Pura Maospahit

Pada awalnya,Pura ini dibangun oleh seorang tokoh  Bali yang legendaries, Sri Kebo Iwa namanya. Beliau dikenal ahli pada bidang bangunan Bali. Dalam Babad Wongayah Dalem yang dipandang sebagai Prasasti Pura Maospahit diterangkan tentang perjalanan Sri Kebo Iwa mengajar dan memimpin masyarakat membangun Pura.

Sri Kebo Iwa membangun Candi Rasas Maospahit tahun 1200 Saka (1278 Masehi). Adapun yang disebut Candi Rasa Maospahit itu adalah pelinggih gedong bata merah yang cukup besar dan unik dengan dua patung gerabah kuno mengapit pintu. Candi menghadap ke Barat di Mandala Utama Pura Maospahit.

Tampaknya benar isi Babad diatas.Karena kini kita dapat menyaksikan adanya dua pelinggih utama di Mandala Utama Pura Maospahit. Pelinggih itu berupa gedong.Gedong bata merah beratap ijuk yang menghadap ke Barat disebut Candi Raras Maospahit. Sementara itu kembarannya menghadap ke Selatan disebut Candi Raras Majapahit. Di Depan agak keselatan berjajar sanggar Kebudayaan. Sementara itu salu kembar ada di areal sebelah timur penyengker mandala utama Pura Maospahit.

Jro Mangku Gede menjelaskan bahwa yang paling dimuliakan saban sembahyang di mandala utama itu adalah Ratu Ayu Mas Maospahit yang dicandikan dalam Candi Raras Maospahit dan Ida Bhatara Lingsir Sakti yang dicandikan dalam Candi  Raras Majapahit. Pujawali untuk memuliakan Ratu Ayu Mas Maospahit jatuh pada hari Purnama Jyesta, sedangkan Pujawali untuk memuliakan Ida Bhatara Lingsir Sakti jatuh pada hari Purnama Kalima.

Frase Candi Raras artinya Candi yang indah dan secara arsitektural candi tua ini memang antik, walaupun kini bata merahnya mulai lapuk dan mangkuk-mangkuk kuno yang menempel pada tubuh Candi Raras Majapahit sudah banyak yang hilang. Kata “maospahit ” sama artinya dengan kata “majapahit”. Teks Babad terkutip jelas mengatakan bahwa gedong yang dibangun dengan nama Candi Raras Majapahit didasarkan atas ukuran gedong atau candi yang ada di kerajaan Majapahit. Fungsinya dijelaskan sebagai panyawangan bangunan suci untuk menghubungkan diri dengan dewa-dewa atau roh leluhur yang bertempat jauh,yaitu Majapahit. 

Ista Dewata yang dipuja dapat dijadikan indikator tentang agama yang dianut raja dan/atau masyarakat bersangkutan.Kekawin Negara Kertagama menerangkan bahwa ajaran suci yang dianut oleh raja Majapahit adalah ajaran Siwa-Budha. Jro Mangku Gede membenarkan hal ini. Bahwa Dewata yang dipuja di pura Maospahit sesungguhnya adalah Dewa yang menjadi pusat orientasi Agama yang dianut oleh Raja Majapahit.Akan tetapi, dalam konteks rasa hormat tradisi Bali, Tuhan dipuja dengan gelar Ida Bhatara Lingsir. Beliau adalah purasa ‘laki-laki’ bersifat surya ‘matahari’. Sebaliknya Ratu Mas Maospahit adalah Predana ‘perempuan’ bersifat Chandra ‘bulan’.

Seperti dimaksud dalam Babad bahwa Raja Kerajaan Bandana(Badung) merasa tidak lengkap dan tidak rasional, bila hanya memuja Tuhan sebagai Pradana ‘Ibu’. Agar lengkap dan Rasional, juga sebaiknya memuja sebagai Purusa ‘Bapa’. Konsep rwa bhineda ‘oposisi biner’ memang menjadi hakikat kearifan masyarakat Bali sejak zaman purba. Oleh karena itu beliau memerintahkan membangun Candi  Raras Majapahit untuk mendampingi Candi Raras Maospahit yang telah dibangun oleh Sri Kebo Iwa sebelumnya.

Sejalan dengan itu, Jro Mangku Pun menegaskan pendiriannya Bhatara Lingsir dan Ida Ayu adalah Sang Hyang Ardanareswari ‘dua dewata yang tunggal’. Beliau adalah taksu ‘magis religius kerajaan Badung. Tuhan sebagai Bhatara Lingsir Sakti diyakininya mengemban tugas menganugerahkan kadiatmikan ‘pencerahan spiritual’ kepada raja dan masyarakat badung yang bakti kepadanya. Sebaliknya, Tuhan sebagai Ratu Ayu Mas Maospahit diyakininya sebagai pengemban tugas untuk menganugerahkan kewisesan.

‘Kemampuan untuk dapat bekerja secara profesional dan kedigdayaan’ sehingga kerajaan menjadi aman dan makmur.Mangku meyakini bahwa itulah yang dialami para leluhur yang menjadi pangrajeg “penanggung jawab” Pura Maospahit dan kerajaan Bandana.

Mengingat itu sehingga keberadaan Pura Maospahit ini sangat penting artinya bagi penerus kerajaan Bandana terutama keluarga Puri Pemecutan dan Puri Satriya (Satria).

Pura ini tampaknya tidak semata-mata untuk memuja Ista Dewata, tetapi juga untuk memuliakan leluhur khususnya leluhur raja. Ida Bhatara Lingsir, juga adalah gelar untuk menghormati leluhur laki-laki kerajaan Majapahit. Sebaiknya, Ratu Ayu Maospahit, boleh jadi juga adalah gelar untuk menghormati leluhur perempuan kerajaan Majapahit. Termasuk untuk memuliakan Sri Kebo Iwa atas jasa-jasanya. Hindu yakin bahwa leluhur adalah jan bangul ‘pengantar puja’ untuk dapat berhubungan dengan Ista Dewata yang dipuja. Tanpa restu leluhur, puja kepada Tuhan dipandang cacat. Leluhur, karena perbuatan baiknya setelah Beliau berpulang, melalui ritual Sradha atau Ngaben dan Mamukur, rohnya dicandikan dan diyakini dapat menunggal dengan Ista Dewata yang dipujanya. Para Maharsi mengajarkan: “Pitra Dewa Bhawa” ‘Leluhur adalah perwujudan Tuhan’.

Jro Mangku menerangkan bahwa luas Pura sekitar 70-80 are (belum diukur). Pura terpilih atas lima mandala. Mandala pertama ada di depan dengan pintu gerbang yang bernama Candi Kusuma menghadap ke jalan Sutomo. Sebagaimana halnya pintu gerbang Kori Agung lainnya, pintu candi Kusuma itu pun tidaklah lebar. Di dalam mandala depan itu ada Salu Kembar, Bale Kulkul yang megah dan tinggi, Pelinggih Ratu Ngurah Pengalasan, dan Piasan. Pada penyengker sebelah Barat, di bagian pojok Selatan ada pintu gerbang yang kokoh dan tinggi menghadap ke sebelah Barat. Namanya Candi Rengat. Pintu gerbang ini berfungsi menjadi jalan menuju mandala dua.

Mandala kedua yang ada di Selatan Pura, dulunya cukup luas. Akan tetapi, kini hanya tertinggal berupa gang selebar dua meteran untuk menuju gerbang berikutnya yang ada sebelah Barat penyengker Selatan Pura. Dengan menyusuri gang ini, agak jauh di Barat ada sebuah candi bentar yang juga kekar dan megah lelengisan bata merah. Candi Rebah namanya. Mandala ketiga ini, juga disebut Jaba Sisi. Ada sejumlah bangunan khas di sini. Di antaranya Palinggih Ratu Cede Kobar Api, Bale Pesandekan, Bale Cede, Bale Sakaulu, Parerepan, Pawaregan, Pelinggih Bhatara Wisnu, dan Sumur. Ada pula sebuah pohon Soka dan Nyambu Rata yang besar menaungi mandala ini yang menjadikan Pura sejuk dan terkesan angker. Fungsi utama mandala ini adalah sebagai dapur upakani ‘sesajen’, dapur umum, dan pasandekan ‘tempat istirahat’.

Di sebelah Timur mandala ini ada Candi Bentar bata merah berpintu lebar yang juga kekar dan juga unik. Pada Candi Bentar belahan Utara ada relief (patung yang menempel) Bima yang besar yang dililit oleh dua naga. Ratu Ngurah Bayu namanya. Berjejer ke Utara pada dinding candi ada patung Dewa Yama, Indra, dan Sangkara. Sebaliknya, pada belahan candi bagian Selatannya ada patung Burung Garuda ukuran besar membawa Sangku Amerta ‘periuk air kehidupan’. Ratu Ngurah Paksi namanya. Berjejer ke arah Selatan ada patung Dewa Kuwera dan Baruna. Patung unik ini tentu menarik terutama bagi arkeolog.

Patung-patung sakral yang mendampingi Ratu Ngurah Bayu dan Ratu Ngurah Paksi adalah lima dewata yang disebut Sanghyang Panca Korsika. Mereka adalah Dewa penjaga kiblat. Keberadaannya diyakini sebagai yang menganugerahkan rahmat perlindungan gaib sehingga kesucian Pura dan umat Hindu yang melakukan aktivitas religius di dalam Pura selamat dari berbagai bentuk gangguan yang bersifat tidak menguntungkan. Sementara itu, Ratu Ngurah Bayu dan Ratu Ngurah Paksi juga diyakini memiliki fungsi perlindungan.

 Dengan melintasi Candi Bentar ini, kita diajak memasuki mandala keempat yang disebut Jaba Tengah. Mandala ini pun cukup lebar. Ada sejumlah bangunan suci disini, yaitu Bale Pesucian, Bale Tajuk, dan Bale Sumanggen. Di mandala ini ada pohon Sawo Kecik, penyejuk yang cukup rimbun. Mandala ini tentulah untuk wall ‘seni sakral’ terutama ketika ada upacara di Pura ini.

Di Bagian Timur mandala ini ada Kori Agung yang kekar, unik, dan tinggi. Dengan melalui Kori Agung ini, sampailah di mandala utama yang disebut Jeroan. Di sini terdapat cukup banyak bangunan suci. Di sinilah Candi Raras Maospait dan Candi Raras Majapahit yang telah dibicarakan sebelumnya berdiri. Bangunan suci lainnya yang tidak kalah uniknya adalah Bale Pangayunan, Bale Taksu, sejumlah Palinggih Kabuyutan. Palinggih Ratu Hyang Agung, Piasan, Dan beberapa palinggih Kabuyutan. Di bagian bagian tertentu mandala ini tumbuh pohon jepun yang umurnya tampak cukup tua, kayu Putih, Pala Jiwa dan pohon hias lainnya menambah citra kekunoan Pura Maospait.

Kekunoan dan kemegahan Dang Kahyangan Maospait adalah bukti sejarah keberadaan Raja Bandana Kerajaan Badung. Cita-cita dan restu raja, Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat bersama dengan masyarakat membangun dan bakti di Pura Maospahit dahulu sesungguhnya merupakan tanda bahwa Pura adalah pusat orientasi kerajaan. Pura adalah wujud agama yang dianut kerajaan. Ista Dewata yang dipuja di Pura adalah spirit atau pamor kerajaan.

Pura Sakenan

Pura Sakenan merupakan bagian dari ribuan pura yang ada di Bali. Letaknya di desa Serangan, kecamatan Denpasar Selatan, dulunya Serangan merupakan sebuah pulau terpisah yang hanya bisa diakses melalui jalur laut, namun setelah mengalami reklamasi, kawasan ini begitu mudah untuk dikunjungi melalui jalur darat. Serangan sendiri menjadi tempat menarik bagi sejumlah kalangan wisatawan, ada penangkaran penyu, rekreasi diving dan juga kegiatan watersport lainnya seperti di Tanjung Benoa, sehingga menjadi salah satu objek wisata di Bali yang sayang untuk dilewatkan.

Pulau Serangan terbilang sangat kecil dengan panjang 2,9km dan lebar 1 km, seperti namanya yang berasal dari kata sira dan angen, memang membuat ngangenin karena keindahannya, itu sebabnya pelaut-pelaut Bugis sengaja untuk berhenti dan beristirahat mencari minum disini,  karena keindahan pulaunya mereka betah berlama-lama, itu sebabnya sampai sekarang ada perkampungan dinamakan Kampung Bugis pada kawasan ini. Jika anda wisatawan coba agendakan acara tour di Bali anda berkunjung ke sini, selain beberapa rekreasi seperti watersport dan penangkaran penyu anda bisa memancing dan diving.

Pura Sakenan sendiri merupakan pura kahyangan jagat, dan menurut lontar Usana Bali dibangun oleh Mpu Kuturan (Rajaketha), dalam sejarahnya pura dibangun karena perwujudan rasa syukur sekelompok orang yang merasa sira angen karena keindahan pulau Serangan, masyarakat Bali sekitarnya juga ikut melakukan persembahyangan walaupun sebelumnya hanya bisa diakses melalui jalur laut menggunakan perahu-perahu nelayan, lambat laun transportasi laut ini mulai ditinggalkan, karena sekarang kendaraan seperti mobil bahkan bus besar bisa dengan mudah mengakses Serangan.

Kalau dari prasasti desa Sading, Kec. Mengwi, Badung, pembangunan Pura Sakenan diperkirakan saat Bali diperintah oleh raja Sri Masula Masuli, beliau bertahta dari tahun Isaka 1.100 (1178 Masehi) dan memerintah selama 77 tahun. Pada saat Dang Hyang Nirartha melakukan perjalanan rohani keliling pulau Bali, beliau juga sempat singgah ke pulau Serangan, beliau sangat mengagumi keindahan pulau ini, perpaduan alam laut dan pulau begitu serasi, sehingga memutuskan untuk bermalam beberapa hari, dan akhirnya pada bagian sebelah Barat beliau membangun tempat suci bernama Pura Sakenan.

Ada yang menterjemahkan Sakenan berasal dari kata Cakya yang berarti langsung menyatukan pikiran, sangat beralasan tempat kecil yang dipisahkan oleh laut ini memiliki ketenangan dan keheningan lebih, sehingga mudah untuk menyatukan rohani ataupun pikiran ke Hyang Pencipta. Pujawali di Pura Sakenan setiap 210 hari sekali tepatnya hari Raya Kuningan pada hari Sabtu Kliwon, Kuningan.

Saat umat Hindu melakukan persembahyangan pada Hari Raya Kuningan, setidaknya ada 3 buah pura tempat umat melakukan persembahyangan , yaitu pura Susunan Wadon sekitar 500 meter sebelah timur pura utama, kemudian pura Susunan Agung dan Dalem Sakenan pada pinggir pantai tepi Barat. Ini satu paket perjalanan spiritual saat melakukan persembahyangan ke Pulau Serangan. Karena ketiga pura tersebut melambangkan Purusa, Pradhana dan Lingga.

Ada menyebutkan Pura Sakenan sebagai Samudra Kertih bagian dari Sad Kertih. Tempat memuja Ida Hyang Baruna sebagai penguasa lautan untuk menjaga keselamatan dunia, menyucikan segala bhuta kala dan manusia, menghilangkan segala jenis penyakit dan rintangan.

Jika anda seorang wisatawan, walaupun bukan warga Hindu anda bisa menyaksikan ketenangan dan kesakralan Pura Sakenan ini, selain itu anda bisa menikmati beberapa wisata bahari seperti banana boat, diving, parasailing dan jetski, permainan watersport disini lebih tenang tidak seperti Tanjung Benoa yang selalu ramai.

Pura Luhur Candi Narmada

Pura ini tak pernah sepi dari pamedek. Mereka rata – rata nelayan dan pedagang. Ya, puru itu namanya Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap. Pura ini memiliki jejak sejarah yang panjang. Berawal dari sebuah pelinggih di atas karang setelah Bendega Pan Satang mesesangi (kaul) setelah mendapatkan ikan melimpah.

Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap berlokasi di perbatasan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Tepatnya di Muara Tukad Badung di jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai Denpasar. Diyakini yang berstana Ida Ratu Bhatari Niang Sakti, sebagai Dewi Kemakmuran.

Dari penuturan Pemangku Pura Luhur Candi Narmada, IB Made Sudana, sebelum berdiri megah seperti saat ini, pura Luhur Tanah Kilap ini sudah ada, namun masih berupa pura sederhana. “Sejarah pura ini tertulis dalam lontar yang ditemukan di Griya Gede Gunung Beau Muncan- Karangasem,” jelasnya.

Adapun sejarah dari pura ini, seperti yang diceritakan Sudana, pada zaman pemerintahan kerajaan Bandana Raja, di pesisir bagian selatan pulau Bali hiduplah seorang Bendega (nelayan) bernama Pan Santeng, yang sehari-harinya hidup dari aktivitasnya sebagai nelayan di muara sungai yang menghadap ke laut Selatan Bali. Pada suatu hari, ketika sedang melaut, ternyata Pan Santeng sama sekali tidak mendapat hasil, dan kejadian tersebut berlangsung selama tiga hari berturut-turut.

Akhirnya pada hari ketiga, akhirnya Pan Santeng mengucapkan janji masesangi (kaul), jika mendapatkan ikan, maka dia akan menghaturkan pekelem dan doanya pun terkabul.

“Sehingga Pan Santeng membangun pelinggih di atas batu karang dan setiap hari dengan tekun sang Bendega menghaturkan Bhakti di pelinggih tersebut, seiring dengan semakin banyaknya hasil tangkapan yang diperolehnya,” lanjut Sudana.

Hingga suatu hari, Pan Santeng mendapat sabda jika pelinggih tersebut adalah tempat stana Ida Brahma Putri dari Patni Keniten yang bernama Ida Ayu Ngurah Saraswati Swabhawa.

Demikianlah intisari dari sejarah Pura Luhur Candi Narmada dan pura tersebut selama berabad-abad tetap berupa pelinggih batu sederhana di atas karang, hingga akhirnya dilanjutkan Sudana pada tahun 1958 ada seorang ibu dari Kuta menerima pawisik untuk membangun sanggar agung di kawasan pelinggih Ratu Niang Sakti.

Akhirnya sanggar agung dibangun, dan lambat lain pelinggih tersebut semakin banyak dikunjungi masyarakat dari seluruh Kota Denpasar maupun dari luar Denpasar. “Terutama oleh para pedagang dan nelayan, pura ini menjadi tempat untuk memohon anugrah,” lanjutnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, secara perlahan, pembangunan pura Luhur Tanah Kilap semakin berkembang dengan beberapa gedong dan bangunan lainnya mulai dari Bale Kulkul, Pelinggih Ratu Gede Bendega, Gelung kuri dan Peletasan, Pelinggih Padmasana, Pelinggih Meru dan Negara Segara, Pelinggih Berada Rambut Sedana, Pelinggih Penglurah, Pelinggih Bhatara Wisnu, Pelinggih Ratu Bagus, Pelinggih Jineng, Pelinggih Bhatari Niang Sakti, Gedong Simpen dan Telaga Waja serta Bale Peselang.

Dikatakan Sudana, pelinggih tersebut berada di utama Mandala Pura Luhur Tanah Kilap. Sedangkan di areal palemahan, terdapat dua pelinggih lain yakni Pelinggih Persimpangan Bhatara Dalem Ped yang terletak di sebelah timur dan Pura Taman dan Tapa Gni yang terletak di sebelah Barat. Pelinggih dan pura-pura yang ada ini adalah satu kesatuan di Pura Luhur Candi Narmada Tanah Kilap.

Pura Agung Jagatnatha

Pada 5 Februari 1963, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja setuju pembangunan pura tersebut yang secara resmi bernama Pura Agung Jagatnatha. Selanjutnya, pada 1 Januari 1965, panitia meminta kesediaan Anak Agung Ketut Anggara dari Banjar Belong, Denpasar, untuk membuatkan gambar bangunan sekaligus memimpin para undagi (ahli bangunan) untuk mengerjakan pembangunan pura tersebut.

Saat pecah peristiwa 30 September 1965, proses pengerjaan pembangunan pura tersebut sempat terhambat. Pada 28 Juli 1967, dasar bangunan Padmasana berupa Bedawang Nala dapat diselesaikan. Selanjutnya, 15 Oktober 1967, pembangunan Padmasana sudah sampai pada bagian madya atau tengah.

Pada 13 Desember 1967, seluruh bangunan Padmasana dapat diselesaikan. Pada 5 Februari 1968, pembangunan Candi Bentar sudah rampung. Dan, pada tanggal 13 Mei 1968, tepatnya pada Purnama Jiyestha (hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi), pura ini diresmikan.

Menurut Widyanegara, Pura Agung Jagatnatha memiliki keistimewaan atau keunikan yaitu tidak adanya Pengempon (kelompok masyarakat yang mengelola pura ini). Pura Agung Jagatnatha hanya memiliki beberapa orang yang mengelola dana mulai dari pembangunannya sampai untuk upacara sehari-hari.

Lokasi pura Agung Jagatnatha memang sangat strategis di tengah pusat kota Denpasar, terletak di sebelah Timur lapangan Puputan Badung, bersebelahan dengan objek wisata Museum Bali tepatnya di Jln. Mayor Wisnu. Memasuki areal pura anda akan merasakan ketenangan dan kenyamanan bisa memberikan nuansa berbeda saat anda jenuh dengan keramaian kota.

Pura Geriya Tanah Kilap

Pura Tanah Kilap adalah sebuah pura yang terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa Pakraman Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Dibangun pada tahun 1962 oleh Pemerintah Kabupaten Badung dan diberi nama sesuai tanah merah mengkilat di sekitarnya, yang dikenal sebagai tanah “legit” atau “ampo”. Selama pembangunannya, terdapat beberapa cerita misterius yang mungkin sulit dipercaya.

Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Badung berencana membangun jembatan di sisi barat pura untuk menghubungkan jalan di sekitar Pura Tanah Kilap. Namun, proses pembangunannya menghadapi kendala, dan jembatan tersebut tidak kunjung selesai. Peristiwa mistis terjadi ketika seorang wanita tua muncul di Pura Tanah Kilap, diyakini sebagai Ida Bhatara Ratu Niang. Wanita tua itu meminta dibangunkan sebuah Pelinggih, sebuah pura khusus untuknya. Jembatan itu hanya bisa dibangun jika keinginannya dikabulkan. Akhirnya dibangun Pelinggih di sisi timur jembatan, dan proses pembangunan jembatan berjalan lancar. Kisah mistis ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung Pura Tanah Kilap.

Selain sejarahnya yang misterius, Pura Tanah Kilap memiliki pesona yang unik dibandingkan pura lainnya di Bali. Ini adalah akulturasi budaya Cina dan Bali dan memiliki desain bangunan yang berbeda. Berada di tengah kota, pura ini mudah diakses, hanya 15 menit dengan mobil dari Denpasar dan 10 menit dari Bandara Internasional Ngurah Rai.

Pura Petilan Pengerebongan

Pura Petilan atau yang lebih dikenal dengan nama Pura Pengrebongan merupakan salah satu pura di Denpasar yang keberadaannya sangat erat kaitannya dengan sejarah puri di Kesiman.

Pura yang terletak di sisi utara Jalan WR. Supratman, Denpasar tersebut memiliki nilai sejarah dan tradisi unik yakni Ngerebong setiap Redite Pon Medangsia.

Putra Raja Badung  yang kemudian menjadi Raja di Kesiman dengan gelar Cokorda Kesiman atau Batara Inggas mendirikan puri baru di sebelah barat Puri Kedaton atau Puri Kesiman Baru. Untuk menguatkan dukungan rakyat di Kesiman, maka tempat pemujaan di wilayah Kesiman pun diperbaiki.

Di bagian timur Pura Petilan dibangun tempat pemujaan warga Pasek, Warga Gaduh, Warga Dangka. Demikian juga tempat pemujaan yang ada hubungannya dengan Pura Petilan dipugar oleh Raja. Pura tersebut antara lain Pura Kedaton, Pura Urasana, Pura Kesiman, dan Pura Tojan. Demikian juga upacara di Pura Petilan diteruskan dan saat upacara, Raja pun bersama rakyat ikut bersembahyang bersama-sama di Pura Petilan. Pengerebongan arca penambahan raja juga ikut diusung dan distanakan di Gedung Agung bersama arca Dalem Kesiman.

Di Pura Petilan Kesiman terdapat pelinggih gedong agung yang terletak di tengah-tengah dengan dasar bedawang nala tempat menstanakan arca. Ada juga gedong di sebelah gedong agung tempat menstanakan pura manca pengerob dan semua pecanangan atau pratima dari seluruh pura di daerah kesiman saat upacara pengerebongan di Pura Petilan.

Pura Petilan sangat menarik karena sebagai pemersatu rakyat, dalam hal ini warga Kelurahan Kesiman dengan berbagai soroh atau warga dengan berbagai profesinya. Mereka disatukan atas dasar kekuatan keagamaan seperti keberadaan pura yang tidak hanya berfungsi sebagai media pemujaan pada Tuhan dan roh suci leluhur, melainkan juga untuk menjangkau aspek sosial budaya

Pura Campuhan Windu Segara

Bali yang dikenal sebagai pulau seribu pura merupakan rumah bagi berbagai pura dengan fungsi yang berbeda-beda, antara lain Pura Campuhan Windhu Segara yang merupakan tempat populer untuk melukat (penyucian) dan mencari berkah untuk keselamatan dan penyembuhan dari penyakit.

Terletak di tepi pantai, Pura Campuhan dinamai dari tempat bertemunya air laut dan air tawar dari Sungai Ayung. Meskipun relatif baru, pembangunannya dimulai pada tahun 2005, pura ini dengan cepat mendapatkan popularitas di kalangan penduduk lokal dan wisatawan.

Tidak seperti candi kuno lainnya di pulau itu, Pura Campuhan Windhu Segara dimulai dengan kisah ajaib Jro Mangku Gede Alit Adnyana, seorang pendeta yang sembuh dari gagal ginjal setelah menerima pesan spiritual untuk membangun Parahyangan Ida Bhatara di lokasi di mana ia menemukan sebuah sepotong kayu yang mengeluarkan asap di pantai Padang Galak.

Dengan dukungan masyarakat, termasuk pemeluk agama yang berbeda, pembangunan pura dimulai pada tahun 2005, menunjukkan toleransi beragama di Bali. Saat ini, pura berdiri dengan indah di pantai berpasir di Padang Galak, menawarkan pengalaman yang unik dan menarik bagi pengunjung yang mencari pemurnian dan berkah spiritual.