Pura Agung Petilan Kesiman

Pura Agung Petilan Kesiman atau lebih populer disebut Pura Pangrebongan karena sebagai tempat dilaksanakannya ritual Ngerebong di Desa Adat Kesiman. Mengenai sejarah pendirian dan keberadaan Pura Agung Petilan Kesiman termuat dalam “Eka Ilikita Desa Adat Kesiman”, yaitu merupakan pura sentral dalam melaksanakan upacara besar keagamaan dan disungsung oleh seluruh masyarakat Desa Adat Kesiman. Pura Agung Petilan erat kaitannya dengan Pura Luhur Dalem Mutering Jagat yang terletak di tepi Sungai Ayung, dan tidak dapat terlepas dari keberadaan puri di Kedaton. 

Diceritakan Arya Wang Bang Pinatih di Puri Kertalangu yang juga membangun Pura Dalem Muter dikalahkan oleh Dukuh Pahang pada tahun saka 1527, kemudian meninggalkan puri menuju Sanur. Masyarakat, dan pengikut Arya Wang Bang Pinatih ketika itu yang tinggal di tepi sisi barat Sungai Ayung seperti Batanbuah dan Kedaton merasa kebingungan.  Akhirnya Ki Bendesa Sugriwa menuju Puri Pemecutan menghadap raja di Badung untuk memohon pengganti kepemimpinan Arya Wang Bang Pinatih. Permohonan itu dikabulkan dengan menempatkan Kyai Pemayun dan mendirikan puri di tepi timur Sungai Ayung bernama Tegal Kuwum. Kyai Pemayun juga melanjutkan nyungsung Pura Dalem Muter yang dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih bersama para pengikutnya yang masih bertempat tinggal di Batanbuah, Kehen, dan Kedaton (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 5).

Istilah petilan juga ada yang menyebut berasal dari kata pailen-ilen yang dilaksanakan di penyawangan Pura Dalem Muter Kesiman, penyawangan itu berupa turus lumbung untuk dapat melaksanakan upacara ketika sulit melewati Sungai Ayung, dan di tempat penyawangan itulah dilaksanakan pangilen-ngilen (Subawa, 1990: 74). Kemudian dalam penelitian “Upacara Ngilen dalam Pangusaban di Pura Agung Petilan Kesiman” kata pethilan berasal dari istilah tila yang artinya menanam biji atau benih, kemudian agung diartikan besar dan memiliki arti seorang raja. Pura Agung Petilan dalam hal ini diartikan tempat suci seorang raja menanam biji atau benih pemikiran berupa konsep dan ide (Ranuara, 2017: 83-84).

Pura Agung Petilan Kesiman secara karakter dapat digolongkan sebagai pura teritorial, karena memiliki ciri kesatuan wilayah (territorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu desa yang diikat oleh kesatuan wilayah, kesatuan wilayah desa tersebut adalah Desa Adat Kesiman yang diikat dengan Kahyangan Tiga. Upacara piodalan di Pura Agung Petilan Kesiman tidak sama pelaksanaannya seperti pura lainnya, karena  Pura Agung Petilan merupakan pura pasamuan sebagai pusat ritual di Desa Adat Kesiman, ditandai dengan berkumpulnya pratima, pacanangan, sesuhunan barong dan rangda dari berbagai pura se Desa Adat Kesiman. Ritual pangilen di Pura Agung Petilan dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yaitu pertama disebut dengan Pangebekan dilaksanakan pada hari Kamis (Wraspati) Umanis Wuku Dungulan (sehari setelah Hari Raya Galungan), kemudian kedua disebut dengan Pamapagan/Pamendak Agung dilaksanakan pada hari Senin (Soma) Paing Wuku Langkir (dua hari setelah Hari Raya Kuningan), dan pangilen ketiga disebut dengan Ngarebong atau Pangrebongan dilaksanakan pada hari Minggu (Redite) Pon Wuku Medangsia (delapan hari setelah Hari Raya Kuningan).

1. Gapura Kori Agung

Kori Agung merupakan pintu pembatas, dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbuat dari susunan batu bata, tetapi bagian tangga permukaan atasnya telah dilapisi dengan beton di depan, dan dilengkapi sembilan anak tangga, sedangkan pada bagian kaki sisi dalam memiliki 11 anak tangga.

Bagian badan gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan berukuran panjang 1.623 cm terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, daun pintu dan kusen terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada atas ambang pintu dipahatkan ukiran dasar kepala kala bersayap dengan susunan batu bata menjorok keluar, tetapi belum selesai diukir, setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, badan caping masing-masing pada setiap sudutnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng berbentuk tapak dara. Bagian atap gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata yang terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat tujuh semakin ke atas semakin kecil, pada bagian puncak berbentuk murdha terbuat dari batu padas, keempat sudut atap berhiaskan antefik yang terbuat dari susunan batu bata berbentuk segitiga tumpal atau disebut juga dengan simbar duduk lengkap dengan ornamen ikut celedu. 

2. Tugu Pangrebongan

Tugu Pangrebongan terletak di depan Gapura/paduraksa Kori Agung Pura Agung Petilan, terbuat dari susunan batu bata, tidak menggunakan atap, terdiri dari bagian kaki dan badan lengkap dengan hiasan simbar gantung dan duduk. Bagian puncak bentuknya menyerupai singgasana terbuat dari batu padas lengkap dengan alas dan sandaran, di Bali disebut dengan ulon. Alas puncak pada sisi depannya dipahat tanggal pendiriannya yaitu 5 – 9 – 1966. 

3. Gedong Manca Desa

Gedong Manca Desa terletak di sisi timur paling selatan  halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat, di tengahnya terdapat pintu menuju garbhagraha, pada selasar depan terdapat empat buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, selasar depan pintu garbha graha juga terdapat selasar berbentuk U difungsikan untuk meletakkan arca pratima dan pecanangan ketika upacara berlangsung. 

4. Gedong Agung Petilan

Gedong Agung Petilan disebut juga Gedong Dalem atau Gedong Mandaragiri terletak pada sisi timur menjadi bangunan sentral di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki paling dasar berupa badan kura-kura dililit naga, di atasnya berbentuk bujur sangkar terbuat dari susunan batu bata. Badan bangunan memiliki hiasan pepalihan khas bebadungan pada ketiga sisinya, memiliki lubang pintu garbha graha pada sisi barat, terdapat sembilan buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, pada bagian depan bangunan terdapat relung dari susunan batu bata, di atasnya diletakkan arca Siwa Mahadewa, Nandiswara, Mahakala, dan dua arca tokoh, sedangkan di dalam relung terdapat kepala kura-kura di lilit naga (bedawang nala). Garbhagraha merupakan ruangan suci untuk meletakkan arca pratima seperti Ratu Dalem, Ratu Pura Pauman, Ratu Kahyangan, Ratu Panji, dan Ratu Cakraningrat ketika upacara berlangsung. 

5. Gedong Pangerob

Gedong Pangerob terletak pada sisi timur tepatnya di sebelah utara Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki berhiaskan pepalihan khas bebadungan pada sisi utara dan selatan, beberapa bagiannya sudah rusak, terdapat tujuh anak tangga menuju selasar badan bangunan. Reling tangga disusun dengan batu bata, setiap ujungnya terdapat tempat arca berbentuk bebaturan. Badan bangunan terbuat dari susunan batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit membentuk pepalihan khas bebadungan, ditengahnya terdapat altar untuk meletakkan arca pratima ketika upacara berlangsung, seperti pratima Pura Tojan, Pura Siman, Pura Daton, Pura Dalem Wirasana, Pura Sekar Ambara, Pura Kahyangan Bajangan, dan Pura Petapan Dalem Denpasar. Pada selasar depan terdapat dua buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan.

6. Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana

Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah selatan gapura/paduraksa Kori Agung. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan kemuncak berbentuk murdha.

7. Pelinggih Pengrurah Agung

Pelinggih Pangrurah Agung terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah utara gapura/paduraksa Kori Agung, secara struktur bentuknya sama dengan Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan murdha.

8. Arca Balagana I

Arca berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kanan ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kiri ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. 

9. Arca Balagana II

berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kiri ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kanan ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. Kepala arca menggunakan jamang bersusun tiga dengan motif manik-manik dan karang simbar, rambut ikal dibiarkan terurai, sedangkan ikat kepala dengan motif manik-manik dan karang simbar.

10. Arca Dwarapala Nawasari I

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kanan ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kiri ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

11. Arca Dwarapala Nawasari II

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kiri ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kanan ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

12. Arca Tokoh I (Dewa Brahma)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna merah kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kanan arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur, sedangkan tangan kiri ditekuk di sebelah perut memegang ujung kain. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang asti di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

13. Arca Tokoh II (Dewa Wisnu)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna hijau kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kiri arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur. Gaya dan motif hiasan arca tokoh II sama dengan arca tokoh I, yang membedakan hanya ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah arca tokoh II tenang, sedangkan arca tokoh I matanya melotot.

14. Arca Tokoh III (Siwa Mahadewa)

Arca diletakkan di atas relung paling tengah depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna putih kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik kelopak padma. Arca dipahatkan betangan empat, kedua tangan depan disatukan di depan dada dengan sikap mudra, tangan kanan nyambir membawa bunga ditopang dengan tangan kiri, sedangkan kedua tangan belakang ditekuk ke atas membawa atribut laksana yang kondisinya sudah patah. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang manuk di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

15. Arca Mahakala

Arca Mahakala diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, kondisi arca sudah dicat dengan warna hitam kombinasi prada mas, sikap arca setengah duduk dengan kaki bersilang di atas lapik bermotif karang batu, wajah dipahatkan menyeramkan, mata melotot, dan gigi taring mencuat keluar. Tangan kanan ditekuk ke depan dada menyilang membawa gada, sedangkan tangan kiri memegang sampur di samping perut. Arca Mahakala sebenarnya arca penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Nandiswara, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

16. Arca Nandiswara

Arca Nandiswara diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, sebagai penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Mahakala, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *