Pura Maospahit Tonja

Pura Maospahit Tonja secara geografis terletak di Jl. Ratna, tepat berada di depan Banjar Tatasan Kelod, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar.  Secara Astronomi terletak pada titik koordinat 50 L 0304919, 9044056 dengan ketinggian 47 Mdpl.

Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Maospahit Tonja juga mempunyai tiga halaman. Di sini akan tampak adanya suatu variasi kecil yaitu bagian jaba sisi (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka dan menghadap ke arah timur. Di sini hanya bagian jeroan (halaman paling suci), dan jaba tengah (halaman tengah) yang dikelilingi oleh tembok keliling, yang terbuat dari batu bata. Adapun antara jaba tengah dengan jeroan dibatasi oleh sebuah tembok, dan terdapat kori agung. Antara jaba tengah dengan jaba sisi dibatasi pula dengan sebuah tembok keliling, dan dihubungkan dengan sebuah candi bentar. 

Jika diperhatikan kembali struktur pura, dan fungsi masing-masing bangunan pelinggihnya, maka Pura Maospahit Tonja Denpasar masih menerapkan budaya lokal (local genius) dengan konsep-konsep pemujaan roh suci leluhur. Hal tersebut nampak pada nama-nama bangunan suci dengan memberi nama-nama lokal seperti Pelinggih Ratu Dalem Ketut, Pelinggih Ratu Biang Susunan, Gedong Dewa Hyang, dan Pelinggih Ratu Dalem Maospahit. 

Di halaman utama atau jeroan Pura Maospahit Tonja terdapat 2 (dua) buah bangunan Prasada yang berada di sisi Utara menghadap ke Selatan, dan di sisi Timur menghadap ke Barat. Karakter bangunan Prasada sama dengan bangunan Prasada yang terdapat di Situs Pura Rambut Siwi Tonja.

Candi Prasada adalah bangunan suci untuk pelinggih dari yang suci yang menitiskan dirinya pada raja yang meninggal yang telah disucikan dan kembali ke brahmaloka. Prasada merupakan bangunan suci di Bali yang bentuknya sangat mirip sekali dengan candi, sebagaimana halnya dengan dengan candi-candi di Jawa Timur umumnya. Prasada bangunan suci yang terbuat dari batu bata keseluruhannya, tapi ada yang terbuat dari batu karang seperti Prasada yang ada di Pulau Serangan. Demikian juga pada badannya, terdapat bilik atau ruangan untuk menempatkan pratima yang lebih meyakinkan lagi persamaannya dengan candi. 

Prasada berarti tempat duduk yang menjulang tinggi teras tingkat teratas dari bangunan diatas pondasi yang tinggi, istana, kuil, candi, pura, tempat pemujaan. Prasada di Bali adalah hasil perpaduan antara candi atau Prasada biasa dengan punden berundak-undak pada zaman prehistoric. (Kempers, 1979 : 13).

1. Candi Prasada Tumpang Lima (Linggih Ratu Dalem Ketut)

Keseluruhan bangunan menggunakan batu bata baik kaki, badan maupun atap. Bentuk prasada ramping sama halnya dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur yang bentuknya semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat. Pada bagian kaki candi, terdapat hiasan karang goak pada setiap sudutnya, dan juga terdapat lubang-lubang bekas hiasan mangkok-mangkok Cina yang sudah tidak terpasang lagi dikarenakan sudah pecah akibat bencana alam gempa bumi yang pernah terjadi di Bali. Pada bagian badan candi terdapat pintu masuk yang terbuat dari kayu untuk meletakkan arca dan sesaji. Pada bagian ini masih dapat dijumpai beberapa hiasan cawan-cawan kecil berwarna putih yang masih terpasang pada badan candi. Terdapat juga hiasan singa bersayap pada bagian atas pintu masuk kedalam candi. Pada bagian atap candi terdapat motif hias karang mata yang letaknya di tengah-tengah, dan pada setiap sudut dari atap candi terdapat hiasan menara sudut berisikan motif hias sulur-suluran. Atap dari candi ini berjumlah 5 yang semakin ke atas semakin tinggi.

2. Candi Prasada Tumpang Sia (Linggih Ratu Muter) 

Secara keseluruhan baik dari kaki, badan, dan atap terbuat dari bahan batu bata dengan bentuk atap bertingkat-tingkat, semakin ke atas semakin kecil / ramping. Prasada ini merupakan peninggalan arkeologi yang bentuknya sangat mirip dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur. Prasada ini memiliki arah hadap ke barat sehingga para bakta melakukan persembahyangan ke arah timur berhadapan dengan candi. Pada kaki candi hingga badan candi diberi hiasan-hiasan mangkok-mangkok Cina, akan tetapi pada saat ini sudah tidak terpasang lagi sejak dilakukannya pemugaran pada tahun 1986 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Dikarenakan, hiasan mangkok-mangkok Cina tersebut sudah tidak dapat terpakai karena banyak yang pecah akibat gempa di Bali. Kita dapat mengetahui adanya hiasan tersebut dikarenakan bagian kaki hingga badan candi terdapat lobang-lobang bekas meletakkan mangkok tersebut dan juga terdapat hiasan sulur-suluran pada badan candi, dan di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ke dalam candi terdapat hiasan  karang bentulu dan pada bagian atas pintu masuk kedalam badan candi terdapat motif hiasan matahari. Candi Tumpang 9 ini memiliki panjang 3,05 m dan lebar 2,65 m. Prasada ini difungsikan untuk memuja dewa Ratu Maospahit yang berkedudukan sebagai pusat memohon keselamatan. 

3. Gedong Bata Ratu Gde Maospahit

Bangunan ini dibuat dari batu bata yang pada sisi kanan, dan kirinya dihiasi dengan pepalihan. Atapnya juga dibuat dari bahan batu bata, dan pada keempat sudutnya dihiasi dengan simbar dengan motif hias karang goak. Pada bagian badan gedong, dan pada setiap sudutnya dihiasi dengan simbar. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati serta dihiasi dengan ukiran-ukiran motif patra punggel. Bagian depan sebelah kiri dari gedong diletakkan arca baru dari bahan batu padas. Fungsi dari bangunan ini untuk memuja Ratu Gede Maospahit untuk memohon keselamatan. Bangunan ini terletak diarah timur menghadap kebarat berukuran panjang 3.20 m, Lebar 3.20 m dan Tinggi 5.45 m

4. Kolam Petirtaan

Struktur kolam ini berada di halaman utama (jeroan) Pura Maospahit Tonja, membentuk huruf L dengan membentuk sudutan di bagian Timur laut halaman utama (jeroan) Pura. Struktur kolam ini memiliki ukuran Panjang dari Barat ke Timur 16,15 meter, dan dari Utara ke Selatan 17,12 meter, dengan Lebar yang sama yaitu 1,12 meter, mempergunakan bahan batu padas. Dari hasil wawancara dengan pemangku Pura, struktur kolam ini ditemukan saat dilakukannya ekskavasi di sekitar bangunan prasada yang saat itu akan dipugar, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kolam ini memang sudah ada dari jaman dulu bersamaan dengan keberadaan prasada di Pura Maospahit Tonja. Pada sisi Selatan ujung kolam terdapat sebuah Kolam penglukatan (penyucian) Naga Sesa. Kolam ini memiliki kedalaman 82 cm, yang difungsikan sebagai penglukatan atau pembersihan. kolam ini memiliki ukuran Lebar 16 cm, Panjang 79 cm. kolam ini memakai 3 (tiga) buah anak tangga. Dari hasil wawancara, fungsi kolam ini adalah untuk pemandian para widyadara-widyadari. Ada semacam gorong-gorong yang menembus, dan menyalurkan air kolam ke jaba tengah (madya mandala), pada jaba tengah air ini difungsikan untuk penglukatan atau pembersihan sebelum masuk ke areal utama pura. 

5. Meja Batu (dolmen)

Dolmen / Meja Batu, merupakan peninggalan masa megalitik yang terbuat dari batu yang berbentuk lingkaran pada bagian atasnya dan disangga dengan 4 kaki yang juga terbuat dari batu, dolmen ini diletakkan diatas bebaturan segi empat dengan ukuran Panjang 110 cm, Lebar 112 cm, dan Tinggi 72 cm. Fungsi dari dolmen ini masih sama dengan zaman megalithikum yaitu sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), para Dewa dan juga roh leluhur. Dolmen ini diletakkan tepat di depan Prasada Tumpang Sia (9).

6. Lumpang Batu 

Lumpang batu ini diletakkan diatas sebuah bebaturan berbentuk segi empat dengan ukuran Panjang 90 cm, Lebar 75 cm, dan Tinggi 26 cm. Sekitar lumpang ini diletakan arca-arca yang sudah dalam keadaan sangat rusak. Lumpang batu ini berasal dari masa megalitikum yang dulunya difungsikan sebagai tempat menumbuk biji-bijian untuk sarana upacara, akan tetapi pada masa ini, lumpang batu ini tidak difungsikan lagi sebagai tempat menumbuk biji-bijian melainkan sebagai tempat air untuk melakukan penglukatan, atau penyucian diri. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang terdapat di lumpang batu ini dapat menyembuhkan penyakit.

1. Candi Prasada Tumpang Lima (Linggih Ratu Dalem Ketut)

Keseluruhan bangunan menggunakan batu bata baik kaki, badan maupun atap. Bentuk prasada ramping sama halnya dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur yang bentuknya semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat. Pada bagian kaki candi, terdapat hiasan karang goak pada setiap sudutnya, dan juga terdapat lubang-lubang bekas hiasan mangkok-mangkok Cina yang sudah tidak terpasang lagi dikarenakan sudah pecah akibat bencana alam gempa bumi yang pernah terjadi di Bali. Pada bagian badan candi terdapat pintu masuk yang terbuat dari kayu untuk meletakkan arca dan sesaji. Pada bagian ini masih dapat dijumpai beberapa hiasan cawan-cawan kecil berwarna putih yang masih terpasang pada badan candi. Terdapat juga hiasan singa bersayap pada bagian atas pintu masuk kedalam candi. Pada bagian atap candi terdapat motif hias karang mata yang letaknya di tengah-tengah, dan pada setiap sudut dari atap candi terdapat hiasan menara sudut berisikan motif hias sulur-suluran. Atap dari candi ini berjumlah 5 yang semakin ke atas semakin tinggi.

2. Candi Prasada Tumpang Sia (Linggih Ratu Muter) 

Secara keseluruhan baik dari kaki, badan, dan atap terbuat dari bahan batu bata dengan bentuk atap bertingkat-tingkat, semakin ke atas semakin kecil / ramping. Prasada ini merupakan peninggalan arkeologi yang bentuknya sangat mirip dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur. Prasada ini memiliki arah hadap ke barat sehingga para bakta melakukan persembahyangan ke arah timur berhadapan dengan candi. Pada kaki candi hingga badan candi diberi hiasan-hiasan mangkok-mangkok Cina, akan tetapi pada saat ini sudah tidak terpasang lagi sejak dilakukannya pemugaran pada tahun 1986 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Dikarenakan, hiasan mangkok-mangkok Cina tersebut sudah tidak dapat terpakai karena banyak yang pecah akibat gempa di Bali. Kita dapat mengetahui adanya hiasan tersebut dikarenakan bagian kaki hingga badan candi terdapat lobang-lobang bekas meletakkan mangkok tersebut dan juga terdapat hiasan sulur-suluran pada badan candi, dan di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ke dalam candi terdapat hiasan  karang bentulu dan pada bagian atas pintu masuk kedalam badan candi terdapat motif hiasan matahari. Candi Tumpang 9 ini memiliki panjang 3,05 m dan lebar 2,65 m. Prasada ini difungsikan untuk memuja dewa Ratu Maospahit yang berkedudukan sebagai pusat memohon keselamatan. 

3. Gedong Bata Ratu Gde Maospahit

Bangunan ini dibuat dari batu bata yang pada sisi kanan, dan kirinya dihiasi dengan pepalihan. Atapnya juga dibuat dari bahan batu bata, dan pada keempat sudutnya dihiasi dengan simbar dengan motif hias karang goak. Pada bagian badan gedong, dan pada setiap sudutnya dihiasi dengan simbar. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati serta dihiasi dengan ukiran-ukiran motif patra punggel. Bagian depan sebelah kiri dari gedong diletakkan arca baru dari bahan batu padas. Fungsi dari bangunan ini untuk memuja Ratu Gede Maospahit untuk memohon keselamatan. Bangunan ini terletak diarah timur menghadap kebarat berukuran panjang 3.20 m, Lebar 3.20 m dan Tinggi 5.45 m

4. Kolam Petirtaan

Struktur kolam ini berada di halaman utama (jeroan) Pura Maospahit Tonja, membentuk huruf L dengan membentuk sudutan di bagian Timur laut halaman utama (jeroan) Pura. Struktur kolam ini memiliki ukuran Panjang dari Barat ke Timur 16,15 meter, dan dari Utara ke Selatan 17,12 meter, dengan Lebar yang sama yaitu 1,12 meter, mempergunakan bahan batu padas. Dari hasil wawancara dengan pemangku Pura, struktur kolam ini ditemukan saat dilakukannya ekskavasi di sekitar bangunan prasada yang saat itu akan dipugar, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kolam ini memang sudah ada dari jaman dulu bersamaan dengan keberadaan prasada di Pura Maospahit Tonja. Pada sisi Selatan ujung kolam terdapat sebuah Kolam penglukatan (penyucian) Naga Sesa. Kolam ini memiliki kedalaman 82 cm, yang difungsikan sebagai penglukatan atau pembersihan. kolam ini memiliki ukuran Lebar 16 cm, Panjang 79 cm. kolam ini memakai 3 (tiga) buah anak tangga. Dari hasil wawancara, fungsi kolam ini adalah untuk pemandian para widyadara-widyadari. Ada semacam gorong-gorong yang menembus, dan menyalurkan air kolam ke jaba tengah (madya mandala), pada jaba tengah air ini difungsikan untuk penglukatan atau pembersihan sebelum masuk ke areal utama pura. 

5. Meja Batu (dolmen)

Dolmen / Meja Batu, merupakan peninggalan masa megalitik yang terbuat dari batu yang berbentuk lingkaran pada bagian atasnya dan disangga dengan 4 kaki yang juga terbuat dari batu, dolmen ini diletakkan diatas bebaturan segi empat dengan ukuran Panjang 110 cm, Lebar 112 cm, dan Tinggi 72 cm. Fungsi dari dolmen ini masih sama dengan zaman megalithikum yaitu sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), para Dewa dan juga roh leluhur. Dolmen ini diletakkan tepat di depan Prasada Tumpang Sia (9).

6. Lumpang Batu 

Lumpang batu ini diletakkan diatas sebuah bebaturan berbentuk segi empat dengan ukuran Panjang 90 cm, Lebar 75 cm, dan Tinggi 26 cm. Sekitar lumpang ini diletakan arca-arca yang sudah dalam keadaan sangat rusak. Lumpang batu ini berasal dari masa megalitikum yang dulunya difungsikan sebagai tempat menumbuk biji-bijian untuk sarana upacara, akan tetapi pada masa ini, lumpang batu ini tidak difungsikan lagi sebagai tempat menumbuk biji-bijian melainkan sebagai tempat air untuk melakukan penglukatan, atau penyucian diri. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang terdapat di lumpang batu ini dapat menyembuhkan penyakit.

1. Candi Prasada Tumpang Lima (Linggih Ratu Dalem Ketut)

Keseluruhan bangunan menggunakan batu bata baik kaki, badan maupun atap. Bentuk prasada ramping sama halnya dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur yang bentuknya semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat. Pada bagian kaki candi, terdapat hiasan karang goak pada setiap sudutnya, dan juga terdapat lubang-lubang bekas hiasan mangkok-mangkok Cina yang sudah tidak terpasang lagi dikarenakan sudah pecah akibat bencana alam gempa bumi yang pernah terjadi di Bali. Pada bagian badan candi terdapat pintu masuk yang terbuat dari kayu untuk meletakkan arca dan sesaji. Pada bagian ini masih dapat dijumpai beberapa hiasan cawan-cawan kecil berwarna putih yang masih terpasang pada badan candi. Terdapat juga hiasan singa bersayap pada bagian atas pintu masuk kedalam candi. Pada bagian atap candi terdapat motif hias karang mata yang letaknya di tengah-tengah, dan pada setiap sudut dari atap candi terdapat hiasan menara sudut berisikan motif hias sulur-suluran. Atap dari candi ini berjumlah 5 yang semakin ke atas semakin tinggi.

2. Candi Prasada Tumpang Sia (Linggih Ratu Muter) 

Secara keseluruhan baik dari kaki, badan, dan atap terbuat dari bahan batu bata dengan bentuk atap bertingkat-tingkat, semakin ke atas semakin kecil / ramping. Prasada ini merupakan peninggalan arkeologi yang bentuknya sangat mirip dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur. Prasada ini memiliki arah hadap ke barat sehingga para bakta melakukan persembahyangan ke arah timur berhadapan dengan candi. Pada kaki candi hingga badan candi diberi hiasan-hiasan mangkok-mangkok Cina, akan tetapi pada saat ini sudah tidak terpasang lagi sejak dilakukannya pemugaran pada tahun 1986 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Dikarenakan, hiasan mangkok-mangkok Cina tersebut sudah tidak dapat terpakai karena banyak yang pecah akibat gempa di Bali. Kita dapat mengetahui adanya hiasan tersebut dikarenakan bagian kaki hingga badan candi terdapat lobang-lobang bekas meletakkan mangkok tersebut dan juga terdapat hiasan sulur-suluran pada badan candi, dan di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ke dalam candi terdapat hiasan  karang bentulu dan pada bagian atas pintu masuk kedalam badan candi terdapat motif hiasan matahari. Candi Tumpang 9 ini memiliki panjang 3,05 m dan lebar 2,65 m. Prasada ini difungsikan untuk memuja dewa Ratu Maospahit yang berkedudukan sebagai pusat memohon keselamatan. 

3. Gedong Bata Ratu Gde Maospahit

Bangunan ini dibuat dari batu bata yang pada sisi kanan, dan kirinya dihiasi dengan pepalihan. Atapnya juga dibuat dari bahan batu bata, dan pada keempat sudutnya dihiasi dengan simbar dengan motif hias karang goak. Pada bagian badan gedong, dan pada setiap sudutnya dihiasi dengan simbar. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati serta dihiasi dengan ukiran-ukiran motif patra punggel. Bagian depan sebelah kiri dari gedong diletakkan arca baru dari bahan batu padas. Fungsi dari bangunan ini untuk memuja Ratu Gede Maospahit untuk memohon keselamatan. Bangunan ini terletak diarah timur menghadap kebarat berukuran panjang 3.20 m, Lebar 3.20 m dan Tinggi 5.45 m

4. Kolam Petirtaan

Struktur kolam ini berada di halaman utama (jeroan) Pura Maospahit Tonja, membentuk huruf L dengan membentuk sudutan di bagian Timur laut halaman utama (jeroan) Pura. Struktur kolam ini memiliki ukuran Panjang dari Barat ke Timur 16,15 meter, dan dari Utara ke Selatan 17,12 meter, dengan Lebar yang sama yaitu 1,12 meter, mempergunakan bahan batu padas. Dari hasil wawancara dengan pemangku Pura, struktur kolam ini ditemukan saat dilakukannya ekskavasi di sekitar bangunan prasada yang saat itu akan dipugar, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kolam ini memang sudah ada dari jaman dulu bersamaan dengan keberadaan prasada di Pura Maospahit Tonja. Pada sisi Selatan ujung kolam terdapat sebuah Kolam penglukatan (penyucian) Naga Sesa. Kolam ini memiliki kedalaman 82 cm, yang difungsikan sebagai penglukatan atau pembersihan. kolam ini memiliki ukuran Lebar 16 cm, Panjang 79 cm. kolam ini memakai 3 (tiga) buah anak tangga. Dari hasil wawancara, fungsi kolam ini adalah untuk pemandian para widyadara-widyadari. Ada semacam gorong-gorong yang menembus, dan menyalurkan air kolam ke jaba tengah (madya mandala), pada jaba tengah air ini difungsikan untuk penglukatan atau pembersihan sebelum masuk ke areal utama pura. 

5. Meja Batu (dolmen)

Dolmen / Meja Batu, merupakan peninggalan masa megalitik yang terbuat dari batu yang berbentuk lingkaran pada bagian atasnya dan disangga dengan 4 kaki yang juga terbuat dari batu, dolmen ini diletakkan diatas bebaturan segi empat dengan ukuran Panjang 110 cm, Lebar 112 cm, dan Tinggi 72 cm. Fungsi dari dolmen ini masih sama dengan zaman megalithikum yaitu sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), para Dewa dan juga roh leluhur. Dolmen ini diletakkan tepat di depan Prasada Tumpang Sia (9).

6. Lumpang Batu 

Lumpang batu ini diletakkan diatas sebuah bebaturan berbentuk segi empat dengan ukuran Panjang 90 cm, Lebar 75 cm, dan Tinggi 26 cm. Sekitar lumpang ini diletakan arca-arca yang sudah dalam keadaan sangat rusak. Lumpang batu ini berasal dari masa megalitikum yang dulunya difungsikan sebagai tempat menumbuk biji-bijian untuk sarana upacara, akan tetapi pada masa ini, lumpang batu ini tidak difungsikan lagi sebagai tempat menumbuk biji-bijian melainkan sebagai tempat air untuk melakukan penglukatan, atau penyucian diri. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang terdapat di lumpang batu ini dapat menyembuhkan penyakit.

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *