Sejarah-sumetra

Sejarah Sumerta

Mengenai latar belakang sejarah Desa Sumerta secara pasti dan tertulis sampai saat ini belum ditemukan, tetapi penulis berusaha menyusun sejarah keberadaan Desa Sumerta berdasarkan hasil wawancara dan studi kepustakaan. Menurut kisah dari panglingsir/tetua yang tercantum dalam Eka Suwarnita Desa Adat Sumerta (2014: 2-3) dikatakan Desa Sumerta dahulunya bernama Wongaya dan lama kelamaan menjadi Sumerta Wongaya. Mengenai kata Sumerta ini diturunkan dari nama salah seorang penguasa wilayah pada saat itu yang ditemukan dalam Babad Ki Bandesa Krobokan Badung. Adapun kutipan babad tersebut sebagai berikut.

“…walian ikang kata, ceritanen mangke tmajanira Ki Gusti Pasek Gelgel Aan, pada sahing Hyang Widi, apasanakan rahning nalikang rat, tembenia Gde Pasek Sumerta tmajanira Ki Gusti Pasek Aan, angalih lungguh mareng jagat bandana, sira kawuwus Pasek Sumerta, muang lungguh hira raju ingaranan Sumerta, apan sira Ki Pasek Gegel winuwus widagda wicaksana, sida pwa sira anampa sajnira Sang Natheng Bandana…” (Anonim, 2014: 3)

Kepergian Ki Pasek Sumerta ke jagat bandana (Badung) menurut cerita di atas diperkirakan pada akhir masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Kata-kata Sumerta dalam kutipan di atas muncul beberapa kali dalam menyebutkan nama tokoh dan berdasarkan hasil wawancara dengan Pemangku Pura Puseh Sumerta (I Made Rai Suta Maskaya, 2018) juga menerangkan dulu Desa Sumerta pernah dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama I Gusti Ngurah Sumerta. Hal tersebut memunculkan sebuah asumsi bahwa wilayah yang dulunya bernama Wongaya berubah namanya menjadi Sumerta yang disebabkan oleh turunan nama tokoh yang pernah memimpin wilayah ini, yaitu menurut Babad Ki Bandesa Krobokan Badung ialah Gde Pasek Sumerta dan menurut penuturan Pemangku Pura Puseh Sumerta ialah I Gusti Ngurah Sumerta. 

Mengenai keberadaan Pura Puseh Sumerta dan Pura Kebon Sumerta yang  menjadi objek inventarisasi dapat diketahui latar belakang pembangunannya berdasarkan atas piagam abad XV Śaka yang masih dibawa sampai saat ini oleh keluarga Pemangku Puseh Sumerta di Banjar Sima. Piagam tersebut isinya kurang lebih mengenai perintah dari I Gusti Ngurah Sumerta kepada Ki Bendesa Bekung di Sumerta Wongaya agar secepatnya membangun Pura Puseh dan Pura Kebon dalam waktu setahun dengan mendapatkan imbalan berupa tanah lengkap dengan biji/bibit tanaman (Anonim, 2014: 3).

4D6C0A25-D56E-45E9-B56E-7447F65535FA_1_105_c-transformed

Sejarah Pohmanis

Berbicara mengenai sejarah Desa Adat Taman Pohmanis tidak dapat terlepas dari Prasasti yang tersimpan di Pemrajan Agung Pohmanis, yang turunannya secara bebas dideskripsikan dalam Babad Kesatria Sukahet. Diceritakan telah hilang seorang anak kecil di Puri Klungkung yang merupakan putra dari I Dewa Karang. I Dewa Karang ini merupakan putra dari I Dewa Paduhungan yang merupakan putra dari  I Dewa Sumretha sebagai putra Dalem Sagening dari istri panawing. I Dewa Sumretha putra Dalem Sagening diperkirakan sebaya dengan Dalem Dimade yang menjadi raja pada tahun 1665-1686 Masehi. Ketika masa pemerintahan Dalem Dimade terjadi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan kerajaan ketika itu berhasil dikuasai. Dalem Dimade bersama dua putranya, yaitu I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe mengungsi ke Desa Guliang Pejeng dan dalam pengungsian Dalem Dimade wafat di Desa Guliang. I Dewa Jambe setelah dewasa mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Swucapura Gelgel bersama-bersama dengan saudaranya, yaitu I Dewa Paduhungan untuk merebut kembali kerajaan dari I Gusti Agung Maruti.

I Dewa Jambe kira-kira sebaya dengan umur I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumretha ketika itu berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti dan kerajaan dapat direbut dengan memindahkan pusat kerajaan dari Swecapura Gelgel ke Smarajaya Klungkung dan I Dewa Jambe naik tahta tanpa menggunakan gelar dalem dari tahun 1710-1775 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. Putra Ida I Dewa Agung Jambe bernama I Dewa Dimade yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Smarapura Klungkung pada tahun 1775-1825 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Dimade. Ketika terjadi penumpasan I Gusti Agung Maruti di Kerajaan Swecapura Gelgel dulu oleh Ida I Dewa Agung Jambe, putranya yang bernama I Dewa Dimade masih sangat kecil dan diperkirakan seumuran dengan I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduhungan. Terjadinya perebutan kekuasaan tersebut membuat kondisi sangat kacau sehingga I Dewa Karang beserta dengan parekan dan panginte ketika itu diselamatkan dengan cara dilarikan ke Denbukit (Buleleng) oleh I Ngakan Kaleran (Kertha dkk, 2001: 9-10).

Diceritakan ada seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija berkuasa di Kerajaan Bun yang memiliki penduduk sebanyak ± 5000 jiwa. Kerajaan Bun sekarang merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Desa Angabaya Penatih, di sebelah timur Desa Sibang Badung, di sebelah selatan Desa Lambing-Tingas Badung, serta di disebelah barat Desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati Badung. Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3). 

Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang. 

I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe

Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.

I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.

“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis).

Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang).

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..

i Dewa Nyoman Badung wafat/mantuk di Kesiman. Beliau mempunyai 3 orang putra-putri. Yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung ketika itu), I Dewa Gede Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju desa perbatasan wilayah Badung dengan Mengwi dan Gianyar. Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande untuk membangun dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande (Menantu I Dewa Nyoman Badung) menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22). Wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang sangat gawat karena disana sering terjadi pertempuran. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tonggak-tonggak sejarah seperti belumbang (banteng yang terbuat dari susunan tanah) melintang mengelilingi wilayah ini, penamaan tempat seperti carik cucukan dan kalangan yang identik dengan istilah dalam peperangan, dan karena wilayah ini sebagai banteng pertahanan Badung pada masanya sehingga wilayah ini bernama pemanes terus berkembang menjadi pemanis dan pohmanis sampai saat ini.

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande beserta dengan warga masyarakat lainnya di wilayah pemanes ini mampu meredam invansi meliter Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur dan membuat keadaan semakin aman. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanes semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemanes sebagai banteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas sekitar tahun 1740 Masehi invansi meliter Mengwi yang mengalahkan Kerajaan Bun dan disaat yang hampir bersamaan terjadi gejolak kekuasaan di Kerajaan Batubulan yang mengakibatkan terbunuhnya I Dewa Gde Rai (sekarang didharmakan pada meru di Pura Puseh Batubulan). Pada masa-masa itu beberapa keluarga raja seperti I Dewa Wayan Muntur dan I Dewa Nyoman Badung meninggalkan Batubulan menuju wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) bersama para warga-wargi (panjak tatadan) untuk membangun serta membina wilayah baru di tepi siring Kerajaan Badung sekitar abad XVII-XVIII Masehi. 

Mengenai istilah nama taman itu baru muncul ketika wilayah desa ini dibagi menjadi dua banjar adat, yaitu taman dan pohmanis yang dulunya secara keseluruhan bernama pemanes/pemanis/pohmanis. Taman dikaitkan dengan adanya Pura Taman Sari di sisi barat desa yang sekarang dimiliki oleh Brahmana dari Geriya Bindu Kesiman.

Berbicara mengenai sejarah Desa Adat Taman Pohmanis tidak dapat terlepas dari Prasasti yang tersimpan di Pemrajan Agung Pohmanis, yang turunannya secara bebas dideskripsikan dalam Babad Kesatria Sukahet. Diceritakan telah hilang seorang anak kecil di Puri Klungkung yang merupakan putra dari I Dewa Karang. I Dewa Karang ini merupakan putra dari I Dewa Paduhungan yang merupakan putra dari  I Dewa Sumretha sebagai putra Dalem Sagening dari istri panawing. I Dewa Sumretha putra Dalem Sagening diperkirakan sebaya dengan Dalem Dimade yang menjadi raja pada tahun 1665-1686 Masehi. Ketika masa pemerintahan Dalem Dimade terjadi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan kerajaan ketika itu berhasil dikuasai. Dalem Dimade bersama dua putranya, yaitu I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe mengungsi ke Desa Guliang Pejeng dan dalam pengungsian Dalem Dimade wafat di Desa Guliang. I Dewa Jambe setelah dewasa mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Swucapura Gelgel bersama-bersama dengan saudaranya, yaitu I Dewa Paduhungan untuk merebut kembali kerajaan dari I Gusti Agung Maruti.

I Dewa Jambe kira-kira sebaya dengan umur I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumretha ketika itu berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti dan kerajaan dapat direbut dengan memindahkan pusat kerajaan dari Swecapura Gelgel ke Smarajaya Klungkung dan I Dewa Jambe naik tahta tanpa menggunakan gelar dalem dari tahun 1710-1775 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. Putra Ida I Dewa Agung Jambe bernama I Dewa Dimade yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Smarapura Klungkung pada tahun 1775-1825 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Dimade. Ketika terjadi penumpasan I Gusti Agung Maruti di Kerajaan Swecapura Gelgel dulu oleh Ida I Dewa Agung Jambe, putranya yang bernama I Dewa Dimade masih sangat kecil dan diperkirakan seumuran dengan I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduhungan. Terjadinya perebutan kekuasaan tersebut membuat kondisi sangat kacau sehingga I Dewa Karang beserta dengan parekan dan panginte ketika itu diselamatkan dengan cara dilarikan ke Denbukit (Buleleng) oleh I Ngakan Kaleran (Kertha dkk, 2001: 9-10). 

Diceritakan ada seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija berkuasa di Kerajaan Bun yang memiliki penduduk sebanyak ± 5000 jiwa. Kerajaan Bun sekarang merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Desa Angabaya Penatih, di sebelah timur Desa Sibang Badung, di sebelah selatan Desa Lambing-Tingas Badung, serta di disebelah barat Desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati Badung. Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3).

Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang. 

Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). 

Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. 

Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.

I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.

“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis). Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang). 

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..

i Dewa Nyoman Badung wafat/mantuk di Kesiman. Beliau mempunyai 3 orang putra-putri. Yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung ketika itu), I Dewa Gede Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju desa perbatasan wilayah Badung dengan Mengwi dan Gianyar. Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande untuk membangun dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande (Menantu I Dewa Nyoman Badung) menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22). Wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang sangat gawat karena disana sering terjadi pertempuran. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tonggak-tonggak sejarah seperti belumbang (banteng yang terbuat dari susunan tanah) melintang mengelilingi wilayah ini, penamaan tempat seperti carik cucukan dan kalangan yang identik dengan istilah dalam peperangan, dan karena wilayah ini sebagai banteng pertahanan Badung pada masanya sehingga wilayah ini bernama pemanes terus berkembang menjadi pemanis dan pohmanis sampai saat ini.

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande beserta dengan warga masyarakat lainnya di wilayah pemanes ini mampu meredam invansi meliter Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur dan membuat keadaan semakin aman. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanes semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemanes sebagai banteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas sekitar tahun 1740 Masehi invansi meliter Mengwi yang mengalahkan Kerajaan Bun dan disaat yang hampir bersamaan terjadi gejolak kekuasaan di Kerajaan Batubulan yang mengakibatkan terbunuhnya I Dewa Gde Rai (sekarang didharmakan pada meru di Pura Puseh Batubulan). Pada masa-masa itu beberapa keluarga raja seperti I Dewa Wayan Muntur dan I Dewa Nyoman Badung meninggalkan Batubulan menuju wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) bersama para warga-wargi (panjak tatadan) untuk membangun serta membina wilayah baru di tepi siring Kerajaan Badung sekitar abad XVII-XVIII Masehi. 

Mengenai istilah nama taman itu baru muncul ketika wilayah desa ini dibagi menjadi dua banjar adat, yaitu taman dan pohmanis yang dulunya secara keseluruhan bernama pemanes/pemanis/pohmanis. Taman dikaitkan dengan adanya Pura Taman Sari di sisi barat desa yang sekarang dimiliki oleh Brahmana dari Geriya Bindu Kesiman.

Berbicara mengenai sejarah Desa Adat Taman Pohmanis tidak dapat terlepas dari Prasasti yang tersimpan di Pemrajan Agung Pohmanis, yang turunannya secara bebas dideskripsikan dalam Babad Kesatria Sukahet. Diceritakan telah hilang seorang anak kecil di Puri Klungkung yang merupakan putra dari I Dewa Karang. I Dewa Karang ini merupakan putra dari I Dewa Paduhungan yang merupakan putra dari  I Dewa Sumretha sebagai putra Dalem Sagening dari istri panawing. I Dewa Sumretha putra Dalem Sagening diperkirakan sebaya dengan Dalem Dimade yang menjadi raja pada tahun 1665-1686 Masehi. Ketika masa pemerintahan Dalem Dimade terjadi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan kerajaan ketika itu berhasil dikuasai. Dalem Dimade bersama dua putranya, yaitu I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe mengungsi ke Desa Guliang Pejeng dan dalam pengungsian Dalem Dimade wafat di Desa Guliang. I Dewa Jambe setelah dewasa mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Swucapura Gelgel bersama-bersama dengan saudaranya, yaitu I Dewa Paduhungan untuk merebut kembali kerajaan dari I Gusti Agung Maruti. 

I Dewa Jambe kira-kira sebaya dengan umur I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumretha ketika itu berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti dan kerajaan dapat direbut dengan memindahkan pusat kerajaan dari Swecapura Gelgel ke Smarajaya Klungkung dan I Dewa Jambe naik tahta tanpa menggunakan gelar dalem dari tahun 1710-1775 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. 

Putra Ida I Dewa Agung Jambe bernama I Dewa Dimade yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Smarapura Klungkung pada tahun 1775-1825 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Dimade. Ketika terjadi penumpasan I Gusti Agung Maruti di Kerajaan Swecapura Gelgel dulu oleh Ida I Dewa Agung Jambe, putranya yang bernama I Dewa Dimade masih sangat kecil dan diperkirakan seumuran dengan I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduhungan. Terjadinya perebutan kekuasaan tersebut membuat kondisi sangat kacau sehingga I Dewa Karang beserta dengan parekan dan panginte ketika itu diselamatkan dengan cara dilarikan ke Denbukit (Buleleng) oleh I Ngakan Kaleran (Kertha dkk, 2001: 9-10).

Diceritakan ada seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija berkuasa di Kerajaan Bun yang memiliki penduduk sebanyak ± 5000 jiwa. Kerajaan Bun sekarang merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Desa Angabaya Penatih, di sebelah timur Desa Sibang Badung, di sebelah selatan Desa Lambing-Tingas Badung, serta di disebelah barat Desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati Badung.

 Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3). 

Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang. 

I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe

Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.

I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.

“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis).

Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang).

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..

i Dewa Nyoman Badung wafat/mantuk di Kesiman. Beliau mempunyai 3 orang putra-putri. Yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung ketika itu), I Dewa Gede Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju desa perbatasan wilayah Badung dengan Mengwi dan Gianyar. Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande untuk membangun dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande (Menantu I Dewa Nyoman Badung) menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22). Wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang sangat gawat karena disana sering terjadi pertempuran. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tonggak-tonggak sejarah seperti belumbang (banteng yang terbuat dari susunan tanah) melintang mengelilingi wilayah ini, penamaan tempat seperti carik cucukan dan kalangan yang identik dengan istilah dalam peperangan, dan karena wilayah ini sebagai banteng pertahanan Badung pada masanya sehingga wilayah ini bernama pemanes terus berkembang menjadi pemanis dan pohmanis sampai saat ini.

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande beserta dengan warga masyarakat lainnya di wilayah pemanes ini mampu meredam invansi meliter Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur dan membuat keadaan semakin aman. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanes semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemanes sebagai banteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas sekitar tahun 1740 Masehi invansi meliter Mengwi yang mengalahkan Kerajaan Bun dan disaat yang hampir bersamaan terjadi gejolak kekuasaan di Kerajaan Batubulan yang mengakibatkan terbunuhnya I Dewa Gde Rai (sekarang didharmakan pada meru di Pura Puseh Batubulan). Pada masa-masa itu beberapa keluarga raja seperti I Dewa Wayan Muntur dan I Dewa Nyoman Badung meninggalkan Batubulan menuju wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) bersama para warga-wargi (panjak tatadan) untuk membangun serta membina wilayah baru di tepi siring Kerajaan Badung sekitar abad XVII-XVIII Masehi. 

Mengenai istilah nama taman itu baru muncul ketika wilayah desa ini dibagi menjadi dua banjar adat, yaitu taman dan pohmanis yang dulunya secara keseluruhan bernama pemanes/pemanis/pohmanis. Taman dikaitkan dengan adanya Pura Taman Sari di sisi barat desa yang sekarang dimiliki oleh Brahmana dari Geriya Bindu Kesiman.

DSC05651

Sejarah Peguyangan

Mengenai latar belakang sejarah Desa Pakraman Peguyangan  secara pasti dan tertulis sampai saat ini belum ditemukan, tetapi berdasarkan studi kepustakaan isi Dresta Ilikita Desa Pakraman Peguyangan penulis menemukan beberapa hal yang merujuk pada kesejarahan desa, seperti nama Desa Pakraman Peguyangan muncul berdasarkan kisah gajah Kyai Panji Sakti yang maguyang (berguling-guling) dan ditempat gajah tersebut maguyang disebut dengan peguyangan. Istilah peguyangan juga dikaitkan dengan isi prasasti tembaga di Pura Dalem Batan Celagi yang menyebutkan penyungsung  prasasti tersebut dianugrahi kebebasan membayar pajak, karena telah diberikan tanggung jawab menyungsung dan ngaci sam sat kahyangan yang berarti “yang menjaga tempat hyang”. Menjaga prahyangan tersebut harus pageh (kukuh/konsisten) yang kemudian kata pageh dan hyang tersebut menjadi cikal bakal nama peguyangan (Anonim, 2011: 1)

SDMX0808

Sejarah Penatih

Perjalanan Maha Rsi Markandya yang diiringi oleh muridnya bernama Bhujangga Sari dengan membangun Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan juga di Campuhan membangun Pura Tangga Hyang Api ditepian Sungai Oos. Bhujangga Sari diceritakan telah lama menuntut ilmu dan ingin mendirikan pasraman di sebuah tanah berwarna putih yang ternyata telah ditempati oleh orang Bali Aga berasal dari daerah Taro. Pura yang dibangun di Tanah Putih ini bernama Payogan Hyang Api sebagai pemujaan tri sakti dan tempat pemujaan pakraman. Tanah Putih merupakan cikal bakal dari nama Penatih yang berasal dari kata pinih dan tih yang berarti pertama (tih) (Dhaksa, t.t). 

Setelah Bali berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV Masehi, maka Patih Gajah Mada  atas perintah Ratu Tribhuwana Tunggadewi mengirim Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) untuk dijadikan Adipati Bali beserta dengan beberapa pengiring seperti Arya Kanuruhan, Arya Demung, Arya Belog, Arya Mengori, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Kepakisan, Arya Pangalasan, Arya Kutawaringin, Arya Gajahpara, Arya Getas, dan Arya Wang Bang. Diiringi juga oleh para waisya seperti Si Tan Kober, Si Tan Kawur, dan Si Tan Mundur. Wilayah Penatih ditempati oleh Arya Wang Bang Pinatih yang bergelar Kyai Anglurah Pinatih Mantra  dengan pasukan sejumlah 35.000 yang merupakan rakyat dari Arya Buleteng. Penatih dalam kekuasaan Kyai Anglurah Penatih Mantra banyak mengalalami perubahan pembangunan, salah satunya adalah bangunan-bangunan suci. Pura Payogan Hyang Api yang sebelumnya sudah ada pada masa Bhujangga Sari juga ikut dipugar yang pada awalnya sebagai pemujaan tri sakti ditambahkan dengan beberapa palinggih leluhur (kawitan), yaitu Palinggih Manik Angkeran, Palinggih Dukuh Blatungan, Palinggih Padma Siwa, dan Palinggih Padma Budha (Padma Kurung). Pembangunan dua Padma (Siwa-Budha) ini sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yang bernama Mpu Sidhimantra sebagai penganut ajaran Budha dan Mpu Sedah penganut ajaran Siwa (Dhaksa, t.t).

Pura Payogan Hyang Api setelah pemugran dan penambahan beberapa palinggih selanjutnya namanya dirubah menjadi Pura Penataran Agung Penatih yang memiliki makna: Pura Artinya tempat yang disucikan, Penataran artinya yang dimiliki penguasa, serta Penatih merupakan nama wilayah dan nama penguasa ketika itu. Saat ini Pura Penataran Agung Penatih diwarisi kepada warga masyarakat Desa Pakraman/Adat Penatih yang dipuja sebagai Kahyangan Tunggal dan sebagai Kawitan Arya Wang Bang Pinatih (Dhaksa, t.t).

Perjalanan Maha Rsi Markandya yang diiringi oleh muridnya bernama Bhujangga Sari dengan membangun Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan juga di Campuhan membangun Pura Tangga Hyang Api ditepian Sungai Oos. Bhujangga Sari diceritakan telah lama menuntut ilmu dan ingin mendirikan pasraman di sebuah tanah berwarna putih yang ternyata telah ditempati oleh orang Bali Aga berasal dari daerah Taro. Pura yang dibangun di Tanah Putih ini bernama Payogan Hyang Api sebagai pemujaan tri sakti dan tempat pemujaan pakraman. Tanah Putih merupakan cikal bakal dari nama Penatih yang berasal dari kata pinih dan tih yang berarti pertama (tih) (Dhaksa, t.t). 

Setelah Bali berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV Masehi, maka Patih Gajah Mada  atas perintah Ratu Tribhuwana Tunggadewi mengirim Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) untuk dijadikan Adipati Perjalanan Maha Rsi Markandya yang diiringi oleh muridnya bernama Bhujangga Sari dengan membangun Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan juga di Campuhan membangun Pura Tangga Hyang Api ditepian Sungai Oos. Bhujangga Sari diceritakan telah lama menuntut ilmu dan ingin mendirikan pasraman di sebuah tanah berwarna putih yang ternyata telah ditempati oleh orang Bali Aga berasal dari daerah Taro.

Pura yang dibangun di Tanah Putih ini bernama Payogan Hyang Api sebagai pemujaan tri sakti dan tempat pemujaan pakraman. Tanah Putih merupakan cikal bakal dari nama Penatih yang berasal dari kata pinih dan tih yang berarti pertama (tih) (Dhaksa, t.t). 

Setelah Bali berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV Masehi, maka Patih Gajah Mada  atas perintah Ratu Tribhuwana Tunggadewi mengirim Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) untuk dijadikan Adipati Bali beserta dengan beberapa pengiring seperti Arya Kanuruhan, Arya Demung, Arya Belog, Arya Mengori, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Kepakisan, Arya Pangalasan, Arya Kutawaringin, Arya Gajahpara, Arya Getas, dan Arya Wang Bang. Diiringi juga oleh para waisya seperti Si Tan Kober, Si Tan Kawur, dan Si Tan Mundur. Wilayah Penatih ditempati oleh Arya Wang Bang Pinatih yang bergelar Kyai Anglurah Pinatih Mantra  dengan pasukan sejumlah 35.000 yang merupakan rakyat dari Arya Buleteng. Penatih dalam kekuasaan Kyai Anglurah Penatih Mantra banyak mengalalami perubahan pembangunan, salah satunya adalah bangunan-bangunan suci. Pura Payogan Hyang Api yang sebelumnya sudah ada pada masa Bhujangga Sari juga ikut dipugar yang pada awalnya sebagai pemujaan tri sakti ditambahkan dengan beberapa palinggih leluhur (kawitan), yaitu Palinggih Manik Angkeran, Palinggih Dukuh Blatungan, Palinggih Padma Siwa, dan Palinggih Padma Budha (Padma Kurung). Pembangunan dua Padma (Siwa-Budha) ini sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yang bernama Mpu Sidhimantra sebagai penganut ajaran Budha dan Mpu Sedah penganut ajaran Siwa (Dhaksa, t.t).

Pura Payogan Hyang Api setelah pemugran dan penambahan beberapa palinggih selanjutnya namanya dirubah menjadi Pura Penataran Agung Penatih yang memiliki makna: Pura Artinya tempat yang disucikan, Penataran artinya yang dimiliki penguasa, serta Penatih merupakan nama wilayah dan nama penguasa ketika itu. Saat ini Pura Penataran Agung Penatih diwarisi kepada warga masyarakat Desa Pakraman/Adat Penatih yang dipuja sebagai Kahyangan Tunggal dan sebagai Kawitan Arya Wang Bang Pinatih (Dhaksa, t.t).

Perjalanan Maha Rsi Markandya yang diiringi oleh muridnya bernama Bhujangga Sari dengan membangun Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan juga di Campuhan membangun Pura Tangga Hyang Api ditepian Sungai Oos. Bhujangga Sari diceritakan telah lama menuntut ilmu dan ingin mendirikan pasraman di sebuah tanah berwarna putih yang ternyata telah ditempati oleh orang Bali Aga berasal dari daerah Taro. Pura yang dibangun di Tanah Putih ini bernama Payogan Hyang Api sebagai pemujaan tri sakti dan tempat pemujaan pakraman. Tanah Putih merupakan cikal bakal dari nama Penatih yang berasal dari kata pinih dan tih yang berarti pertama (tih) (Dhaksa, t.t). 

Setelah Bali berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV Masehi, maka Patih Gajah Mada  atas perintah Ratu Tribhuwana Tunggadewi mengirim Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) untuk dijadikan Adipati Bali beserta dengan beberapa pengiring seperti Arya Kanuruhan, Arya Demung, Arya Belog, Arya Mengori, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Kepakisan, Arya Pangalasan, Arya Kutawaringin, Arya Gajahpara, Arya Getas, dan Arya Wang Bang. Diiringi juga oleh para waisya seperti Si Tan Kober, Si Tan Kawur, dan Si Tan Mundur. Wilayah Penatih ditempati oleh Arya Wang Bang Pinatih yang bergelar Kyai Anglurah Pinatih Mantra  dengan pasukan sejumlah 35.000 yang merupakan rakyat dari Arya Buleteng. Penatih dalam kekuasaan Kyai Anglurah Penatih Mantra banyak mengalalami perubahan pembangunan, salah satunya adalah bangunan-bangunan suci. Pura Payogan Hyang Api yang sebelumnya sudah ada pada masa Bhujangga Sari juga ikut dipugar yang pada awalnya sebagai pemujaan tri sakti ditambahkan dengan beberapa palinggih leluhur (kawitan), yaitu Palinggih Manik Angkeran, Palinggih Dukuh Blatungan, Palinggih Padma Siwa, dan Palinggih Padma Budha (Padma Kurung). Pembangunan dua Padma (Siwa-Budha) ini sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yang bernama Mpu Sidhimantra sebagai penganut ajaran Budha dan Mpu Sedah penganut ajaran Siwa (Dhaksa, t.t).

Pura Payogan Hyang Api setelah pemugran dan penambahan beberapa palinggih selanjutnya namanya dirubah menjadi Pura Penataran Agung Penatih yang memiliki makna: Pura Artinya tempat yang disucikan, Penataran artinya yang dimiliki penguasa, serta Penatih merupakan nama wilayah dan nama penguasa ketika itu. Saat ini Pura Penataran Agung Penatih diwarisi kepada warga masyarakat Desa Pakraman/Adat Penatih yang dipuja sebagai Kahyangan Tunggal dan sebagai Kawitan Arya Wang Bang Pinatih (Dhaksa, t.t).

zyro-image

Sejarah Kesiman

Tjokorda Sakti Kesiman (1862)

Kesiman sebagai wilayah secara administratif terletak di Kota Denpasar, menurut Eka Ilikita Desa Adat kesiman (1990) menyebutkan nama Kesiman berasal dari kata Ku dan Sima, istilah ini tercantum dalam Babad Wanggayah yang menceritakan Ida Dalem Batu Ireng.Ida Dalem Batu Ireng di Taman Hyang Batur membangun prahyangan bernama Dalem Tungkub yang disungsung oleh para Pasek Dangka. Kemudian dari Taman Hyang Batur beliau melanjutkan perjalanan ke Bukit Bali, Batu Belig, dan Sumerta. Kedatangan Ida Dalem Batu Ireng di Desa Sumerta tidak dihiraukan oleh Anglurah Bongaya, kemudian melanjutkan perjalanan berkelana angider bhuwana (angrebong) menuju Desa Tangkas mencari sungai dan meniatkan diri untuk moksa menggunakan media air, karena menurutnya moksa menggunakan air adalah jalan terbaik dan mampu membwa berkah. Sungai  tersebut kemudian bernama Sungai Ayu atau We Ayu, “we” berarti air dan “ayu” berarti kedamaian, sekarang sungai tersebut dikenal dengan Sungai Ayung. Setelah Ida Dalem Batu Ireng  mencapai moksa, para pengikutnya endirikan sebuah tugu peringatan berupa batu besar yang dinamakan Batu Sima. Ketiga keturunan Dalem Batu Ireng mengikuti yadnya moksa di Sungai Ayung, kemudian Bendesa Mas dan Gaduh membangun grema (desa pakraman) bernama Pendem lengkap dengan Prahyangan Desa Puseh dan Manik Aji di hutan ambengan Abian Nangka (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 3-4).

Ketika Adipati Sri Aji Kresna Kepakisan telah menjadi Adipati Majapahit di Bali, salah satu pendampingnya yaitu Arya Wang Bang mendirikan puri di tepi Sungai Ayung tepat di tempat Ida Dalem Batu Ireng Moksa. Arya Wang Bang Pinatih Majapahit disana bertemu dengan masyarakat Bali dengan menyatakan diri adalah utusan dari Sang Prabhu Majapahit untuk melanjutkan Sima Krama yang dijalankan oleh masyarakat Bali di wilayah kekuasaan Dalem Batu Ireng, wilayah tersebut bernama Ngerebongan. Setelah Arya Wang Bang  menerima warisan dari Ida Dalem Batu Ireng (Dalem Moksa) di tepi Sungai Ayung, kemudian Arya Wang Bang mengukuhkan tempat peninggalan Ida Dalem Batu Ireng dengan nama Kusima dan tempat inti Ida Dalem Batu Ireng moksa apengrebongan bernama Amuter Bhuana. Arya Wang Bang menegaskan arti Kusima, yaitu “ku” berarti kukuh atau kuat dan “sima” merupakan wilayah Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Arya Wang Bang di tepi Sungai Ayung selesai pada hari Wrespati wuku Sungsang (Sugihan Jawa), sebagai penanda masyarakat Bali yang berasal dari Jawa melaksanakan upacara piodalan Sugihan Jawa. Kemudian kata Kusima lama kelamaan disebut dengan Kesiman hingga saat ini (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 4).

Kesiman dengan perjalanan sejarahnya yang cukup panjang  dimulai dari kesiman sebagai kerajaan, distrik, kecamatan, kelurahan/desa, dan hingga desa adat secara kronologi perlu juga dijabarkan terlebih dahulu sejarah singkat peradaban Kota Denpasar, karena secara administratif  Kesiman berada di Kota Denpasar. Berdirinya Puri Denpasar pada tahun 1788 dengan menobatkan I Gusti Ngurah Made sebagai Raja dengan abhiseka gelar I Gusti Ngurah Made Pemecutan (1788-1813) karena berasal dari keturunan Pemecutan. Pengganti I Gusti Ngurah Made Pemecutan di Puri Denpasar adalah I Gusti Gde Ngurah dengan abhiseka I Gusti Ngurah Jambe (1813-1817) sebagai Raja Denpasar II, sedangkan adiknya yang bernama I Gusti Gde Kesiman mendirikan puri di sisi timur Kerajaan Badung yang bernama Puri Kesiman pada tahun 1813 (Geriya dkk, 2011 dalam Amerta dkk, 2018: 11-12).

Bale Kulkul Kesiman Kedaton (1906)

I Gusti Gde Kesiman sebagai Raja Kesiman I pernah menjadi wali raja Kerajaan Badung, ketika I Gusti Ngurah Jambe sebagai Raja Denpasar II meninggal pada tahun 1817, digantikan oleh I Gusti Made Ngurah pada tahun 1817-1829 sebagai Raja Denpasar III, karena masih kecil tapuk pemerintahan dikendalikan oleh pamannya di Puri Kesiman. Pengaruh I Gusti Gde Kesiman dapat menciptakan kerjasama atas dasar saling pengertian antara tiga puri di Kerajaan Badung, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman. Hal ini membuat Kerajaan badung memiliki kekuatan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya dalam berbahas melayu juga membuat I Gusti Gde Kesiman mudah berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga ke Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II, ANRI, 1964 dalam Geriya dkk, 2011: 38-39)

Ketika I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi Raja Denpasar IV pada tahun 1829 bergelar Cokorda Denpasar dan pada tahun 1865 setelah I Gusti Gde Kesiman meninggal, pucuk pimpinan Kerajaan Badung mulai pindah ke Puri Denpasar. Setidaknya di Puri Denpasar ada tiga raja lagi yang memerintah sebelum meletusnya perang Puputan Badung pada tahun 1906, yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1963-1883), dan I Gusti Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) dengan gelar I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, kemudian diganti oleh I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Denpasar VII pada tahun 1902 hingga akhirnya gugur dalam perang Puputan Badung pada 20 September 1906. Selain Raja Denpasar VII yaitu I Gusti Ngurah Made Agung, gugur juga I Gusti Ngurah Pemecutan (1890-20 September 1906) sebagai Raja Pemecutan VIII, sedangkan sebelum itu pada 18 September 1906 Raja Kesiman yaitu I Gusti Ngurah Agung/I Gusti Gde Ngurah Kesiman telah mendahului gugur tertusuk keris di dalam puri.

Pasca perang Puputan Badung pada tahun 1906 Kerajaan Badung dengan tiga purinya, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman secara resmi menjadi wilayah koloni Pemerintah Kolonial Belanda. Pengaruh-pengaruh kolonial Belanda mulai diterapkan seperti membangun perkampungan pendatang, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan, jalan, jembatan, dan lain sebagainya. Kota Denpasar digunakan untuk menyebut ibukota afdeling Bali Selatan, situs bekas Puri Denpasar dimanfaatkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeling dan onderafdeling beserta pejabatnya, yaitu Asisten Residen dan Kontrolir (Boon, 1938 dalam Geriya dkk, 2011: 63-64). Kesiman juga menjadi salah satu nama distrik, yaitu Distrik Kesiman membawahi yang berkedudukan di Benculuk, Tegehkuri, dan Tonja dipimpin oleh seorang Punggawa bernama Jero Gede Rai dari Singaraja. Sekitar tahun 1920 Kantor Distrik Kesiman dipindahkan ke Bencingah Puri Kesiman (sekarang Kantor Camat Denpasar Timur). Adapun urutan yang menjabat di Distrik Kesiman antara lain I Gusti Ngurah Gde Kesiman (1921 – bulan Mei 1954), I Gusti Ngurah Anom Pacung (1954 – 12 Desember 196), I Gusti Ketut Redung, (1960 – 1963), I Gusti Kompyang Rogig Sugriwa (1963 – 1965), dan I Gusti Gde Ngurah (1965 – 1970).

Bale Kulkul Kesiman Kedaton (1906)

Sekitar tahun 1970 Distrik Kesiman berubah nama menjadi Kecamatan Kesiman dengan mewilayahi 11 desa yaitu Desa Kesiman, Desa Tonja, Desa Penatih, Desa Sumerta, Desa Sanur, Desa Renon, Desa Sesetan, Desa Panjer, Desa Serangan, Desa Ubung, dan Desa Peguyangan. Pada tahun 1978 terjadi pemekaran kecamatan di Kota Denpasar yang pada awalnya hanya ada dua, yaitu Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman dimekarkan menjadi tiga, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar Selatan. Setelah adanya pemekaran kecamatan dilanjutkan dengan pemekaran desa serta perubahan status desa menjadi kelurahan, maka Kesiman yang awalnya merupakan kecamatan berubah menjadi Kelurahan Kesiman pada tanggal 1 Desember 1979, serta ditambah dengan dua desa pemekaran, yaitu Desa Kesiman Petilan dan Desa Kesiman Kertalangu dengan secara adat dinaungi oleh Desa Adat Kesiman di wilayah Kecamatan Denpasar Timur.

Kesiman sebagai wilayah secara administratif terletak di Kota Denpasar, menurut Eka Ilikita Desa Adat kesiman (1990) menyebutkan nama Kesiman berasal dari kata Ku dan Sima, istilah ini tercantum dalam Babad Wanggayah yang menceritakan Ida Dalem Batu Ireng.Ida Dalem Batu Ireng di Taman Hyang Batur membangun prahyangan bernama Dalem Tungkub yang disungsung oleh para Pasek Dangka. Kemudian dari Taman Hyang Batur beliau melanjutkan perjalanan ke Bukit Bali, Batu Belig, dan Sumerta. Kedatangan Ida Dalem Batu Ireng di Desa Sumerta tidak dihiraukan oleh Anglurah Bongaya, kemudian melanjutkan perjalanan berkelana angider bhuwana (angrebong) menuju Desa Tangkas mencari sungai dan meniatkan diri untuk moksa menggunakan media air, karena menurutnya moksa menggunakan air adalah jalan terbaik dan mampu membwa berkah. Sungai  tersebut kemudian bernama Sungai Ayu atau We Ayu, “we” berarti air dan “ayu” berarti kedamaian, sekarang sungai tersebut dikenal dengan Sungai Ayung. Setelah Ida Dalem Batu Ireng  mencapai moksa, para pengikutnya endirikan sebuah tugu peringatan berupa batu besar yang dinamakan Batu Sima. Ketiga keturunan Dalem Batu Ireng mengikuti yadnya moksa di Sungai Ayung, kemudian Bendesa Mas dan Gaduh membangun grema (desa pakraman) bernama Pendem lengkap dengan Prahyangan Desa Puseh dan Manik Aji di hutan ambengan Abian Nangka (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 3-4).

Ketika Adipati Sri Aji Kresna Kepakisan telah menjadi Adipati Majapahit di Bali, salah satu pendampingnya yaitu Arya Wang Bang mendirikan puri di tepi Sungai Ayung tepat di tempat Ida Dalem Batu Ireng Moksa. Arya Wang Bang Pinatih Majapahit disana bertemu dengan masyarakat Bali dengan menyatakan diri adalah utusan dari Sang Prabhu Majapahit untuk melanjutkan Sima Krama yang dijalankan oleh masyarakat Bali di wilayah kekuasaan Dalem Batu Ireng, wilayah tersebut bernama Ngerebongan. Setelah Arya Wang Bang  menerima warisan dari Ida Dalem Batu Ireng (Dalem Moksa) di tepi Sungai Ayung, kemudian Arya Wang Bang mengukuhkan tempat peninggalan Ida Dalem Batu Ireng dengan nama Kusima dan tempat inti Ida Dalem Batu Ireng moksa apengrebongan bernama Amuter Bhuana. Arya Wang Bang menegaskan arti Kusima, yaitu “ku” berarti kukuh atau kuat dan “sima” merupakan wilayah Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Arya Wang Bang di tepi Sungai Ayung selesai pada hari Wrespati wuku Sungsang (Sugihan Jawa), sebagai penanda masyarakat Bali yang berasal dari Jawa melaksanakan upacara piodalan Sugihan Jawa. Kemudian kata Kusima lama kelamaan disebut dengan Kesiman hingga saat ini (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 4).

Kesiman dengan perjalanan sejarahnya yang cukup panjang  dimulai dari kesiman sebagai kerajaan, distrik, kecamatan, kelurahan/desa, dan hingga desa adat secara kronologi perlu juga dijabarkan terlebih dahulu sejarah singkat peradaban Kota Denpasar, karena secara administratif  Kesiman berada di Kota Denpasar. Berdirinya Puri Denpasar pada tahun 1788 dengan menobatkan I Gusti Ngurah Made sebagai Raja dengan abhiseka gelar I Gusti Ngurah Made Pemecutan (1788-1813) karena berasal dari keturunan Pemecutan. Pengganti I Gusti Ngurah Made Pemecutan di Puri Denpasar adalah I Gusti Gde Ngurah dengan abhiseka I Gusti Ngurah Jambe (1813-1817) sebagai Raja Denpasar II, sedangkan adiknya yang bernama I Gusti Gde Kesiman mendirikan puri di sisi timur Kerajaan Badung yang bernama Puri Kesiman pada tahun 1813 (Geriya dkk, 2011 dalam Amerta dkk, 2018: 11-12).


Bale Kulkul Kesiman Kedaton (1906)
Tjokorda Sakti Kesiman (1862)

I Gusti Gde Kesiman sebagai Raja Kesiman I pernah menjadi wali raja Kerajaan Badung, ketika I Gusti Ngurah Jambe sebagai Raja Denpasar II meninggal pada tahun 1817, digantikan oleh I Gusti Made Ngurah pada tahun 1817-1829 sebagai Raja Denpasar III, karena masih kecil tapuk pemerintahan dikendalikan oleh pamannya di Puri Kesiman. Pengaruh I Gusti Gde Kesiman dapat menciptakan kerjasama atas dasar saling pengertian antara tiga puri di Kerajaan Badung, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman. Hal ini membuat Kerajaan badung memiliki kekuatan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya dalam berbahas melayu juga membuat I Gusti Gde Kesiman mudah berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga ke Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II, ANRI, 1964 dalam Geriya dkk, 2011: 38-39)

Ketika I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi Raja Denpasar IV pada tahun 1829 bergelar Cokorda Denpasar dan pada tahun 1865 setelah I Gusti Gde Kesiman meninggal, pucuk pimpinan Kerajaan Badung mulai pindah ke Puri Denpasar. Setidaknya di Puri Denpasar ada tiga raja lagi yang memerintah sebelum meletusnya perang Puputan Badung pada tahun 1906, yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1963-1883), dan I Gusti Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) dengan gelar I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, kemudian diganti oleh I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Denpasar VII pada tahun 1902 hingga akhirnya gugur dalam perang Puputan Badung pada 20 September 1906. Selain Raja Denpasar VII yaitu I Gusti Ngurah Made Agung, gugur juga I Gusti Ngurah Pemecutan (1890-20 September 1906) sebagai Raja Pemecutan VIII, sedangkan sebelum itu pada 18 September 1906 Raja Kesiman yaitu I Gusti Ngurah Agung/I Gusti Gde Ngurah Kesiman telah mendahului gugur tertusuk keris di dalam puri.

Pasca perang Puputan Badung pada tahun 1906 Kerajaan Badung dengan tiga purinya, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman secara resmi menjadi wilayah koloni Pemerintah Kolonial Belanda. Pengaruh-pengaruh kolonial Belanda mulai diterapkan seperti membangun perkampungan pendatang, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan, jalan, jembatan, dan lain sebagainya. Kota Denpasar digunakan untuk menyebut ibukota afdeling Bali Selatan, situs bekas Puri Denpasar dimanfaatkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeling dan onderafdeling beserta pejabatnya, yaitu Asisten Residen dan Kontrolir (Boon, 1938 dalam Geriya dkk, 2011: 63-64). Kesiman juga menjadi salah satu nama distrik, yaitu Distrik Kesiman membawahi yang berkedudukan di Benculuk, Tegehkuri, dan Tonja dipimpin oleh seorang Punggawa bernama Jero Gede Rai dari Singaraja. Sekitar tahun 1920 Kantor Distrik Kesiman dipindahkan ke Bencingah Puri Kesiman (sekarang Kantor Camat Denpasar Timur). 

Bale Kulkul Kesiman Kedaton (1906)

Adapun urutan yang menjabat di Distrik Kesiman antara lain I Gusti Ngurah Gde Kesiman (1921 – bulan Mei 1954), I Gusti Ngurah Anom Pacung (1954 – 12 Desember 196), I Gusti Ketut Redung, (1960 – 1963), I Gusti Kompyang Rogig Sugriwa (1963 – 1965), dan I Gusti Ngurah Gde (1965 – 1970).

Sekitar tahun 1970 Distrik Kesiman berubah nama menjadi Kecamatan Kesiman dengan mewilayahi 11 desa yaitu Desa Kesiman, Desa Tonja, Desa Penatih, Desa Sumerta, Desa Sanur, Desa Renon, Desa Sesetan, Desa Panjer, Desa Serangan, Desa Ubung, dan Desa Peguyangan. Pada tahun 1978 terjadi pemekaran kecamatan di Kota Denpasar yang pada awalnya hanya ada dua, yaitu Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman dimekarkan menjadi tiga, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar Selatan. Setelah adanya pemekaran kecamatan dilanjutkan dengan pemekaran desa serta perubahan status desa menjadi kelurahan, maka Kesiman yang awalnya merupakan kecamatan berubah menjadi Kelurahan Kesiman pada tanggal 1 Desember 1979, serta ditambah dengan dua desa pemekaran, yaitu Desa Kesiman Petilan dan Desa Kesiman Kertalangu dengan secara adat dinaungi oleh Desa Adat Kesiman di wilayah Kecamatan Denpasar Timur.

I Gusti Gde Kesiman sebagai Raja Kesiman I pernah menjadi wali raja Kerajaan Badung, ketika I Gusti Ngurah Jambe sebagai Raja Denpasar II meninggal pada tahun 1817, digantikan oleh I Gusti Made Ngurah pada tahun 1817-1829 sebagai Raja Denpasar III, karena masih kecil tapuk pemerintahan dikendalikan oleh pamannya di Puri Kesiman. Pengaruh I Gusti Gde Kesiman dapat menciptakan kerjasama atas dasar saling pengertian antara tiga puri di Kerajaan Badung, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman. Hal ini membuat Kerajaan badung memiliki kekuatan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya dalam berbahas melayu juga membuat I Gusti Gde Kesiman mudah berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga ke Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II, ANRI, 1964 dalam Geriya dkk, 2011: 38-39)

Ketika I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi Raja Denpasar IV pada tahun 1829 bergelar Cokorda Denpasar dan pada tahun 1865 setelah I Gusti Gde Kesiman meninggal, pucuk pimpinan Kerajaan Badung mulai pindah ke Puri Denpasar. Setidaknya di Puri Denpasar ada tiga raja lagi yang memerintah sebelum meletusnya perang Puputan Badung pada tahun 1906, yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1963-1883), dan I Gusti Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) dengan gelar I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, kemudian diganti oleh I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Denpasar VII pada tahun 1902 hingga akhirnya gugur dalam perang Puputan Badung pada 20 September 1906. Selain Raja Denpasar VII yaitu I Gusti Ngurah Made Agung, gugur juga I Gusti Ngurah Pemecutan (1890-20 September 1906) sebagai Raja Pemecutan VIII, sedangkan sebelum itu pada 18 September 1906 Raja Kesiman yaitu I Gusti Ngurah Agung/I Gusti Gde Ngurah Kesiman telah mendahului gugur tertusuk keris di dalam puri.

Pasca perang Puputan Badung pada tahun 1906 Kerajaan Badung dengan tiga purinya, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman secara resmi menjadi wilayah koloni Pemerintah Kolonial Belanda. Pengaruh-pengaruh kolonial Belanda mulai diterapkan seperti membangun perkampungan pendatang, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan, jalan, jembatan, dan lain sebagainya. Kota Denpasar digunakan untuk menyebut ibukota afdeling Bali Selatan, situs bekas Puri Denpasar dimanfaatkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeling dan onderafdeling beserta pejabatnya, yaitu Asisten Residen dan Kontrolir (Boon, 1938 dalam Geriya dkk, 2011: 63-64). Kesiman juga menjadi salah satu nama distrik, yaitu Distrik Kesiman membawahi yang berkedudukan di Benculuk, Tegehkuri, dan Tonja dipimpin oleh seorang Punggawa bernama Jero Gede Rai dari Singaraja. Sekitar tahun 1920 Kantor Distrik Kesiman dipindahkan ke Bencingah Puri Kesiman (sekarang Kantor Camat Denpasar Timur) . Adapun urutan yang menjabat di Distrik Kesiman antara lain I Gusti Ngurah Gde Kesiman (1921 – bulan Mei 1954), I Gusti Ngurah Anom Pacung (1954 – 12 Desember 196), I Gusti Ketut Redung, (1960 – 1963), I Gusti Kompyang Rogig Sugriwa (1963 – 1965), dan I Gusti Ngurah Gde (1965 – 1970). 

I Gusti Gde Kesiman sebagai Raja Kesiman I pernah menjadi wali raja Kerajaan Badung, ketika I Gusti Ngurah Jambe sebagai Raja Denpasar II meninggal pada tahun 1817, digantikan oleh I Gusti Made Ngurah pada tahun 1817-1829 sebagai Raja Denpasar III, karena masih kecil tapuk pemerintahan dikendalikan oleh pamannya di Puri Kesiman. Pengaruh I Gusti Gde Kesiman dapat menciptakan kerjasama atas dasar saling pengertian antara tiga puri di Kerajaan Badung, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman. Hal ini membuat Kerajaan badung memiliki kekuatan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya dalam berbahas melayu juga membuat I Gusti Gde Kesiman mudah berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga ke Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II, ANRI, 1964 dalam Geriya dkk, 2011: 38-39)

Ketika I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi Raja Denpasar IV pada tahun 1829 bergelar Cokorda Denpasar dan pada tahun 1865 setelah I Gusti Gde Kesiman meninggal, pucuk pimpinan Kerajaan Badung mulai pindah ke Puri Denpasar. Setidaknya di Puri Denpasar ada tiga raja lagi yang memerintah sebelum meletusnya perang Puputan Badung pada tahun 1906, yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1963-1883), dan I Gusti Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) dengan gelar I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, kemudian diganti oleh I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Denpasar VII pada tahun 1902 hingga akhirnya gugur dalam perang Puputan Badung pada 20 September 1906. Selain Raja Denpasar VII yaitu I Gusti Ngurah Made Agung, gugur juga I Gusti Ngurah Pemecutan (1890-20 September 1906) sebagai Raja Pemecutan VIII, sedangkan sebelum itu pada 18 September 1906 Raja Kesiman yaitu I Gusti Ngurah Agung/I Gusti Gde Ngurah Kesiman telah mendahului gugur tertusuk keris di dalam puri.

Pasca perang Puputan Badung pada tahun 1906 Kerajaan Badung dengan tiga purinya, yaitu Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman secara resmi menjadi wilayah koloni Pemerintah Kolonial Belanda. Pengaruh-pengaruh kolonial Belanda mulai diterapkan seperti membangun perkampungan pendatang, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan, jalan, jembatan, dan lain sebagainya. Kota Denpasar digunakan untuk menyebut ibukota afdeling Bali Selatan, situs bekas Puri Denpasar dimanfaatkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeling dan onderafdeling beserta pejabatnya, yaitu Asisten Residen dan Kontrolir (Boon, 1938 dalam Geriya dkk, 2011: 63-64). Kesiman juga menjadi salah satu nama distrik, yaitu Distrik Kesiman membawahi yang berkedudukan di Benculuk, Tegehkuri, dan Tonja dipimpin oleh seorang Punggawa bernama Jero Gede Rai dari Singaraja. Sekitar tahun 1920 Kantor Distrik Kesiman dipindahkan ke Bencingah Puri Kesiman (sekarang Kantor Camat Denpasar Timur) . Adapun urutan yang menjabat di Distrik Kesiman antara lain I Gusti Ngurah Gde Kesiman (1921 – bulan Mei 1954), I Gusti Ngurah Anom Pacung (1954 – 12 Desember 196), I Gusti Ketut Redung, (1960 – 1963), I Gusti Kompyang Rogig Sugriwa (1963 – 1965), dan I Gusti Ngurah Gde (1965 – 1970). 

Bale Kulkul Kesiman Kedaton (1906)

Sekitar tahun 1970 Distrik Kesiman berubah nama menjadi Kecamatan Kesiman dengan mewilayahi 11 desa yaitu Desa Kesiman, Desa Tonja, Desa Penatih, Desa Sumerta, Desa Sanur, Desa Renon, Desa Sesetan, Desa Panjer, Desa Serangan, Desa Ubung, dan Desa Peguyangan. Pada tahun 1978 terjadi pemekaran kecamatan di Kota Denpasar yang pada awalnya hanya ada dua, yaitu Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman dimekarkan menjadi tiga, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar Selatan. Setelah adanya pemekaran kecamatan dilanjutkan dengan pemekaran desa serta perubahan status desa menjadi kelurahan, maka Kesiman yang awalnya merupakan kecamatan berubah menjadi Kelurahan Kesiman pada tanggal 1 Desember 1979, serta ditambah dengan dua desa pemekaran, yaitu Desa Kesiman Petilan dan Desa Kesiman Kertalangu dengan secara adat dinaungi oleh Desa Adat Kesiman di wilayah Kecamatan Denpasar Timur.

 

IMG_1086 (1)

Masjid Assyuhada

Pembangunan Masjid Asy-Syuhada melibatkan warga Kampung Bugis dan Raja Hindu Badung, Cokorda Ngurah Sakti. Masjid bersejarah ini berdiri sebagai bukti koeksistensi damai Islam dan Hindu di Bali selama bertahun-tahun. Masjid ini terletak di tengah desa di Jl. Tukad Pekaseh, Serangan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali 80229, dan berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan umat Islam lokal dan tujuan populer bagi mereka yang tertarik untuk belajar tentang multikulturalisme di pulau itu. Ciri-ciri kuno masjid ini, seperti Alquran kuno, pilar kayu, dan mimbar tinggi, merupakan bukti keberadaannya yang telah lama ada dan signifikansi historisnya di Bali.

Masjid Asy-Syuhada diyakini merupakan bangunan asli, hanya dengan sedikit renovasi seperti mengganti atap dengan genting dan penambahan kubah. Interior masjid menampilkan papan semen asbes di langit-langit dan ubin marmer di lantai ruang sholat.

Arsitektur masjid mencerminkan perpaduan budaya Bali dan Bugis. Pengaruh Bali terlihat pada pagar, atap, dan elemen dekoratif masjid, sedangkan budaya Bugis tercermin pada mimbar yang terbuat dari kayu berukiran rumit dan pagar besi. Area wudhu, bangunan terpisah dari masjid, merupakan tambahan modern.

Koeksistensi damai umat Hindu dan Muslim Bali di Kampung Bugis, Serangan, adalah contoh indah dari kerukunan antaragama. Meski berasal dari banjar yang berbeda, mereka tidak terpisah secara geografis. Selama festival seperti Idul Fitri dan Galungan, mereka saling mengunjungi rumah dan bertukar makanan, yang dikenal sebagai jootan dalam bahasa Bali.

taman kumbasari

Taman Kumbasari

Taman Kumbasari, juga dikenal sebagai Tukad Korea, adalah taman yang dirancang dengan indah dan terletak di pusat kota Denpasar, Bali. Taman ini meniru sungai Cheonggyecheon di Seoul dan telah menjadi tempat yang populer bagi penduduk lokal dan wisatawan, berkat lanskap yang indah dan fitur uniknya.

Salah satu daya tarik utama dari Taman Kumbasari adalah jalur berliku sungai sepanjang 548 meter. Pengunjung dapat berjalan-jalan di sepanjang jalur tersebut dan menikmati pemandangan indah dari tempat duduk berwarna-warni, ornamen batu yang diatur rapi, dan air mancur di kedua sisi sungai. Jalur berliku ini menuju jembatan apung yang menjadi tempat yang sempurna untuk mengambil foto dan menikmati suasana yang tenang.

Desain taman ini terinspirasi oleh keindahan sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan, dan pengunjung tentunya dapat merasakan kesamaan antara kedua tempat tersebut. Taman Kumbasari dirancang dengan cermat, dengan perhatian yang diberikan pada setiap detail untuk menciptakan pengalaman yang benar-benar menarik bagi mereka yang mengunjunginya.

Area duduk taman dihiasi dengan bantal berwarna-warni yang nyaman, memberikan tempat yang nyaman untuk bersantai dan menikmati pemandangan. Ornamen batu menambah sentuhan elegan pada lingkungan sekitar, sedangkan air mancur di kedua sisi sungai menciptakan suara yang menenangkan dan menambah suasana yang tenang di taman.

Selain jalur berliku sungai, Taman Kumbasari juga memiliki beberapa fitur menarik lainnya. Taman ini juga dilengkapi dengan area bermain anak-anak, sehingga menjadi destinasi yang sangat baik untuk keluarga dengan anak kecil. Ada juga beberapa warung makanan dan penjual souvenir, menjadikannya tempat yang bagus untuk menghabiskan waktu dengan teman atau keluarga.

Popularitas Taman Kumbasari dapat dikaitkan dengan desain uniknya, yang menawarkan pengunjung rasa keindahan dan budaya Korea Selatan. Taman ini telah menjadi destinasi populer bagi wisatawan yang mencari tempat foto Instagram-worthy dan pelarian yang tenang dari kesibukan kota.

Secara keseluruhan, Taman Kumbasari, atau Tukad Korea, adalah destinasi wajib bagi siapa pun yang bepergian ke Bali. Jalur berliku sungai, jembatan apung, tempat duduk yang berwarna-warni, ornamen batu yang diatur rapi, dan air mancur di kedua sisi sungai menyediakan pengunjung dengan rasa keindahan dan budaya Korea Selatan, menjadikannya tempat yang sangat baik untuk berjalan-jalan sore atau hari keluarga.

Big Garden Korner

Big Garden Corner

Popularitas dari kawasan ini sudah tidak perlu diragukan lagi apalagi untuk kalangan para remaja di Denpasar, Bali. Area hiburan ini memiliki latar belakang untuk foto yang unik serta tempat nongkrong di tempat keren. Wadah rekreasi yang buka pada bulan Juni tahun 2016 ini selalu menghadirkan kreasi dan inovasi baru sehingga tidak membosankan. 

Big Garden Corner berlokasi di sebelah barat area lampu lalu lintas Padang Galak – Waribang, By Pass Ngurah Rai, Sanur, Denpasar Timur. Beragam pilihan aktivitas berikut ini yang mungkin dapat Anda lakukan seperti bermain dengan anak, duduk bersantai di bean bag dan berfoto ria di berbagai objek yang dimiliki Big Garden Corner seperti

“Miniatur Candi Borobudur”

Miniatur Candi Borobudur ini mempunyai tinggi 5 meter dan Anda harus sabar karena ada banyak pengunjung ingin berfoto.

“Patung batu dengan jumlah yang banyak”

Dalam arena ini ada pahatan seni patung dari batu mulai ukuran terkecil hingga yang paling besar. Akan tetapi, kebanyakan yang ada adalah patung berukuran besar utamanya patung Buddha.

Banyak kerajinan seni patung dan batu disana yang kebanyakan di ekspor dan diperjual belikan. Karena itu hampir Sebagian besar dari kerajinan patung yang ada nampak masih baru.

“Atap yang berupa payung warna warni”

Kawasan dengan minat pengunjung terbanyak untuk memperoleh foto keren di jalan setapak yang dinaungi atap payung warna – warni. Bilamana Anda membuat rencana untuk melakukan foto pre wedding disini akan ditarik dana sebesar Rp 200.000.

Disini juga dapat dipakai sebagai tempat untuk acara resepsi pernikahan yang mampu mewadahi 500 – 1000 orang.

“Area nongkrong berwarna warni”

Spot untuk bersantai di taman ini sangat beragam apalagi ditambah dengan kursi dan bantal yang memiliki warna warni.

Arena santai ini ada di area kebun dengan payung yang berukuran besar serta ada meja kayu.

“Bentuk silang batang pohon”

Jarang ada objek wisata yang menawarkan hal ini karena memang sangat langkah. Harga batang pohon yang menyilang ini tergolong sangat mahal ditambah harus disertai perawatan intensif.

“Rumah pohon mini”

Terdapat sebuah rumah pohon yang beratapkan Jerami dan bahan dasarnya kayu. Sesuatu yang tidak terduganya ada patung kera di dalamnya.

Bokashi Farm

Bokashi Farm

Bokashi Farm yang berlokasi di Jl. Waribang No.27, Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, berfungsi sebagai pusat edukasi tanaman obat dan pertanian organik dengan menggunakan teknologi EM. Menawarkan halaman yang hijau dan luas, menjadikannya tempat yang ideal untuk berbagai kegiatan di luar ruangan seperti reuni, pernikahan, ulang tahun, dan pertemuan. Selain itu, peternakan ini memiliki restoran yang bekerja sama dengan Warung Sunda “Kang Zanger” yang menyajikan makanan khas Sunda halal seperti Nasi Timbel, Gurami, Ayam Bakar, dan lainnya, cocok untuk makan siang kantor, pertemuan klien, atau pertemuan keluarga.

Perkebunan Bokashi juga merupakan tempat yang tepat untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat tanaman obat. Ini sering menerima kunjungan dari SD, SMA, mahasiswa, dan instansi pemerintah. Dengan luas sekitar 20 hektar, pengunjung dapat belajar tentang berbagai jenis tanaman obat, hidroponik, praktik berkebun, pengomposan organik, dan kegiatan tamasya lainnya. Peternakan berfungsi sebagai model pertanian terpadu dan laboratorium lapangan yang lengkap.

Selain itu, masyarakat Denpasar didorong untuk mendaur ulang sampahnya menggunakan teknologi EM untuk menghasilkan pupuk organik, yang dapat digunakan untuk menyuburkan kebun, kebun, kebun hotel dan villa, dan terutama kebun di kawasan pemukiman masing-masing.

citraland waterpark

Citraland Waterpark

Citraland Waterpark Denpasar merupakan tempat rekreasi air di Denpasar, Bali yang mengusung tema bajak laut. Terletak di kawasan perumahan Citraland di jalan Cargo Permai, menjadikannya pilihan yang nyaman dan ramah keluarga. Taman ini menawarkan berbagai fasilitas bagi wisatawan, antara lain area parkir yang luas, pusat informasi, dan loket tiket destinasi Citraland Water. Pengunjung juga bisa menikmati wahana air yang menegangkan, berfoto di spot Instagenic, berenang di kolam renang, menggunakan toilet, sholat di mushola, hingga menyimpan barang bawaan di loker. Taman ini juga memiliki gazebo, area tempat duduk untuk turis, dan kafetaria.

Untuk liburan yang menyenangkan di Denpasar Bali, jelajahi atraksi dan wahana terbaik di Citraland Waterpark Denpasar dan segarkan kembali tubuh dan pikiran Anda dengan menyegarkan diri dengan berenang di kolam renang bersama orang-orang tersayang. Ada banyak aktivitas seru yang bisa dinikmati, seperti foam pool, race slider, tube slider, adventure gallery rides, lazy river, spilling bucket, dan reflection pool.