The Spiritual Charm of Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap: A Blend of History and Prosperity at the Estuary of Tukad Badung

Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap is not only a place of worship for Hindus but also a fascinating religious tourism destination in Denpasar. For those seeking tranquility infused with a spiritual aura, this temple, surrounded by the estuary, is well worth a visit.

Located at the border between Badung Regency and Denpasar City, specifically at the estuary of Tukad Badung on Jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai Denpasar, the temple is believed to be the dwelling place of Ida Ratu Bhatari Nihang Sakti, the Goddess of Prosperity. As a place to seek prosperity, this temple is never short of visitors. It is also a destination for traders and fishermen who come to pray for prosperity.

According to IB Made Sudana, the temple priest, before it stood in its current grandeur, Pura Luhur Tanah Kilap existed as a humble shrine. "The history of this temple is recorded in ancient manuscripts found at Griya Gede Gunung Beau Muncan in Karangasem," he explained.

As for the history of this temple, as told by Sudana, during the reign of the Bandana Raja kingdom, on the southern coast of the island of Bali there lived a Bendega (fisherman) named Pan Santeng, who lived daily from his activities as a fisherman at the mouth of a river facing the sea. South Bali. One day, while at sea, it turned out that Pan Santeng had no results at all, and this incident went on for three consecutive days.

Finally on the third day, finally Pan Santeng said his masesangi (vow) promise, if he got fish, he would give pekelem and his prayer was answered.

"Thus, Pan Santeng built a shrine on the rocky outcrop and, with unwavering devotion, he offered prayers at the shrine every day as his catch continued to increase," Sudana added.

Until one day, Pan Santeng received word that the shrine was the residence of Ida Brahma Putri from Patni Keniten named Ida Ayu Ngurah Saraswati Swabhawa.

Such is the essence of the history of Pura Luhur Candi Narmada and that temple for centuries remained in the form of a simple stone shrine on a rock, until finally it was continued by Sudana in 1958 when a mother from Kuta received a gift to build a grand studio in the Pelinggih Ratu Niang Sakti area.

Akhirnya sanggar agung dibangun, dan lambat lain pelinggih tersebut semakin banyak dikunjungi masyarakat dari seluruh Kota Denpasar maupun dari luar Denpasar. “Terutama oleh para pedagang dan nelayan, pura ini menjadi tempat untuk memohon anugrah,” lanjutnya.

Along with the times, slowly, the construction of the Luhur Tanah Kilap temple is growing with several buildings and other buildings starting from Bale Kulkul, Pelinggih Ratu Gede Bendega, Gelung Kuri and Pelatasan, Pelinggih Padmasana, Pelinggih Meru and Negara Segara, Pelinggih Ada Rambut Sedana, Pelinggih Penglurah, Pelinggih Bhatara Wisnu, Pelinggih Ratu Bagus, Pelinggih Jineng, Pelinggih Bhatari Niang Sakti, Gedong Simpen and Telaga Waja and Bale Peselang.

Sudana said the pelinggih was in the main Mandala Pura Luhur Tanah Kilap. Meanwhile, in the Palembang area, there are two other shrines, namely the Bhatara Dalem Ped Junction Temple which is located to the east and Taman Temple and Tapa Gni which are located to the west. The existing shrines and pretense are one unit in Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap.

Exploring Time at Kebon Vintage Cars: A Paradise for Classic Car Enthusiasts in Denpasar

This destination is a dream come true for classic car enthusiasts. Don’t think that Denpasar has no attractions for vintage car lovers. At Kebon Vintage Cars, your thirst for classic automobiles from around the world will be more than satisfied. Over 100 classic cars from various eras are on display here.

Some of the standout models you’ll find include the 1991 Volvo 960 Limousine, the 1953 Cadillac Fleetwood 75 Limousine, the 1949-1952 Austin A90 Atlantic, and even a 1924 Dodge Brothers Special Series 116 Four Door. These vintage vehicles are meticulously arranged and accessible for visitors to admire up close.

One of the highlights is a 1948 Plymouth Hudson Hornet, which bears the registration of none other than Fatmawati, the wife of Indonesia’s first president, Soekarno. Some of the cars on display are still operational and can be used for special events.

One of the highlights is a 1948 Plymouth Hudson Hornet, which bears the registration of none other than Fatmawati, the wife of Indonesia’s first president, Soekarno. Some of the cars on display are still operational and can be used for special events.

Initially, this place was just a private garage for the owner’s collection. However, during the pandemic, Jos decided to open it up to the public. Since then, many visitors have come to admire the antique car collection at Kebon Vintage Cars. And there’s no need to worry about refreshments—there are food and drink services available for visitors.

Tracing Historical Footsteps at Puri Pemecutan: A Legacy of Bali's Struggle Against Colonizers

Puri Agung Pemecutan merupakan salah satu puri atau keraton kerajaan Bali yang masih berdiri hingga sampai saat ini. Pemecutan berasal dari kata pecut/cambuk sehingga sering dikaitkan dengan pecut/cambuk. Dahulunya Puri Agung Pemecutan Kuno dilalap kobaran api pada tanggal 20 September 1906 atas perintah Raja Gusti Ngurah Pemecutan yang bergelar Ida Cokorda Pemecutan IX saat memimpin rakyat bali turun ke medan perang untuk memperjuangkan tanah airnya yang dikenal dengan Perang Puputan Badung. Walaupun dengan semangat yang membara, Raja bersama rakyatnya akhirnya gugur dalam perang dengan latar belakang puri terbakar di belakangnya. Untuk mengenang beliau telah dibuat monumen Ida Cokorda Pemecutan IX diperempatan jalan Puri Agung Pemecutan

Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X

Ida Meparab Anak Agung Sagung Adi

Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan

Setelah Perang Puputan Badung, terjadi kekosongan pemerintahan terjadi di Puri Agung Pemecutan. Dikarenakan Ida Cokorda Pemecutan IX tidak memiliki keturunan laki-laki dan hanya memiliki seorang putri yaitu Ida Meparab Anak Agung Sagung Adi, kemudian atas prakarsa keluarga besar Puri Agung Pemecutan dan Warga Ageng Pemecutan dan untuk melestarikan budaya leluhur terdahulu, maka diangkatlah keponakannya I Gusti Ngurah Gde Pemecutan/ Kyahi Ngurah Gde Pemecutan untuk menjadi Raja Pemecutan yang kemudian bergelar Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X serta kakak beliau dari lain ibu yang Bernama Ida Anak Agung Gede Lanang Pemecutan sebagai wakilnya. Beliau sebagai kakak beradik menampakan kehidupan yang rukun dan selalu mengutamakan musyawarah mufakat dalam penyelesaian masalah sehingga masyarakat sangat segan kepada mereka.

Dikarenakan Puri Agung Pemecutan Kuno sudah hancur dan hanya menyisakan Bale Kulkul di sebelah selatan Puri Agung Pemecutan Kuno, maka Jero Kanginan yang berada tepat didepan Puri Agung Pemecutan Kuno direhab menjadi Puri Agung Pemecutan yang baru, beralamat di Jalan Thamrin Nomor 2 Denpasar. Sampai saat ini Puri Agung Pemecutan masih dijaga keaslian dan kesakralannya serta menjadi tempat tinggal bagi keturunan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X dan Ida Anak Agung Gede Lanang Pemecutan. Sehingga menjadikan Puri Agung Pemecutan yang berada di Pusat Kota Denpasar sebagai salah satu cagar budaya yang patut untuk dilestarikan.

Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X

Di Puri Agung Pemecutan terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Puri Agung Pemecutan sendiri terdiri dari 3 bagian utama yaitu:

Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala.

Nista Mandala

Nista Mandala adalah bagian terluar dari Puri disebut juga sebagai “jaba puri” terdapat bangunan sebagai pemisah antara Madya Mandala dan Nista Mandala yaitu Kori Agung Puri Agung Pemecutan. 

Merupakan gerbang utama yang terdiri dari 1 pintu utama yang terletak di tengah-tengah dan 2 “betel”. Pintu utama hanya dipergunakan saat diadakan upacara adat dan keagamaan, dan disakralkan oleh keluarga Puri Agung Pemecutan, sedangkan 2 “betel” dipergunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Di pojokan barat daya jaba puri terdapat Bale Bengong, yang dipergunakan oleh keluarga Puri Agung Pemecutan untuk memantau kegiatan masyarakat disekitaran Puri Agung Pemecutan. Terdapat kulkul yang dahulunya dipergunakan sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat.

Selain itu pada Barat laut terdapat Bale Kulkul Puri Agung Pemecutan yang baru. Bale kulkul ini dipergunakan sebagai sarana komunikasi pada masyarakat di sekitar Puri. Bale kulkul ini khusus dipergunakan untuk memberi tahu kepada masyarakat bahwa adanya pelaksanaan kegiatan di Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan.

Tepat di depan Bale Kulkul, terdapat Kori Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan sebagai tempat masuk bagi masyarakat dari luar Keluarga Puri untuk melaksanakan persembahyangan di Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan yang terletak di areal Utama Mandala

Madya Mandala

Madya Mandala

Madya Mandala adalah bagian tengah dari Puri, areal ini merupakan areal dimana kegiatan sehari-hari biasa dilakukan oleh keluarga Puri Agung Pemecutan. Menjadi tempat tinggal keluarga Puri, madya mandala Puri Agung Pemecutan dibagi menjadi 2 bagian yaitu saren daje dan saren delod, yang dimana saren daje ditempati oleh keluarga Ida Anak Agung Ngurah Gede Lanang Pemecutan dan saren delod yang ditempati oleh keluarga Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan. Saren daje berarti kamar di sebelah utara dan saren delod berarti kamar di sebelah selatan.

Dibagian paling selatan areal madya mandala terdapat Bale Lantang yang berarti Bale yang Panjang, dipergunakan multifungsi seperti untuk menerima tamu, pelatihan tari dan gambelan, atau pelaksanaan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan adat ataupun keagamaan. 

Pada Tahun 1970an hingga 1990an, atas tingginya antusiasme wisatawan pada saat itu agar bisa menginap di Puri Agung Pemecutan, maka Bale Lantang ini dimultifungsikan sebagai hotel, sehingga sebagaian bale ini sudah menjadi kamar hotel dan sebagian dipergunakan sebagai lobi hotel, namun seiiring berkembangnya jaman, hotel di Puri Agung Pemecutan kalah saing dengan kompetitor sehingga hotel pada saat ini tidak berfungsi.

Dibagian paling selatan areal madya mandala terdapat Bale Lantang yang berarti Bale yang Panjang, dipergunakan multifungsi seperti untuk menerima tamu, pelatihan tari dan gambelan, atau pelaksanaan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan adat ataupun keagamaan. 

Pada Tahun 1970an hingga 1990an, atas tingginya antusiasme wisatawan pada saat itu agar bisa menginap di Puri Agung Pemecutan, maka Bale Lantang ini dimultifungsikan sebagai hotel, sehingga sebagaian bale ini sudah menjadi kamar hotel dan sebagian dipergunakan sebagai lobi hotel, namun seiiring berkembangnya jaman, hotel di Puri Agung Pemecutan kalah saing dengan kompetitor sehingga hotel pada saat ini tidak berfungsi.

Ditengah areal ini terdapat Gedong Agung, yaitu sebagai tempat tinggal Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X, setelah sepeninggalnya Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X, Bale ini dipergunakan oleh Keluarga Puri Agung Pemecutan untuk melaksanakan rapat dalam rangka persiapan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di Puri Agung Pemecutan.

Sebelah barat Gedong Agung terdapat bale yang dipergunakan oleh keluarga Ida Anak Agung Gede Lanang Pemecutan tinggal, bale tersebut disambung dengan bangunan besar yang sekarang menjadi tempat tinggal anak cucu beliau.

Bagian paling utara di areal Madya Mandala adalah Bale Daje/Bale Bandung, seperti namanya “daje” berarti utara. Bale ini diperuntukan untuk anak gadis ataupun kepala keluarga. Di Puri Agung Pemecutan, bale ini ditempati oleh Parab Ida Anak Agung Sagung Adi. Ibu semasa hidupnya sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Sekarang sering dipergunakan untuk upacara “ngekeb”, yaitu upacara mengisolir anak gadis yang hendak menikah, “ngerajaswala” atau “mepandes”

Sebelah timur bale daje/bale bandung terdapat bale “dangin” yang berarti timur, bale ini difungsinkan sebagai tempat melanaksanakan upacara adat dan keagamaan yang berhubungan dengan manusa yadnya seperti pernikahan, “mepandes”, “otonan”, “ngerajaswala” dan lain – lain.

Disebelah selatan terdapat Bale murda/Bale Delod, yaitu bale yang dipergunakan untuk peletakan jenazah sambil menunggu hari baik untuk melaksanakan upacara “Ngaben” apabila ada keluarga dari Puri Agung Pemecutan meninggal dunia.

Sebelah barat terdapat bale “dauh”, dauh sendiri berarti barat. Bale ini dahulu dipergunakan sebagai tempat tidur untuk anak laki – laki, namun sekarang dipergunakan untuk menerima tamu pada saat upacara adat dan agama dilaksanakan.

Utama Mandala

Utama Mandala

Utama Mandala adalah bagian terdalam dari Puri disebut Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan, tempat keluarga puri melaksanakan persembahyangan dan berdoa kepada tuhan dan leluhurnya. Tempat ini merupakan tempat yang disucikan oleh keluarga Puri, bagi wanita yang sedang menstruasi tidak diperkenankan untuk memasuki areal ini.

Pemerajan Puri Agung Pemecutan memiliki beberapa “pelinggih”, pelinggih sendiri sebagai simbol pemujaan terhadap Dewa-Dewa tertentu, selain itu terdapat “pewaregan suci” atau dapur suci yang dipergunakan khusus untuk persiapan sarana upacara di Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan. Diatas Pewaregan terdapat “Jineng” sebagai tempat penyimpanan padi (lumbung)

Pada tembok Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan, terdapat ornamen ukiran kisah-kisah pewayangan yang menambahkan keunikan dari Pemerajan Puri Agung Pemecutan itu sendiri

Sempat mengalami kebakaran 11 pelinggih pada tanggal 11 Agustus 1995, Pemerajan Puri Agung Pemecutan sempat dipugar dan selesai pada tanggal 11 Agustus 1996 dan dilaksanakan Karya Memungkah Ngeteg Linggih pada Purnama Sasih Kelima Tanggal 26 November 1996. Kejadian ini dibuatkan Pracasti dan diletakan tepat di depan Kori Pemerajan Agung Puri Agung Pemecutan.

Big Garden Corner: A Photographer's Paradise and Instagrammable Spot in Sanur, Bali

For photography enthusiasts and Instagram lovers, this spot should be on your list when exploring Bali’s capital city. Opened in 2016, Big Garden Corner started as a simple gallery showcasing stone sculptures.

True to its name, Big Garden Corner is situated at the intersection of Jalan Waribang and Jalan By Pass Ngurah Rai Padanggalak in Sanur. Spanning 2.5 hectares, this expansive garden offers numerous photo opportunities. Visitors can snap pictures against backdrops of megalithic stones, stone tables, large-scale statues, and colorful umbrella canopies.


One of the highlights is a 5-meter-high replica of the Borobudur temple. There’s also a small tree house, wooden pathways shaded by intertwining branches, and a butterfly garden home to over 100 species of butterflies.

The garden also features grassy areas, making it a perfect spot for families and couples to spend some quality time. There’s a restaurant and a children’s playground, making it an ideal destination for all ages. Located in the Sanur area, it’s a great stop on your way to explore East Bali.

Pura Dalem Kedewatan

Pura Dalem Kadewatan located at Sanur Village was one of the cultural heritage of Denpasar in Sanur. This Pura was built in XV-XX Masehi and before moved to Sanur, this Pura was located in Tangtu, at the edge of Ayung River.

When Tangtu was heavily flooded by the river, all the ceremony was postponed. That’s the moment when the locals decided to moved this Pura to the south, to Tegal Asah, where the land countour has stages and they found a higher place and shine. The place inspired the name Sanur, it came from the word Sa = means one single and Nur = means holy light.

The rituals held in this Pura is using the spiritual timing on Tilem day to triwara kajeng, often named as Tilem Kajeng. Tilem was a prabhawa from Sang Hyang Siva that also had a form as Sang Hyang Yamadipati (The God of the dead) who had the vanishing power.

The dances of Sang Hyang will be performed on the piodalan day.  One of the dance is Sang Hyang Jaran. This dance is very sacred and stopped performed in 1938 and then finally resume on 2016.

 

This dance showed a horse played and showered with fire with two Pratima in red and white. This sacred dance will feel scary when the dancer as Sang Hyang Jaran playing with a real fire in the middle of the pura and all the songs played in sacred way.

 

One day after piodalan Tilem Kajeng, the people will do the gebogan offerings along the village. This gebogan will be carried by the womens wearing white and yellow kebaya to praise God for all the blessings. This ceremony called Mepeed.

Pura Dalem Penataran

Pura Dalem Penataran located close to Pura Siwa Dampati. This Pura was built around XVIII-XIX. In Its Gedong Dalem there are sculpture mentioned the year 1793 or 1871 Masehi. Most part of this building which is Gedong Dalem, Palinggih Sumur Suci, Palinggih Hyang Api (Lebuh Geni), Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung) and other statues was made from red bricks and rockstone.

Dampati Shiva Temple

Experts predicted that Pura Siwa Dampati was made within XVIII-XIX century. This pura still in good shape with red bricks and related to Pura Dalem Penataran.

Dampati means The Meeting. In Regweda writings, Dampati also refer to a unity between a man and a woman that cannot be separated. This meanings was believed as a manifests of the unity of Siwa and Sakti, the Durga Goddes in Pura Dalem Penataran.

This complex consists of

Gedong Siwa Dampati, Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung), dwarapala statue, and a priest statue (Brahmana).

Segara Temple

Experts predicted that Pura Siwa Dampati was made within XVIII-XIX century. This pura still in good shape with red bricks and related to Pura Dalem Penataran.

Dampati means The Meeting. In Regweda writings, Dampati also refer to a unity between a man and a woman that cannot be separated. This meanings was believed as a manifests of the unity of Siwa and Sakti, the Durga Goddes in Pura Dalem Penataran.

This complex consists of

Gedong Siwa Dampati, Paduraksa Candi Kurung (Kori Agung), dwarapala statue, and a priest statue (Brahmana).

Dalem Jumeneng Temple

Still within the beachside of Segara Ayu, there is Pura Segara Ayu. Since there is no authentic history about this Pura, but the structure is very similar with Pura Dalem Jumeneng with layers of Gamping stones. Therefore the experts made an assumption that this Pura was built in Megaliticum age.

The fishermen and all the village people surround that area use this Pura to give offerings, celebrations, and praying. Mostly, they use it to ask a blessing for fishing.

In Balinese, Segara means the beach or seaside, and also known as the territory of Wisnu, the Hindu God. They celebrate piodalan (the birthdays of the pura) on Purnama Kedasa (Purnamaning Sasih Kedasa)

There are 3 spot to place offerings; Palinggih Gunung Agung, Palinggih Gunung Batur, and Palinggih Dalem Segara. All the offerings send for the goodness of the nature, and the mountain. Later in the days, the people surround the area made 3 statues to completed the architectural design; dragon, turtle, and elephant fish statues.

Palinggih Bathara Bayu

is the place to praise Bayu, the God of the wind for Hindu Bali

Penyawangan Ratu Mas Melanting

Queen Melanting and Queen Jilih Lambih was the goddess for fertility, life goodness, and prosperity.

Linggih Ratu Manik Kembar

Made from gamping stone layers with three throne chambers. The thrones are made from stones and believed as the place for the Gods to sit and heard prayers.

Tahta Batu          

A throne with a big seat back. Was made from a single gamping stone with a very minimalist sculptures.

Sumur                  

An ancient dwell that brings water. The people used the water from this dwell only for special prayers and made a wall surround it also with gamping stones.

Menhir                 

It’s a very solid vertical stone used to be a tombstone and also  believed there are spirits inside this.

Kedok Muka        

These masks was made very simple, the simple lines made a siluet of eyes, noses, and mouths.

Baris Cina Dance at Kesumajati Temple Semawang

Baris Cina Dance that held specially in Pura Kesumajati, Semawang, is a very sacred dance and performed only in Piodalan Ceremony of the Pura. This Dance was counted as intangible heritage in October 10th 2018. Unwritten history that told from generations mentioned that this dance was once performed by Ida Ratu Tuan who had tranced and speak with Chinese language, since then, they named this dance as Baris Cina Dance.

The move in this dance similar to Kungfu move, accompanied by Gong Bheri music, the gong is flat and similar to chinese’s musical instruments.