4D6C0A25-D56E-45E9-B56E-7447F65535FA_1_105_c-transformed

Sejarah Pohmanis

Berbicara mengenai sejarah Desa Adat Taman Pohmanis tidak dapat terlepas dari Prasasti yang tersimpan di Pemrajan Agung Pohmanis, yang turunannya secara bebas dideskripsikan dalam Babad Kesatria Sukahet. Diceritakan telah hilang seorang anak kecil di Puri Klungkung yang merupakan putra dari I Dewa Karang. I Dewa Karang ini merupakan putra dari I Dewa Paduhungan yang merupakan putra dari  I Dewa Sumretha sebagai putra Dalem Sagening dari istri panawing. I Dewa Sumretha putra Dalem Sagening diperkirakan sebaya dengan Dalem Dimade yang menjadi raja pada tahun 1665-1686 Masehi. Ketika masa pemerintahan Dalem Dimade terjadi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan kerajaan ketika itu berhasil dikuasai. Dalem Dimade bersama dua putranya, yaitu I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe mengungsi ke Desa Guliang Pejeng dan dalam pengungsian Dalem Dimade wafat di Desa Guliang. I Dewa Jambe setelah dewasa mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Swucapura Gelgel bersama-bersama dengan saudaranya, yaitu I Dewa Paduhungan untuk merebut kembali kerajaan dari I Gusti Agung Maruti.

I Dewa Jambe kira-kira sebaya dengan umur I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumretha ketika itu berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti dan kerajaan dapat direbut dengan memindahkan pusat kerajaan dari Swecapura Gelgel ke Smarajaya Klungkung dan I Dewa Jambe naik tahta tanpa menggunakan gelar dalem dari tahun 1710-1775 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. Putra Ida I Dewa Agung Jambe bernama I Dewa Dimade yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Smarapura Klungkung pada tahun 1775-1825 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Dimade. Ketika terjadi penumpasan I Gusti Agung Maruti di Kerajaan Swecapura Gelgel dulu oleh Ida I Dewa Agung Jambe, putranya yang bernama I Dewa Dimade masih sangat kecil dan diperkirakan seumuran dengan I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduhungan. Terjadinya perebutan kekuasaan tersebut membuat kondisi sangat kacau sehingga I Dewa Karang beserta dengan parekan dan panginte ketika itu diselamatkan dengan cara dilarikan ke Denbukit (Buleleng) oleh I Ngakan Kaleran (Kertha dkk, 2001: 9-10).

Diceritakan ada seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija berkuasa di Kerajaan Bun yang memiliki penduduk sebanyak ± 5000 jiwa. Kerajaan Bun sekarang merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Desa Angabaya Penatih, di sebelah timur Desa Sibang Badung, di sebelah selatan Desa Lambing-Tingas Badung, serta di disebelah barat Desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati Badung. Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3). 

Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang. 

I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe

Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.

I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.

“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis).

Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang).

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..

i Dewa Nyoman Badung wafat/mantuk di Kesiman. Beliau mempunyai 3 orang putra-putri. Yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung ketika itu), I Dewa Gede Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju desa perbatasan wilayah Badung dengan Mengwi dan Gianyar. Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande untuk membangun dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande (Menantu I Dewa Nyoman Badung) menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22). Wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang sangat gawat karena disana sering terjadi pertempuran. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tonggak-tonggak sejarah seperti belumbang (banteng yang terbuat dari susunan tanah) melintang mengelilingi wilayah ini, penamaan tempat seperti carik cucukan dan kalangan yang identik dengan istilah dalam peperangan, dan karena wilayah ini sebagai banteng pertahanan Badung pada masanya sehingga wilayah ini bernama pemanes terus berkembang menjadi pemanis dan pohmanis sampai saat ini.

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande beserta dengan warga masyarakat lainnya di wilayah pemanes ini mampu meredam invansi meliter Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur dan membuat keadaan semakin aman. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanes semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemanes sebagai banteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas sekitar tahun 1740 Masehi invansi meliter Mengwi yang mengalahkan Kerajaan Bun dan disaat yang hampir bersamaan terjadi gejolak kekuasaan di Kerajaan Batubulan yang mengakibatkan terbunuhnya I Dewa Gde Rai (sekarang didharmakan pada meru di Pura Puseh Batubulan). Pada masa-masa itu beberapa keluarga raja seperti I Dewa Wayan Muntur dan I Dewa Nyoman Badung meninggalkan Batubulan menuju wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) bersama para warga-wargi (panjak tatadan) untuk membangun serta membina wilayah baru di tepi siring Kerajaan Badung sekitar abad XVII-XVIII Masehi. 

Mengenai istilah nama taman itu baru muncul ketika wilayah desa ini dibagi menjadi dua banjar adat, yaitu taman dan pohmanis yang dulunya secara keseluruhan bernama pemanes/pemanis/pohmanis. Taman dikaitkan dengan adanya Pura Taman Sari di sisi barat desa yang sekarang dimiliki oleh Brahmana dari Geriya Bindu Kesiman.

Berbicara mengenai sejarah Desa Adat Taman Pohmanis tidak dapat terlepas dari Prasasti yang tersimpan di Pemrajan Agung Pohmanis, yang turunannya secara bebas dideskripsikan dalam Babad Kesatria Sukahet. Diceritakan telah hilang seorang anak kecil di Puri Klungkung yang merupakan putra dari I Dewa Karang. I Dewa Karang ini merupakan putra dari I Dewa Paduhungan yang merupakan putra dari  I Dewa Sumretha sebagai putra Dalem Sagening dari istri panawing. I Dewa Sumretha putra Dalem Sagening diperkirakan sebaya dengan Dalem Dimade yang menjadi raja pada tahun 1665-1686 Masehi. Ketika masa pemerintahan Dalem Dimade terjadi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan kerajaan ketika itu berhasil dikuasai. Dalem Dimade bersama dua putranya, yaitu I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe mengungsi ke Desa Guliang Pejeng dan dalam pengungsian Dalem Dimade wafat di Desa Guliang. I Dewa Jambe setelah dewasa mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Swucapura Gelgel bersama-bersama dengan saudaranya, yaitu I Dewa Paduhungan untuk merebut kembali kerajaan dari I Gusti Agung Maruti.

I Dewa Jambe kira-kira sebaya dengan umur I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumretha ketika itu berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti dan kerajaan dapat direbut dengan memindahkan pusat kerajaan dari Swecapura Gelgel ke Smarajaya Klungkung dan I Dewa Jambe naik tahta tanpa menggunakan gelar dalem dari tahun 1710-1775 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. Putra Ida I Dewa Agung Jambe bernama I Dewa Dimade yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Smarapura Klungkung pada tahun 1775-1825 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Dimade. Ketika terjadi penumpasan I Gusti Agung Maruti di Kerajaan Swecapura Gelgel dulu oleh Ida I Dewa Agung Jambe, putranya yang bernama I Dewa Dimade masih sangat kecil dan diperkirakan seumuran dengan I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduhungan. Terjadinya perebutan kekuasaan tersebut membuat kondisi sangat kacau sehingga I Dewa Karang beserta dengan parekan dan panginte ketika itu diselamatkan dengan cara dilarikan ke Denbukit (Buleleng) oleh I Ngakan Kaleran (Kertha dkk, 2001: 9-10). 

Diceritakan ada seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija berkuasa di Kerajaan Bun yang memiliki penduduk sebanyak ± 5000 jiwa. Kerajaan Bun sekarang merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Desa Angabaya Penatih, di sebelah timur Desa Sibang Badung, di sebelah selatan Desa Lambing-Tingas Badung, serta di disebelah barat Desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati Badung. Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3).

Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang. 

Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). 

Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. 

Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.

I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.

“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis). Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang). 

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..

i Dewa Nyoman Badung wafat/mantuk di Kesiman. Beliau mempunyai 3 orang putra-putri. Yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung ketika itu), I Dewa Gede Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju desa perbatasan wilayah Badung dengan Mengwi dan Gianyar. Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande untuk membangun dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande (Menantu I Dewa Nyoman Badung) menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22). Wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang sangat gawat karena disana sering terjadi pertempuran. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tonggak-tonggak sejarah seperti belumbang (banteng yang terbuat dari susunan tanah) melintang mengelilingi wilayah ini, penamaan tempat seperti carik cucukan dan kalangan yang identik dengan istilah dalam peperangan, dan karena wilayah ini sebagai banteng pertahanan Badung pada masanya sehingga wilayah ini bernama pemanes terus berkembang menjadi pemanis dan pohmanis sampai saat ini.

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande beserta dengan warga masyarakat lainnya di wilayah pemanes ini mampu meredam invansi meliter Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur dan membuat keadaan semakin aman. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanes semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemanes sebagai banteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas sekitar tahun 1740 Masehi invansi meliter Mengwi yang mengalahkan Kerajaan Bun dan disaat yang hampir bersamaan terjadi gejolak kekuasaan di Kerajaan Batubulan yang mengakibatkan terbunuhnya I Dewa Gde Rai (sekarang didharmakan pada meru di Pura Puseh Batubulan). Pada masa-masa itu beberapa keluarga raja seperti I Dewa Wayan Muntur dan I Dewa Nyoman Badung meninggalkan Batubulan menuju wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) bersama para warga-wargi (panjak tatadan) untuk membangun serta membina wilayah baru di tepi siring Kerajaan Badung sekitar abad XVII-XVIII Masehi. 

Mengenai istilah nama taman itu baru muncul ketika wilayah desa ini dibagi menjadi dua banjar adat, yaitu taman dan pohmanis yang dulunya secara keseluruhan bernama pemanes/pemanis/pohmanis. Taman dikaitkan dengan adanya Pura Taman Sari di sisi barat desa yang sekarang dimiliki oleh Brahmana dari Geriya Bindu Kesiman.

Berbicara mengenai sejarah Desa Adat Taman Pohmanis tidak dapat terlepas dari Prasasti yang tersimpan di Pemrajan Agung Pohmanis, yang turunannya secara bebas dideskripsikan dalam Babad Kesatria Sukahet. Diceritakan telah hilang seorang anak kecil di Puri Klungkung yang merupakan putra dari I Dewa Karang. I Dewa Karang ini merupakan putra dari I Dewa Paduhungan yang merupakan putra dari  I Dewa Sumretha sebagai putra Dalem Sagening dari istri panawing. I Dewa Sumretha putra Dalem Sagening diperkirakan sebaya dengan Dalem Dimade yang menjadi raja pada tahun 1665-1686 Masehi. Ketika masa pemerintahan Dalem Dimade terjadi pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti dan kerajaan ketika itu berhasil dikuasai. Dalem Dimade bersama dua putranya, yaitu I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe mengungsi ke Desa Guliang Pejeng dan dalam pengungsian Dalem Dimade wafat di Desa Guliang. I Dewa Jambe setelah dewasa mengatur strategi untuk menyerang Kerajaan Swucapura Gelgel bersama-bersama dengan saudaranya, yaitu I Dewa Paduhungan untuk merebut kembali kerajaan dari I Gusti Agung Maruti. 

I Dewa Jambe kira-kira sebaya dengan umur I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumretha ketika itu berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti dan kerajaan dapat direbut dengan memindahkan pusat kerajaan dari Swecapura Gelgel ke Smarajaya Klungkung dan I Dewa Jambe naik tahta tanpa menggunakan gelar dalem dari tahun 1710-1775 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Jambe. 

Putra Ida I Dewa Agung Jambe bernama I Dewa Dimade yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Smarapura Klungkung pada tahun 1775-1825 Masehi dengan abhiseka Ida I Dewa Agung Dimade. Ketika terjadi penumpasan I Gusti Agung Maruti di Kerajaan Swecapura Gelgel dulu oleh Ida I Dewa Agung Jambe, putranya yang bernama I Dewa Dimade masih sangat kecil dan diperkirakan seumuran dengan I Dewa Karang putra dari I Dewa Paduhungan. Terjadinya perebutan kekuasaan tersebut membuat kondisi sangat kacau sehingga I Dewa Karang beserta dengan parekan dan panginte ketika itu diselamatkan dengan cara dilarikan ke Denbukit (Buleleng) oleh I Ngakan Kaleran (Kertha dkk, 2001: 9-10).

Diceritakan ada seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija berkuasa di Kerajaan Bun yang memiliki penduduk sebanyak ± 5000 jiwa. Kerajaan Bun sekarang merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara Desa Angabaya Penatih, di sebelah timur Desa Sibang Badung, di sebelah selatan Desa Lambing-Tingas Badung, serta di disebelah barat Desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati Badung.

 Kerajaan Bun sekarang hanya berupa hamparan persawahan yang bernama Carik Pengumpian, karena sudah di hancurkan oleh I Gusti Agung Mhahiun dari Kerajaan Mengwi ketika ekspansi ke wilayah utara Kerajaan Badung. Penduduk di Kerajaan Bun ketika itu ada yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang (panghalu) hingga ke wilayah Denbukit (Buleleng) dan suatu ketika seorang pedagang dari Denbukit (panghalu Den Bukit) memberikan anak kecil kepada seorang pedagang dari Bun (panghalu Bun) agar anak kecil tersebut dibawa ke Badung (Kertha dkk, 2001: 2-3). 

Panghalu Bun merasa senang menerima pemberian itu dan segera anak kecil tersebut disimpan dalam sebuah katung (kalesan) (nama I Dewa Karang berubah menjadi I Dewa Kalesan). Sesampainya di Kerajaan Bun, banyak penduduk berkumpul di bencingah mendengar kabar bahwa telah terjadi penculikan terhadap putra I Dewa Karang di Klungkung beserta dengan panginte dan parekan dilarikan oleh I Ngakan Kaleran. Berdasarkan cerita tersebut kemudian panghalu Bun itu menceritakan bahwa telah diberikan anak kecil di Denbukit (Buleleng). Mendengar cerita tersebut, I Gusti Ngurah Bija segera pergi ke Klungkung menghadap I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) untuk memberi tahu bahwa putra dalem yang hilang tersebut sekarang sudah di Kerajaan Bun dan memohon agar anak kecil tersebut dibesarkan di Kerajaan Bun. I Dewa Agung Klungkung (Raja Smarajaya Klungkung) sangat gembira mendengar permohonan I Gusti Ngurah Bija, serta membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah putra I Dewa Karang dan kemudian diberikan nama sama dengan ayahnya, yaitu I Dewa Karang dan mengijinkan anak kecil (I Dewa Karang) dibesarkan di Kerajaan Bun dengan diberikan pengikut (panjak) sebanyak 400 orang. 

I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dibesarkan di Kerajaan Bun dan berita tersebut menyebar ke berbagai wilayah hingga sampai di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. Raja Badung meminta kepada I Gusti Ngurah Bija agar I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) diserahkan ke Badung dan akan diberikan tempat untuk dijadikan penguasa di wilayah timur Kerajaan Badung, yaitu wilayah Taak dengan diberikan pengiring dari Badung sebanyak 1000 orang (35 orang dari Badung, 40 orang dari Bun, dan sisanya adalah perarudan). Perjalanan untuk mulai membuka wilayah baru (ngewangun ngelantur) dilakukan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) bersama para warga pengiring merabas hutan dimulai dari selatan selama satu bulan (sasih) penuh dan berhasil menemukan tempat yang tinggi (tegehe). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari nama Banjar Menguntur, Banjar Sasih, dan Banjar Tegehe

Ketika perjalanan dilanjutkan ke utara ditemukanlah wilayah tujuan yang dimaksudkan oleh Raja Badung, yaitu wilayah bernama Taak yang merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Badung ketika itu. Rumah (jero gede) Taak milik Senggehu Taak kemudian dijadikan pusat kekuasaan oleh I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) dengan abhiseka I Dewa Gde Sukahet dan Jero Gede Taak berubah nama menjadi Puri/Jero Gede Batubulan. Tempat tinggal Senggehu Taak kemudian dipindahkan ke timur pada tanah lapang yang bernama pegat embang ditumbuhi alang-alang (ambengan), kedua kata tersebut (embang dan ambengan) kemudian menjadi cikal bakal nama Banjar Pegambangan.

I Dewa Kalesan alias I Dewa Karang alias I Dewa Gde Sukahet ketika berkuasa di Batubulan memiliki tujuh putra salah satunya yang lahir dari istri prami bernama I Dewa Gde Pameregan dan yang lahir dari istri panawing bernama I Dewa Wayan Panenjoan. Jabatan sebagai penguasa kemudian dilanjutkan oleh I Dewa Gde Pameregan yang kemudian memiliki sembilan putra bernama I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh putra bungsunya bernama I Dewa Gde Rai, karena merupakan putra istri prami dari Klungkung. Ketika akan terjadi pergantian kekuasaan tersebut muncul pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang berkerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Kerajaan Gianyar berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. I Dewa Gde Rai setelah meninggal dibuatkan bangunan suci berupa meru tumpang solas (sekarang candi tumpang pitu) di Pura Puseh Batubulan sebagai tempat pedharmaan. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk berkuasa dan tidak memiliki putra, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar) (Kertha dkk, 2001: 19-20). Melihat perilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi (Kertha dkk, 2001: 13). Adapun kutipan Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis yang membahas tentang terbunuhnya I Dewa Gde Rai di Payangan sebagai berikut.

“…yan pirang kunang lawasnia, hana penangkan kali ring Badung. Kalah I Gusti Jambe, molih I Gsuti Ngurah Kaleran. Pirang tahun penangkan kali, di Batubulan I Dewa Made Lukluk masangan bawos ring I Dewa Agung Manggis apus I Dewa Gde Rai (Sukahet) sedayang di payangan. I Dewa Made Muntur ke sedayang di Bangli…” (Terjemahan Bebas Prasasti di Pemerajan Agung Pohmanis).

Karena tragedi tersebut Puri Taak menjadi kacau, kesedihan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena adu domba dan fitnah berkembang sehingga para semeton/keluarga yang masih di Puri Taak merasa tidak aman fisik maupun keselamatan juwa masing-masing, sehingga memutuskan untuk mengungsi. I Dewa Wayan Badung mengungsi ke Taman Intaran Sanur bersama-sama dengan I Dewa Gde Dukuh menuju Gria Taman Intaran/Ida Pedanda Gde Alang Kajeng. I Dewa Nyoman Badung bersama-sama I Dewa Wayan Muntur menuju Denpasar menghadap I Gusti Ngurah Kajanan di Puri Satria dan akhirnya beliau berdua ditempatkan di Kusiman (Kesiman sekarang).

Diceritakan sekarang pengungsian I Dewa Nyoman Badung bersama-sama dengan I Dewa Wayan Muntur, oleh penguasa Badung ketika itu ditempatkan di Desa Kusiman (Kesiman sekarang). Dalam perjalanan itu beliau diiringi oleh panjak/pengikut warga Pungakan Banjar kalah dan warga lainnya bernama: I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda. Dari Banjar Sumerta diiringioleh I Pinrih, I Malang, I Silur anaknya Nyoman Del dan I Medil. Selain itu juga ikutBagus Pengunteran dengan anak-anaknya, yaitu Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Iringan lainnya, yaitu: I Lebah dan I Trekas. I Dewa Wayan Muntur diiringi oleh 2 orang, yaitu: I Gulingan dan I Mandesa..

i Dewa Nyoman Badung wafat/mantuk di Kesiman. Beliau mempunyai 3 orang putra-putri. Yang perempuan dikawinkan dengan I Dewa Gde Pande anak I Dewa Gde Dukuh dari Taman Intaran. Atas perintah I Gusti Ngurah Gede (Penguasa Badung ketika itu), I Dewa Gede Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama-sama menuju desa perbatasan wilayah Badung dengan Mengwi dan Gianyar. Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande untuk membangun dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande (Menantu I Dewa Nyoman Badung) menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22). Wilayah perbatasan itu merupakan wilayah yang sangat gawat karena disana sering terjadi pertempuran. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tonggak-tonggak sejarah seperti belumbang (banteng yang terbuat dari susunan tanah) melintang mengelilingi wilayah ini, penamaan tempat seperti carik cucukan dan kalangan yang identik dengan istilah dalam peperangan, dan karena wilayah ini sebagai banteng pertahanan Badung pada masanya sehingga wilayah ini bernama pemanes terus berkembang menjadi pemanis dan pohmanis sampai saat ini.

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande beserta dengan warga masyarakat lainnya di wilayah pemanes ini mampu meredam invansi meliter Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur dan membuat keadaan semakin aman. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanes semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemanes sebagai banteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas sekitar tahun 1740 Masehi invansi meliter Mengwi yang mengalahkan Kerajaan Bun dan disaat yang hampir bersamaan terjadi gejolak kekuasaan di Kerajaan Batubulan yang mengakibatkan terbunuhnya I Dewa Gde Rai (sekarang didharmakan pada meru di Pura Puseh Batubulan). Pada masa-masa itu beberapa keluarga raja seperti I Dewa Wayan Muntur dan I Dewa Nyoman Badung meninggalkan Batubulan menuju wilayah pemanes (Pohmanis sekarang) bersama para warga-wargi (panjak tatadan) untuk membangun serta membina wilayah baru di tepi siring Kerajaan Badung sekitar abad XVII-XVIII Masehi. 

Mengenai istilah nama taman itu baru muncul ketika wilayah desa ini dibagi menjadi dua banjar adat, yaitu taman dan pohmanis yang dulunya secara keseluruhan bernama pemanes/pemanis/pohmanis. Taman dikaitkan dengan adanya Pura Taman Sari di sisi barat desa yang sekarang dimiliki oleh Brahmana dari Geriya Bindu Kesiman.

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *