Rambut-siwi

Pura Rambut Siwi Tonja

Secara administratif Pura Rambut Siwi Tonja berlokasi di Jl. Ratna, Gang Seruni, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis pura ini terletak pada koordinat 50 L 0305046, 9044164 UTM. Pura Rambut Siwi Tonja sampai saat ini belum diketahui status kepemilikannya, serta status dari puranya sendiri. Saat ini Pura Rambut Siwi Tonja dikelola oleh keluarga Ketut Kani yang bertempat tinggal di barat pura. Dalam areal pura terdapat satu bangunan Prasada dari bahan batu bata merah yang terletak di sisi timur halaman menghadap ke Barat dan satu struktur sisa bangunan di sebelah utara bangunan prasada..

Secara administratif Pura Rambut Siwi Tonja berlokasi di Jl. Ratna, Gang Seruni, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis pura ini terletak pada koordinat 50 L 0305046, 9044164 UTM. Pura Rambut Siwi Tonja sampai saat ini belum diketahui status kepemilikannya, serta status dari puranya sendiri. Saat ini Pura Rambut Siwi Tonja dikelola oleh keluarga Ketut Kani yang bertempat tinggal di barat pura. Dalam areal pura terdapat satu bangunan Prasada dari bahan batu bata merah yang terletak di sisi timur halaman menghadap ke Barat dan satu struktur sisa bangunan di sebelah utara bangunan prasada..

1. Candi Prasada

Candi Prasada adalah bangunan suci tempat berstananya para dewa atau dapat juga raja yang telah meninggal dan kembali ke brahmaloka. Prasada merupakan bangunan suci di Bali yang bentuknya sangat mirip sekali dengan candi khas Jawa Timur. Prasada bangunan suci yang terbuat dari batu bata keseluruhannya tapi ada yang terbuat dari batu karang seperti Prasada yang ada di Pulau Serangan. Demikian juga pada badannya terdapat bilik atau ruangan untuk menempatkan pratima yang lebih meyakinkan lagi persamaannya dengan candi. Prasada berarti tempat duduk yang menjulang tinggi teras tingkat teratas dari bangunan diatas pondasi yang tinggi, istana, kuil, candi, pura, tempat pemujaan. Prasada di Bali adalah hasil perpaduan antara candi atau Prasada biasa dengan punden berundak-undak pada zaman prehistoric. (Kempers, 1979 : 13).

Bangunan Prasada ini memiliki kesamaan tipe dengan dua Prasada yang terdapat di Pura Maospahit Tonja. Bentuknya ramping, menggunakan bahan batu bata merah, terdiri dari bagian batur / dasar, kaki, badan dan atap dengan susunan 5 (lima) tingkat Tingkatan semakin keatas semakin mengecil dengan penutup atap disebut dengan Murda semacam ratna, terdapat satu ruang yang difungsikan untuk menempatkan sebuah arca atau pratima (saat ini ruang tersebut kosong). Pada bagian kaki dan badan Prasada terdapat hiasan tumpal segitiga terbalik dengan motif suluran daun, pada sudut-sudutnya terdapat hiasan karang goak (kepala burung),  pada bagian atap terdapat hiasan karang mata, karang goak (kepala burung) setiap sudutnya, dan hiasan simbar gantung polos. Pada bagian atas pintu terdapat satu panil relief yang berisikan gambar matahari dan awan. Selain itu pada bagian kaki dan badan Prasada terdapat cekungan-cekungan yang dulunya merupakan tempat untuk menempel piring-piring, mangkok-mangkok keramik sebagai hiasan Prasada. Prasada ini memiliki 5 (lima) undak (tangga) yang difungsikan untuk masuk kedalam ruangan atau bilik. Prasada ini memiliki ukuran :

Bangunan Prasada ini menghadap ke Barat dengan orientasi arah Timur (matahari terbit), di depan prasada terdapat sebuah altar yang difungsikan untuk menaruh sesajian penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu di atas altar diletakan fragmen-fragmen arca terakota yang merupakan temuan lepas yang terdapat di areal Pura Rambut Siwi Tonja. Jika dilihat dari langgam dan gaya arsitekturnya dapat dikatakan bahwa Prasada ini memiliki kesamaan umur dengan Prasada yang terdapat di Pura Maospahit Tonja. Karakteristik arsitektur Prasada ini dipengaruhi oleh karakter candi-candi di Jawa Timur, ada kemungkinan karakter Prasada ini berkembang di Bali setelah pengaruh Majapahit masuk di Bali sekitar abad XIV – XVI Masehi. Fragmen-fragmen arca dari bahan tanah liat (terakota) yang ditemukan di Pura Rambut Siwi Tonja berupa patahan kepala, tangan, kaki, badan, dan hingga alat kelamin laki-laki.

1. Candi Prasada

Candi Prasada adalah bangunan suci tempat berstananya para dewa atau dapat juga raja yang telah meninggal dan kembali ke brahmaloka. Prasada merupakan bangunan suci di Bali yang bentuknya sangat mirip sekali dengan candi khas Jawa Timur. Prasada bangunan suci yang terbuat dari batu bata keseluruhannya tapi ada yang terbuat dari batu karang seperti Prasada yang ada di Pulau Serangan. Demikian juga pada badannya terdapat bilik atau ruangan untuk menempatkan pratima yang lebih meyakinkan lagi persamaannya dengan candi. Prasada berarti tempat duduk yang menjulang tinggi teras tingkat teratas dari bangunan diatas pondasi yang tinggi, istana, kuil, candi, pura, tempat pemujaan. Prasada di Bali adalah hasil perpaduan antara candi atau Prasada biasa dengan punden berundak-undak pada zaman prehistoric. (Kempers, 1979 : 13).

Bangunan Prasada ini memiliki kesamaan tipe dengan dua Prasada yang terdapat di Pura Maospahit Tonja. Bentuknya ramping, menggunakan bahan batu bata merah, terdiri dari bagian batur / dasar, kaki, badan dan atap dengan susunan 5 (lima) tingkat Tingkatan semakin keatas semakin mengecil dengan penutup atap disebut dengan Murda semacam ratna, terdapat satu ruang yang difungsikan untuk menempatkan sebuah arca atau pratima (saat ini ruang tersebut kosong). Pada bagian kaki dan badan Prasada terdapat hiasan tumpal segitiga terbalik dengan motif suluran daun, pada sudut-sudutnya terdapat hiasan karang goak (kepala burung),  pada bagian atap terdapat hiasan karang mata, karang goak (kepala burung) setiap sudutnya, dan hiasan simbar gantung polos. Pada bagian atas pintu terdapat satu panil relief yang berisikan gambar matahari dan awan. Selain itu pada bagian kaki dan badan Prasada terdapat cekungan-cekungan yang dulunya merupakan tempat untuk menempel piring-piring, mangkok-mangkok keramik sebagai hiasan Prasada. Prasada ini memiliki 5 (lima) undak (tangga) yang difungsikan untuk masuk kedalam ruangan atau bilik. Prasada ini memiliki ukuran :

Bangunan Prasada ini menghadap ke Barat dengan orientasi arah Timur (matahari terbit), di depan prasada terdapat sebuah altar yang difungsikan untuk menaruh sesajian penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu di atas altar diletakan fragmen-fragmen arca terakota yang merupakan temuan lepas yang terdapat di areal Pura Rambut Siwi Tonja. Jika dilihat dari langgam dan gaya arsitekturnya dapat dikatakan bahwa Prasada ini memiliki kesamaan umur dengan Prasada yang terdapat di Pura Maospahit Tonja. Karakteristik arsitektur Prasada ini dipengaruhi oleh karakter candi-candi di Jawa Timur, ada kemungkinan karakter Prasada ini berkembang di Bali setelah pengaruh Majapahit masuk di Bali sekitar abad XIV – XVI Masehi. Fragmen-fragmen arca dari bahan 

1. Candi Prasada

Candi Prasada adalah bangunan suci tempat berstananya para dewa atau dapat juga raja yang telah meninggal dan kembali ke brahmaloka. Prasada merupakan bangunan suci di Bali yang bentuknya sangat mirip sekali dengan candi khas Jawa Timur. Prasada bangunan suci yang terbuat dari batu bata keseluruhannya tapi ada yang terbuat dari batu karang seperti Prasada yang ada di Pulau Serangan. Demikian juga pada badannya terdapat bilik atau ruangan untuk menempatkan pratima yang lebih meyakinkan lagi persamaannya dengan candi. Prasada berarti tempat duduk yang menjulang tinggi teras tingkat teratas dari bangunan diatas pondasi yang tinggi, istana, kuil, candi, pura, tempat pemujaan. Prasada di Bali adalah hasil perpaduan antara candi atau Prasada biasa dengan punden berundak-undak pada zaman prehistoric. (Kempers, 1979 : 13).

Bangunan Prasada ini memiliki kesamaan tipe dengan dua Prasada yang terdapat di Pura Maospahit Tonja. Bentuknya ramping, menggunakan bahan batu bata merah, terdiri dari bagian batur / dasar, kaki, badan dan atap dengan susunan 5 (lima) tingkat Tingkatan semakin keatas semakin mengecil dengan penutup atap disebut dengan Murda semacam ratna, terdapat satu ruang yang difungsikan untuk menempatkan sebuah arca atau pratima (saat ini ruang tersebut kosong). Pada bagian kaki dan badan Prasada terdapat hiasan tumpal segitiga terbalik dengan motif suluran daun, pada sudut-sudutnya terdapat hiasan karang goak (kepala burung),  pada bagian atap terdapat hiasan karang mata, karang goak (kepala burung) setiap sudutnya, dan hiasan simbar gantung polos. Pada bagian atas pintu terdapat satu panil relief yang berisikan gambar matahari dan awan. Selain itu pada bagian kaki dan badan Prasada terdapat cekungan-cekungan yang dulunya merupakan tempat untuk menempel piring-piring, mangkok-mangkok keramik sebagai hiasan Prasada. Prasada ini memiliki 5 (lima) undak (tangga) yang difungsikan untuk masuk kedalam ruangan atau bilik. Prasada ini memiliki ukuran :

Bangunan Prasada ini menghadap ke Barat dengan orientasi arah Timur (matahari terbit), di depan prasada terdapat sebuah altar yang difungsikan untuk menaruh sesajian penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu di atas altar diletakan fragmen-fragmen arca terakota yang merupakan temuan lepas yang terdapat di areal Pura Rambut Siwi Tonja. Jika dilihat dari langgam dan gaya arsitekturnya dapat dikatakan bahwa Prasada ini memiliki kesamaan umur dengan Prasada yang terdapat di Pura Maospahit Tonja. Karakteristik arsitektur Prasada ini dipengaruhi oleh karakter candi-candi di Jawa Timur, ada kemungkinan karakter Prasada ini berkembang di Bali setelah pengaruh Majapahit masuk di Bali sekitar abad XIV – XVI Masehi. Fragmen-fragmen arca dari bahan tanah liat (terakota) yang ditemukan di Pura Rambut Siwi Tonja berupa patahan kepala, tangan, kaki, badan, dan hingga alat kelamin laki-laki

Pura Puseh Sumerta

Pura Puseh Sumerta terletak di Gang Merak, Jl. Kenyeri, Banjar Sima, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar.  Berada pada koordinat 50 L 0305218 UTM 9043892 (58 Meter dpl). Latar belakang sejarah Pura Puseh Sumerta secara pasti, dan tertulis sampai saat ini belum ditemukan, tetapi penulis berusaha menyusun sejarah keberadaan Desa Sumerta berdasarkan hasil wawancara dan studi kepustakaan. Menurut kisah dari penglingsir/tetua yang tercantum dalam Eka Suwarnita Desa Adat Sumerta (2014: 2-3) dikatakan Desa Sumerta dahulunya bernama Wongaya, dan lama kelamaan menjadi Sumerta Wongaya. Mengenai kata Sumerta ini diturunkan dari nama salah seorang penguasa wilayah pada saat itu yang ditemukan dalam Babad Ki Bendesa Kerobokan Badung. Adapun kutipan babad tersebut sebagai berikut.

“…walian ikang kata, ceritanen mangke tmajanira Ki Gusti Pasek Gelgel Aan, pada sahing Hyang Widi, apasanakan rahning nalikang rat, tembenia Gde Pasek Sumerta tmajanira Ki Gusti Pasek Aan, angalih lungguh mareng jagat bandana, sira kawuwus Pasek Sumerta, muang lungguh hira raju ingaranan Sumerta, apan sira Ki Pasek Gegel winuwus widagda wicaksana, sida pwa sira anampa sajnira Sang Natheng Bandana…” (Anonim, 2014: 3)

Kepergian Ki Pasek Sumerta ke jagat bandana (Badung) menurut cerita di atas diperkirakan pada akhir masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Kata-kata Sumerta dalam kutipan di atas muncul beberapa kali dalam menyebutkan nama tokoh dan berdasarkan hasil wawancara dengan Pemangku Pura Puseh Sumerta juga menerangkan dulu Desa Sumerta pernah dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama I Gusti Ngurah Sumerta. Hal tersebut memunculkan sebuah asumsi bahwa wilayah yang dulunya bernama Wongaya berubah namanya menjadi Sumerta yang disebabkan oleh keturunan nama tokoh yang pernah memimpin wilayah ini, yaitu menurut Babad Ki Bendesa Kerobokan Badung ialah Gde Pasek Sumerta dan menurut penuturan Pemangku Pura Puseh Sumerta ialah I Gusti Ngurah Sumerta. 

Mengenai keberadaan Pura Puseh Sumerta dapat diketahui latar belakang pembangunannya berdasarkan piagam abad XV Śaka yang masih dibawa sampai saat ini oleh keluarga Pemangku Puseh Sumerta di Banjar Sima. Piagam tersebut isinya kurang lebih mengenai perintah dari I Gusti Ngurah Sumerta kepada Ki Bendesa Bekung di Sumerta Wongaya, agar secepatnya membangun Pura Puseh dan Pura Kebon dalam waktu setahun dengan mendapatkan imbalan berupa tanah lengkap dengan biji/bibit tanaman (Anonim, 2014: 3). Pura Puseh Sumerta memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) merupakan halaman terbuka,  jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta (bhuwana agung) seperti nista mandala melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, madya mandala melambangkan bwahloka yaitu alam pitra/roh atau alam peralihan, dan utama mandala melambangkan swah loka yaitu sebagai alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Puseh Sumerta memiliki tiga halaman yang memiliki sedikit variasi yaitu bagian nista mandala (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan gang) di sisi selatan. 

Utama mandala (jeroan/halaman paling suci), dan madya mandala (jaba tengah) dikelilingi oleh tembok keliling terbuat dari batu bata merah, serta dibatasi dengan gapura/paduraksa. Sedangkan nista mandala dengan madya mandala  dibatasi dengan sebuah candi bentar dan tembok batu bata merah. Pura Puseh Sumerta dapat dikategorikan sebagai situs Cagar Budaya karena di dalamnya menyimpan benda, struktur, dan bangunan Cagar Budaya.

Pura Puseh Sumerta memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga, tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu beserta sakti. Berdasarkan karakter pura, yang mengempon adalah penyatusan Banjar Tegal Kuwalon dan Banjar Sima, serta menyungsung Pura Puseh Sumerta ini adalah masyarakat Desa Pakraman Sumerta dengan upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Purnama Sasih Katiga.

1. Gapura/Paduraksa Kori Agung

Gapura/paduraksa yang dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya ini merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari balok-balok batu padas panjang besar dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Balok-balok batu padas panjang dan besar ini memunculkan sebuah asumsi bahwa dasar kaki gapura adalah yang masih asli belum mengalami perbaikan, sementara bagian badan sampai atap merupakan hasil perbaikan tahun 1941 Masehi dengan ditemukannya angka tahun tersebut di dinding badan sisi utara. Daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala berupa karang boma dengan mata melotot dan taring mencuat keluar, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk tapak dara, kuping, dan util. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk, simbar gantung, dan hiasan antefik berupa suluran daun, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Gedong Ratu Puseh yang dapat dikategorikan sebagai bangunan Cagar Budaya ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Sumerta, terletak di halaman jeroan (utama mandala). Bangunan Gedong Ratu Puseh ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki bangunan berupa bebaturan diperkirakan berumur lebih tua daripada badan dan atapnya yang terbuat dari susunan balok-balok batu padas dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Kaki bangunan beberapa bagiannya berhiaskan karang tapel pada sudut depan, karang manuk pada sudut belakang, karang gajah pada sudut bagian bawah, karang bintolo (karang mata) pada sisi muka depan, pelipit-pelipit membentuk pepalihan berupa hiasan berpola patra kakul dan patra mas-masan, serta panil-panil relief terpahat pola patra mesir. Badan bangunan juga terbuat dari batu padas dengan hiasan pepalihan, sudut bawah depan berhiaskan karang tapel, memiliki dua pintu masuk menuju garbha graha yang terbuat dari kayu berwarna coklat, pada selasar depan terdapat tiga buah arca singa menopang tiang kayu pada punggungnya, dan pada tengah-tengah selasar diletakkan arca Ganesha. Atap bangunan terbuat dari konstruksi kayu dan susunan ijuk dengan hiasan terakota pada puncaknya.

3. Arca Ganesha

Arca dipahatkan duduk dengan sikap wirasana di atas lapik padma ganda setinggi 9 cm, bersandar pada stela, badan arca tambun, dan berperut buncit. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga, mata terbuka, dahi bagian tengah terdapat lubang yang kemungkinan bagian dari hiasan kapala (tengkorak), belalai terjuntai mengarah ke kiri yang kemungkinan menghisap isi patra, upawita berupa ular melintasi bahu kiri hingga pinggang kanan, dan kedua danta sudah patah. Arca menggunakan kundala cukup besar hingga menutupi sebagian daun telinga, bertangan empat (chaturbhuja), tangan kanan depan membawa benda yang sudah patah kemungkinan patahan danta, tangan kanan belakang membawa aksamala, tangan kiri belakang membawa parasu, dan tangan kiri depan membawa patra menumpu belalai. Kaki arca pada pergelangannya menggunakan kankana berupa susunan manik-manik serta kain arca sebatas lutut berpola kotak-kotak geometris dilengkapi dengan sampur dan uncal pada samping kanan kiri pinggang.

4. Lingga     

Lingga yang ditemukan ini diletakkan bersama-sama dengan arca perwujudan bhatara – bhatari di Pura Alit (Pura Purbakala), merupakan lingga lengkap (tri bhaga) dengan memiliki tiga bagian, yaitu brahma bhaga sebagai dasar berbentuk persegi empat, wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan. Lingga juga memiliki cerat pada sisi depan bulatan (siwa bhaga).

5. Arca Perwujudan Bhatara – Bhatari di Pura Alit

Arca-arca diletakkan berjajar di atas bebaturan, dengan memiliki ciri-ciri ikonografi yang sama, diperkirakan berasal dari abad XI – XV Masehi. Ditemukan ada 17 arca, ada yang masih utuh, ada juga yang sudah rusak. Secara umum, arca dipahatkan berdiri tegak lurus seperti mayat dengan sikap samabhanga. Kemungkinan berdiri di atas lapik tetapi lapik hingga pergelangan kaki sudah ditutup dengan semen, bersandar pada stella bagian atasnya berbentuk bulatan telur, buah dada bulat besar. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga dilengkapi dengan petitis lebar pada dahi arca dan belakang telinga berhiaskan ron-ronan, serta muka arca nampak datar karena mata, bibir, dan hidung sudah aus. Arca menggunakan kundala cukup panjang terjuntai hingga menyentuh pundak, kedua tangan ditekuk ke depan menempel pada pinggang membawa benda bulatan, masing-masing pergelangan tangan ataupun kaki menggunakan kankana berbentuk pilinan polos bersusun tiga, keyura pada lengan arca berupa suluran daun membentuk segitiga seperti gunung, kain perca bermotif polos sebatas lutut ditengah-tengahnya terdapat lipatan wiron hingga menyentuh lapik, serta pinggang arca berhiaskan sampur dan uncal yang terjuntai ke bawah.

6. Arca Balagana I

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kanan ditekuk lebih tinggi daripada kaki kiri, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

7. Arca Balagana II

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kiri ditekuk lebih tinggi daripada kaki kanan, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

1. Gapura/Paduraksa Kori Agung

Gapura/paduraksa yang dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya ini merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari balok-balok batu padas panjang besar dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Balok-balok batu padas panjang dan besar ini memunculkan sebuah asumsi bahwa dasar kaki gapura adalah yang masih asli belum mengalami perbaikan, sementara bagian badan sampai atap merupakan hasil perbaikan tahun 1941 Masehi dengan ditemukannya angka tahun tersebut di dinding badan sisi utara. Daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala berupa karang boma dengan mata melotot dan taring mencuat keluar, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk tapak dara, kuping, dan util. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk, simbar gantung, dan hiasan antefik berupa suluran daun, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Gedong Ratu Puseh yang dapat dikategorikan sebagai bangunan Cagar Budaya ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Sumerta, terletak di halaman jeroan (utama mandala). Bangunan Gedong Ratu Puseh ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki bangunan berupa bebaturan diperkirakan berumur lebih tua daripada badan dan atapnya yang terbuat dari susunan balok-balok batu padas dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Kaki bangunan beberapa bagiannya berhiaskan karang tapel pada sudut depan, karang manuk pada sudut belakang, karang gajah pada sudut bagian bawah, karang bintolo (karang mata) pada sisi muka depan, pelipit-pelipit membentuk pepalihan berupa hiasan berpola patra kakul dan patra mas-masan, serta panil-panil relief terpahat pola patra mesir. Badan bangunan juga terbuat dari batu padas dengan hiasan pepalihan, sudut bawah depan berhiaskan karang tapel, memiliki dua pintu masuk menuju garbha graha yang terbuat dari kayu berwarna coklat, pada selasar depan terdapat tiga buah arca singa menopang tiang kayu pada punggungnya, dan pada tengah-tengah selasar diletakkan arca Ganesha. Atap bangunan terbuat dari konstruksi kayu dan susunan ijuk dengan hiasan terakota pada puncaknya.

3. Arca Ganesha

Arca dipahatkan duduk dengan sikap wirasana di atas lapik padma ganda setinggi 9 cm, bersandar pada stela, badan arca tambun, dan berperut buncit. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga, mata terbuka, dahi bagian tengah terdapat lubang yang kemungkinan bagian dari hiasan kapala (tengkorak), belalai terjuntai mengarah ke kiri yang kemungkinan menghisap isi patra, upawita berupa ular melintasi bahu kiri hingga pinggang kanan, dan kedua danta sudah patah. Arca menggunakan kundala cukup besar hingga menutupi sebagian daun telinga, bertangan empat (chaturbhuja), tangan kanan depan membawa benda yang sudah patah kemungkinan patahan danta, tangan kanan belakang membawa aksamala, tangan kiri belakang membawa parasu, dan tangan kiri depan membawa patra menumpu belalai. Kaki arca pada pergelangannya menggunakan kankana berupa susunan manik-manik serta kain arca sebatas lutut berpola kotak-kotak geometris dilengkapi dengan sampur dan uncal pada samping kanan kiri pinggang.

4. Lingga     

Lingga yang ditemukan ini diletakkan bersama-sama dengan arca perwujudan bhatara – bhatari di Pura Alit (Pura Purbakala), merupakan lingga lengkap (tri bhaga) dengan memiliki tiga bagian, yaitu brahma bhaga sebagai dasar berbentuk persegi empat, wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan. Lingga juga memiliki cerat pada sisi depan bulatan (siwa bhaga).

5. Arca Perwujudan Bhatara – Bhatari di Pura Alit

Arca-arca diletakkan berjajar di atas bebaturan, dengan memiliki ciri-ciri ikonografi yang sama, diperkirakan berasal dari abad XI – XV Masehi. Ditemukan ada 17 arca, ada yang masih utuh, ada juga yang sudah rusak. Secara umum, arca dipahatkan berdiri tegak lurus seperti mayat dengan sikap samabhanga. Kemungkinan berdiri di atas lapik tetapi lapik hingga pergelangan kaki sudah ditutup dengan semen, bersandar pada stella bagian atasnya berbentuk bulatan telur, buah dada bulat besar. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga dilengkapi dengan petitis lebar pada dahi arca dan belakang telinga berhiaskan ron-ronan, serta muka arca nampak datar karena mata, bibir, dan hidung sudah aus. Arca menggunakan kundala cukup panjang terjuntai hingga menyentuh pundak, kedua tangan ditekuk ke depan menempel pada pinggang membawa benda bulatan, masing-masing pergelangan tangan ataupun kaki menggunakan kankana berbentuk pilinan polos bersusun tiga, keyura pada lengan arca berupa suluran daun membentuk segitiga seperti gunung, kain perca bermotif polos sebatas lutut ditengah-tengahnya terdapat lipatan wiron hingga menyentuh lapik, serta pinggang arca berhiaskan sampur dan uncal yang terjuntai ke bawah.

6. Arca Balagana I

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kanan ditekuk lebih tinggi daripada kaki kiri, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

7. Arca Balagana II

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kiri ditekuk lebih tinggi daripada kaki kanan, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

1. Gapura/Paduraksa Kori Agung

Gapura/paduraksa yang dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya ini merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari balok-balok batu padas panjang besar dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Balok-balok batu padas panjang dan besar ini memunculkan sebuah asumsi bahwa dasar kaki gapura adalah yang masih asli belum mengalami perbaikan, sementara bagian badan sampai atap merupakan hasil perbaikan tahun 1941 Masehi dengan ditemukannya angka tahun tersebut di dinding badan sisi utara. Daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala berupa karang boma dengan mata melotot dan taring mencuat keluar, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk tapak dara, kuping, dan util. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk, simbar gantung, dan hiasan antefik berupa suluran daun, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Gedong Ratu Puseh yang dapat dikategorikan sebagai bangunan Cagar Budaya ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Sumerta, terletak di halaman jeroan (utama mandala). Bangunan Gedong Ratu Puseh ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki bangunan berupa bebaturan diperkirakan berumur lebih tua daripada badan dan atapnya yang terbuat dari susunan balok-balok batu padas dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Kaki bangunan beberapa bagiannya berhiaskan karang tapel pada sudut depan, karang manuk pada sudut belakang, karang gajah pada sudut bagian bawah, karang bintolo (karang mata) pada sisi muka depan, pelipit-pelipit membentuk pepalihan berupa hiasan berpola patra kakul dan patra mas-masan, serta panil-panil relief terpahat pola patra mesir. Badan bangunan juga terbuat dari batu padas dengan hiasan pepalihan, sudut bawah depan berhiaskan karang tapel, memiliki dua pintu masuk menuju garbha graha yang terbuat dari kayu berwarna coklat, pada selasar depan terdapat tiga buah arca singa menopang tiang kayu pada punggungnya, dan pada tengah-tengah selasar diletakkan arca Ganesha. Atap bangunan terbuat dari konstruksi kayu dan susunan ijuk dengan hiasan terakota pada puncaknya.

3. Arca Ganesha

Arca dipahatkan duduk dengan sikap wirasana di atas lapik padma ganda setinggi 9 cm, bersandar pada stela, badan arca tambun, dan berperut buncit. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga, mata terbuka, dahi bagian tengah terdapat lubang yang kemungkinan bagian dari hiasan kapala (tengkorak), belalai terjuntai mengarah ke kiri yang kemungkinan menghisap isi patra, upawita berupa ular melintasi bahu kiri hingga pinggang kanan, dan kedua danta sudah patah. Arca menggunakan kundala cukup besar hingga menutupi sebagian daun telinga, bertangan empat (chaturbhuja), tangan kanan depan membawa benda yang sudah patah kemungkinan patahan danta, tangan kanan belakang membawa aksamala, tangan kiri belakang membawa parasu, dan tangan kiri depan membawa patra menumpu belalai. Kaki arca pada pergelangannya menggunakan kankana berupa susunan manik-manik serta kain arca sebatas lutut berpola kotak-kotak geometris dilengkapi dengan sampur dan uncal pada samping kanan kiri pinggang.

4. Lingga     

Lingga yang ditemukan ini diletakkan bersama-sama dengan arca perwujudan bhatara – bhatari di Pura Alit (Pura Purbakala), merupakan lingga lengkap (tri bhaga) dengan memiliki tiga bagian, yaitu brahma bhaga sebagai dasar berbentuk persegi empat, wisnu bhaga berada di tengah berbentuk persegi delapan, dan siwa bhaga paling atas berbentuk bulatan. Lingga juga memiliki cerat pada sisi depan bulatan (siwa bhaga).

5. Arca Perwujudan Bhatara – Bhatari di Pura Alit

Arca-arca diletakkan berjajar di atas bebaturan, dengan memiliki ciri-ciri ikonografi yang sama, diperkirakan berasal dari abad XI – XV Masehi. Ditemukan ada 17 arca, ada yang masih utuh, ada juga yang sudah rusak. Secara umum, arca dipahatkan berdiri tegak lurus seperti mayat dengan sikap samabhanga. Kemungkinan berdiri di atas lapik tetapi lapik hingga pergelangan kaki sudah ditutup dengan semen, bersandar pada stella bagian atasnya berbentuk bulatan telur, buah dada bulat besar. Hiasan rambut berupa mahkota berbentuk susunan kelopak bunga mengecil ke atas bersusun tiga dilengkapi dengan petitis lebar pada dahi arca dan belakang telinga berhiaskan ron-ronan, serta muka arca nampak datar karena mata, bibir, dan hidung sudah aus. Arca menggunakan kundala cukup panjang terjuntai hingga menyentuh pundak, kedua tangan ditekuk ke depan menempel pada pinggang membawa benda bulatan, masing-masing pergelangan tangan ataupun kaki menggunakan kankana berbentuk pilinan polos bersusun tiga, keyura pada lengan arca berupa suluran daun membentuk segitiga seperti gunung, kain perca bermotif polos sebatas lutut ditengah-tengahnya terdapat lipatan wiron hingga menyentuh lapik, serta pinggang arca berhiaskan sampur dan uncal yang terjuntai ke bawah.

6. Arca Balagana I

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kanan ditekuk lebih tinggi daripada kaki kiri, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

7. Arca Balagana II

Arca dipahatkan berkepala gajah berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik berbentuk tempat duduk berhiaskan suluran daun lengkap dengan patra kakul. Kaki kiri ditekuk lebih tinggi daripada kaki kanan, raut wajah digambarkan menyeramkan, kedua gading mencuat keluar, mata melotot, dan telinga lebar. Tangan kanan diarahkan ke belakang membawa kuncup Padma, sedangkan tangan kiri diletakkan di samping perut menumpu ujung belalai, rambut dipahatkan ikal terurai dengan menggunakan petitis lebar di dahi. Kedua tangan mengenakan keyura pada masing-masing lengan dan kankana pada pergelangan tangan. Hara menghiasi leher dengan motif suluran daun, udarabandha menghiasi pinggang berhiaskan karang manuk, kedua kaki juga menggunakan kankana, dan menggunakan kain sebatas lutut ditengah-tengahnya dilengkapi dengan wiron yang ujungnya terbelah dua menyentuh lapik.

Pura Puseh Peguyangan

Pura Puseh Peguyangan terletak pada koordinat 50 L 0303451 UTM 9048721 (85 Meter dpl), berdampingan dengan Pura Desa Peguyangan, merupakan tempat suci milik masyarakat Desa Adat Peguyangan, dan secara administratif terletak di Kecamatan Denpasar Utara. Latar belakang sejarah keberadaan Desa Adat Peguyangan dapat dipahami melalui isi Dresta Ilikita Desa Pakraman Peguyangan, yaitu ditemukan beberapa hal yang merujuk pada kesejarahan desa, seperti nama Desa Adat Peguyangan muncul berdasarkan kisah gajah Kyai Panji Sakti yang maguyang (berguling-guling) dan ditempat gajah tersebut maguyang disebut dengan peguyangan. Istilah peguyangan juga dikaitkan dengan isi prasasti tembaga di Pura Dalem Batan Celagi yang menyebutkan penyungsung  prasasti tersebut dianugerahi kebebasan membayar pajak, karena telah diberikan tanggung jawab menyungsung dan ngaci sam sat kahyangan yang berarti “yang menjaga tempat hyang”. Menjaga parahyangan tersebut harus pageh (kukuh/konsisten) yang kemudian kata pageh dan hyang tersebut menjadi cikal bakal nama peguyangan (Anonim, 2011: 1)

Mengenai prasasti yang ditemukan di Pura Dalem Batan Celagi (Prasasti Peguyangan) tersebut ditemukan hanya satu lempeng yaitu lembar ke-8 sisi A dan B dengan menggunakan aksara Bali Kuna (Kawi – Bali) dan bahasa Jawa Kuna. Prasasti Peguyangan ini dimasukkan kedalam kelompok prasasti-prasasti terbitan Raja Sri Haji Jayapangus kisaran tahun Śaka 1099 – 1103 (1177 -1181 Masehi) yang secara ringkas isinya menyebutkan nama desa Er Saling dan tentang pembebasan beberapa jenis pajak (drwi haji) karena desa tersebut dulunya merupakan jataka (daerah pengelola bangunan suci yang bebas dari sejumlah pajak dan kewajiban lainnya) pundut dyun Bhaṭāra di Burwan yang telah dijadikan sawah oleh penduduk desa. Mereka tidak diwajibkan membayar beberapa jenis iuran yang berkaitan dengan upacara, termasuk para pengantin baru tidak diwajibkan mempersembahkan pamapas kepada Sanghyang Candi di Burwan. Isi lainnya adalah tentang ketentuan atau ijin dalam beternak itik, memelihara asu tugel, pirung, dan bebas bepergian ke desa lain (Wiguna dkk, 2015: 19).

Ada sebuah asumsi bahwa sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah Desa Adat Peguyangan pernah berdiri bangunan candi kuno serupa dengan miniatur candi yang ditemukan di Pura Desa Peguyangan, Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. 

Pura Puseh Peguyangan memiliki struktur dwi mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) berada dan menghadap timur sedangkan jeroan (utama mandala) berada dan menghadap barat, menjadi satu kompleks dengan Pura Desa, Pura Bale Agung, Pura Penyarikan, dan Pura Manik Tahun Peguyangan. Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dengan nista mandala (halaman luar) dibatasi dengan gapura/paduraksa menghadap ke timur dikelilingi dengan tembok keliling terbuat dari batu bata merah. Secara karakter, Pura Puseh Peguyangan masuk sebagai pura teritorial (kahyangan tiga) tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu beserta sakti dengan pengempon dan penyungsungnya adalah masyarakat Desa Adat Peguyangan. Upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Redite Wuku Sinta (Banyu Pinaruh).

1. Gapura/paduraksa

Gapura/paduraksa atau disebut dengan Kori Agung, merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba sisi (nista mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Gapura/paduraksa yang tersusun dari batu bata dipadukan dengan batu padas sebagai hiasan-hiasan relief suluran daun dan arca-arca seperti arca singa pada setiap sudut kaki gapura dan arca dwarapala sebagai penjaga pintu menghadap ke timur. Bagian badan gapura di tengah-tengahnya terdapat daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan taring mencuat keluar berhiaskan suluran daun. Badan gapura pada masing-masing sisinya, yaitu pada sisi timur sebelah kiri dihiasi dengan relief Rahwana dengan ciri-ciri bermahkota cecandian kurung, dua taring atas mencuat keluar, membawa pedang dan menggendong Dewi Sita, pada sisi timur sebelah kanan gapura berhiaskan relief tokoh Wilmana (wahana Rahwana) dengan ciri-ciri raksasa bersayap membawa senjata dengan dua tazaman. Bagian badan sisi barat sebelah kanan gapura terdapat juga relief Wilmana dan relief garuda di sebelah kiri gapura dengan ciri-ciri berkepala burung mencengkeram ular dengan kakinya. Gapura ini dipercantik juga dengan hiasan piring dan mangkuk terbuat dari porselin berbagai ukuran sebanyak 279 biji. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk lengkap dengan menara sudat berbentuk bulat, relief simbar gantung, dan pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Bangunan ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Peguyangan, terbuat dari susunan batu bata merah dengan perpaduan batu padas terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Berdiri candi bentar terbuat dari batu padas berhiaskan simbar gantung, simbar duduk, dan antefik menghiasi selasar lengkap dengan naga kanan kiri tangga. Badan atas gedong terbuat dari susunan batu bata merah berhiaskan relief jambangan bunga dengan sulur-suluran daun dipahatkan pada sisi kanan-kiri badan gedong, terdapat garbha graha di tengah-tengah badan gedong, dua buah arca mengapit garbha graha, yaitu arca balagana yang disebut juga dengan gajawaktra dan arca tokoh yang tidak diketahui perwujudan siapa, karena tidak memiliki atribut yang jelas, serta pada ambang pintu di atasnya dipahatkan kepala kala dengan ciri-ciri mata melotot tanpa tangan ataupun pahatan suluran daun di sampingnya. Atap bangunan berbentuk limas semakin ke atas semakin kecil disangga dengan tiang kayu berjumlah 10 buah dan ditopang dengan arca-arca wanara. Gedong Ratu Puseh ini pada sisi depannya dari bagian kaki hingga badan berhiaskan piring berjumlah 106 keping, mangkuk berjumlah 162 buah yang terbuat dari porselin (keramik) berwarna putih, kuning, dan hijau.

3. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kanan gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

4. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

5. Kemuncak Sudut Atap Candi III

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kondisinya sudah sangat rusak, masyarakat Desa Adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

6. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat lima semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan

7. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak juga diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, bentuknya berupa bulatan bertingkat empat semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan. Secara mitologi, masyarakat Desa adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

8. Ambang Pintu Candi

Balok batu padas ini kemungkinan pada masa lampau sebagai ambang pintu bangunan candi berbentuk persegi panjang dengan takikan pada beberapa bagiannya. Kemungkinan ambang pintu ini memiliki hubungan dengan temuan kemuncak-kemuncak bangunan sebagai komponen bangunan penopang pintu masuk garbha graha sebuah bangunan candi pada masa lampau.

9. Arca Balagana

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos pada sisi depannya terpahat angka 1933. Arca dipahatkan berkepala gajah (bukan Ganesha), tetapi sebagai perwujudan balagana/gajawaktra dengan menggunakan mahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan menopang belalai di samping perut, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.

10. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos. Arca dipahatkan bermahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan ditekuk  di samping perut bersikap abhaya mudra, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.

1. Gapura/paduraksa

Gapura/paduraksa atau disebut dengan Kori Agung, merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba sisi (nista mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Gapura/paduraksa yang tersusun dari batu bata dipadukan dengan batu padas sebagai hiasan-hiasan relief suluran daun dan arca-arca seperti arca singa pada setiap sudut kaki gapura dan arca dwarapala sebagai penjaga pintu menghadap ke timur. Bagian badan gapura di tengah-tengahnya terdapat daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan taring mencuat keluar berhiaskan suluran daun. Badan gapura pada masing-masing sisinya, yaitu pada sisi timur sebelah kiri dihiasi dengan relief Rahwana dengan ciri-ciri bermahkota cecandian kurung, dua taring atas mencuat keluar, membawa pedang dan menggendong Dewi Sita, pada sisi timur sebelah kanan gapura berhiaskan relief tokoh Wilmana (wahana Rahwana) dengan ciri-ciri raksasa bersayap membawa senjata dengan dua tazaman. Bagian badan sisi barat sebelah kanan gapura terdapat juga relief Wilmana dan relief garuda di sebelah kiri gapura dengan ciri-ciri berkepala burung mencengkeram ular dengan kakinya. Gapura ini dipercantik juga dengan hiasan piring dan mangkuk terbuat dari porselin berbagai ukuran sebanyak 279 biji. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk lengkap dengan menara sudat berbentuk bulat, relief simbar gantung, dan pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Bangunan ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Peguyangan, terbuat dari susunan batu bata merah dengan perpaduan batu padas terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Berdiri candi bentar terbuat dari batu padas berhiaskan simbar gantung, simbar duduk, dan antefik menghiasi selasar lengkap dengan naga kanan kiri tangga. Badan atas gedong terbuat dari susunan batu bata merah berhiaskan relief jambangan bunga dengan sulur-suluran daun dipahatkan pada sisi kanan-kiri badan gedong, terdapat garbha graha di tengah-tengah badan gedong, dua buah arca mengapit garbha graha, yaitu arca balagana yang disebut juga dengan gajawaktra dan arca tokoh yang tidak diketahui perwujudan siapa, karena tidak memiliki atribut yang jelas, serta pada ambang pintu di atasnya dipahatkan kepala kala dengan ciri-ciri mata melotot tanpa tangan ataupun pahatan suluran daun di sampingnya. Atap bangunan berbentuk limas semakin ke atas semakin kecil disangga dengan tiang kayu berjumlah 10 buah dan ditopang dengan arca-arca wanara. Gedong Ratu Puseh ini pada sisi depannya dari bagian kaki hingga badan berhiaskan piring berjumlah 106 keping, mangkuk berjumlah 162 buah yang terbuat dari porselin (keramik) berwarna putih, kuning, dan hijau.

3. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kanan gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

4. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

.

5. Kemuncak Sudut Atap Candi III

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kondisinya sudah sangat rusak, masyarakat Desa Adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa

6. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat lima semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan.

7. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak juga diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, bentuknya berupa bulatan bertingkat empat semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan. Secara mitologi, masyarakat Desa adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

8. Ambang Pintu Candi

Balok batu padas ini kemungkinan pada masa lampau sebagai ambang pintu bangunan candi berbentuk persegi panjang dengan takikan pada beberapa bagiannya. Kemungkinan ambang pintu ini memiliki hubungan dengan temuan kemuncak-kemuncak bangunan sebagai komponen bangunan penopang pintu masuk garbha graha sebuah bangunan candi pada masa lampau.

9. Arca Balagana

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos pada sisi depannya terpahat angka 1933. Arca dipahatkan berkepala gajah (bukan Ganesha), tetapi sebagai perwujudan balagana/gajawaktra dengan menggunakan mahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan menopang belalai di samping perut, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.

10. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos. Arca dipahatkan bermahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan ditekuk  di samping perut bersikap abhaya mudra, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.

1. Gapura/paduraksa

Gapura/paduraksa atau disebut dengan Kori Agung, merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba sisi (nista mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Gapura/paduraksa yang tersusun dari batu bata dipadukan dengan batu padas sebagai hiasan-hiasan relief suluran daun dan arca-arca seperti arca singa pada setiap sudut kaki gapura dan arca dwarapala sebagai penjaga pintu menghadap ke timur. Bagian badan gapura di tengah-tengahnya terdapat daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan taring mencuat keluar berhiaskan suluran daun. Badan gapura pada masing-masing sisinya, yaitu pada sisi timur sebelah kiri dihiasi dengan relief Rahwana dengan ciri-ciri bermahkota cecandian kurung, dua taring atas mencuat keluar, membawa pedang dan menggendong Dewi Sita, pada sisi timur sebelah kanan gapura berhiaskan relief tokoh Wilmana (wahana Rahwana) dengan ciri-ciri raksasa bersayap membawa senjata dengan dua tazaman. Bagian badan sisi barat sebelah kanan gapura terdapat juga relief Wilmana dan relief garuda di sebelah kiri gapura dengan ciri-ciri berkepala burung mencengkeram ular dengan kakinya. Gapura ini dipercantik juga dengan hiasan piring dan mangkuk terbuat dari porselin berbagai ukuran sebanyak 279 biji. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk lengkap dengan menara sudat berbentuk bulat, relief simbar gantung, dan pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Gedong Ratu Puseh

Bangunan ini merupakan bangunan sentral di Pura Puseh Peguyangan, terbuat dari susunan batu bata merah dengan perpaduan batu padas terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Berdiri candi bentar terbuat dari batu padas berhiaskan simbar gantung, simbar duduk, dan antefik menghiasi selasar lengkap dengan naga kanan kiri tangga. Badan atas gedong terbuat dari susunan batu bata merah berhiaskan relief jambangan bunga dengan sulur-suluran daun dipahatkan pada sisi kanan-kiri badan gedong, terdapat garbha graha di tengah-tengah badan gedong, dua buah arca mengapit garbha graha, yaitu arca balagana yang disebut juga dengan gajawaktra dan arca tokoh yang tidak diketahui perwujudan siapa, karena tidak memiliki atribut yang jelas, serta pada ambang pintu di atasnya dipahatkan kepala kala dengan ciri-ciri mata melotot tanpa tangan ataupun pahatan suluran daun di sampingnya. Atap bangunan berbentuk limas semakin ke atas semakin kecil disangga dengan tiang kayu berjumlah 10 buah dan ditopang dengan arca-arca wanara. Gedong Ratu Puseh ini pada sisi depannya dari bagian kaki hingga badan berhiaskan piring berjumlah 106 keping, mangkuk berjumlah 162 buah yang terbuat dari porselin (keramik) berwarna putih, kuning, dan hijau.

3. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kanan gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

4. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat enam semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk silinder. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

5. Kemuncak Sudut Atap Candi III

Kemuncak ini diletakkan di depan (sisi timur) sebelah kiri gapura/paduraksa, kondisinya sudah sangat rusak, masyarakat Desa Adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

6. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat lima semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan.

7. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak juga diletakkan di halaman jeroan (utama mandala) di depan Gedong Ratu Puseh, bentuknya berupa bulatan bertingkat empat semakin ke atas semakin kecil dan pada puncaknya berbentuk bulatan. Secara mitologi, masyarakat Desa adat Peguyangan juga mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

8. Ambang Pintu Candi

Balok batu padas ini kemungkinan pada masa lampau sebagai ambang pintu bangunan candi berbentuk persegi panjang dengan takikan pada beberapa bagiannya. Kemungkinan ambang pintu ini memiliki hubungan dengan temuan kemuncak-kemuncak bangunan sebagai komponen bangunan penopang pintu masuk garbha graha sebuah bangunan candi pada masa lampau.

9. Arca Balagana

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos pada sisi depannya terpahat angka 1933. Arca dipahatkan berkepala gajah (bukan Ganesha), tetapi sebagai perwujudan balagana/gajawaktra dengan menggunakan mahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan menopang belalai di samping perut, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.

10. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri garbha graha Gedong Ratu Puseh, berdiri dengan sikap abhanga di atas lapik polos. Arca dipahatkan bermahkota cecandian lengkap menggunakan petitis dan ron-ronan di belakang telinga, tangan kanan ditekuk  di samping perut bersikap abhaya mudra, sedangkan tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain sampur, kain yang digunakan hingga di atas lutut bermotif garis-garis dan dilengkapi dengan lipatan wiron yang ujungnya menyentuh lapik.

Pura Maospahit Tonja

Pura Maospahit Tonja secara geografis terletak di Jl. Ratna, tepat berada di depan Banjar Tatasan Kelod, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar.  Secara Astronomi terletak pada titik koordinat 50 L 0304919, 9044056 dengan ketinggian 47 Mdpl.

Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Maospahit Tonja juga mempunyai tiga halaman. Di sini akan tampak adanya suatu variasi kecil yaitu bagian jaba sisi (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka dan menghadap ke arah timur. Di sini hanya bagian jeroan (halaman paling suci), dan jaba tengah (halaman tengah) yang dikelilingi oleh tembok keliling, yang terbuat dari batu bata. Adapun antara jaba tengah dengan jeroan dibatasi oleh sebuah tembok, dan terdapat kori agung. Antara jaba tengah dengan jaba sisi dibatasi pula dengan sebuah tembok keliling, dan dihubungkan dengan sebuah candi bentar. 

Jika diperhatikan kembali struktur pura, dan fungsi masing-masing bangunan pelinggihnya, maka Pura Maospahit Tonja Denpasar masih menerapkan budaya lokal (local genius) dengan konsep-konsep pemujaan roh suci leluhur. Hal tersebut nampak pada nama-nama bangunan suci dengan memberi nama-nama lokal seperti Pelinggih Ratu Dalem Ketut, Pelinggih Ratu Biang Susunan, Gedong Dewa Hyang, dan Pelinggih Ratu Dalem Maospahit. 

Di halaman utama atau jeroan Pura Maospahit Tonja terdapat 2 (dua) buah bangunan Prasada yang berada di sisi Utara menghadap ke Selatan, dan di sisi Timur menghadap ke Barat. Karakter bangunan Prasada sama dengan bangunan Prasada yang terdapat di Situs Pura Rambut Siwi Tonja.

Candi Prasada adalah bangunan suci untuk pelinggih dari yang suci yang menitiskan dirinya pada raja yang meninggal yang telah disucikan dan kembali ke brahmaloka. Prasada merupakan bangunan suci di Bali yang bentuknya sangat mirip sekali dengan candi, sebagaimana halnya dengan dengan candi-candi di Jawa Timur umumnya. Prasada bangunan suci yang terbuat dari batu bata keseluruhannya, tapi ada yang terbuat dari batu karang seperti Prasada yang ada di Pulau Serangan. Demikian juga pada badannya, terdapat bilik atau ruangan untuk menempatkan pratima yang lebih meyakinkan lagi persamaannya dengan candi. 

Prasada berarti tempat duduk yang menjulang tinggi teras tingkat teratas dari bangunan diatas pondasi yang tinggi, istana, kuil, candi, pura, tempat pemujaan. Prasada di Bali adalah hasil perpaduan antara candi atau Prasada biasa dengan punden berundak-undak pada zaman prehistoric. (Kempers, 1979 : 13).

1. Candi Prasada Tumpang Lima (Linggih Ratu Dalem Ketut)

Keseluruhan bangunan menggunakan batu bata baik kaki, badan maupun atap. Bentuk prasada ramping sama halnya dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur yang bentuknya semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat. Pada bagian kaki candi, terdapat hiasan karang goak pada setiap sudutnya, dan juga terdapat lubang-lubang bekas hiasan mangkok-mangkok Cina yang sudah tidak terpasang lagi dikarenakan sudah pecah akibat bencana alam gempa bumi yang pernah terjadi di Bali. Pada bagian badan candi terdapat pintu masuk yang terbuat dari kayu untuk meletakkan arca dan sesaji. Pada bagian ini masih dapat dijumpai beberapa hiasan cawan-cawan kecil berwarna putih yang masih terpasang pada badan candi. Terdapat juga hiasan singa bersayap pada bagian atas pintu masuk kedalam candi. Pada bagian atap candi terdapat motif hias karang mata yang letaknya di tengah-tengah, dan pada setiap sudut dari atap candi terdapat hiasan menara sudut berisikan motif hias sulur-suluran. Atap dari candi ini berjumlah 5 yang semakin ke atas semakin tinggi.

2. Candi Prasada Tumpang Sia (Linggih Ratu Muter) 

Secara keseluruhan baik dari kaki, badan, dan atap terbuat dari bahan batu bata dengan bentuk atap bertingkat-tingkat, semakin ke atas semakin kecil / ramping. Prasada ini merupakan peninggalan arkeologi yang bentuknya sangat mirip dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur. Prasada ini memiliki arah hadap ke barat sehingga para bakta melakukan persembahyangan ke arah timur berhadapan dengan candi. Pada kaki candi hingga badan candi diberi hiasan-hiasan mangkok-mangkok Cina, akan tetapi pada saat ini sudah tidak terpasang lagi sejak dilakukannya pemugaran pada tahun 1986 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Dikarenakan, hiasan mangkok-mangkok Cina tersebut sudah tidak dapat terpakai karena banyak yang pecah akibat gempa di Bali. Kita dapat mengetahui adanya hiasan tersebut dikarenakan bagian kaki hingga badan candi terdapat lobang-lobang bekas meletakkan mangkok tersebut dan juga terdapat hiasan sulur-suluran pada badan candi, dan di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ke dalam candi terdapat hiasan  karang bentulu dan pada bagian atas pintu masuk kedalam badan candi terdapat motif hiasan matahari. Candi Tumpang 9 ini memiliki panjang 3,05 m dan lebar 2,65 m. Prasada ini difungsikan untuk memuja dewa Ratu Maospahit yang berkedudukan sebagai pusat memohon keselamatan. 

3. Gedong Bata Ratu Gde Maospahit

Bangunan ini dibuat dari batu bata yang pada sisi kanan, dan kirinya dihiasi dengan pepalihan. Atapnya juga dibuat dari bahan batu bata, dan pada keempat sudutnya dihiasi dengan simbar dengan motif hias karang goak. Pada bagian badan gedong, dan pada setiap sudutnya dihiasi dengan simbar. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati serta dihiasi dengan ukiran-ukiran motif patra punggel. Bagian depan sebelah kiri dari gedong diletakkan arca baru dari bahan batu padas. Fungsi dari bangunan ini untuk memuja Ratu Gede Maospahit untuk memohon keselamatan. Bangunan ini terletak diarah timur menghadap kebarat berukuran panjang 3.20 m, Lebar 3.20 m dan Tinggi 5.45 m

4. Kolam Petirtaan

Struktur kolam ini berada di halaman utama (jeroan) Pura Maospahit Tonja, membentuk huruf L dengan membentuk sudutan di bagian Timur laut halaman utama (jeroan) Pura. Struktur kolam ini memiliki ukuran Panjang dari Barat ke Timur 16,15 meter, dan dari Utara ke Selatan 17,12 meter, dengan Lebar yang sama yaitu 1,12 meter, mempergunakan bahan batu padas. Dari hasil wawancara dengan pemangku Pura, struktur kolam ini ditemukan saat dilakukannya ekskavasi di sekitar bangunan prasada yang saat itu akan dipugar, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kolam ini memang sudah ada dari jaman dulu bersamaan dengan keberadaan prasada di Pura Maospahit Tonja. Pada sisi Selatan ujung kolam terdapat sebuah Kolam penglukatan (penyucian) Naga Sesa. Kolam ini memiliki kedalaman 82 cm, yang difungsikan sebagai penglukatan atau pembersihan. kolam ini memiliki ukuran Lebar 16 cm, Panjang 79 cm. kolam ini memakai 3 (tiga) buah anak tangga. Dari hasil wawancara, fungsi kolam ini adalah untuk pemandian para widyadara-widyadari. Ada semacam gorong-gorong yang menembus, dan menyalurkan air kolam ke jaba tengah (madya mandala), pada jaba tengah air ini difungsikan untuk penglukatan atau pembersihan sebelum masuk ke areal utama pura. 

5. Meja Batu (dolmen)

Dolmen / Meja Batu, merupakan peninggalan masa megalitik yang terbuat dari batu yang berbentuk lingkaran pada bagian atasnya dan disangga dengan 4 kaki yang juga terbuat dari batu, dolmen ini diletakkan diatas bebaturan segi empat dengan ukuran Panjang 110 cm, Lebar 112 cm, dan Tinggi 72 cm. Fungsi dari dolmen ini masih sama dengan zaman megalithikum yaitu sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), para Dewa dan juga roh leluhur. Dolmen ini diletakkan tepat di depan Prasada Tumpang Sia (9).

6. Lumpang Batu 

Lumpang batu ini diletakkan diatas sebuah bebaturan berbentuk segi empat dengan ukuran Panjang 90 cm, Lebar 75 cm, dan Tinggi 26 cm. Sekitar lumpang ini diletakan arca-arca yang sudah dalam keadaan sangat rusak. Lumpang batu ini berasal dari masa megalitikum yang dulunya difungsikan sebagai tempat menumbuk biji-bijian untuk sarana upacara, akan tetapi pada masa ini, lumpang batu ini tidak difungsikan lagi sebagai tempat menumbuk biji-bijian melainkan sebagai tempat air untuk melakukan penglukatan, atau penyucian diri. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang terdapat di lumpang batu ini dapat menyembuhkan penyakit.

1. Candi Prasada Tumpang Lima (Linggih Ratu Dalem Ketut)

Keseluruhan bangunan menggunakan batu bata baik kaki, badan maupun atap. Bentuk prasada ramping sama halnya dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur yang bentuknya semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat. Pada bagian kaki candi, terdapat hiasan karang goak pada setiap sudutnya, dan juga terdapat lubang-lubang bekas hiasan mangkok-mangkok Cina yang sudah tidak terpasang lagi dikarenakan sudah pecah akibat bencana alam gempa bumi yang pernah terjadi di Bali. Pada bagian badan candi terdapat pintu masuk yang terbuat dari kayu untuk meletakkan arca dan sesaji. Pada bagian ini masih dapat dijumpai beberapa hiasan cawan-cawan kecil berwarna putih yang masih terpasang pada badan candi. Terdapat juga hiasan singa bersayap pada bagian atas pintu masuk kedalam candi. Pada bagian atap candi terdapat motif hias karang mata yang letaknya di tengah-tengah, dan pada setiap sudut dari atap candi terdapat hiasan menara sudut berisikan motif hias sulur-suluran. Atap dari candi ini berjumlah 5 yang semakin ke atas semakin tinggi.

2. Candi Prasada Tumpang Sia (Linggih Ratu Muter) 

Secara keseluruhan baik dari kaki, badan, dan atap terbuat dari bahan batu bata dengan bentuk atap bertingkat-tingkat, semakin ke atas semakin kecil / ramping. Prasada ini merupakan peninggalan arkeologi yang bentuknya sangat mirip dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur. Prasada ini memiliki arah hadap ke barat sehingga para bakta melakukan persembahyangan ke arah timur berhadapan dengan candi. Pada kaki candi hingga badan candi diberi hiasan-hiasan mangkok-mangkok Cina, akan tetapi pada saat ini sudah tidak terpasang lagi sejak dilakukannya pemugaran pada tahun 1986 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Dikarenakan, hiasan mangkok-mangkok Cina tersebut sudah tidak dapat terpakai karena banyak yang pecah akibat gempa di Bali. Kita dapat mengetahui adanya hiasan tersebut dikarenakan bagian kaki hingga badan candi terdapat lobang-lobang bekas meletakkan mangkok tersebut dan juga terdapat hiasan sulur-suluran pada badan candi, dan di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ke dalam candi terdapat hiasan  karang bentulu dan pada bagian atas pintu masuk kedalam badan candi terdapat motif hiasan matahari. Candi Tumpang 9 ini memiliki panjang 3,05 m dan lebar 2,65 m. Prasada ini difungsikan untuk memuja dewa Ratu Maospahit yang berkedudukan sebagai pusat memohon keselamatan. 

3. Gedong Bata Ratu Gde Maospahit

Bangunan ini dibuat dari batu bata yang pada sisi kanan, dan kirinya dihiasi dengan pepalihan. Atapnya juga dibuat dari bahan batu bata, dan pada keempat sudutnya dihiasi dengan simbar dengan motif hias karang goak. Pada bagian badan gedong, dan pada setiap sudutnya dihiasi dengan simbar. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati serta dihiasi dengan ukiran-ukiran motif patra punggel. Bagian depan sebelah kiri dari gedong diletakkan arca baru dari bahan batu padas. Fungsi dari bangunan ini untuk memuja Ratu Gede Maospahit untuk memohon keselamatan. Bangunan ini terletak diarah timur menghadap kebarat berukuran panjang 3.20 m, Lebar 3.20 m dan Tinggi 5.45 m

4. Kolam Petirtaan

Struktur kolam ini berada di halaman utama (jeroan) Pura Maospahit Tonja, membentuk huruf L dengan membentuk sudutan di bagian Timur laut halaman utama (jeroan) Pura. Struktur kolam ini memiliki ukuran Panjang dari Barat ke Timur 16,15 meter, dan dari Utara ke Selatan 17,12 meter, dengan Lebar yang sama yaitu 1,12 meter, mempergunakan bahan batu padas. Dari hasil wawancara dengan pemangku Pura, struktur kolam ini ditemukan saat dilakukannya ekskavasi di sekitar bangunan prasada yang saat itu akan dipugar, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kolam ini memang sudah ada dari jaman dulu bersamaan dengan keberadaan prasada di Pura Maospahit Tonja. Pada sisi Selatan ujung kolam terdapat sebuah Kolam penglukatan (penyucian) Naga Sesa. Kolam ini memiliki kedalaman 82 cm, yang difungsikan sebagai penglukatan atau pembersihan. kolam ini memiliki ukuran Lebar 16 cm, Panjang 79 cm. kolam ini memakai 3 (tiga) buah anak tangga. Dari hasil wawancara, fungsi kolam ini adalah untuk pemandian para widyadara-widyadari. Ada semacam gorong-gorong yang menembus, dan menyalurkan air kolam ke jaba tengah (madya mandala), pada jaba tengah air ini difungsikan untuk penglukatan atau pembersihan sebelum masuk ke areal utama pura. 

5. Meja Batu (dolmen)

Dolmen / Meja Batu, merupakan peninggalan masa megalitik yang terbuat dari batu yang berbentuk lingkaran pada bagian atasnya dan disangga dengan 4 kaki yang juga terbuat dari batu, dolmen ini diletakkan diatas bebaturan segi empat dengan ukuran Panjang 110 cm, Lebar 112 cm, dan Tinggi 72 cm. Fungsi dari dolmen ini masih sama dengan zaman megalithikum yaitu sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), para Dewa dan juga roh leluhur. Dolmen ini diletakkan tepat di depan Prasada Tumpang Sia (9).

6. Lumpang Batu 

Lumpang batu ini diletakkan diatas sebuah bebaturan berbentuk segi empat dengan ukuran Panjang 90 cm, Lebar 75 cm, dan Tinggi 26 cm. Sekitar lumpang ini diletakan arca-arca yang sudah dalam keadaan sangat rusak. Lumpang batu ini berasal dari masa megalitikum yang dulunya difungsikan sebagai tempat menumbuk biji-bijian untuk sarana upacara, akan tetapi pada masa ini, lumpang batu ini tidak difungsikan lagi sebagai tempat menumbuk biji-bijian melainkan sebagai tempat air untuk melakukan penglukatan, atau penyucian diri. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang terdapat di lumpang batu ini dapat menyembuhkan penyakit.

1. Candi Prasada Tumpang Lima (Linggih Ratu Dalem Ketut)

Keseluruhan bangunan menggunakan batu bata baik kaki, badan maupun atap. Bentuk prasada ramping sama halnya dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur yang bentuknya semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian atap bentuknya bertingkat-tingkat. Pada bagian kaki candi, terdapat hiasan karang goak pada setiap sudutnya, dan juga terdapat lubang-lubang bekas hiasan mangkok-mangkok Cina yang sudah tidak terpasang lagi dikarenakan sudah pecah akibat bencana alam gempa bumi yang pernah terjadi di Bali. Pada bagian badan candi terdapat pintu masuk yang terbuat dari kayu untuk meletakkan arca dan sesaji. Pada bagian ini masih dapat dijumpai beberapa hiasan cawan-cawan kecil berwarna putih yang masih terpasang pada badan candi. Terdapat juga hiasan singa bersayap pada bagian atas pintu masuk kedalam candi. Pada bagian atap candi terdapat motif hias karang mata yang letaknya di tengah-tengah, dan pada setiap sudut dari atap candi terdapat hiasan menara sudut berisikan motif hias sulur-suluran. Atap dari candi ini berjumlah 5 yang semakin ke atas semakin tinggi.

2. Candi Prasada Tumpang Sia (Linggih Ratu Muter) 

Secara keseluruhan baik dari kaki, badan, dan atap terbuat dari bahan batu bata dengan bentuk atap bertingkat-tingkat, semakin ke atas semakin kecil / ramping. Prasada ini merupakan peninggalan arkeologi yang bentuknya sangat mirip dengan candi-candi yang terdapat di Jawa Timur. Prasada ini memiliki arah hadap ke barat sehingga para bakta melakukan persembahyangan ke arah timur berhadapan dengan candi. Pada kaki candi hingga badan candi diberi hiasan-hiasan mangkok-mangkok Cina, akan tetapi pada saat ini sudah tidak terpasang lagi sejak dilakukannya pemugaran pada tahun 1986 yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Dikarenakan, hiasan mangkok-mangkok Cina tersebut sudah tidak dapat terpakai karena banyak yang pecah akibat gempa di Bali. Kita dapat mengetahui adanya hiasan tersebut dikarenakan bagian kaki hingga badan candi terdapat lobang-lobang bekas meletakkan mangkok tersebut dan juga terdapat hiasan sulur-suluran pada badan candi, dan di sebelah kanan dan kiri pintu masuk ke dalam candi terdapat hiasan  karang bentulu dan pada bagian atas pintu masuk kedalam badan candi terdapat motif hiasan matahari. Candi Tumpang 9 ini memiliki panjang 3,05 m dan lebar 2,65 m. Prasada ini difungsikan untuk memuja dewa Ratu Maospahit yang berkedudukan sebagai pusat memohon keselamatan. 

3. Gedong Bata Ratu Gde Maospahit

Bangunan ini dibuat dari batu bata yang pada sisi kanan, dan kirinya dihiasi dengan pepalihan. Atapnya juga dibuat dari bahan batu bata, dan pada keempat sudutnya dihiasi dengan simbar dengan motif hias karang goak. Pada bagian badan gedong, dan pada setiap sudutnya dihiasi dengan simbar. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati serta dihiasi dengan ukiran-ukiran motif patra punggel. Bagian depan sebelah kiri dari gedong diletakkan arca baru dari bahan batu padas. Fungsi dari bangunan ini untuk memuja Ratu Gede Maospahit untuk memohon keselamatan. Bangunan ini terletak diarah timur menghadap kebarat berukuran panjang 3.20 m, Lebar 3.20 m dan Tinggi 5.45 m

4. Kolam Petirtaan

Struktur kolam ini berada di halaman utama (jeroan) Pura Maospahit Tonja, membentuk huruf L dengan membentuk sudutan di bagian Timur laut halaman utama (jeroan) Pura. Struktur kolam ini memiliki ukuran Panjang dari Barat ke Timur 16,15 meter, dan dari Utara ke Selatan 17,12 meter, dengan Lebar yang sama yaitu 1,12 meter, mempergunakan bahan batu padas. Dari hasil wawancara dengan pemangku Pura, struktur kolam ini ditemukan saat dilakukannya ekskavasi di sekitar bangunan prasada yang saat itu akan dipugar, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kolam ini memang sudah ada dari jaman dulu bersamaan dengan keberadaan prasada di Pura Maospahit Tonja. Pada sisi Selatan ujung kolam terdapat sebuah Kolam penglukatan (penyucian) Naga Sesa. Kolam ini memiliki kedalaman 82 cm, yang difungsikan sebagai penglukatan atau pembersihan. kolam ini memiliki ukuran Lebar 16 cm, Panjang 79 cm. kolam ini memakai 3 (tiga) buah anak tangga. Dari hasil wawancara, fungsi kolam ini adalah untuk pemandian para widyadara-widyadari. Ada semacam gorong-gorong yang menembus, dan menyalurkan air kolam ke jaba tengah (madya mandala), pada jaba tengah air ini difungsikan untuk penglukatan atau pembersihan sebelum masuk ke areal utama pura. 

5. Meja Batu (dolmen)

Dolmen / Meja Batu, merupakan peninggalan masa megalitik yang terbuat dari batu yang berbentuk lingkaran pada bagian atasnya dan disangga dengan 4 kaki yang juga terbuat dari batu, dolmen ini diletakkan diatas bebaturan segi empat dengan ukuran Panjang 110 cm, Lebar 112 cm, dan Tinggi 72 cm. Fungsi dari dolmen ini masih sama dengan zaman megalithikum yaitu sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), para Dewa dan juga roh leluhur. Dolmen ini diletakkan tepat di depan Prasada Tumpang Sia (9).

6. Lumpang Batu 

Lumpang batu ini diletakkan diatas sebuah bebaturan berbentuk segi empat dengan ukuran Panjang 90 cm, Lebar 75 cm, dan Tinggi 26 cm. Sekitar lumpang ini diletakan arca-arca yang sudah dalam keadaan sangat rusak. Lumpang batu ini berasal dari masa megalitikum yang dulunya difungsikan sebagai tempat menumbuk biji-bijian untuk sarana upacara, akan tetapi pada masa ini, lumpang batu ini tidak difungsikan lagi sebagai tempat menumbuk biji-bijian melainkan sebagai tempat air untuk melakukan penglukatan, atau penyucian diri. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang terdapat di lumpang batu ini dapat menyembuhkan penyakit.

Pura Dalem Bungkeneng Tonja

Pura Dalem Bungkeneng merupakan salah satu Pura Khayangan Tiga Desa Adat Tonja. Secara administratif Pura Dalem Bungkeneng berlokasi di Jl. Ratna, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis pura ini terletak pada koordinat 50 L 0365081, 9044539 UTM. 

Pura Dalem Bungkeneng memiliki susunan dua halaman dengan arah hadap pura ke Barat, halaman pura terdiri dari jeroan dan bagian jaba tengah. Adapun halaman yang paling luar jaba sisi merupakan halaman terbuka. Secara simbolis, tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta atau makrokosmos (bhuwana agung). Jaba sisi melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, jaba tengah melambangkan bwahloka yaitu alam pitra atau roh, alam peralihan. Jeroan melambangkan swah loka, alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura dalem Bungkeneng Tonja juga mempunyai tiga halaman. Di sini akan tampak adanya suatu variasi kecil yaitu bagian jaba sisi (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan umum) yang berada di sisi Barat. Di sini hanya bagian jeroan (halaman paling suci) dan jaba tengah (halaman tengah) yang dikelilingi oleh tembok keliling, yang terbuat dari batu bata, sedangkan antara jaba tengah dengan jeroan dibatasi oleh sebuah tembok dan terdapat kori agung. Antara jaba tengah dengan jaba sisi dibatasi pula dengan sebuah tembok keliling dan dihubungkan dengan sebuah candi bentar.

Pura Dalem Bungkeneng merupakan salah satu Pura Khayangan Tiga Desa Adat Tonja. Secara administratif Pura Dalem Bungkeneng berlokasi di Jl. Ratna, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis pura ini terletak pada koordinat 50 L 0365081, 9044539 UTM. 

Pura Dalem Bungkeneng memiliki susunan dua halaman dengan arah hadap pura ke Barat, halaman pura terdiri dari jeroan dan bagian jaba tengah. Adapun halaman yang paling luar jaba sisi merupakan halaman terbuka. Secara simbolis, tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta atau makrokosmos (bhuwana agung). Jaba sisi melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, jaba tengah melambangkan bwahloka yaitu alam pitra atau roh, alam peralihan. Jeroan melambangkan swah loka, alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura dalem Bungkeneng Tonja juga mempunyai tiga halaman. Di sini akan tampak adanya suatu variasi kecil yaitu bagian jaba sisi (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan umum) yang berada di sisi Barat. Di sini hanya bagian jeroan (halaman paling suci) dan jaba tengah (halaman tengah) yang dikelilingi oleh tembok keliling, yang terbuat dari batu bata, sedangkan antara jaba tengah dengan jeroan dibatasi oleh sebuah tembok dan terdapat kori agung. Antara jaba tengah dengan jaba sisi dibatasi pula dengan sebuah tembok keliling dan dihubungkan dengan sebuah candi bentar.

Pura Dalem Bungkeneng merupakan salah satu Pura Khayangan Tiga Desa Adat Tonja. Secara administratif Pura Dalem Bungkeneng berlokasi di Jl. Ratna, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis pura ini terletak pada koordinat 50 L 0365081, 9044539 UTM. 

Pura Dalem Bungkeneng memiliki susunan dua halaman dengan arah hadap pura ke Barat, halaman pura terdiri dari jeroan dan bagian jaba tengah. Adapun halaman yang paling luar jaba sisi merupakan halaman terbuka. Secara simbolis, tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta atau makrokosmos (bhuwana agung). Jaba sisi melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, jaba tengah melambangkan bwahloka yaitu alam pitra atau roh, alam peralihan. Jeroan melambangkan swah loka, alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura dalem Bungkeneng Tonja juga mempunyai tiga halaman. Di sini akan tampak adanya suatu variasi kecil yaitu bagian jaba sisi (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan umum) yang berada di sisi Barat. Di sini hanya bagian jeroan (halaman paling suci) dan jaba tengah (halaman tengah) yang dikelilingi oleh tembok keliling, yang terbuat dari batu bata, sedangkan antara jaba tengah dengan jeroan dibatasi oleh sebuah tembok dan terdapat kori agung. Antara jaba tengah dengan jaba sisi dibatasi pula dengan sebuah tembok keliling dan dihubungkan dengan sebuah candi bentar.

1. Arca Dwarapala I

Arca dipahatkan duduk kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos tanpa sandaran (stela). Bentuk muka bulat, mata besar melotot, alis tebal, hidung besar, bibir tebal terbuka memperlihatkan taring, telinga lebar memakai simping dan anting-anting berbentuk bunga. Bentuk rambut ikal dipusung tiga, dan sisanya terurai di belakang sampai punggung. Memakai kalung (hara) motif garis polos, perut buncit, memakai ikat perut motif garis polos. Sikap tangan kanan lurus kaku ke bawah memegang lutut kaki kanan memakai gelang tangan (kankana) motif garis polos, sikap tangan kiri agak ditekuk dan telapak tangan memegang perut memakai gelang tangan (kankana) motif garis polos. 

2. Arca Dwarapala II

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran di atas lapik persegi dengan kaki kiri ditekuk ke atas. Bentuk muka bulat, dengan mata bulat besar melotot, alis tebal, hidung besar, bibir tebal, mulut terbuka memperlihatkan taring. Bagian kepala atas tidak ditumbuhi rambut (botak), bagian rambut tumbuh di bagian pinggir saja, dengan bentuk ikal dan panjang terurai di bagian punggung. Telinga kecil memakai hiasan telinga (simping) dan anting-anting (kundala) ceplok bunga dan ron ronan (daun). Berjenggot ikal panjang sampai ke bagian dada. sikap tangan kanan ditekuk dengan telapak tangan dikepal memakai gelang tangan (kankana) motif geometri garis dan bulatan polos. Sikap tangan kiri lurus dengan telapak tangan memegang lutut memakai gelang tangan (kankana) motif geometri garis dan bulatan polos. Perut buncit, memakai kain sepaha dan ikat pinggang bermotif geometri belah ketupat polos, bagian uncal diikatkan ke belakang pinggang.

3. Arca Macan 

Arca dipahat telungkup, seperti sedang tidur. Keempat kaki ditekuk ke depan,dengan ekor dikibaskan ke atas (bagian punggung), bentuk muka lonjong, mata bulat besar melotot, telinga lebar, hidung pesek, memakai kumis dan jenggot ikal, mulut lebar terbuka memperlihatkan gigi dan taring. Arca binatang ini merupakan salah satu wujud dari arca penjaga selain biasanya menggunakan wujud raksasa sebagai arca penjaga.

4. Arca Dwarapala III

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran dengan melipat kaki kanan di atas paha kaki kiri. Bentuk muka persegi, mata bulat besar, hidung besar pesek, bibir terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring, telinga besar dengan hiasan (simping) daun, rambut di pusung. Leher pendek, memakai upawita dari leher bersilangan di bagian depan arca ke bagian pinggang kanan dan kiri, memakai ikat perut polos. Sikap tangan kaku menempel di badan, tangan kanan mengarah ke depan dan bagian pergelangan tangan patah, tangan kiri menempel ke badan mengarah ke depan dan dikepalkan di depan dada. kedua tangan memakai gelang lengan (keyura) motif sulur, dan gelang tangan (kankana) polos. Sikap kaki duduk diatas batu seperti duduk diatas batu, pada bagian bawah perut terlihat kain (uncal) teruntai ke bawah sampai lapik dengan motif garis, tumpal segitiga terbalik dengan motif suluran. 

5. Arca Dwarapala IV 

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik segi empat dengan motif garis-garis geometris membentuk segitiga dan suluran daun tanpa sandaran. Bentuk muka persegi, mata bulat besar, hidung besar pesek, bibir terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring, telinga besar dengan hiasan (simping) daun, rambut di pusung. Leher pendek, memakai upawita dari leher bersilangan di bagian depan arca ke bagian pinggang kanan dan kiri, pada bagian upawita belakang terdapat motif tumpal, memakai ikat perut polos. Sikap tangan kaku menempel di badan, tangan kanan mengarah ke depan dengan membawa gada, tangan kiri menempel ke badan mengarah ke depan bagian pergelangan patah. kedua tangan memakai gelang lengan (keyura) motif tumpal, dan gelang tangan (kankana) polos. Sikap kaki seperti duduk diatas batu, dengan kaki kanan dinaikan di atas paha kiri, pada bagian bawah perut terlihat kain (uncal) teruntai ke bawah sampai lapik.

6. Arca Dwarapala V 

Arca dipahatkan bersimpuh di atas lapik persegi, mata bulat melotot, hidung besar, mulut terbuka bertaring, pada bagian kepala memakai jamang yang diikatkan sampai kebelakang kepala, rambut lurus dengan bagian ujung yang ikal. Memakai hiasan telinga (simping) yang lebar, memakai anting-anting, memakai kalung (hara) dengan motif sulur, tanpa busana. Sikap tangan kanan ditekuk menyilang didepan dada ke bahu kanan membawa kapak, tangan kiri ditekuk di sebelah badan mengarah ke depan dan bagian telapak tangan menempel pada lutut kaki kiri. Kedua tangan memakai gelang lengan dan gelang tangan dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos. Terlihat memakai kain dari pinggang di masukan ke belakang polos tanpa motif. Sikap kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kanan ditekuk kebelakang, dan kedua kaki menggunakan gelang dengan motif geometris garis polos susun tiga.

7. Arca Dwarapala VI

Arca dipahatkan duduk dengan melipat kaki ke depan dan ke belakang di atas lapik persegi. Bentuk muka bulat, mata bulat melotot, hidung besar, mulut terbuka bertaring, pada bagian kepala memakai jamang yang diikatkan sampai kebelakang kepala, rambut lurus dengan bagian ujung yang ikal. Memakai hiasan telinga (simping) yang lebar, memakai anting-anting, memakai kalung (hara) dengan motif sulur, tanpa busana. Sikap tangan kanan ditekuk ke atas dengan membawa gada menempel di kepala tanpa motif (polos), tangan kiri ditekuk di sebelah badan mengarah ke depan dan bagian telapak tangan menempel pada lutut kaki kiri. Kedua tangan memakai gelang lengan dan gelang tangan dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos. Terlihat memakai kain dari pinggang di masukan ke belakang polos tanpa motif. Sikap kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kanan ditekuk kebelakang, dan kedua kaki menggunakan gelang dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos.

8. Fragmen Arca Terakota

Fragmen arca  ini merupakan bagian kepala arca terakota, terlihat bentuk muka persegi, alis tebal, mata bulat, hidung mancung, bibir tebal terbuka memperlihatkan gigi, berkumis. Bagian rambut nampaknya diikat menjadi satu (dipusung) pada bagian tengah kepala, terdapat hiasan bintang bersudut empat di kening, kedua telinga patah. Saat ini bagian kepala ini ditempel dengan semen pada sebuah batu andesit dan diletakkan di areal kebun dekat sumur di sisi timur. 

9. Arca Tokoh 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi tanpa sandaran. Bentuk kepala bulat lonjong, dengan rambut jambul pada bagian depan, mata bulat melotot, hidung pesek, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar (terlihat seperti tertawa mengejek). Telinga panjang sampai ke bahu, sikap tangan kanan memegang kepala belakang, sikap tangan kiri memegang perut, tanpa menggunakan busana (telanjang), perut buncit, memperlihatkan kemaluan (palus). Tipe arca seperti ini berkembang periode abad ke 19 (modern), hanya saja dengan sifat arca yang memperlihatkan kemaluan seperti ini merupakan tipe-tipe arca yang sudah ada dan berkembang pada periode sebelumnya seperti pada masa-masa prasejarah, dan masa Bali Pertengahan abad 15 masehi. Sikap menunjukan kemaluan ini merupakan simbol dari penolak bala (bencana/bahaya), yang biasanya dimunculkan pada arca-arca penjaga (dwarapala), ada juga sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran.

1. Arca Dwarapala I

Arca dipahatkan duduk kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos tanpa sandaran (stela). Bentuk muka bulat, mata besar melotot, alis tebal, hidung besar, bibir tebal terbuka memperlihatkan taring, telinga lebar memakai simping dan anting-anting berbentuk bunga. Bentuk rambut ikal dipusung tiga, dan sisanya terurai di belakang sampai punggung. Memakai kalung (hara) motif garis polos, perut buncit, memakai ikat perut motif garis polos. Sikap tangan kanan lurus kaku ke bawah memegang lutut kaki kanan memakai gelang tangan (kankana) motif garis polos, sikap tangan kiri agak ditekuk dan telapak tangan memegang perut memakai gelang tangan (kankana) motif garis polos. 

1. Arca Dwarapala I

Arca dipahatkan duduk kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos tanpa sandaran (stela). Bentuk muka bulat, mata besar melotot, alis tebal, hidung besar, bibir tebal terbuka memperlihatkan taring, telinga lebar memakai simping dan anting-anting berbentuk bunga. Bentuk rambut ikal dipusung tiga, dan sisanya terurai di belakang sampai punggung. Memakai kalung (hara) motif garis polos, perut buncit, memakai ikat perut motif garis polos. Sikap tangan kanan lurus kaku ke bawah memegang lutut kaki kanan memakai gelang tangan (kankana) motif garis polos, sikap tangan kiri agak ditekuk dan telapak tangan memegang perut memakai gelang tangan (kankana) motif garis polos. 

2. Arca Dwarapala II

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran di atas lapik persegi dengan kaki kiri ditekuk ke atas. Bentuk muka bulat, dengan mata bulat besar melotot, alis tebal, hidung besar, bibir tebal, mulut terbuka memperlihatkan taring. Bagian kepala atas tidak ditumbuhi rambut (botak), bagian rambut tumbuh di bagian pinggir saja, dengan bentuk ikal dan panjang terurai di bagian punggung. Telinga kecil memakai hiasan telinga (simping) dan anting-anting (kundala) ceplok bunga dan ron ronan (daun). Berjenggot ikal panjang sampai ke bagian dada. sikap tangan kanan ditekuk dengan telapak tangan dikepal memakai gelang tangan (kankana) motif geometri garis dan bulatan polos. Sikap tangan kiri lurus dengan telapak tangan memegang lutut memakai gelang tangan (kankana) motif geometri garis dan bulatan polos. Perut buncit, memakai kain sepaha dan ikat pinggang bermotif geometri belah ketupat polos, bagian uncal diikatkan ke belakang pinggang.

2. Arca Dwarapala II

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran di atas lapik persegi dengan kaki kiri ditekuk ke atas. Bentuk muka bulat, dengan mata bulat besar melotot, alis tebal, hidung besar, bibir tebal, mulut terbuka memperlihatkan taring. Bagian kepala atas tidak ditumbuhi rambut (botak), bagian rambut tumbuh di bagian pinggir saja, dengan bentuk ikal dan panjang terurai di bagian punggung. Telinga kecil memakai hiasan telinga (simping) dan anting-anting (kundala) ceplok bunga dan ron ronan (daun). Berjenggot ikal panjang sampai ke bagian dada. sikap tangan kanan ditekuk dengan telapak tangan dikepal memakai gelang tangan (kankana) motif geometri garis dan bulatan polos. Sikap tangan kiri lurus dengan telapak tangan memegang lutut memakai gelang tangan (kankana) motif geometri garis dan bulatan polos. Perut buncit, memakai kain sepaha dan ikat pinggang bermotif geometri belah ketupat polos, bagian uncal diikatkan ke belakang pinggang.

3. Arca Macan 

Arca dipahat telungkup, seperti sedang tidur. Keempat kaki ditekuk ke depan,dengan ekor dikibaskan ke atas (bagian punggung), bentuk muka lonjong, mata bulat besar melotot, telinga lebar, hidung pesek, memakai kumis dan jenggot ikal, mulut lebar terbuka memperlihatkan gigi dan taring. Arca binatang ini merupakan salah satu wujud dari arca penjaga selain biasanya menggunakan wujud raksasa sebagai arca penjaga.

3. Arca Macan 

Arca dipahat telungkup, seperti sedang tidur. Keempat kaki ditekuk ke depan,dengan ekor dikibaskan ke atas (bagian punggung), bentuk muka lonjong, mata bulat besar melotot, telinga lebar, hidung pesek, memakai kumis dan jenggot ikal, mulut lebar terbuka memperlihatkan gigi dan taring. Arca binatang ini merupakan salah satu wujud dari arca penjaga selain biasanya menggunakan wujud raksasa sebagai arca penjaga.

4. Arca Dwarapala III

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran dengan melipat kaki kanan di atas paha kaki kiri. Bentuk muka persegi, mata bulat besar, hidung besar pesek, bibir terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring, telinga besar dengan hiasan (simping) daun, rambut di pusung. Leher pendek, memakai upawita dari leher bersilangan di bagian depan arca ke bagian pinggang kanan dan kiri, memakai ikat perut polos. Sikap tangan kaku menempel di badan, tangan kanan mengarah ke depan dan bagian pergelangan tangan patah, tangan kiri menempel ke badan mengarah ke depan dan dikepalkan di depan dada. kedua tangan memakai gelang lengan (keyura) motif sulur, dan gelang tangan (kankana) polos. Sikap kaki duduk diatas batu seperti duduk diatas batu, pada bagian bawah perut terlihat kain (uncal) teruntai ke bawah sampai lapik dengan motif garis, tumpal segitiga terbalik dengan motif suluran. 

4. Arca Dwarapala III

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran dengan melipat kaki kanan di atas paha kaki kiri. Bentuk muka persegi, mata bulat besar, hidung besar pesek, bibir terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring, telinga besar dengan hiasan (simping) daun, rambut di pusung. Leher pendek, memakai upawita dari leher bersilangan di bagian depan arca ke bagian pinggang kanan dan kiri, memakai ikat perut polos. Sikap tangan kaku menempel di badan, tangan kanan mengarah ke depan dan bagian pergelangan tangan patah, tangan kiri menempel ke badan mengarah ke depan dan dikepalkan di depan dada. kedua tangan memakai gelang lengan (keyura) motif sulur, dan gelang tangan (kankana) polos. Sikap kaki duduk diatas batu seperti duduk diatas batu, pada bagian bawah perut terlihat kain (uncal) teruntai ke bawah sampai lapik dengan motif garis, tumpal segitiga terbalik dengan motif suluran. 

5. Arca Dwarapala IV 

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik segi empat dengan motif garis-garis geometris membentuk segitiga dan suluran daun tanpa sandaran. Bentuk muka persegi, mata bulat besar, hidung besar pesek, bibir terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring, telinga besar dengan hiasan (simping) daun, rambut di pusung. Leher pendek, memakai upawita dari leher bersilangan di bagian depan arca ke bagian pinggang kanan dan kiri, pada bagian upawita belakang terdapat motif tumpal, memakai ikat perut polos. Sikap tangan kaku menempel di badan, tangan kanan mengarah ke depan dengan membawa gada, tangan kiri menempel ke badan mengarah ke depan bagian pergelangan patah. kedua tangan memakai gelang lengan (keyura) motif tumpal, dan gelang tangan (kankana) polos. Sikap kaki seperti duduk diatas batu, dengan kaki kanan dinaikan di atas paha kiri, pada bagian bawah perut terlihat kain (uncal) teruntai ke bawah sampai lapik.

5. Arca Dwarapala IV 

Arca dipahatkan duduk tanpa sandaran dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik segi empat dengan motif garis-garis geometris membentuk segitiga dan suluran daun tanpa sandaran. Bentuk muka persegi, mata bulat besar, hidung besar pesek, bibir terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring, telinga besar dengan hiasan (simping) daun, rambut di pusung. Leher pendek, memakai upawita dari leher bersilangan di bagian depan arca ke bagian pinggang kanan dan kiri, pada bagian upawita belakang terdapat motif tumpal, memakai ikat perut polos. Sikap tangan kaku menempel di badan, tangan kanan mengarah ke depan dengan membawa gada, tangan kiri menempel ke badan mengarah ke depan bagian pergelangan patah. kedua tangan memakai gelang lengan (keyura) motif tumpal, dan gelang tangan (kankana) polos. Sikap kaki seperti duduk diatas batu, dengan kaki kanan dinaikan di atas paha kiri, pada bagian bawah perut terlihat kain (uncal) teruntai ke bawah sampai lapik.

6. Arca Dwarapala V 

Arca dipahatkan bersimpuh di atas lapik persegi, mata bulat melotot, hidung besar, mulut terbuka bertaring, pada bagian kepala memakai jamang yang diikatkan sampai kebelakang kepala, rambut lurus dengan bagian ujung yang ikal. Memakai hiasan telinga (simping) yang lebar, memakai anting-anting, memakai kalung (hara) dengan motif sulur, tanpa busana. Sikap tangan kanan ditekuk menyilang didepan dada ke bahu kanan membawa kapak, tangan kiri ditekuk di sebelah badan mengarah ke depan dan bagian telapak tangan menempel pada lutut kaki kiri. Kedua tangan memakai gelang lengan dan gelang tangan dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos. Terlihat memakai kain dari pinggang di masukan ke belakang polos tanpa motif. Sikap kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kanan ditekuk kebelakang, dan kedua kaki menggunakan gelang dengan motif geometris garis polos susun tiga.

6. Arca Dwarapala V 

Arca dipahatkan bersimpuh di atas lapik persegi, mata bulat melotot, hidung besar, mulut terbuka bertaring, pada bagian kepala memakai jamang yang diikatkan sampai kebelakang kepala, rambut lurus dengan bagian ujung yang ikal. Memakai hiasan telinga (simping) yang lebar, memakai anting-anting, memakai kalung (hara) dengan motif sulur, tanpa busana. Sikap tangan kanan ditekuk menyilang didepan dada ke bahu kanan membawa kapak, tangan kiri ditekuk di sebelah badan mengarah ke depan dan bagian telapak tangan menempel pada lutut kaki kiri. Kedua tangan memakai gelang lengan dan gelang tangan dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos. Terlihat memakai kain dari pinggang di masukan ke belakang polos tanpa motif. Sikap kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kanan ditekuk kebelakang, dan kedua kaki menggunakan gelang dengan motif geometris garis polos susun tiga.

7. Arca Dwarapala VI

Arca dipahatkan duduk dengan melipat kaki ke depan dan ke belakang di atas lapik persegi. Bentuk muka bulat, mata bulat melotot, hidung besar, mulut terbuka bertaring, pada bagian kepala memakai jamang yang diikatkan sampai kebelakang kepala, rambut lurus dengan bagian ujung yang ikal. Memakai hiasan telinga (simping) yang lebar, memakai anting-anting, memakai kalung (hara) dengan motif sulur, tanpa busana. Sikap tangan kanan ditekuk ke atas dengan membawa gada menempel di kepala tanpa motif (polos), tangan kiri ditekuk di sebelah badan mengarah ke depan dan bagian telapak tangan menempel pada lutut kaki kiri. Kedua tangan memakai gelang lengan dan gelang tangan dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos. Terlihat memakai kain dari pinggang di masukan ke belakang polos tanpa motif. Sikap kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kanan ditekuk kebelakang, dan kedua kaki menggunakan gelang dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos.

7. Arca Dwarapala VI

Arca dipahatkan duduk dengan melipat kaki ke depan dan ke belakang di atas lapik persegi. Bentuk muka bulat, mata bulat melotot, hidung besar, mulut terbuka bertaring, pada bagian kepala memakai jamang yang diikatkan sampai kebelakang kepala, rambut lurus dengan bagian ujung yang ikal. Memakai hiasan telinga (simping) yang lebar, memakai anting-anting, memakai kalung (hara) dengan motif sulur, tanpa busana. Sikap tangan kanan ditekuk ke atas dengan membawa gada menempel di kepala tanpa motif (polos), tangan kiri ditekuk di sebelah badan mengarah ke depan dan bagian telapak tangan menempel pada lutut kaki kiri. Kedua tangan memakai gelang lengan dan gelang tangan dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos. Terlihat memakai kain dari pinggang di masukan ke belakang polos tanpa motif. Sikap kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kanan ditekuk kebelakang, dan kedua kaki menggunakan gelang dengan motif geometris garis polos dan segitiga polos.

8. Fragmen Arca Terakota

Fragmen arca  ini merupakan bagian kepala arca terakota, terlihat bentuk muka persegi, alis tebal, mata bulat, hidung mancung, bibir tebal terbuka memperlihatkan gigi, berkumis. Bagian rambut nampaknya diikat menjadi satu (dipusung) pada bagian tengah kepala, terdapat hiasan bintang bersudut empat di kening, kedua telinga patah. Saat ini bagian kepala ini ditempel dengan semen pada sebuah batu andesit dan diletakkan di areal kebun dekat sumur di sisi timur. 

8. Fragmen Arca Terakota

Fragmen arca  ini merupakan bagian kepala arca terakota, terlihat bentuk muka persegi, alis tebal, mata bulat, hidung mancung, bibir tebal terbuka memperlihatkan gigi, berkumis. Bagian rambut nampaknya diikat menjadi satu (dipusung) pada bagian tengah kepala, terdapat hiasan bintang bersudut empat di kening, kedua telinga patah. Saat ini bagian kepala ini ditempel dengan semen pada sebuah batu andesit dan diletakkan di areal kebun dekat sumur di sisi timur. 

9. Arca Tokoh 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi tanpa sandaran. Bentuk kepala bulat lonjong, dengan rambut jambul pada bagian depan, mata bulat melotot, hidung pesek, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar (terlihat seperti tertawa mengejek). Telinga panjang sampai ke bahu, sikap tangan kanan memegang kepala belakang, sikap tangan kiri memegang perut, tanpa menggunakan busana (telanjang), perut buncit, memperlihatkan kemaluan (palus). Tipe arca seperti ini berkembang periode abad ke 19 (modern), hanya saja dengan sifat arca yang memperlihatkan kemaluan seperti ini merupakan tipe-tipe arca yang sudah ada dan berkembang pada periode sebelumnya seperti pada masa-masa prasejarah, dan masa Bali Pertengahan abad 15 masehi. Sikap menunjukan kemaluan ini merupakan simbol dari penolak bala (bencana/bahaya), yang biasanya dimunculkan pada arca-arca penjaga (dwarapala), ada juga sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran.

9. Arca Tokoh 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi tanpa sandaran. Bentuk kepala bulat lonjong, dengan rambut jambul pada bagian depan, mata bulat melotot, hidung pesek, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar (terlihat seperti tertawa mengejek). Telinga panjang sampai ke bahu, sikap tangan kanan memegang kepala belakang, sikap tangan kiri memegang perut, tanpa menggunakan busana (telanjang), perut buncit, memperlihatkan kemaluan (palus). Tipe arca seperti ini berkembang periode abad ke 19 (modern), hanya saja dengan sifat arca yang memperlihatkan kemaluan seperti ini merupakan tipe-tipe arca yang sudah ada dan berkembang pada periode sebelumnya seperti pada masa-masa prasejarah, dan masa Bali Pertengahan abad 15 masehi. Sikap menunjukan kemaluan ini merupakan simbol dari penolak bala (bencana/bahaya), yang biasanya dimunculkan pada arca-arca penjaga (dwarapala), ada juga sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran.

Pura Puseh Desa lan Bale Agung Tonja

Pura Puseh Desa lan Bale Agung merupakan Pura Khayangan Tiga di Desa Adat Tonja, secara etimologi Khayangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu khayangan dan tiga. Khayangan berasal dari kata yang berarti suci mendapatkan awalan ka dan akhiran an yang menunjukan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau Pura Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Fungsi Pura Desa adalah tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta, Pura Puseh adalah tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara alam semesta, dan Pura Dalem adalah tempat memuja Dewa Siwa serta sakti dengan fungsi sebagai pelebur alam semesta. Piodalan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dilaksanakan pada hari Purnama Sasih Kasa.

Pura Puseh Desa lan Bale Agung Tonja secara administratif terletak di Jl. Seroja, Gang Tunas Mekar, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis berada pada titik koordinat geografis 50 L 03605209, 9045475 UTM, 66 Mdpl. Struktur pura ini terdiri dari dua halaman, yaitu halaman jeroan dan jaba tengah, sedangkan halaman yang paling luar, yaitu jaba sisi merupakan halaman terbuka. Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta atau makrokosmos (bhuwana agung). Jaba sisi melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, jaba tengah melambangkan bwahloka yaitu alam pitra atau roh, alam peralihan, sedangkan Jeroan melambangkan swah loka alam para dewa atau dunia baka. 

 1. Gedong Ratu Gede Desa

Gedong Ratu Gede Desa merupakan bangunan suci yang diperuntukkan atau tempat berstananya manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Brahma sebagai sang pencipta alam semesta, terbuat dari susunan batu bata dengan kombinasi batu padas, tiang terbuat dari kayu dan atap mempergunakan bahan ijuk.  Tiang penyangga dan ornamen lainnya yang terbuat dari kayu diberikan pewarna berupa prada emas, dan warna biru. Pada bagian atas dari pintu dihiasi dengan karang boma. Bangunan gedong terdiri dari bagian bebaturan, kaki, badan, dan atap. Terlihat bentuk bangunan tambun tanpa ornamen (polos) pada bagian badan sehingga terkesan sederhana. Selasar Gedong Ratu Gede Desa sisi depan diletakkan 3 Arca Ganesha dan 1 Arca Dewi Durga.

2. Arca Ganesha I

Arca dipahatkan duduk wirasana di atas lapik segi polos, bersandar pada stella berbentuk lingkaran, menggunakan mahkota jatamakuta berupa jalinan rambut menyerupai mahkota dengan ikatan ardha candra kapala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan ciri khas dari keluarga Siwa. Terlihat prabha sinar kedewataan yang polos di belakang mahkota. Telinga lebar, mata bulat kecil, terdapat dua gading pada mulut, gading sebelah kanan patah dan yang sebelah kiri utuh. Terlihat belalai menjuntai ke arah kiri dengan ujungnya menyentuh mangkok. Memiliki empat tangan, dua tangan belakang muncul dari siku dan masing-masing membawa atribut dewa, tangan kanan membawa parasu, tangan kiri membawa bunga padma. Dua tangan depan masing-masing membawa atribut padma mekar dan tangan kiri depan membawa patra lengkap isinya.

3. Arca Dewi Durga 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi polos lengkap dengan sandaran (stela), bibir tipis tersenyum, memakai mahkota rambut yang dipusung (jata makuta) dengan hiasan ardhacandra kapala (tengkorak bulan sabit), memakai jamang dengan motif ceplok bunga, terdapat prabha (sinar kedewataan) di belakang kepala. Arca Dewi Durga bertangan delapan,  masing-masing membawa atribut dewa, dimulai dari tangan kiri depan dengan sikap ditekuk mengarah ke depan perut bagian telapak tangan aus, tangan kedua membawa camara (pengusir lalat), tangan ketiga membawa perisai, tangan keempat membawa busur. Sikap tangan kanan depan lurus ke bawah memegang pedang, tangan kedua memegang cakra, tangan ketiga memegang trisula, tangan keempat memegang anak panah. Kedua tangan depan memakai gelang tangan keyura motif ceplok bunga. Keenam tangan lainnya muncul dari bagian siku, seperti tangan bayangan tanpa lengan.

4. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan Bhatari dipahatkan berdiri samabhanga diatas lapik persegi polos. Bentuk tubuh ramping, terlihat memakai memakai mahkota tetapi aus, telinga memakai kundala sebatas bahu dengan simping menempel pada stella. Arca memakai kain dari pinggang sampai pergelangan kaki bersusun tiga, didepan kain terdapat uncal dan disamping kanan kiri pinggang terdapat sampur menjulur ke bawah sampai dilapik.  

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

6. Arca Ganesha III

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat bermotif padma ganda, bagian wajah arca sudah rusak, terlihat dua gading pada mulut dengan kondisi aus, belalai menjulur ke arah kiri menyentuh mangkuk di atas telapak tangan kiri, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih).

7. Arca – arca di Pelinggih Ratu Panji

Pelinggih Ratu Panji terletak di sebelah selatan Gedong Ratu Gede Desa. Bentuk pelinggih ini berupa bebaturan persegi dengan bahan beton. Pelinggih ini menyimpan banyak fragmen-fragmen arca yang sudah rusak, seperti arca perwujudan bhatara – bhatari bagian kaki ataupun kepalanya saja, ada juga fragmen arca Siwa Mahaguru dengan ciri jenggot dan mahkota jatamakuta, ada juga dua arca perwujudan membawa ayam, dan fragmen kemuncak bangunan. Jika dilihat dari ciri-ciri ikonografinya, arca-arca ini berasal dari abad XI – XV Masehi.

8. Arca di Pelinggih Ratu Ayu Mas Maketel

Arca juga ditemukan di Pura Ratu Biang Susunan yang masih satu arel dengan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dan masih memiliki kaitan yang erat. Arca dipahatkan sangat sederhana, mengingatkan kita pada arca-arca primitif dari zaman prasejarah. Arca  dipahatkan duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu di atas lapik persegi polos, tangan seperti sujud di depan dada, bentuk muka bulat, mata besar terbuka, hidung pesek, bibir tebal dengan rambut terurai di belakang. Tipe-tipe arca seperti ini biasanya disebut dengan tipe arca Polinesia yang merupakan produksi dari zaman prasejarah pada masa perundagian tradisi megalitik. Namun untuk perkembangan selanjutnya tipe-tipe arca ini muncul kembali pada masa Bali Pertengahan di Bali dan cenderung berkembang pada saat pengaruh Majapahit di Bali sekitar abad XIV – XVII Masehi, atau pada daerah-daerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan (kerajaan). Arca ini merupakan sebuah simbol atau perwujudan dari roh nenek moyang atau seorang tokoh yang dihormati semasa hidupnya, yang telah mencapai alam roh.

9. Arca di Pelinggih Meru Ratu Puseh

Pelinggih Meru Ratu Puseh terletak di sisi utara, ditemukan sebuah arca duduk bersimpuh di atas lapik persegi polos, kepala arca sudah patah hilang, bagian siku kanan patah dengan sikap tangan ditekuk ditaruh di atas paha, tangan kiri lurus ke depan dengan telapak tangan ditaruh diatas paha.

1. Gedong Ratu Gede Desa

Gedong Ratu Gede Desa merupakan bangunan suci yang diperuntukkan atau tempat berstananya manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Brahma sebagai sang pencipta alam semesta, terbuat dari susunan batu bata dengan kombinasi batu padas, tiang terbuat dari kayu dan atap mempergunakan bahan ijuk.  Tiang penyangga dan ornamen lainnya yang terbuat dari kayu diberikan pewarna berupa prada emas, dan warna biru. Pada bagian atas dari pintu dihiasi dengan karang boma. Bangunan gedong terdiri dari bagian bebaturan, kaki, badan, dan atap. Terlihat bentuk bangunan tambun tanpa ornamen (polos) pada bagian badan sehingga terkesan sederhana. Selasar Gedong Ratu Gede Desa sisi depan diletakkan 3 Arca Ganesha dan 1 Arca Dewi Durga.

 2. Arca Ganesha I

Arca dipahatkan duduk wirasana di atas lapik segi polos, bersandar pada stella berbentuk lingkaran, menggunakan mahkota jatamakuta berupa jalinan rambut menyerupai mahkota dengan ikatan ardha candra kapala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan ciri khas dari keluarga Siwa. Terlihat prabha sinar kedewataan yang polos di belakang mahkota. Telinga lebar, mata bulat kecil, terdapat dua gading pada mulut, gading sebelah kanan patah dan yang sebelah kiri utuh. Terlihat belalai menjuntai ke arah kiri dengan ujungnya menyentuh mangkok. Memiliki empat tangan, dua tangan belakang muncul dari siku dan masing-masing membawa atribut dewa, tangan kanan membawa parasu, tangan kiri membawa bunga padma. Dua tangan depan masing-masing membawa atribut padma mekar dan tangan kiri depan membawa patra lengkap isinya.

3. Arca Dewi Durga 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi polos lengkap dengan sandaran (stela), bibir tipis tersenyum, memakai mahkota rambut yang dipusung (jata makuta) dengan hiasan ardhacandra kapala (tengkorak bulan sabit), memakai jamang dengan motif ceplok bunga, terdapat prabha (sinar kedewataan) di belakang kepala. Arca Dewi Durga bertangan delapan,  masing-masing membawa atribut dewa, dimulai dari tangan kiri depan dengan sikap ditekuk mengarah ke depan perut bagian telapak tangan aus, tangan kedua membawa camara (pengusir lalat), tangan ketiga membawa perisai, tangan keempat membawa busur. Sikap tangan kanan depan lurus ke bawah memegang pedang, tangan kedua memegang cakra, tangan ketiga memegang trisula, tangan keempat memegang anak panah. Kedua tangan depan memakai gelang tangan keyura motif ceplok bunga. Keenam tangan lainnya muncul dari bagian siku, seperti tangan bayangan tanpa lengan.

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

6. Arca Ganesha III

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat bermotif padma ganda, bagian wajah arca sudah rusak, terlihat dua gading pada mulut dengan kondisi aus, belalai menjulur ke arah kiri menyentuh mangkuk di atas telapak tangan kiri, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih).

7. Arca – arca di Pelinggih Ratu Panji

Pelinggih Ratu Panji terletak di sebelah selatan Gedong Ratu Gede Desa. Bentuk pelinggih ini berupa bebaturan persegi dengan bahan beton. Pelinggih ini menyimpan banyak fragmen-fragmen arca yang sudah rusak, seperti arca perwujudan bhatara – bhatari bagian kaki ataupun kepalanya saja, ada juga fragmen arca Siwa Mahaguru dengan ciri jenggot dan mahkota jatamakuta, ada juga dua arca perwujudan membawa ayam, dan fragmen kemuncak bangunan. Jika dilihat dari ciri-ciri ikonografinya, arca-arca ini berasal dari abad XI – XV Masehi.

8. Arca di Pelinggih Ratu Ayu Mas Maketel

Arca juga ditemukan di Pura Ratu Biang Susunan yang masih satu arel dengan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dan masih memiliki kaitan yang erat. Arca dipahatkan sangat sederhana, mengingatkan kita pada arca-arca primitif dari zaman prasejarah. Arca  dipahatkan duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu di atas lapik persegi polos, tangan seperti sujud di depan dada, bentuk muka bulat, mata besar terbuka, hidung pesek, bibir tebal dengan rambut terurai di belakang. Tipe-tipe arca seperti ini biasanya disebut dengan tipe arca Polinesia yang merupakan produksi dari zaman prasejarah pada masa perundagian tradisi megalitik. Namun untuk perkembangan selanjutnya tipe-tipe arca ini muncul kembali pada masa Bali Pertengahan di Bali dan cenderung berkembang pada saat pengaruh Majapahit di Bali sekitar abad XIV – XVII Masehi, atau pada daerah-daerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan (kerajaan). Arca ini merupakan sebuah simbol atau perwujudan dari roh nenek moyang atau seorang tokoh yang dihormati semasa hidupnya, yang telah mencapai alam roh.

9. Arca di Pelinggih Meru Ratu Puseh

Pelinggih Meru Ratu Puseh terletak di sisi utara, ditemukan sebuah arca duduk bersimpuh di atas lapik persegi polos, kepala arca sudah patah hilang, bagian siku kanan patah dengan sikap tangan ditekuk ditaruh di atas paha, tangan kiri lurus ke depan dengan telapak tangan ditaruh diatas paha.

 1. Gedong Ratu Gede Desa

Gedong Ratu Gede Desa merupakan bangunan suci yang diperuntukkan atau tempat berstananya manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Brahma sebagai sang pencipta alam semesta, terbuat dari susunan batu bata dengan kombinasi batu padas, tiang terbuat dari kayu dan atap mempergunakan bahan ijuk.  Tiang penyangga dan ornamen lainnya yang terbuat dari kayu diberikan pewarna berupa prada emas, dan warna biru. Pada bagian atas dari pintu dihiasi dengan karang boma. Bangunan gedong terdiri dari bagian bebaturan, kaki, badan, dan atap. Terlihat bentuk bangunan tambun tanpa ornamen (polos) pada bagian badan sehingga terkesan sederhana. Selasar Gedong Ratu Gede Desa sisi depan diletakkan 3 Arca Ganesha dan 1 Arca Dewi Durga.

 2. Arca Ganesha I

Arca dipahatkan duduk wirasana di atas lapik segi polos, bersandar pada stella berbentuk lingkaran, menggunakan mahkota jatamakuta berupa jalinan rambut menyerupai mahkota dengan ikatan ardha candra kapala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan ciri khas dari keluarga Siwa. Terlihat prabha sinar kedewataan yang polos di belakang mahkota. Telinga lebar, mata bulat kecil, terdapat dua gading pada mulut, gading sebelah kanan patah dan yang sebelah kiri utuh. Terlihat belalai menjuntai ke arah kiri dengan ujungnya menyentuh mangkok. Memiliki empat tangan, dua tangan belakang muncul dari siku dan masing-masing membawa atribut dewa, tangan kanan membawa parasu, tangan kiri membawa bunga padma. Dua tangan depan masing-masing membawa atribut padma mekar dan tangan kiri depan membawa patra lengkap isinya.

3. Arca Dewi Durga 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi polos lengkap dengan sandaran (stela), bibir tipis tersenyum, memakai mahkota rambut yang dipusung (jata makuta) dengan hiasan ardhacandra kapala (tengkorak bulan sabit), memakai jamang dengan motif ceplok bunga, terdapat prabha (sinar kedewataan) di belakang kepala. Arca Dewi Durga bertangan delapan,  masing-masing membawa atribut dewa, dimulai dari tangan kiri depan dengan sikap ditekuk mengarah ke depan perut bagian telapak tangan aus, tangan kedua membawa camara (pengusir lalat), tangan ketiga membawa perisai, tangan keempat membawa busur. Sikap tangan kanan depan lurus ke bawah memegang pedang, tangan kedua memegang cakra, tangan ketiga memegang trisula, tangan keempat memegang anak panah. Kedua tangan depan memakai gelang tangan keyura motif ceplok bunga. Keenam tangan lainnya muncul dari bagian siku, seperti tangan bayangan tanpa lengan.

4. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan Bhatari dipahatkan berdiri samabhanga diatas lapik persegi polos. Bentuk tubuh ramping, terlihat memakai memakai mahkota tetapi aus, telinga memakai kundala sebatas bahu dengan simping menempel pada stella. Arca memakai kain dari pinggang sampai pergelangan kaki bersusun tiga, didepan kain terdapat uncal dan disamping kanan kiri pinggang terdapat sampur menjulur ke bawah sampai dilapik.  

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

6. Arca Ganesha III

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat bermotif padma ganda, bagian wajah arca sudah rusak, terlihat dua gading pada mulut dengan kondisi aus, belalai menjulur ke arah kiri menyentuh mangkuk di atas telapak tangan kiri, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih).

7. Arca – arca di Pelinggih Ratu Panji

Pelinggih Ratu Panji terletak di sebelah selatan Gedong Ratu Gede Desa. Bentuk pelinggih ini berupa bebaturan persegi dengan bahan beton. Pelinggih ini menyimpan banyak fragmen-fragmen arca yang sudah rusak, seperti arca perwujudan bhatara – bhatari bagian kaki ataupun kepalanya saja, ada juga fragmen arca Siwa Mahaguru dengan ciri jenggot dan mahkota jatamakuta, ada juga dua arca perwujudan membawa ayam, dan fragmen kemuncak bangunan. Jika dilihat dari ciri-ciri ikonografinya, arca-arca ini berasal dari abad XI – XV Masehi.

8. Arca di Pelinggih Ratu Ayu Mas Maketel

Arca juga ditemukan di Pura Ratu Biang Susunan yang masih satu arel dengan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dan masih memiliki kaitan yang erat. Arca dipahatkan sangat sederhana, mengingatkan kita pada arca-arca primitif dari zaman prasejarah. Arca  dipahatkan duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu di atas lapik persegi polos, tangan seperti sujud di depan dada, bentuk muka bulat, mata besar terbuka, hidung pesek, bibir tebal dengan rambut terurai di belakang. Tipe-tipe arca seperti ini biasanya disebut dengan tipe arca Polinesia yang merupakan produksi dari zaman prasejarah pada masa perundagian tradisi megalitik. Namun untuk perkembangan selanjutnya tipe-tipe arca ini muncul kembali pada masa Bali Pertengahan di Bali dan cenderung berkembang pada saat pengaruh Majapahit di Bali sekitar abad XIV – XVII Masehi, atau pada daerah-daerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan (kerajaan). Arca ini merupakan sebuah simbol atau perwujudan dari roh nenek moyang atau seorang tokoh yang dihormati semasa hidupnya, yang telah mencapai alam roh.

9. Arca di Pelinggih Meru Ratu Puseh

Pelinggih Meru Ratu Puseh terletak di sisi utara, ditemukan sebuah arca duduk bersimpuh di atas lapik persegi polos, kepala arca sudah patah hilang, bagian siku kanan patah dengan sikap tangan ditekuk ditaruh di atas paha, tangan kiri lurus ke depan dengan telapak tangan ditaruh diatas paha.

Sejarah Desa Tonja

Tonja merupakan sebuah wilayah desa yang terletak di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Sejarah lahirnya Desa Tonja muncul dalam Babad Dalem Batu Ireng yang diuraikan dalam Ilikita Desa Adat Tonja menyebutkan pada tahun Saka 1250 Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten dengan patih-patih hebatnya seperti Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan lain sebagainya. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang tidak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan Bali. Penundukan ini membuat membuat Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Astasura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke daerah Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, hingga dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya. Dalem Batu Ireng dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Karena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka Dalem Batu Ireng mampir ke Pura Desa adat Pagan. Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Ireng buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap mengganggu jalannya upacara, Dalem Batu Ireng disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya serta warga lainnya membuat Dalem Batu Ireng murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setelah diusir Dalem Batu Ireng kakinya tersandung (ketonjok) batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.

Uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Ireng kakinya ketonjok atau tersanjung batu, sehingga lama kelamaan menjadi Tonja

Tonja merupakan sebuah wilayah desa yang terletak di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Sejarah lahirnya Desa Tonja muncul dalam Babad Dalem Batu Ireng yang diuraikan dalam Ilikita Desa Adat Tonja menyebutkan pada tahun Saka 1250 Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten dengan patih-patih hebatnya seperti Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan lain sebagainya. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang tidak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan Bali. Penundukan ini membuat membuat Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Astasura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke daerah Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, hingga dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya. 

Dalem Batu Ireng dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Karena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka Dalem Batu Ireng mampir ke Pura Desa adat Pagan. Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Ireng buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap mengganggu jalannya upacara, Dalem Batu Ireng disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya serta warga lainnya membuat Dalem Batu Ireng murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setelah diusir Dalem Batu Ireng kakinya tersandung (ketonjok) batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.

Uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Ireng kakinya ketonjok atau tersanjung batu, sehingga lama kelamaan menjadi Tonja

Tonja merupakan sebuah wilayah desa yang terletak di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Sejarah lahirnya Desa Tonja muncul dalam Babad Dalem Batu Ireng yang diuraikan dalam Ilikita Desa Adat Tonja menyebutkan pada tahun Saka 1250 Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten dengan patih-patih hebatnya seperti Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan lain sebagainya. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang tidak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan Bali.

Penundukan ini membuat membuat Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Astasura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke daerah Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, hingga dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya. Dalem Batu Ireng dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Karena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka Dalem Batu Ireng mampir ke Pura Desa adat Pagan.

Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Ireng buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap mengganggu jalannya upacara, Dalem Batu Ireng disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya serta warga lainnya membuat Dalem Batu Ireng murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setelah diusir Dalem Batu Ireng kakinya tersandung (ketonjok) batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.

Uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Ireng kakinya ketonjok atau tersanjung batu, sehingga lama kelamaan menjadi Tonja

Pura Desa Peguyangan

Pura Desa Peguyangan terletak pada koordinat 50 L 0303433 UTM 9048711 (85 Meter dpl), merupakan tempat suci milik masyarakat Desa Adat Peguyangan, secara administratif terletak di Kecamatan Denpasar Utara. Latar belakang sejarah keberadaan Desa Adat Peguyangan dapat dipahami melalui isi Dresta Ilikita Desa Pakraman Peguyangan, yaitu ditemukan beberapa hal yang merujuk pada kesejarahan desa, seperti nama Desa Adat Peguyangan muncul berdasarkan kisah gajah Kyai Panji Sakti yang maguyang (berguling-guling) dan ditempat gajah tersebut maguyang disebut dengan peguyangan. Istilah peguyangan juga dikaitkan dengan isi prasasti tembaga di Pura Dalem Batan Celagi yang menyebutkan penyungsung  prasasti tersebut dianugerahi kebebasan membayar pajak, karena telah diberikan tanggung jawab menyungsung dan ngaci sam sat kahyangan yang berarti “yang menjaga tempat hyang”. Menjaga prahyangan tersebut harus pageh (kukuh/konsisten) yang kemudian kata pageh dan hyang tersebut menjadi cikal bakal nama peguyangan (Anonim, 2011: 1)

Mengenai prasasti yang ditemukan di Pura Dalem Batan Celagi (Prasasti Peguyangan) tersebut ditemukan hanya satu lempeng yaitu lembar ke-8 sisi A dan B dengan menggunakan aksara Bali Kuna (Kawi – Bali) dan bahasa Jawa Kuna. Prasasti Peguyangan ini dimasukkan kedalam kelompok prasasti-prasasti terbitan Raja Sri Haji Jayapangus kisaran tahun Śaka 1099 – 1103 (1177 -1181 Masehi) yang secara ringkas isinya menyebutkan nama desa Er Saling dan tentang pembebasan beberapa jenis pajak (drwi haji) karena desa tersebut dulunya merupakan jataka (daerah pengelola bangunan suci yang bebas dari sejumlah pajak dan kewajiban lainnya) pundut dyun Bhaṭāra di Burwan yang telah dijadikan sawah oleh penduduk desa. Mereka tidak diwajibkan membayar beberapa jenis iuran yang berkaitan dengan upacara, termasuk para pengantin baru tidak diwajibkan mempersembahkan pamapas kepada Sanghyang Candi di Burwan. Isi lainnya adalah tentang ketentuan atau ijin dalam beternak itik, memelihara asu tugel, pirung, dan bebas berpergian ke desa lain (Wiguna dkk, 2015: 19).

Ada sebuah asumsi bahwa sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah Desa Adat Peguyangan pernah berdiri bangunan candi kuno serupa dengan miniatur candi yang ditemukan di Pura Desa Peguyangan, Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. 

Pura Desa Peguyangan memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) menjadi satu dengan jaba sisi (nista mandala) Pura Bale Agung Peguyangan, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Pura Desa Peguyangan  menjadi satu kompleks dengan Pura Bale Agung, Pura Penyarikan, Pura Puseh, dan Pura Manik Tahun Peguyangan. Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dengan jaba tengah (madya mandala) dibatasi dengan gapura/paduraksa dan tembok keliling terbuat dari susunan batu bata, sedangkan jaba tengah (madya mandala) dengan nista mandala (halaman luar) dibatasi dengan candi bentar. Secara karakter pura ini memiliki karakter teritorial (kahyangan tiga) tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma beserta sakti dengan pengempon dan penyungsungnya adalah masyarakat Desa Adat Peguyangan. Upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Redite Wuku Sinta (Banyu Pinaruh).

 

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

 

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

12. Kemuncak Sudut Atap Candi III 

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan tujuh garis melingkar, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

12. Kemuncak Sudut Atap Candi III 

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan tujuh garis melingkar, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

 

Pura Kahyangan lan Dalem penataran Taman Pohmanis

Keberadaan pura ini tidak dapat terlepas dari keberadaan Jero Agung Pohmanis. Diceritakan, ketika I Dewa Karang yang diselamatkan oleh I Ngakan Kaleran saat terjadi penumpasan kekuasaan I Gusti Agung Maruti oleh I Dewa Jambe bersama Kyai Anglurah Singharsa, Kyai Anglurah Panji Sakti, Kyai Anglurah Macan Gading, I Dewa Paduhungan I Dewa Kereng, dan I Dewa Negara di Kerajaan Swecapura Gelgel – Klungkung. I Dewa Karang merupakan cucu dari I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumerta keturunan Dalem Sagening dari istri penawing. I Dewa Karang ketika dilarikan ke Denbukit (Buleleng) diiringi oleh parekan dan panginte. Sesampainya di Denbukit I Dewa Karang dititipkan kepada pedagang (panghalu) dari Bun Badung. Pedagang dari Bun (panghalu Bun) tersebut kemudian memasukkan anak kecil tersebut ke dalam keranjang dagangannya (katung/kalesan) dan dibawa pulang ke wilayah Bun Badung (Kertha dkk, 2001 dalam Basudewa, 2017: 74-76). 

Wilayah Bun merupakan perbatasan utara Kerajaan Badung yang ketika itu dipimpin oleh seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija. Masyarakat Bun berkumpul di Bencingah mendengar kabar bahwa putra I Dewa Agung Karang di Klungkung telah hilang bersama parekan dan panginten nya. Mendengar kabar itu panghalu Bun menceritakan bahwa telah menerima anak kecil di Denbukit ketika berdagang, kemudian I Gusti Ngurah Bija bergegas untuk menghadap I Dewa Agung di Klungkung untuk memastikan keberadaan anak kecil tersebut, dan memohon jika benar itu adalah putra dalem agar dapat dibesarkan di Bun. Mendengar permintaan membuat I Dewa Agung di Klungkung merasa senang dan membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah I Dewa Karang putra I Dewa Agung Karang. Ia pun mengizinkan I Dewa Karang dibesarkan di wilayah Bun dengan serta diberikan panjak sebanyak 400 orang. I Dewa Karang setelah besar di wilayah Bun dikenal dengan nama I Dewa Kalesan, karena ketika dibawa dari Denbukit oleh panghalu Bun dimasukkan pada keranjang (kalesan) dagangannya.

Cerita hilangnya I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) menyebar ke berbagai wilayah hingga terdengar di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. I Gusti Jambe Pule menginginkan agar I Gusti Ngurah Bija menyerahkan I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) ke Badung karena akan diberikan tempat untuk berkuasa di wilayah perbatasan timur Kerajaan Badung, yaitu di wilayah Taak dengan diberikan pengiring panjak sebanyak 1000 orang. I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) setelah berkuasa di wilayah Taak kemudian bergelar abhiseka I Dewa Gde Sukahet dengan menempati Puri Agung Batubulan. I Dewa Gde Pameregan sebagai generasi ke-II penerus I Dewa Gde Sukahet memiliki Sembilan putra yaitu I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh I Dewa Gde Rai, tetapi terjadi pemberontakan yang dilakukan  oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang bekerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Puri Gianyar sehingga berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk naik tahta tetapi tidak memiliki putra keturunan, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar).

Melihat prilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi. 

Keadaan ketika itu sangat kacau dan banyak putra-putra raja pergi meninggalkan Puri Batubulan karena merasa kecewa dengan keadaan puri. I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Nyoman Badung mengungsi menuju wilayah Badung menemui Raja Badung untuk menceritakan keadaan di Batubulan. I Dewa Nyoman Badung diiringi panjak pengiring para warga-wargi soroh pungakan Banjar Kalah Batubulan seperti I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda, sedangkan panjak pengiring dari Sumerta seperti I Dawa beserta dengan anaknya bernama I Pinrih dan I Malang, I Silur beserta dengan anaknya bernama Nyoman Del dan I Medil, I Bagus Pengunteran juga dengan anak-anaknya seperti Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Panjak pengiring I Dewa Wayan Muntur hanya berdua yaitu I Gulingan dan I Mandesa (Kertha dkk, 2001: 20-21). 

Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande membangun, dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanis/pomanis (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22).

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande bersama pengikutnya di pemanis mampu meredam invasi militer Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanis semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemamis sebagai benteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu.

Mengenai Pura Kahyangan lan Dalem Penataran dari beberapa keterangan penglingsir dikatakan bahwa Pura Kahyangan dibangun lebih dahulu karena berdampingan dan berhubungan dengan setra (kuburan). Beberapa tahun kemudian barulah di utama mandala (jeroan) di bangunan Pura Dalem Penataran. Struktur Pura Dalem Penataran menandakan bahwa pura ini selain sebagai Pura Kahyangan Tiga pada awalnya dikatakan sebagai pendharmaan (kawitan) keluarga Jero Agung Pohmanis dan pengiring (panjak tatadan) seperti Karang Buncing, Kalah, dan Pasek yang dibuktikan dengan adanya meru tumpang tiga, selanjutnya masyarakat yang datang belakangan ke wilayah pemanis (pohmanis) ini ikut manyungsung serta mengempon pura ditandai dengan dibangunnya tujuh Pelinggih Sanak seperti Pelinggih Sanak Pande, Senggehu, Pasek Bendesa, Bendesa Manik Mas, dan dua Pelinggih Sanak Pasek.

Pura Kahyangan lan Dalem Penataran memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala),  jaba tengah (madya mandala), jeroan (utama mandala). Pura Kahyangan terletak di madya mandala ditandai dengan adanya Palinggih Gedong Kahyangan dan Pura Dalem Penataran terletak di utama mandala ditandai dengan adanya Palinggih Gedong Dalem. Pura Dalem Penataran Taman Pohmanis ini memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa beserta sakti, selain itu dapat dikatakan memiliki karakter geneologis (keluarga) dengan bukti adanya Pelinggih Meru Tumpang Telu dan tujuh buah Palinggih Sanak dari berbagai klan masyarakat di Desa Adat Taman Pohmanis. Pura Penataran sering dikaitkan dengan pura yang dimiliki raja/penguasa dan dapat juga berarti semua klan/soroh dapat melakukan pemujaan disana. Berkenaan dengan Pengertian Milik raja/penguasa dapat dilihat berdasarkan penamaan pratima dan struktur palinggih yang berkaitan dengan jabatan dalam sebuah kerajaan seperti Ratu Dalem (raja), Ratu Kahyangan (ibu/sakti/istri), Ida Bhatara Alit (putra raja/dalem), Pamayun Agung (wakil raja), Panyarikan (sekretaris), Panglurah (pembantu raja/patih), Sedahan Agung (lembaga pengurus uang dan pajak), Pangenter (juru bicara/menteri), dan Sanak (keluarga/masyarakat). 

Upacara piodalan dilaksanakan dua kali setiap enam bulan sekali, yaitu piodalan Pura Kahyangan jatuh pada hari Saniscara (sabtu) Wuku Wayang (Tumpek Wayang) sedangkan piodalan Pura Dalem penataran jatuh pada hari Soma (senin) Pahing Wuku Langkir (Pahing Kuningan). Berdasarkan karakter pura yang mengempon dan menyungsung Pura Kahyangan lan Dalem Penataran ini adalah masyarakat Desa Adat Taman Pohmanis.

1. Gapura Kori Agung

Gapura Kori Agung sebagai penghubung halaman Pura Kahyangan dan Pura Dalem Penataran. Gapura kuna ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki gapura terbuat dari susunan batu padas yang banyak dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, serta karang manuk (kepala burung) dan karang asti (kepala gajah) menghiasi setiap sudut kaki gapura pada sisi utara dan selatan. Sisi selatan gapura terdapat dua arca dwarapala membawa gada mengapit kedua sisi pintu masuk. Badan gapura lebih didominasi menggunakan bahan batu bata merah yang dilengkapi dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. 

 Ornamen yang menghiasi kedua sisi (utara dan selatan) pada ambang pintu gapura kuno ini adalah kepala kala (karang boma) yang sangat unik dan tidak lazim ditemukan pada beberapa bangunan pura lainnya di Bali, yaitu berupa kepala kala yang diapit dengan lilitan makara (ular berkepala gajah). Ornament makara tersebut terlilit dengan posisi saling membelakangi sama seperti konsepsi ornament makara di relung Candi Sari (Jawa Tengah). Ornamen karang bhoma terbuat dari batu padas dengan memiliki tiga komponen motif, yaitu mahkota yang meliputi hiasan mahkota dan rambut, wajah yang meliputi mata, hidung, mulut, dagu, dan tanduk, serta tangan yang meliputi sikap jari dan kuku. Antara kepala kala (karang bhoma) dan makara terdapat pahatan figur manusia sederhana yang dipahatkan dengan sikap tangan disilang di depan perut. Kepala kala ini memiliki ukuran yang sangat besar dengan gaya naturalis, mata melotot, rahang atas dan bawah bertaring, serta kedua telapak tangannya terbuka seperti sikap ingin menerkam yang dililit oleh makara. (Basudewa dkk, 2015: 183-184). Menurut masyarakat atap Kori Agung dulu nya berjumlah lima tingkatan dan hancur karena gejer (gempa Bali) dan diperbaiki menjadi tiga tingkatan saja.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

1. Gapura/Paduraksa Kori Agung

Gapura/paduraksa yang dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya ini merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari balok-balok batu padas panjang besar dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Balok-balok batu padas panjang dan besar ini memunculkan sebuah asumsi bahwa dasar kaki gapura adalah yang masih asli belum mengalami perbaikan, sementara bagian badan sampai atap merupakan hasil perbaikan tahun 1941 Masehi dengan ditemukannya angka tahun tersebut di dinding badan sisi utara. Daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala berupa karang boma dengan mata melotot dan taring mencuat keluar, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk tapak dara, kuping, dan util. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk, simbar gantung, dan hiasan antefik berupa suluran daun, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

1. Gapura Kori Agung

Gapura Kori Agung sebagai penghubung halaman Pura Kahyangan dan Pura Dalem Penataran. Gapura kuna ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki gapura terbuat dari susunan batu padas yang banyak dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, serta karang manuk (kepala burung) dan karang asti (kepala gajah) menghiasi setiap sudut kaki gapura pada sisi utara dan selatan. Sisi selatan gapura terdapat dua arca dwarapala membawa gada mengapit kedua sisi pintu masuk. Badan gapura lebih didominasi menggunakan bahan batu bata merah yang dilengkapi dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. 

 Ornamen yang menghiasi kedua sisi (utara dan selatan) pada ambang pintu gapura kuno ini adalah kepala kala (karang boma) yang sangat unik dan tidak lazim ditemukan pada beberapa bangunan pura lainnya di Bali, yaitu berupa kepala kala yang diapit dengan lilitan makara (ular berkepala gajah). Ornament makara tersebut terlilit dengan posisi saling membelakangi sama seperti konsepsi ornament makara di relung Candi Sari (Jawa Tengah). Ornamen karang bhoma terbuat dari batu padas dengan memiliki tiga komponen motif, yaitu mahkota yang meliputi hiasan mahkota dan rambut, wajah yang meliputi mata, hidung, mulut, dagu, dan tanduk, serta tangan yang meliputi sikap jari dan kuku. Antara kepala kala (karang bhoma) dan makara terdapat pahatan figur manusia sederhana yang dipahatkan dengan sikap tangan disilang di depan perut. Kepala kala ini memiliki ukuran yang sangat besar dengan gaya naturalis, mata melotot, rahang atas dan bawah bertaring, serta kedua telapak tangannya terbuka seperti sikap ingin menerkam yang dililit oleh makara. (Basudewa dkk, 2015: 183-184). Menurut masyarakat atap Kori Agung dulu nya berjumlah lima tingkatan dan hancur karena gejer (gempa Bali) dan diperbaiki menjadi tiga tingkatan saja.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

Pura Agung Penatih

Keberadaan Pura Penataran Agung Penatih dikaitkan dengan perjalanan Maha Rsi Markandeya yang diiringi oleh muridnya bernama Bhujangga Sari dengan membangun Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan juga di Campuhan membangun Pura Tangga Hyang Api ditepian Sungai Hoos. Bhujangga Sari diceritakan telah lama menuntut ilmu, dan ingin mendirikan pasraman di sebuah tanah berwarna putih yang ternyata telah ditempati oleh orang Bali Aga berasal dari daerah Taro. Pura yang dibangun di Tanah Putih ini bernama Payogan Hyang Api sebagai pemujaan tri sakti dan tempat pemujaan pakraman. 

Tanah Putih merupakan cikal bakal dari nama Penatih yang berasal dari kata pinih dan tih yang berarti pertama (tih) (Dhaksa, t.t).  Setelah Bali berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV Masehi, maka Patih Gajah Mada  atas perintah Ratu Tribhuwana Tunggadewi mengirim Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) untuk dijadikan Adipati Bali beserta dengan beberapa pengiring seperti Arya Kanuruhan, Arya Demung, Arya Belog, Arya Mengori, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Kepakisan, Arya Pangalasan, Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para, Arya Getas, dan Arya Wang Bang.

Wilayah Penatih ditempati oleh Arya Wang Bang Pinatih yang bergelar Kyai Anglurah Pinatih Mantra dengan pasukan sejumlah 35.000. Penatih dalam kekuasaan Kyai Anglurah Penatih Mantra banyak mengalami perubahan pembangunan, salah satunya adalah bangunan-bangunan suci. Pura Payogan Hyang Api yang sebelumnya sudah ada pada masa Bhujangga Sari juga ikut dipugar yang pada awalnya sebagai pemujaan tri sakti ditambahkan dengan beberapa pelinggih leluhur (kawitan), yaitu Palinggih Manik Angkeran, Pelinggih Dukuh Belatungan, Pelinggih Padma Siwa, dan Palinggih Padma Budha (Padma Kurung). Pembangunan dua Padma (Siwa-Budha) ini sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yang bernama Mpu Sidhimantra sebagai penganut ajaran Budha dan Mpu Sedah penganut ajaran Siwa (Dhaksa, t.t).

Pura Penataran Agung Penatih memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala), jeroan (utama mandala). Pura Penataran Agung Penatih ini memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga Tunggal (Puseh, Desa, Dalem) tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi, selain itu memiliki karakter geneologis (kawitan/keluarga) dengan bukti adanya Pelinggih Manik Angkeran dan Pelinggih Dukuh Belatungan.

1. Kemuncak Bangunan Candi

Fragmen bangunan ini ditempatkan di sebelah kiri Pelinggih Gedong Ratu Agung yang merupakan bagian dari material bangunan candi seperti kemuncak/manara sudut memiliki pasak untuk dipasangkan ke lubang di bawahnya yang berbentuk persegi. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan purus lingkaran. Hiasan simbar gantung hanya tersisa di satu sudut saja dan bagian umpak berbentuk persegi empat. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

2. Susunan Batu 

Susunan batu ini berada di  depan Pelinggih Gedong Ratu Agung yang terdiri dari empat susunan, yaitu paling bawah merupakan fragmen batu padas dengan goresan-goresan yang diperkirakan digunakan untuk  mengasah senjata. Susunan batu di atasnya merupakan batu padas yang berukuran lebih kecil dan susunan batu paling atas terdiri dari dua buah batu andesit yang berukuran lebih kecil.

3. Lingga Semu

Lingga ini ditempatkan di depan sebelah kiri Pelinggih Bhatara Siwa, dan bukan merupakan lingga tri bhaga karena hanya berbentuk silinder diletakkan di atas umpak persegi. Lingkaran atas lingga lebih besar daripada lingkaran bawahnya.

4. Lumpang Batu dan Palung Batu

Lumpang batu, dan palung batu ini berada di  depan kanan Pelinggih Bhatara Siwa. Lumpang batu keduanya terbuat dari batu andesit, sedangkan palung batu terbuat dari batu padas. Lumpang batu berfungsi sebagai landasan menumbuk/menghancurkan biji-bijian, sedangkan palung batu pada masa lampau difungsikan sebagai alat untuk menampung air dan tempat makan ternak.

5. Kemuncak Bangunan Candi

Kemuncak ini diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman Kelod yang merupakan bagian dari atap sebuah bangunan candi dengan memiliki pasak untuk dipasangkan pada lubang di bawahnya yang berbentuk persegi, bagian puncaknya berbentuk lingkaran bersusun tiga, dan bagian kaki pada keempat sisinya dihiasi simbar gantung. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan lubang di atasnya. Umpak bangunan pada susunan paling bawah berbentuk persegi delapan. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

6. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Palinggih Gedong Pangiasan duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, tangan kiri sudah hilang, dan tangan kanan diletakkan di atas paha. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

7. Arca Perwujudan Bhatari Bersayap

Arca diletakkan di depan Palinggih Gedong Pangiasan bersikap kedua kaki ditekuk ke belakang (bersimpuh) di atas lapik bulat, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan buah dada, mata setengah terpejam, telinga menggunakan subeng, kedua tangan di arahkan ke atas diikuti dengan sayapnya, dan menggunakan kain tebal dengan motif hiasan garis-garis.

8. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, kedua tangan sudah hilang, dan hanya ada hiasan lipatan wiron pada belakang arca. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

9. Kemuncak Bangunan Candi 

Fragmen bangunan ini terdiri dari empat susun diletakkan di depan kanan Pelinggih Pangaruman Kelod. Fragmen paling atas menyerupai miniatur candi atau bahkan memang bagian dari candi (hiasan sudut atap candi). Bentuknya semakin ke atas semakin kecil dengan dihiasi simbar pada masing-masing sudutnya dengan ukuran tinggi 62 cm dan lebar 41 cm. Fragmen di bawah kemuncak/menara sudut, tepatnya susunan kedua dari atas berbentuk persegi polos dengan ukuran tinggi 28 cm dan lebar 39 cm. Susunan ketiga dari atas merupakan fragmen berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 16 cm dan lebar 70 cm. Kondisi fragmen sudah aus di semua bagiannya, serta pada salah satu sisi fragmen ini terdapat cerat untuk mengalirkan air (fragmen yoni). Fragmen paling bawah berbentuk persegi panjang polos dengan ukuran tinggi 46 cm dan lebar 33 cm.

1. Kemuncak Bangunan Candi

Fragmen bangunan ini ditempatkan di sebelah kiri Pelinggih Gedong Ratu Agung yang merupakan bagian dari material bangunan candi seperti kemuncak/manara sudut memiliki pasak untuk dipasangkan ke lubang di bawahnya yang berbentuk persegi. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan purus lingkaran. Hiasan simbar gantung hanya tersisa di satu sudut saja dan bagian umpak berbentuk persegi empat. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

2. Susunan Batu 

Susunan batu ini berada di  depan Pelinggih Gedong Ratu Agung yang terdiri dari empat susunan, yaitu paling bawah merupakan fragmen batu padas dengan goresan-goresan yang diperkirakan digunakan untuk  mengasah senjata. Susunan batu di atasnya merupakan batu padas yang berukuran lebih kecil dan susunan batu paling atas terdiri dari dua buah batu andesit yang berukuran lebih kecil.

3. Lingga Semu

Lingga ini ditempatkan di depan sebelah kiri Pelinggih Bhatara Siwa, dan bukan merupakan lingga tri bhaga karena hanya berbentuk silinder diletakkan di atas umpak persegi. Lingkaran atas lingga lebih besar daripada lingkaran bawahnya.

 

4. Lumpang Batu dan Palung Batu

Lumpang batu, dan palung batu ini berada di  depan kanan Pelinggih Bhatara Siwa. Lumpang batu keduanya terbuat dari batu andesit, sedangkan palung batu terbuat dari batu padas. Lumpang batu berfungsi sebagai landasan menumbuk/menghancurkan biji-bijian, sedangkan palung batu pada masa lampau difungsikan sebagai alat untuk menampung air dan tempat makan ternak

5. Kemuncak Bangunan Candi

Kemuncak ini diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman Kelod yang merupakan bagian dari atap sebuah bangunan candi dengan memiliki pasak untuk dipasangkan pada lubang di bawahnya yang berbentuk persegi, bagian puncaknya berbentuk lingkaran bersusun tiga, dan bagian kaki pada keempat sisinya dihiasi simbar gantung. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan lubang di atasnya. Umpak bangunan pada susunan paling bawah berbentuk persegi delapan. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

6. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Palinggih Gedong Pangiasan duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, tangan kiri sudah hilang, dan tangan kanan diletakkan di atas paha. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

7. Arca Perwujudan Bhatari Bersayap

Arca diletakkan di depan Palinggih Gedong Pangiasan bersikap kedua kaki ditekuk ke belakang (bersimpuh) di atas lapik bulat, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan buah dada, mata setengah terpejam, telinga menggunakan subeng, kedua tangan di arahkan ke atas diikuti dengan sayapnya, dan menggunakan kain tebal dengan motif hiasan garis-garis.

8. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, kedua tangan sudah hilang, dan hanya ada hiasan lipatan wiron pada belakang arca. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

9. Kemuncak Bangunan Candi 

Fragmen bangunan ini terdiri dari empat susun diletakkan di depan kanan Pelinggih Pangaruman Kelod. Fragmen paling atas menyerupai miniatur candi atau bahkan memang bagian dari candi (hiasan sudut atap candi). Bentuknya semakin ke atas semakin kecil dengan dihiasi simbar pada masing-masing sudutnya dengan ukuran tinggi 62 cm dan lebar 41 cm. Fragmen di bawah kemuncak/menara sudut, tepatnya susunan kedua dari atas berbentuk persegi polos dengan ukuran tinggi 28 cm dan lebar 39 cm. Susunan ketiga dari atas merupakan fragmen berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 16 cm dan lebar 70 cm. Kondisi fragmen sudah aus di semua bagiannya, serta pada salah satu sisi fragmen ini terdapat cerat untuk mengalirkan air (fragmen yoni). Fragmen paling bawah berbentuk persegi panjang polos dengan ukuran tinggi 46 cm dan lebar 33 cm.

1. Kemuncak Bangunan Candi

Fragmen bangunan ini ditempatkan di sebelah kiri Pelinggih Gedong Ratu Agung yang merupakan bagian dari material bangunan candi seperti kemuncak/manara sudut memiliki pasak untuk dipasangkan ke lubang di bawahnya yang berbentuk persegi. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan purus lingkaran. Hiasan simbar gantung hanya tersisa di satu sudut saja dan bagian umpak berbentuk persegi empat. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

2. Susunan Batu 

Susunan batu ini berada di  depan Pelinggih Gedong Ratu Agung yang terdiri dari empat susunan, yaitu paling bawah merupakan fragmen batu padas dengan goresan-goresan yang diperkirakan digunakan untuk  mengasah senjata. Susunan batu di atasnya merupakan batu padas yang berukuran lebih kecil dan susunan batu paling atas terdiri dari dua buah batu andesit yang berukuran lebih kecil.

3. Lingga Semu

Lingga ini ditempatkan di depan sebelah kiri Pelinggih Bhatara Siwa, dan bukan merupakan lingga tri bhaga karena hanya berbentuk silinder diletakkan di atas umpak persegi. Lingkaran atas lingga lebih besar daripada lingkaran bawahnya.

4. Lumpang Batu dan Palung Batu

Lumpang batu, dan palung batu ini berada di  depan kanan Pelinggih Bhatara Siwa. Lumpang batu keduanya terbuat dari batu andesit, sedangkan palung batu terbuat dari batu padas. Lumpang batu berfungsi sebagai landasan menumbuk/menghancurkan biji-bijian, sedangkan palung batu pada masa lampau difungsikan sebagai alat untuk menampung air dan tempat makan ternak.

5. Kemuncak Bangunan Candi

Kemuncak ini diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman Kelod yang merupakan bagian dari atap sebuah bangunan candi dengan memiliki pasak untuk dipasangkan pada lubang di bawahnya yang berbentuk persegi, bagian puncaknya berbentuk lingkaran bersusun tiga, dan bagian kaki pada keempat sisinya dihiasi simbar gantung. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan lubang di atasnya. Umpak bangunan pada susunan paling bawah berbentuk persegi delapan. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

6. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Palinggih Gedong Pangiasan duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, tangan kiri sudah hilang, dan tangan kanan diletakkan di atas paha. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

7. Arca Perwujudan Bhatari Bersayap

Arca diletakkan di depan Palinggih Gedong Pangiasan bersikap kedua kaki ditekuk ke belakang (bersimpuh) di atas lapik bulat, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan buah dada, mata setengah terpejam, telinga menggunakan subeng, kedua tangan di arahkan ke atas diikuti dengan sayapnya, dan menggunakan kain tebal dengan motif hiasan garis-garis.

8. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, kedua tangan sudah hilang, dan hanya ada hiasan lipatan wiron pada belakang arca. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

9. Kemuncak Bangunan Candi 

Fragmen bangunan ini terdiri dari empat susun diletakkan di depan kanan Pelinggih Pangaruman Kelod. Fragmen paling atas menyerupai miniatur candi atau bahkan memang bagian dari candi (hiasan sudut atap candi). Bentuknya semakin ke atas semakin kecil dengan dihiasi simbar pada masing-masing sudutnya dengan ukuran tinggi 62 cm dan lebar 41 cm. Fragmen di bawah kemuncak/menara sudut, tepatnya susunan kedua dari atas berbentuk persegi polos dengan ukuran tinggi 28 cm dan lebar 39 cm. Susunan ketiga dari atas merupakan fragmen berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 16 cm dan lebar 70 cm. Kondisi fragmen sudah aus di semua bagiannya, serta pada salah satu sisi fragmen ini terdapat cerat untuk mengalirkan air (fragmen yoni). Fragmen paling bawah berbentuk persegi panjang polos dengan ukuran tinggi 46 cm dan lebar 33 cm.