′Kala itu…
Banjir kerap melanda warga Tangtu. Ritual upacara keagamaan pun sulit digelar. Maka, Pura Dalem Kadewatan pun pindah ke arah selatan, menyusuri pesisir (Sanur). Pura Dalem Kadewatan berlokasi di Tangtu, berdekatan dengan Sungai Sagsag (Sungai Ayung).
Keberadaan Pura Dalem Kadewatan tidak dapat terlepas dari perjalanan putra dari Ida Made Wetan, bernama Pedanda Anom Bendesa yang merupakan keturunan dari Dang Hyang Nirartha dari Kamasan Klungkung menuju Tangtu yang ketika itu dikuasasi oleh I Gusti Ngurah Agung Pinatih sebagai penguasa Kertalangu Kesiman. Tangtu sekarang merupakan sebuah banjar yang berada di bawah naungan Desa Kesiman Kertalangu secara kedinasan dan Desa Adat Kesiman secara adatnya.
Diceritakan mengenai kedekatan Ida Pedanda Anom Bendesa dengan I Gusti Agung Pinatih, membuat Ida Pedanda Anom Bendesa memperistri adiknya yang bernama Ni Gusti Ayu Putu Pacung, selain itu I Gusti Ngurah Agung Pinatih juga menyerahkan kawula warga sebanyak 40 keluarga.
Lambat laun sebagai penunjang kehidupan sosial-religius membuat Ida Pedanda Anom Bendesa membangun beberapa pura yang mengikat masyarakat Tangtu seperti Pura Dalem Kadewatan, Pura Puseh, Pura Kentel Gumi, Pura Padang Sakti, Palinggih Pengayatan Bhatara Batur, dan Palinggih Gunung Agung. Begitu juga dengan I Gusti Ngurah Agung Pinatih membangun Pura Bangun Sakti di sebelah timur Tangtu atas petunjuk Ida Pedanda Anom Bendesa.
Hal inilah yang menyebabkan kemudian cucu Ida Pedanda Anom Bendesa memindahkan Pura Dalem Kadetawan ke tempat yang lebih aman. Ida Pedanda Anom Bendesa di Tangtu menurunkan putra bernama Ida Pedanda Sakti Ngenjung yang kelak memiliki dua putra bernama Ida Pedanda Wayahan Bendesa dan Ida Pedanda Made Bendesa.
Pemindahan beberapa pelinggih Pura Dalem Kadewatan yang dilakukan oleh dua bersaudara atau dikenal dengan surya kalih melibatkan juga masyarakat pengiring yang setia, mencari tempat ke arah selatan menyusuri pesisir pantai dengan mengusung pratima–pratima, dan akhirnya perjalanan yang ditempuh sekitar 4 kilometer dijumpai lahan datar yang kosong, kemudian disebut dengan Tegal Asah.
Menemukanlah, tanah lapang di Tegal Asah, yang terdapat undak-undak tanah yang cukup tinggi dan menyembulkan sinar menjulang tinggi. Sinar tersebut yang menjadi cikal bakal nama Sanur : Sa artinya tunggal dan Nur itu sinar suci

Pura Dalem Kadewatan, Desa Sanur, merupakan pura warisan budaya Denpasar di wilayah pesisir Sanur. Tak hanya pada warisan bangunannya, melainkan juga keberadaan tari sakralnya. Bangunan pura berdiri kisaran abad XV – abad XX.
Ketika telah memantapkan tempat yang disebut dengan Tegal Asah itu, kemudian surya kalih, yaitu Ida Pedanda Wayahan Bendesa dan Ida Pedanda Made Bendesa beserta para masyarakat pengiring kembali membangun tempat suci sebagai identitas religius menghubungkan diri dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), yang kemudian tetap diberi nama Pura Dalem Kadewatan.
Tari-tari sakral
Ritual keagamaan, Pura Dalem Kadewatan menggunakan waktu spiritual, pada hari Tilem (bulan mati) menuju triwara Kajeng, tepatnya di Tilem Kajeng. Tilem merupakan prabhawa dari Sang Hyang Siwa yang juga sebagi wujud Sang Hyang Yamadipati (dewa kematian) yang memiliki kekuatan melebur (pralina).
Tari-tarian sakral berupa Sang Hyang dipentaskan ketika piodalan itu. Salah satunya, Sang Hyang Jaran merupakan tarian sakral hanya ditarikan setiap upacara piodalan Tilem Kajeng. Namun pernah tidak dimunculkan dan terakhir pada tahun 1938. Kembali Sang Hyang Jaran ditarikan pada tahun 2016.
Sang Hyang Jaran merupakan sebuah tarian kuda (jaran) yang bermain-main hingga mandi (masiraman) dengan api oleh dua sungsungan pratima Sang Hyang Jaran berwarna putih dan merah. Sang Hyang Jaran mulai masolah (menari) ketika serabut-serabut kelapa sudah mulai dibakar api di halaman madya manda (jaba tengah) pura, dilanjutkan dengan iringan-iringan nyanyian (kidung) Sang Hyang Jaran mulai dinyanyikan untuk memanggil (nedunang) taksu Sang Hyang Jaran.
Sehari selepas puncak acara piodalan Tilem Kajeng, warga menghaturkan gebogan yang diwakili oleh ibu-ibu rumah tangga berbusana kebaya putih dan kuning. Mereka berbaris menyunggi gebogan sebagai sarana persembahan rasa syukur atas berkah Ida Sang Hyang Widi, atau disebut Mepeed.
Konsep catus patha





Pura Dalem Kadewatan
Pura Dalem Kadewatan dibangun menggunakan konsep catus patha desa, yaitu di sebalah timur ada Pura Surya Batanpoh, di sebelah barat Pura Surya Bolong, di sebelah utara Pura Dalem Kadewatan, dan di sebelah selatan Pura Kembar, sedangkan di tengah-tengahnya adalah Griya Jero Gede Sanur sebagai tempat tinggal sang surya kalih.
Pura Dalem Kadewatan dipercayai sebagai tempat memuja Bhatari Hyang Nini Dewati, yaitu nama lain dari Bhatari Giri Putri ketika turun ke dunia menempati arah utara. Selain itu, masyarakat juga mempercayai Pura Dalem Kadewatan juga bersthana Bhatara Siwa, sehingga pemujaan di Pura Dalem Kadewatan adalah untuk Siwa – sakti sebagai simbol purusa dan pradana.
Secara karakteristik dan fungsi, Pura Dalem Kadewatan merupakan pura territorial atau Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Sanur. Prosesi upacara piodalan di Pura Dalem Kadewatan menggunakan waktu spiritual, yaitu pada hari Tilem (bulan mati) menuju triwara Kajeng. Hal inilah upacara piodalan di Pura Dalem Kadewatan disebut dengan Tilem Kajeng.
Hari Tilem (bulan mati) atau disebut juga kresna paksa adalah siklus 30 atau 29 hari sekali sesuai dengan sistem waktu Bali. Tilem merupakan prabhawa dari Sang Hyang Siwa yang juga sebagi wujud Sang Hyang Yamadipati (dewa kematian) yang memiliki kekuatan melebur (pralina). Identitas aktivitas tersebut nampak pada hari upacara piodalan Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan yang menunjukkan sebuah proses ritual sakral bercorak Siwaistis.
Upacara Piodalan Tilem Kajeng diawali dengan prosesi nanceb sanggar tawang/surya yang merupakan sthana sementara Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Surya Raditya dan Sang Hyang Catur Lokapala, selanjutnya adalah acara ngingsah beras, upacara ngaturang bendu guru piduka yang dilakukan untuk permohonan maaf kepada bhatara–bhatari yang bersthana di Pura Dalem Kadewatan sebelum puncak acara piodalan, setelah itu adalah prosesi upacara mapepada dengan mengarak hewan-hewan kurban mengelilingi pura, dan kemudian prosesi menghias pratima sungsungan di Pura Dalem kadewatan, Griya Jero Gede Sanur, serta pura-pura prasanak untuk dihadirkan ke pura pada upacara piodalan Tilem Kajeng.
Setelah mengetahui letak, latar belakang sejarah, dan karakteristik Pura Dalem Kadewatan, sekarang dibahas potensi-potensi heritage menarik yang terkandung di dalamnya, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai daya tarik wisata heritage di kawasan sanur, seperti acara Melasti, Mapeed, Tari Sang Hyang Jaran, dan Tari Baris Gede sebagai potensi heritage intangible, sedangkan heritage tangiblenya adalah Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan, Palinggih Babaturan Rong Solas Linggih Ratu Pangenter, Gedong Simpen Linggih Ratu Pamayun, Palinggih Gunung Agung, dan Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung).

1. Melasti
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Latar Budaya : Hindu
Deskripsi : Melasti sebagai salah satu rangkaian penting acara piodalan Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan dengan melibatkan ratusan umat di Desa Adat Sanur mengarak mengiringi pratima–pratima ke Pantai Sanur. Selain pratima ada juga sasuhunan berupa Barong dan Rangda diiringi ke pesisir pantai untuk melaksanakan penyucian. Iringan-iringan biasanya lengkap dengan Tari Baris Gede, iringan tombak, tamiang, tedung, pasepan, dan Gamelan Baleganjur. Masyarakat meyakini rangkaian acara melasti ini sebagai proses penyucian pratima, sasuhunan, dan simbol-simbol lainnya di Sanur, mereka memohon agar Bhatara Baruna (dewa penguasa laut) senantiasa memberikan tirtha paleburan mala (kotoran) bagi bhuwana agung maupun bhuwana alit. Pantai digunakan sebagai tempat acara melasti karena laut dianggap sebagai tempat peleburan segala jenis mala (kotoran), sebagai muara akhir, dan sari-sari kehidupan diyakini berada di tengah laut (telengin segara).
2. Mapeed
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Latar Budaya : Hindu
Deskripsi : Tradisi mapeed dilaksanakan pada manis piodalan (sehari setelah acara puncak piodalan) Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan, berupa barisan iring-iringan ibu-ibu berbusana putih kuning sambil memunut gebogan di atas kepalanya, berjalan berbaris rapi menuju Pura Dalem Kadewatan. Mapeed dengan memunut gebogan ini sebagai wujud syukur masyarakat ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi karena telah menganugerahkan kesejahteraan, berkah yang melimpah.

3. Tari Sang Hyang Jaran
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Latar Budaya : Hindu
Deskripsi : Sang Hyang Jaran merupakan tarian sakral di Pura Dalem Kadewatan, yang biasa ditarikan setiap upacara piodalan Tilem Kajeng, tetapi pernah selama 78 tahun tidak ditarikan lagi karena sempat tidak ada yang nyungsung (menarikan), yaitu terakhir ditarikan pada tahun 1938 dan kembali ditarikan lagi pada tahun 2016. Kembali ditarikan itu karena ada pamuwus bahwa akan ada saja wabah-wabah penyakit di Sanur jika terus menerus Ida Sang Hyang Jaran tidak masolah (menari).
Sang Hyang Jaran merupakan sebuah tarian kuda (jaran) yang bermain-main hingga mandi (masiraman) dengan api. Sang Hyang Jaran mulai masolah (menari) ketika serabut-serabut kelapa sudah mulai dibakar api di halaman madya manda (jaba tengah) pura, dilanjutkan dengan iringan-iringan nyanyian (kidung) Sang Hyang Jaran mulai dinyanyikan untuk memanggil (nedunang) taksu Sang Hyang Jaran, mulai dua sungsungan pratima Sang Hyang Jaran berwarna putih dan merah dipundut oleh dua orang, suara kidung mulai dinyanyikan dengan tempo cepat, mulai juga kedua penari trance tidak sadarkan diri mendekati kobaran api, meloncat-loncat bermain api, dan hingga mandi (masiraman) api. Setelah sekian lama bermain api, biasanya juru pundut pratima Sang Hyang Jaran mulai lemas dan tersungkur, dengan cepat kemudian masyarakat mengambil pratima agar tidak menyentuh tanah.
4. Tari Baris Gede (I Kebo Dengkol)
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Latar Budaya : Hindu
Deskripsi : Tari Baris Gede sebagai tarian sakral yang wajib dipentaskan ketika upacara piodalan Tilem Kajeng di Pura Dalem Kadewatan, disebut juga dengan I Kebo Dengkol sebagai identitas religius masyarakat Desa Adat Sanur dalam penganut agama Hindu (Siwaistik). Keberadaan Tari Baris Gede ini dapat ditelisik melalui cerita proses pemindahan Pura Dalem Kadewatan dari Tangtu ke Tegal Asah (Sanur sekarang). Diceritakan ketika itu seluruh masyarakat mengiringi surya kalih, yaitu Ida Pedanda Wayahan Bendesa dan Ida Pedanda Made Bendesa dengan membawa bahan-bahan bangunan pura termasuk pratima menelusuri pesisir nampaknya disertai dengan suasana kegembiraan, tanpa disadari ternyata ada beberapa pengiring yang mengalami trance. Saat itulah terdengar pawisik (sabda) yang meminta kepada masyarakat pengiring bahwa ketika Ida Bhatara di Pura Dalem Kadewatan turun (tedun) ke dunia atau disebut juga dengan napak pertiwi, wajiblah diiringi dengan Tarian I Kebo Dengkol (Tari Bari Gede) (Putra dkk, 2015: 228-229).
Tari Baris Gede biasanya dipentaskan di halaman nista mandala (jaba sisi) Pura Dalem Kadewatan, terdiri dari 12 – 16 orang penari yang masing-masingnya menggunakan kostum sederhana seperti babuntilan, calana putih, baju putih, kain putih kuning di dalamnya berisi kain gringsing, menggunakan gelungan berhiaskan bunga gumitir, dan hanya satu orang penari yang berbeda disebut dengan petelek (senapati) menggunakan baju hitam. Masing-masing penari membawa perlengkapan perang seperti tombak dan keris, biasanya tokoh petelek (senapati) ketika telah mengalami trance akan ditikam-tikam dengan tombak.
Sang senapati berbusana hitam biasanya keluar dengan sorot mata tajam, inilah I Kebo Dengkol, berjalan mondar-mandir menatap seluruh pasukan tombak, suatu saat sang senapati I Kebo Dengkol menghunus kerisnya memenggal bunga gumitir di gelungan pasukan penari pembawa tombak. Seketika pasukan penari tombak mulai mengambil ancang-ancang siaga, membungkuk, dan satu persatu mulai mengarahkan mata tombaknya ke dada sang senapati I Kebo Dengkol dengan teriakan-teriakan bersemangat, akhirnya seluruh penari mengalami trance mulai diboyong masuk ke halaman utama mandala (jeroan) Pura Dalem Kadewatan untuk dipercikan tirtha suci.

5. Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XVIII – XX Masehi
Bahan : batu bata, kayu, dan ijuk
Kondisi : Baik
Deskripsi : Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan merupakan bangunan sentral utama di Pura Dalem Kadewatan, letaknya di tengah-tengah halaman utama mandala (jeroan) pura, pada sisi timur menghadap ke barat , bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah yang setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, pada sisi baratnya terdapat lima susun anak tangga untuk menuju garbhagraha pada bagian badan gedong. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berukir berwarna emas, sama halnya dengan kaki setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, di atas ambang pintu terdapat ornament kala berupa pahatan karang sae, sedangkan pada altar badan gedong diletakkan dua arca dwarapala, dan terdapat umpak-umpak batu padas berukir sebagai landasan tiang-tiang kayu sebanyak sembilan buah penopang atap gedong. Atap bangunan gedong berbentuk limasan terbuat dari susunan kayu dan ijuk, puncak atap diletakkan bentala terbuat dari batu padas berbentuk gunungan dengan hiasan karang bentulu, karang manuk, dan suluran daun.

6. Palinggih Babaturan Rong Solas Linggih Ratu Pangenter
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Arah Hadap : Selatan
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XVIII – XX Masehi
Bahan : batu bata
Kondisi : Baik
Deskripsi : Bangunan ini memiliki keunikan, yaitu berbentuk memanjang dan memiliki 11 ruangan suci (garbha graha), berdiri di sisi utara halaman utama mandala (jeroan) pura menghadapa ke selatan, bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan polos berupa susunan batu bata, badan bagunan juga terbuat dari batu bata merah polos tanpa hiasan, hanya terdapat 11 garbha graha, begitu juga atapnya berupa 10 susunan batu bata dengan bentuk bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin mencil.

7. Gedong Simpen Linggih Ratu Pamayun
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Arah Hadap : Selatan
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XVIII – XX Masehi
Bahan : batu bata, kayu, dan ijuk
Kondisi : Baik
Deskripsi : Bangunan Gedong Simpen Linggih Ratu Pamayun berdiri di halaman utama mandala (jeroan) pura, pada sisi timur menghadap ke barat , bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah yang setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, pada sisi baratnya terdapat lima susun anak tangga untuk menuju garbhagraha. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata merah, bagian depannya terdapat pintu untuk memasuki ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berukir berwarna emas, sama halnya dengan kaki setiap sisi dan sudutnya menggunakan hiasan pepalihan khas bebadungan, di atas ambang pintu terdapat ornament kala berupa pahatan karang sae, sedangkan pada altar badan gedong diletakkan dua arca dwarapala, dan empat umpak-umpak berukir sebagai landasan tiang-tiang kayu penopang atap gedong. Atap bangunan gedong berbentuk limasan terbuat dari susunan kayu dan ijuk, puncak atap diletakkan bentala terbuat dari batu padas dihiasi dengan ornament suluran daun.
8. Palinggih Gunung Agung
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Arah Hadap : Barat
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XVIII – XX Masehi
Bahan : batu bata dan batu padas
Kondisi : Baik
Deskripsi : Palinggih Gunung Agung berdiri di halaman utama mandala (jeroan) pura, pada sisi timur menghadap ke barat, tepat di samping kanan Gedong Ratu Susun Dalem Kadewatan. bangunan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Kaki bangunan berbentuk bebaturan terbuat dari batu bata merah kombinasi batu padas sebagai hiasan ornamentnya, keempat sudat bawahnya berhiaskan ornament karang gajah, dan setiap sudut atasnya berhiaskan pahatan simbar. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata merah dengan kombinasi batu padas sebagai hiasan ornament, pada keempat sudut bawahnya dihiasi dengan pahatan karang manuk, bagian atasnya pada sisi barat terdapat pintu ruangan suci (garbha graha) yang terbuat dari kayu berwarna coklat, pada altar badan palinggih diletakkan dua arca, yaitu arca tokoh dan arca balagana. Atap bangunan palinggih berbentuk limasan terbuat dari batu padas, pada puncaknya diletakkan murdha berupa kuncup padma, dan setiap sudut atapnya berhiaskan karang manuk.


9. Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung)
Lokasi : Pura Dalem Kadewatan
Arah Hadap : Utara – selatan
Latar Budaya : Hindu
Periodisasi : Abad XV – XVI Masehi
Bahan : Batu bata
Kondisi : Baik
Deskripsi : Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung) di Pura Dalem Kadewatan ini merupakan gapura yang menghubungkan halaman tengah (madya mandala) ke halaman dalam (utama mandala/jeroan). Kori Agung ini terbuat dari susunan batu bata secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap. Bagian kaki Kori Agung terbuat dari susunan batu bata, bagian kaki pada setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, pada sisi depan yang merupakan sebagai tempat meletakkan arca dwarapala diberikan hiasan simbar gantung dan simbar duduk yang lengkap di tengah-tengahnya berhiaskan pepalihan khas bebadungan, serta pada bagian kaki sisi luar terdapat undakan berupa anak tangga bertingkat tujuh.
Bagian badan Kori Agung terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, ditengah-tengahnya tedapat pintu masuk yang terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya, serta di atas ambang pintu pada sisi depan dan belakang (utara – selatan) terdapat hiasan kepala kala dengan ciri-ciri mata melotot, mulut terbuka dengan gigi runcing, taring mencuat keluar, telinga runcing ke atas, dan rambut di atas kepala dipahatkan ikal menyerupai karang batu. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng. Badan pegandong merupakan struktur yang terbuat dari susunan batu bata yang berukuran lebih kecil sebagai penyambung tembok pura pada setiap sudatnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas.
Bagian atap Kori Agung terbuat dari susunan batu bata terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat lima yang semakin ke atas semakin kecil, pada bagian kemuncak berbentuk mahkota ratna, setiap sudutnya berhiaskan antefik yang terbuat dari batu padas berupa suluran daun, setiap sisi atap berhiaskan simbar duduk dan setiap sudutnya berhiaskan simbar gantung. Bagian atap caping pada sisi kanan ataupun kiri memiliki ciri-ciri sama yaitu terbuat dari susunan batu bata, pada setiap sudut dan puncaknya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung lengkap dengan antefik terbuat dari batu padas berupa suluran daun, dan pada puncak atap caping disusun batu bata menjulang tinggi yang disebut dengan kampid (sayap) gapura. Bagian atap pegandong terbuat dari batu bata yang disusun dengan hiasan simbar duduk dan simbar gantung lengkap dengan antefik pada setiap sudutnya, serta pada kemuncak atap pegandong diletakkan kemucak susunan batu bata seperti atap caping, tetapi lebih kecil.