Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3).
Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang.
I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe
Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.
I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.
“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis).
Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang).
Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..