Pada awalnya,Pura ini dibangun oleh seorang tokoh Bali yang legendaries, Sri Kebo Iwa namanya. Beliau dikenal ahli pada bidang bangunan Bali. Dalam Babad Wongayah Dalem yang dipandang sebagai Prasasti Pura Maospahit diterangkan tentang perjalanan Sri Kebo Iwa mengajar dan memimpin masyarakat membangun Pura.
Sri Kebo Iwa membangun Candi Rasas Maospahit tahun 1200 Saka (1278 Masehi). Adapun yang disebut Candi Rasa Maospahit itu adalah pelinggih gedong bata merah yang cukup besar dan unik dengan dua patung gerabah kuno mengapit pintu. Candi menghadap ke Barat di Mandala Utama Pura Maospahit.
Tampaknya benar isi Babad diatas.Karena kini kita dapat menyaksikan adanya dua pelinggih utama di Mandala Utama Pura Maospahit. Pelinggih itu berupa gedong.Gedong bata merah beratap ijuk yang menghadap ke Barat disebut Candi Raras Maospahit. Sementara itu kembarannya menghadap ke Selatan disebut Candi Raras Majapahit. Di Depan agak keselatan berjajar sanggar Kebudayaan. Sementara itu salu kembar ada di areal sebelah timur penyengker mandala utama Pura Maospahit.
Jro Mangku Gede menjelaskan bahwa yang paling dimuliakan saban sembahyang di mandala utama itu adalah Ratu Ayu Mas Maospahit yang dicandikan dalam Candi Raras Maospahit dan Ida Bhatara Lingsir Sakti yang dicandikan dalam Candi Raras Majapahit. Pujawali untuk memuliakan Ratu Ayu Mas Maospahit jatuh pada hari Purnama Jyesta, sedangkan Pujawali untuk memuliakan Ida Bhatara Lingsir Sakti jatuh pada hari Purnama Kalima.
Frase Candi Raras artinya Candi yang indah dan secara arsitektural candi tua ini memang antik, walaupun kini bata merahnya mulai lapuk dan mangkuk-mangkuk kuno yang menempel pada tubuh Candi Raras Majapahit sudah banyak yang hilang. Kata “maospahit ” sama artinya dengan kata “majapahit”. Teks Babad terkutip jelas mengatakan bahwa gedong yang dibangun dengan nama Candi Raras Majapahit didasarkan atas ukuran gedong atau candi yang ada di kerajaan Majapahit. Fungsinya dijelaskan sebagai panyawangan bangunan suci untuk menghubungkan diri dengan dewa-dewa atau roh leluhur yang bertempat jauh,yaitu Majapahit.
Ista Dewata yang dipuja dapat dijadikan indikator tentang agama yang dianut raja dan/atau masyarakat bersangkutan.Kekawin Negara Kertagama menerangkan bahwa ajaran suci yang dianut oleh raja Majapahit adalah ajaran Siwa-Budha. Jro Mangku Gede membenarkan hal ini. Bahwa Dewata yang dipuja di pura Maospahit sesungguhnya adalah Dewa yang menjadi pusat orientasi Agama yang dianut oleh Raja Majapahit.Akan tetapi, dalam konteks rasa hormat tradisi Bali, Tuhan dipuja dengan gelar Ida Bhatara Lingsir. Beliau adalah purasa ‘laki-laki’ bersifat surya ‘matahari’. Sebaliknya Ratu Mas Maospahit adalah Predana ‘perempuan’ bersifat Chandra ‘bulan’.
Seperti dimaksud dalam Babad bahwa Raja Kerajaan Bandana(Badung) merasa tidak lengkap dan tidak rasional, bila hanya memuja Tuhan sebagai Pradana ‘Ibu’. Agar lengkap dan Rasional, juga sebaiknya memuja sebagai Purusa ‘Bapa’. Konsep rwa bhineda ‘oposisi biner’ memang menjadi hakikat kearifan masyarakat Bali sejak zaman purba. Oleh karena itu beliau memerintahkan membangun Candi Raras Majapahit untuk mendampingi Candi Raras Maospahit yang telah dibangun oleh Sri Kebo Iwa sebelumnya.
Sejalan dengan itu, Jro Mangku Pun menegaskan pendiriannya Bhatara Lingsir dan Ida Ayu adalah Sang Hyang Ardanareswari ‘dua dewata yang tunggal’. Beliau adalah taksu ‘magis religius kerajaan Badung. Tuhan sebagai Bhatara Lingsir Sakti diyakininya mengemban tugas menganugerahkan kadiatmikan ‘pencerahan spiritual’ kepada raja dan masyarakat badung yang bakti kepadanya. Sebaliknya, Tuhan sebagai Ratu Ayu Mas Maospahit diyakininya sebagai pengemban tugas untuk menganugerahkan kewisesan.
‘Kemampuan untuk dapat bekerja secara profesional dan kedigdayaan’ sehingga kerajaan menjadi aman dan makmur.Mangku meyakini bahwa itulah yang dialami para leluhur yang menjadi pangrajeg “penanggung jawab” Pura Maospahit dan kerajaan Bandana.
Mengingat itu sehingga keberadaan Pura Maospahit ini sangat penting artinya bagi penerus kerajaan Bandana terutama keluarga Puri Pemecutan dan Puri Satriya (Satria).
Pura ini tampaknya tidak semata-mata untuk memuja Ista Dewata, tetapi juga untuk memuliakan leluhur khususnya leluhur raja. Ida Bhatara Lingsir, juga adalah gelar untuk menghormati leluhur laki-laki kerajaan Majapahit. Sebaiknya, Ratu Ayu Maospahit, boleh jadi juga adalah gelar untuk menghormati leluhur perempuan kerajaan Majapahit. Termasuk untuk memuliakan Sri Kebo Iwa atas jasa-jasanya. Hindu yakin bahwa leluhur adalah jan bangul ‘pengantar puja’ untuk dapat berhubungan dengan Ista Dewata yang dipuja. Tanpa restu leluhur, puja kepada Tuhan dipandang cacat. Leluhur, karena perbuatan baiknya setelah Beliau berpulang, melalui ritual Sradha atau Ngaben dan Mamukur, rohnya dicandikan dan diyakini dapat menunggal dengan Ista Dewata yang dipujanya. Para Maharsi mengajarkan: “Pitra Dewa Bhawa” ‘Leluhur adalah perwujudan Tuhan’.
Jro Mangku menerangkan bahwa luas Pura sekitar 70-80 are (belum diukur). Pura terpilih atas lima mandala. Mandala pertama ada di depan dengan pintu gerbang yang bernama Candi Kusuma menghadap ke jalan Sutomo. Sebagaimana halnya pintu gerbang Kori Agung lainnya, pintu candi Kusuma itu pun tidaklah lebar. Di dalam mandala depan itu ada Salu Kembar, Bale Kulkul yang megah dan tinggi, Pelinggih Ratu Ngurah Pengalasan, dan Piasan. Pada penyengker sebelah Barat, di bagian pojok Selatan ada pintu gerbang yang kokoh dan tinggi menghadap ke sebelah Barat. Namanya Candi Rengat. Pintu gerbang ini berfungsi menjadi jalan menuju mandala dua.
Mandala kedua yang ada di Selatan Pura, dulunya cukup luas. Akan tetapi, kini hanya tertinggal berupa gang selebar dua meteran untuk menuju gerbang berikutnya yang ada sebelah Barat penyengker Selatan Pura. Dengan menyusuri gang ini, agak jauh di Barat ada sebuah candi bentar yang juga kekar dan megah lelengisan bata merah. Candi Rebah namanya. Mandala ketiga ini, juga disebut Jaba Sisi. Ada sejumlah bangunan khas di sini. Di antaranya Palinggih Ratu Cede Kobar Api, Bale Pesandekan, Bale Cede, Bale Sakaulu, Parerepan, Pawaregan, Pelinggih Bhatara Wisnu, dan Sumur. Ada pula sebuah pohon Soka dan Nyambu Rata yang besar menaungi mandala ini yang menjadikan Pura sejuk dan terkesan angker. Fungsi utama mandala ini adalah sebagai dapur upakani ‘sesajen’, dapur umum, dan pasandekan ‘tempat istirahat’.
Di sebelah Timur mandala ini ada Candi Bentar bata merah berpintu lebar yang juga kekar dan juga unik. Pada Candi Bentar belahan Utara ada relief (patung yang menempel) Bima yang besar yang dililit oleh dua naga. Ratu Ngurah Bayu namanya. Berjejer ke Utara pada dinding candi ada patung Dewa Yama, Indra, dan Sangkara. Sebaliknya, pada belahan candi bagian Selatannya ada patung Burung Garuda ukuran besar membawa Sangku Amerta ‘periuk air kehidupan’. Ratu Ngurah Paksi namanya. Berjejer ke arah Selatan ada patung Dewa Kuwera dan Baruna. Patung unik ini tentu menarik terutama bagi arkeolog.
Patung-patung sakral yang mendampingi Ratu Ngurah Bayu dan Ratu Ngurah Paksi adalah lima dewata yang disebut Sanghyang Panca Korsika. Mereka adalah Dewa penjaga kiblat. Keberadaannya diyakini sebagai yang menganugerahkan rahmat perlindungan gaib sehingga kesucian Pura dan umat Hindu yang melakukan aktivitas religius di dalam Pura selamat dari berbagai bentuk gangguan yang bersifat tidak menguntungkan. Sementara itu, Ratu Ngurah Bayu dan Ratu Ngurah Paksi juga diyakini memiliki fungsi perlindungan.
Dengan melintasi Candi Bentar ini, kita diajak memasuki mandala keempat yang disebut Jaba Tengah. Mandala ini pun cukup lebar. Ada sejumlah bangunan suci disini, yaitu Bale Pesucian, Bale Tajuk, dan Bale Sumanggen. Di mandala ini ada pohon Sawo Kecik, penyejuk yang cukup rimbun. Mandala ini tentulah untuk wall ‘seni sakral’ terutama ketika ada upacara di Pura ini.
Di Bagian Timur mandala ini ada Kori Agung yang kekar, unik, dan tinggi. Dengan melalui Kori Agung ini, sampailah di mandala utama yang disebut Jeroan. Di sini terdapat cukup banyak bangunan suci. Di sinilah Candi Raras Maospait dan Candi Raras Majapahit yang telah dibicarakan sebelumnya berdiri. Bangunan suci lainnya yang tidak kalah uniknya adalah Bale Pangayunan, Bale Taksu, sejumlah Palinggih Kabuyutan. Palinggih Ratu Hyang Agung, Piasan, Dan beberapa palinggih Kabuyutan. Di bagian bagian tertentu mandala ini tumbuh pohon jepun yang umurnya tampak cukup tua, kayu Putih, Pala Jiwa dan pohon hias lainnya menambah citra kekunoan Pura Maospait.
Kekunoan dan kemegahan Dang Kahyangan Maospait adalah bukti sejarah keberadaan Raja Bandana Kerajaan Badung. Cita-cita dan restu raja, Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat bersama dengan masyarakat membangun dan bakti di Pura Maospahit dahulu sesungguhnya merupakan tanda bahwa Pura adalah pusat orientasi kerajaan. Pura adalah wujud agama yang dianut kerajaan. Ista Dewata yang dipuja di Pura adalah spirit atau pamor kerajaan.