Pura Kahyangan lan Dalem penataran Taman Pohmanis

Keberadaan pura ini tidak dapat terlepas dari keberadaan Jero Agung Pohmanis. Diceritakan, ketika I Dewa Karang yang diselamatkan oleh I Ngakan Kaleran saat terjadi penumpasan kekuasaan I Gusti Agung Maruti oleh I Dewa Jambe bersama Kyai Anglurah Singharsa, Kyai Anglurah Panji Sakti, Kyai Anglurah Macan Gading, I Dewa Paduhungan I Dewa Kereng, dan I Dewa Negara di Kerajaan Swecapura Gelgel – Klungkung. I Dewa Karang merupakan cucu dari I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumerta keturunan Dalem Sagening dari istri penawing. I Dewa Karang ketika dilarikan ke Denbukit (Buleleng) diiringi oleh parekan dan panginte. Sesampainya di Denbukit I Dewa Karang dititipkan kepada pedagang (panghalu) dari Bun Badung. Pedagang dari Bun (panghalu Bun) tersebut kemudian memasukkan anak kecil tersebut ke dalam keranjang dagangannya (katung/kalesan) dan dibawa pulang ke wilayah Bun Badung (Kertha dkk, 2001 dalam Basudewa, 2017: 74-76). 

Wilayah Bun merupakan perbatasan utara Kerajaan Badung yang ketika itu dipimpin oleh seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija. Masyarakat Bun berkumpul di Bencingah mendengar kabar bahwa putra I Dewa Agung Karang di Klungkung telah hilang bersama parekan dan panginten nya. Mendengar kabar itu panghalu Bun menceritakan bahwa telah menerima anak kecil di Denbukit ketika berdagang, kemudian I Gusti Ngurah Bija bergegas untuk menghadap I Dewa Agung di Klungkung untuk memastikan keberadaan anak kecil tersebut, dan memohon jika benar itu adalah putra dalem agar dapat dibesarkan di Bun. Mendengar permintaan membuat I Dewa Agung di Klungkung merasa senang dan membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah I Dewa Karang putra I Dewa Agung Karang. Ia pun mengizinkan I Dewa Karang dibesarkan di wilayah Bun dengan serta diberikan panjak sebanyak 400 orang. I Dewa Karang setelah besar di wilayah Bun dikenal dengan nama I Dewa Kalesan, karena ketika dibawa dari Denbukit oleh panghalu Bun dimasukkan pada keranjang (kalesan) dagangannya.

Cerita hilangnya I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) menyebar ke berbagai wilayah hingga terdengar di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. I Gusti Jambe Pule menginginkan agar I Gusti Ngurah Bija menyerahkan I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) ke Badung karena akan diberikan tempat untuk berkuasa di wilayah perbatasan timur Kerajaan Badung, yaitu di wilayah Taak dengan diberikan pengiring panjak sebanyak 1000 orang. I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) setelah berkuasa di wilayah Taak kemudian bergelar abhiseka I Dewa Gde Sukahet dengan menempati Puri Agung Batubulan. I Dewa Gde Pameregan sebagai generasi ke-II penerus I Dewa Gde Sukahet memiliki Sembilan putra yaitu I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh I Dewa Gde Rai, tetapi terjadi pemberontakan yang dilakukan  oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang bekerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Puri Gianyar sehingga berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk naik tahta tetapi tidak memiliki putra keturunan, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar).

Melihat prilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi. 

Keadaan ketika itu sangat kacau dan banyak putra-putra raja pergi meninggalkan Puri Batubulan karena merasa kecewa dengan keadaan puri. I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Nyoman Badung mengungsi menuju wilayah Badung menemui Raja Badung untuk menceritakan keadaan di Batubulan. I Dewa Nyoman Badung diiringi panjak pengiring para warga-wargi soroh pungakan Banjar Kalah Batubulan seperti I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda, sedangkan panjak pengiring dari Sumerta seperti I Dawa beserta dengan anaknya bernama I Pinrih dan I Malang, I Silur beserta dengan anaknya bernama Nyoman Del dan I Medil, I Bagus Pengunteran juga dengan anak-anaknya seperti Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Panjak pengiring I Dewa Wayan Muntur hanya berdua yaitu I Gulingan dan I Mandesa (Kertha dkk, 2001: 20-21). 

Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande membangun, dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanis/pomanis (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22).

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande bersama pengikutnya di pemanis mampu meredam invasi militer Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanis semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemamis sebagai benteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu.

Mengenai Pura Kahyangan lan Dalem Penataran dari beberapa keterangan penglingsir dikatakan bahwa Pura Kahyangan dibangun lebih dahulu karena berdampingan dan berhubungan dengan setra (kuburan). Beberapa tahun kemudian barulah di utama mandala (jeroan) di bangunan Pura Dalem Penataran. Struktur Pura Dalem Penataran menandakan bahwa pura ini selain sebagai Pura Kahyangan Tiga pada awalnya dikatakan sebagai pendharmaan (kawitan) keluarga Jero Agung Pohmanis dan pengiring (panjak tatadan) seperti Karang Buncing, Kalah, dan Pasek yang dibuktikan dengan adanya meru tumpang tiga, selanjutnya masyarakat yang datang belakangan ke wilayah pemanis (pohmanis) ini ikut manyungsung serta mengempon pura ditandai dengan dibangunnya tujuh Pelinggih Sanak seperti Pelinggih Sanak Pande, Senggehu, Pasek Bendesa, Bendesa Manik Mas, dan dua Pelinggih Sanak Pasek.

Pura Kahyangan lan Dalem Penataran memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala),  jaba tengah (madya mandala), jeroan (utama mandala). Pura Kahyangan terletak di madya mandala ditandai dengan adanya Palinggih Gedong Kahyangan dan Pura Dalem Penataran terletak di utama mandala ditandai dengan adanya Palinggih Gedong Dalem. Pura Dalem Penataran Taman Pohmanis ini memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa beserta sakti, selain itu dapat dikatakan memiliki karakter geneologis (keluarga) dengan bukti adanya Pelinggih Meru Tumpang Telu dan tujuh buah Palinggih Sanak dari berbagai klan masyarakat di Desa Adat Taman Pohmanis. Pura Penataran sering dikaitkan dengan pura yang dimiliki raja/penguasa dan dapat juga berarti semua klan/soroh dapat melakukan pemujaan disana. Berkenaan dengan Pengertian Milik raja/penguasa dapat dilihat berdasarkan penamaan pratima dan struktur palinggih yang berkaitan dengan jabatan dalam sebuah kerajaan seperti Ratu Dalem (raja), Ratu Kahyangan (ibu/sakti/istri), Ida Bhatara Alit (putra raja/dalem), Pamayun Agung (wakil raja), Panyarikan (sekretaris), Panglurah (pembantu raja/patih), Sedahan Agung (lembaga pengurus uang dan pajak), Pangenter (juru bicara/menteri), dan Sanak (keluarga/masyarakat). 

Upacara piodalan dilaksanakan dua kali setiap enam bulan sekali, yaitu piodalan Pura Kahyangan jatuh pada hari Saniscara (sabtu) Wuku Wayang (Tumpek Wayang) sedangkan piodalan Pura Dalem penataran jatuh pada hari Soma (senin) Pahing Wuku Langkir (Pahing Kuningan). Berdasarkan karakter pura yang mengempon dan menyungsung Pura Kahyangan lan Dalem Penataran ini adalah masyarakat Desa Adat Taman Pohmanis.

1. Gapura Kori Agung

Gapura Kori Agung sebagai penghubung halaman Pura Kahyangan dan Pura Dalem Penataran. Gapura kuna ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki gapura terbuat dari susunan batu padas yang banyak dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, serta karang manuk (kepala burung) dan karang asti (kepala gajah) menghiasi setiap sudut kaki gapura pada sisi utara dan selatan. Sisi selatan gapura terdapat dua arca dwarapala membawa gada mengapit kedua sisi pintu masuk. Badan gapura lebih didominasi menggunakan bahan batu bata merah yang dilengkapi dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. 

 Ornamen yang menghiasi kedua sisi (utara dan selatan) pada ambang pintu gapura kuno ini adalah kepala kala (karang boma) yang sangat unik dan tidak lazim ditemukan pada beberapa bangunan pura lainnya di Bali, yaitu berupa kepala kala yang diapit dengan lilitan makara (ular berkepala gajah). Ornament makara tersebut terlilit dengan posisi saling membelakangi sama seperti konsepsi ornament makara di relung Candi Sari (Jawa Tengah). Ornamen karang bhoma terbuat dari batu padas dengan memiliki tiga komponen motif, yaitu mahkota yang meliputi hiasan mahkota dan rambut, wajah yang meliputi mata, hidung, mulut, dagu, dan tanduk, serta tangan yang meliputi sikap jari dan kuku. Antara kepala kala (karang bhoma) dan makara terdapat pahatan figur manusia sederhana yang dipahatkan dengan sikap tangan disilang di depan perut. Kepala kala ini memiliki ukuran yang sangat besar dengan gaya naturalis, mata melotot, rahang atas dan bawah bertaring, serta kedua telapak tangannya terbuka seperti sikap ingin menerkam yang dililit oleh makara. (Basudewa dkk, 2015: 183-184). Menurut masyarakat atap Kori Agung dulu nya berjumlah lima tingkatan dan hancur karena gejer (gempa Bali) dan diperbaiki menjadi tiga tingkatan saja.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *