Pura Desa Peguyangan

Pura Desa Peguyangan terletak pada koordinat 50 L 0303433 UTM 9048711 (85 Meter dpl), merupakan tempat suci milik masyarakat Desa Adat Peguyangan, secara administratif terletak di Kecamatan Denpasar Utara. Latar belakang sejarah keberadaan Desa Adat Peguyangan dapat dipahami melalui isi Dresta Ilikita Desa Pakraman Peguyangan, yaitu ditemukan beberapa hal yang merujuk pada kesejarahan desa, seperti nama Desa Adat Peguyangan muncul berdasarkan kisah gajah Kyai Panji Sakti yang maguyang (berguling-guling) dan ditempat gajah tersebut maguyang disebut dengan peguyangan. Istilah peguyangan juga dikaitkan dengan isi prasasti tembaga di Pura Dalem Batan Celagi yang menyebutkan penyungsung  prasasti tersebut dianugerahi kebebasan membayar pajak, karena telah diberikan tanggung jawab menyungsung dan ngaci sam sat kahyangan yang berarti “yang menjaga tempat hyang”. Menjaga prahyangan tersebut harus pageh (kukuh/konsisten) yang kemudian kata pageh dan hyang tersebut menjadi cikal bakal nama peguyangan (Anonim, 2011: 1)

Mengenai prasasti yang ditemukan di Pura Dalem Batan Celagi (Prasasti Peguyangan) tersebut ditemukan hanya satu lempeng yaitu lembar ke-8 sisi A dan B dengan menggunakan aksara Bali Kuna (Kawi – Bali) dan bahasa Jawa Kuna. Prasasti Peguyangan ini dimasukkan kedalam kelompok prasasti-prasasti terbitan Raja Sri Haji Jayapangus kisaran tahun Śaka 1099 – 1103 (1177 -1181 Masehi) yang secara ringkas isinya menyebutkan nama desa Er Saling dan tentang pembebasan beberapa jenis pajak (drwi haji) karena desa tersebut dulunya merupakan jataka (daerah pengelola bangunan suci yang bebas dari sejumlah pajak dan kewajiban lainnya) pundut dyun Bhaṭāra di Burwan yang telah dijadikan sawah oleh penduduk desa. Mereka tidak diwajibkan membayar beberapa jenis iuran yang berkaitan dengan upacara, termasuk para pengantin baru tidak diwajibkan mempersembahkan pamapas kepada Sanghyang Candi di Burwan. Isi lainnya adalah tentang ketentuan atau ijin dalam beternak itik, memelihara asu tugel, pirung, dan bebas berpergian ke desa lain (Wiguna dkk, 2015: 19).

Ada sebuah asumsi bahwa sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah Desa Adat Peguyangan pernah berdiri bangunan candi kuno serupa dengan miniatur candi yang ditemukan di Pura Desa Peguyangan, Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. 

Pura Desa Peguyangan memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) menjadi satu dengan jaba sisi (nista mandala) Pura Bale Agung Peguyangan, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Pura Desa Peguyangan  menjadi satu kompleks dengan Pura Bale Agung, Pura Penyarikan, Pura Puseh, dan Pura Manik Tahun Peguyangan. Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dengan jaba tengah (madya mandala) dibatasi dengan gapura/paduraksa dan tembok keliling terbuat dari susunan batu bata, sedangkan jaba tengah (madya mandala) dengan nista mandala (halaman luar) dibatasi dengan candi bentar. Secara karakter pura ini memiliki karakter teritorial (kahyangan tiga) tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma beserta sakti dengan pengempon dan penyungsungnya adalah masyarakat Desa Adat Peguyangan. Upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Redite Wuku Sinta (Banyu Pinaruh).

 

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

12. Kemuncak Sudut Atap Candi III 

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan tujuh garis melingkar, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

 
Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *