinan fragmen bangunan ini merupakan bagian dari kemuncak sebuah bangunan.

M. Kemuncak Bangunan II

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 42 cm

                                 Diameter                : 31 cm

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Kemuncak bangunan ini diletakkan pada Palinggih Lingga Yoni berbentuk persegi delapan menyerupai gada. Kondisi kemuncak bangunan sudah pecah terbagi dua.

N. Kemuncak Bangunan III

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 29 cm

                                 Diameter               : 20 cm

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi          : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Kemuncak bangunan ini diletakkan pada Palinggih Lingga Yoni berbentuk dasar persegi empat, dengan antefik di atasnya menopang bulatan.

O. Fragmen Miniatur Bangunan Terakota

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : –

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XIV – XV Masehi

Bahan                  : Tanah liat dibakar

Kondisi                : Pecah dan rusak

Deskripsi             : Fragmen miniatur bangunan terbuat dari tanah liat atau sering disebut dengan terakota sejumlah empat buah dengan ukuran terpanjang 19 cm dan terpendek 8 cm. Miniatur bangunan ini kemungkinan bagian dari sebuah miniature candi dengan hiasan pelipit dan bermotif sulur –suluran. Pada salah satu fragmen miniatur pada bagian dindingnya terdapat relung-relung.

P. Batu Alam (monolit)

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      :   8 cm

                                 Diameter                : 48 cm

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : –

Bahan                  : Batu andesit

Kondisi                : Tidak beraturan 

Deskripsi             : Batu alam (monolit) ini diletakkan di Palinggih Jro Luh, tepatnya di depan deretan tinggalan arkeologi lainnya. Batu alam berbentuk silinder pipih yang kemungkinan digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji pada masa lampau.

Q. Arca Nandi I

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 36 cm

                                 Panjang                  : 63 cm

                                 Tebal                        : 35 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Rusak 

Deskripsi             : Arca Nandi ini diletakkan di atas selasar selatan struktur bebaturan yang bernama Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung, berbaring di atas lapik polos dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, kaki belakang dilipat ke depan menyangga badan, kepala sudah patah hilang, ekor arca diarahkan melintang di pinggul bagian kanan, memperlihatkan buah zakar diantara paha belakang, dan secara umum arca ini sudah sangat rusak.

R. Arca Nandi II

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : Tinggi                      : 36 cm

                                 Lebar                     : 55 cm

                                 Tebal                       : 25 cm

Arah Hadap        : Barat

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Rusak 

Deskripsi            : Arca Nandi ini diletakkan di atas selasar utara struktur bebaturan yang bernama Palinggih Bebaturan Padma Capah/Padma Agung, berbaring di atas lapik polos dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, kaki belakang dilipat ke depan menyangga badan, kepala arca sudah sangat aus, moncong sudah pecah, ekor arca diarahkan melintang di pinggul bagian kanan, memperlihatkan buah zakar diantara paha belakang, dan secara umum arca ini sudah sangat rusak.

S. Umpak berelief

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : A: tinggi 29 cm, lebar 30 cm, dan tebal 13 cm;

                                 B: tinggi 37 cm, lebar 28 cm, dan tebal 26 cm;

                                 C: tinggi 39 cm, lebar 37 cm, dan tebal 27 cm;

                                 D: tinggi 21 cm, lebar 22 cm, dan tebal   13 cm;

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : Abad XI – XV Masehi

Bahan                  : Batu padas

Kondisi                : Rusak 

Deskripsi             : Umpak berelief ini ditemukan berjumlah empat buah diletakkan di atas selasan Palinggih Lingga Yoni (Siwa-Budha), dengan keadaan yang sangat rusak, dua buah umpak dapat dideskripsikan tokoh relief tersebut seperti dua orang manusia sedang berpegangan tangan, kepala memakai mahkota, dan dua orang tokoh pendeta sedang berpegangan tangan. Sedangkan dua umpak lainnya tidak dapat diamati kembali karena sudah rusak.

T. Kelompok Batu Alam (monolit)

Lokasi                   : Pura Blanjong

Ukuran                 : –

Arah Hadap        : –

Latar Budaya     : Hindu

Periodisasi         : –

Bahan                  : Batu andesit

Kondisi                : Tidak beraturan 

Deskripsi             : Batu alam (monolit) ini berjumlah tujuh buah diletakkan tergeletak pada permukaan tanah di jeroan (utama mandala) Pura Blanjong, tepatnya di samping kiri Palinggih Ratu Tuan. Batu alam ini bentuknya tidak teratur dan memiliki ukuran yang berbeda-beda. 

20210318-DSC00804

Pura Susunan Wadon

Perjalanan wisata warisan budaya Pura Susunan Wadon ini sekitar setengah kilometer ke timur dari Pura Dalem Sakenan. Menurut pemangku pura, Jero Mangku Nengah Sudira, masih memiliki kaitan erat dengan Pura Dalem Sakenan. Perwujudan yang disucikan/dimuliakan di Pura Susunan Wadon adalah Ida Bhatari Istri sebagai pasangan dari Ida Bhatara Lanang yang bersthana di Pura Dalem Sakenan.

Kisah pura

Pura Susunan Wadon

Konon katanya karena dimadu atau beristri lagi, Ida Bhatari Istri Susunan Wadon marah kepada Ida Bhatara Lanang Dalem Sakenan. Beliau tak mau lagi bertemu muka dengan Ida Bhatara Lanang Dalem Sakenan sebagai suaminya.

Hal ini menjadi alasan mengapa candi prasada linggih Ida Bhatara Lanang Dalem Sakenan menghadap ke barat, sedangkan candi prasada linggih Ida Bhatari Istri Susunan Wadon menghadap ke timur.

Cerita lain, setelah Dang Hyang Nirartha selesai membangun Pura Dalem Sakenan di Pulau Serangan, perjalanannya dilanjutkan ke arah timur dengan menemukan tempat suci sebagai sthana Bhatari Durga. Beliau pun bersemedi.

Dalam samedinya bersabdalah Bhatari Durga, dengan menyarankan sebelum moksa agar Dang Hyang Nirartha terlebih dahulu menjadi penguasa (raja) Bali. Namun ditolaknya.

Akhirnya Bhatari Durga memberi petunjuk untuk mencapai moksa agar pergi ke arah barat daya, tempat bersthananya Dewa Rudra (Pura Uluwatu). Sebelum meninggalkan tempat suci itu kemudian Dang Hyang Nirartha bersama penduduk disana membangun pura yang kemudian diberi nama Pura Susunan Wadon. Kata wadon berarti perempuan yang dalam hal ini dikaitkan dengan tempat pemujaan Bhatari Durga sebagai sakti.

Pura Susunan Wadon termasuk sebagai pura Dang Kahyangan di Bali, dan upacara piodalannya dilaksanakan setiap 210 hari, yaitu pada hari Redite (minggu) Umanis, Wuku Kuningan (hari raya Umanis Kuningan). Dang Kahyangan yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk kebesaran jasa-jasa seorang pendeta guru suci (dang guru), yakni Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh). Pura Susunan Wadon juga sebagai pura Kahyangan Jagat Bali.

Pura Susunan Wadon

Bangunan paras dan pembagian halaman

Struktur Pura Susunan Wadon posisinya jika dilihat dari pintu masuknya menghadap ke utara dengan terbagi atas tiga halaman. Yaitu, halaman dalam (utama mandala/jeroan), halaman tengah (madya mandala), dan halaman luar (nista mandala/jabaan).

Masing-masing halaman dibatasi dengan tembok keliling yang terbuat dari susunan batu gamping (kapur) atau disebut juga dengan paras tombong. halaman luar dengan halaman tengah dihubungkan dengan paduraksa berupa candi bentar, sedangkan halaman tengah dengan halaman dalam dihubungkan dengan paduraksa berupa candi kurung dan candi bentar.

Halaman dalam (utama mandala/jeroan) di dalamnya berdiri bangunan maupun arca  seperti Candi Prasada sebagai sthana Ida Bhatari Lingsir Dalem Susunan Wadon. Selain itu, ada dua Bale Tajuk, Palinggih Ratu Gede Dalem Nusa, Palinggih Ratu Gede Blembong, Bale Pasucian, Palinggih Ratu Pancer Jagat, Palinggih Ratu Dukuh Sakti, Palinggih Pengayatan Naga Basuki, Palinggih Pasimpangan Kepaon, Palinggih Ratu Niang, Bale Pamiyosan, Bale Santian, Bale Pesanekan, Bale Gong, Pasimpangan Ulun Danu, Bale Pangolahan, Pawaregan.

Ada pula sumur, dua arca nandi, dua arca dwarapala, dua arca punakawan, dua arca tokoh panji, dan arca tokoh laki-laki.

Kemudian pada halaman tengah (madya mandala) terdapat juga bangunan maupun arca seperti wantilan, Bale Kulkul, Palinggih Ratu Mas Jegeg, candi bentar, dan dua arca dwarapala.

Halaman luar (nista mandala/jabaan) yang berada di sisi utara merupakan halaman kosong yang dikelilingi tembok.

Candi dan arca dibangun pada periode Abad XV – XVI

1. Candi (Prasada) Gedong Ida Bhatari Lingsir Dalem Susunan Wadon

Tinggi                 : – cm

Panjang             : 367 cm

Lebar                  : 329 cm

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

2. Paduraksa Candi Bentar

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Paduraksa Candi Bentar ini terletak di tengah-tengah sebagai penyambung tembok antara halaman dalam (utama mandala/jeroan) dengan halaman tengah (madya mandala) pura.

3. Arca Nandi I

Tinggi               : 50 cm

Lebar                : 36 cm

Panjang            : 59 cm                     

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Nandi I ini diletakkan di bawah sebelah selatan depan kaki prasada. Dalam ikonografi Hindu Bali adalah binatang lembu sebagai wahana Dewa Siwa, yang diberinama warga setempat, Kebo Dongol.

4. Arca Nandi II

Tinggi              : 50 cm

Lebar               : 36 cm

Panjang           : 70 cm        

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Sama halnya dengan Arca Nandi I, Arca Nandi II. Bedanya, arca ini terletak di bawah sebelah utara depan kaki prasada.

5. Arca Dwarapala I

Tinggi               : 102 cm

Lebar                 : 37 cm

Tebal                  : 38 cm      

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Dwarapala I ini diletakkan sebelah selatan depan prasada.

6. Arca Dwarapala II

Tinggi               : 101 cm

Lebar                : 31 cm

Tebal                 : 35 cm      

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Dwarapala II ini diletakkan sebelah utara depan prasada.

7. Arca Dwarapala Bhatari I

Tinggi                 : 122 cm

Lebar                   : 53 cm

Tebal                    : 49 cm      

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Dwarapala Bhatari I ini diletakkan sebelah barat depan candi bentar. Disebut dengan Dwarapala Bhatari, sebagai arca penjaga pintu berwujud perempuan menyeramkan.

8. Arca Dwarapala Bhatari II

Tinggi                   : 122 cm

Lebar                    : 48 cm

Tebal                     : 49 cm      

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Dwarapala Bhatari II ini diletakkan sebelah timur depan candi bentar. Disebut dengan Dwarapala Bhatari, sebagai arca penjaga pintu berwujud perempuan menyeramkan.

9. Arca Tokoh Panji I

Tinggi                        : 69 cm

Lebar                         : 33 cm

 Tebal                         : 29 cm        

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Tokoh Panji I ini dapat dikenali dengan mahkota yang digunakan, yaitu gelungan pepanjian atau disebut juga keklopingan. Dalam dramatari Gambuh di Bali, Panji biasanya sebagai tokoh raja.

10. Arca Tokoh Panji II

Tinggi                : 72 cm

Lebar                 : 34 cm

Tebal                  : 32 cm                            

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Tokoh Panji II sama dengan arca Tokoh Panji I menggunakan gelungan pepanjian.

11. Arca Tokoh Kadean-kadean

Tinggi              : 81 cm

Lebar               : 30 cm

Tebal                : 32 cm        

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca ini merupakan tokoh Kadean-kaden, karena menggunakan mahkota gegelungan jejempongan. Kadean-kadean merupakan tokoh-tokoh patih dalam dramatari Gambuh di Bali.

12. Arca Twalen

Tinggi                  : 73 cm

Lebar                   : 40 cm

Tebal                    : 34 cm        

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Twalen ini merupakan tokoh punakawan sebagai penasehat dan sekaligus abdi raja.

13. Arca Mredah

 Tinggi              : 76 cm

Lebar                 : 29 cm

Tebal                  : 30 cm        

Batu gamping (karang laut) / paras tombong

Arca Mredah ini juga merupakan tokoh punakawan. Mredah dalam pewayangan Bali merupakan pasangan ayahnya sendiri, yaitu Twalen sebagai penasehat dan sekaligus abdi raja.