Pura Puseh Desa lan Bale Agung Tonja

Pura Puseh Desa lan Bale Agung merupakan Pura Khayangan Tiga di Desa Adat Tonja, secara etimologi Khayangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu khayangan dan tiga. Khayangan berasal dari kata yang berarti suci mendapatkan awalan ka dan akhiran an yang menunjukan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau Pura Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Fungsi Pura Desa adalah tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta, Pura Puseh adalah tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara alam semesta, dan Pura Dalem adalah tempat memuja Dewa Siwa serta sakti dengan fungsi sebagai pelebur alam semesta. Piodalan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dilaksanakan pada hari Purnama Sasih Kasa.

Pura Puseh Desa lan Bale Agung Tonja secara administratif terletak di Jl. Seroja, Gang Tunas Mekar, Kelurahan Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Secara geografis berada pada titik koordinat geografis 50 L 03605209, 9045475 UTM, 66 Mdpl. Struktur pura ini terdiri dari dua halaman, yaitu halaman jeroan dan jaba tengah, sedangkan halaman yang paling luar, yaitu jaba sisi merupakan halaman terbuka. Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuwana yaitu tingkatan alam semesta atau makrokosmos (bhuwana agung). Jaba sisi melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, jaba tengah melambangkan bwahloka yaitu alam pitra atau roh, alam peralihan, sedangkan Jeroan melambangkan swah loka alam para dewa atau dunia baka. 

 1. Gedong Ratu Gede Desa

Gedong Ratu Gede Desa merupakan bangunan suci yang diperuntukkan atau tempat berstananya manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Brahma sebagai sang pencipta alam semesta, terbuat dari susunan batu bata dengan kombinasi batu padas, tiang terbuat dari kayu dan atap mempergunakan bahan ijuk.  Tiang penyangga dan ornamen lainnya yang terbuat dari kayu diberikan pewarna berupa prada emas, dan warna biru. Pada bagian atas dari pintu dihiasi dengan karang boma. Bangunan gedong terdiri dari bagian bebaturan, kaki, badan, dan atap. Terlihat bentuk bangunan tambun tanpa ornamen (polos) pada bagian badan sehingga terkesan sederhana. Selasar Gedong Ratu Gede Desa sisi depan diletakkan 3 Arca Ganesha dan 1 Arca Dewi Durga.

2. Arca Ganesha I

Arca dipahatkan duduk wirasana di atas lapik segi polos, bersandar pada stella berbentuk lingkaran, menggunakan mahkota jatamakuta berupa jalinan rambut menyerupai mahkota dengan ikatan ardha candra kapala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan ciri khas dari keluarga Siwa. Terlihat prabha sinar kedewataan yang polos di belakang mahkota. Telinga lebar, mata bulat kecil, terdapat dua gading pada mulut, gading sebelah kanan patah dan yang sebelah kiri utuh. Terlihat belalai menjuntai ke arah kiri dengan ujungnya menyentuh mangkok. Memiliki empat tangan, dua tangan belakang muncul dari siku dan masing-masing membawa atribut dewa, tangan kanan membawa parasu, tangan kiri membawa bunga padma. Dua tangan depan masing-masing membawa atribut padma mekar dan tangan kiri depan membawa patra lengkap isinya.

3. Arca Dewi Durga 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi polos lengkap dengan sandaran (stela), bibir tipis tersenyum, memakai mahkota rambut yang dipusung (jata makuta) dengan hiasan ardhacandra kapala (tengkorak bulan sabit), memakai jamang dengan motif ceplok bunga, terdapat prabha (sinar kedewataan) di belakang kepala. Arca Dewi Durga bertangan delapan,  masing-masing membawa atribut dewa, dimulai dari tangan kiri depan dengan sikap ditekuk mengarah ke depan perut bagian telapak tangan aus, tangan kedua membawa camara (pengusir lalat), tangan ketiga membawa perisai, tangan keempat membawa busur. Sikap tangan kanan depan lurus ke bawah memegang pedang, tangan kedua memegang cakra, tangan ketiga memegang trisula, tangan keempat memegang anak panah. Kedua tangan depan memakai gelang tangan keyura motif ceplok bunga. Keenam tangan lainnya muncul dari bagian siku, seperti tangan bayangan tanpa lengan.

4. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan Bhatari dipahatkan berdiri samabhanga diatas lapik persegi polos. Bentuk tubuh ramping, terlihat memakai memakai mahkota tetapi aus, telinga memakai kundala sebatas bahu dengan simping menempel pada stella. Arca memakai kain dari pinggang sampai pergelangan kaki bersusun tiga, didepan kain terdapat uncal dan disamping kanan kiri pinggang terdapat sampur menjulur ke bawah sampai dilapik.  

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

6. Arca Ganesha III

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat bermotif padma ganda, bagian wajah arca sudah rusak, terlihat dua gading pada mulut dengan kondisi aus, belalai menjulur ke arah kiri menyentuh mangkuk di atas telapak tangan kiri, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih).

7. Arca – arca di Pelinggih Ratu Panji

Pelinggih Ratu Panji terletak di sebelah selatan Gedong Ratu Gede Desa. Bentuk pelinggih ini berupa bebaturan persegi dengan bahan beton. Pelinggih ini menyimpan banyak fragmen-fragmen arca yang sudah rusak, seperti arca perwujudan bhatara – bhatari bagian kaki ataupun kepalanya saja, ada juga fragmen arca Siwa Mahaguru dengan ciri jenggot dan mahkota jatamakuta, ada juga dua arca perwujudan membawa ayam, dan fragmen kemuncak bangunan. Jika dilihat dari ciri-ciri ikonografinya, arca-arca ini berasal dari abad XI – XV Masehi.

8. Arca di Pelinggih Ratu Ayu Mas Maketel

Arca juga ditemukan di Pura Ratu Biang Susunan yang masih satu arel dengan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dan masih memiliki kaitan yang erat. Arca dipahatkan sangat sederhana, mengingatkan kita pada arca-arca primitif dari zaman prasejarah. Arca  dipahatkan duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu di atas lapik persegi polos, tangan seperti sujud di depan dada, bentuk muka bulat, mata besar terbuka, hidung pesek, bibir tebal dengan rambut terurai di belakang. Tipe-tipe arca seperti ini biasanya disebut dengan tipe arca Polinesia yang merupakan produksi dari zaman prasejarah pada masa perundagian tradisi megalitik. Namun untuk perkembangan selanjutnya tipe-tipe arca ini muncul kembali pada masa Bali Pertengahan di Bali dan cenderung berkembang pada saat pengaruh Majapahit di Bali sekitar abad XIV – XVII Masehi, atau pada daerah-daerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan (kerajaan). Arca ini merupakan sebuah simbol atau perwujudan dari roh nenek moyang atau seorang tokoh yang dihormati semasa hidupnya, yang telah mencapai alam roh.

9. Arca di Pelinggih Meru Ratu Puseh

Pelinggih Meru Ratu Puseh terletak di sisi utara, ditemukan sebuah arca duduk bersimpuh di atas lapik persegi polos, kepala arca sudah patah hilang, bagian siku kanan patah dengan sikap tangan ditekuk ditaruh di atas paha, tangan kiri lurus ke depan dengan telapak tangan ditaruh diatas paha.

1. Gedong Ratu Gede Desa

Gedong Ratu Gede Desa merupakan bangunan suci yang diperuntukkan atau tempat berstananya manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Brahma sebagai sang pencipta alam semesta, terbuat dari susunan batu bata dengan kombinasi batu padas, tiang terbuat dari kayu dan atap mempergunakan bahan ijuk.  Tiang penyangga dan ornamen lainnya yang terbuat dari kayu diberikan pewarna berupa prada emas, dan warna biru. Pada bagian atas dari pintu dihiasi dengan karang boma. Bangunan gedong terdiri dari bagian bebaturan, kaki, badan, dan atap. Terlihat bentuk bangunan tambun tanpa ornamen (polos) pada bagian badan sehingga terkesan sederhana. Selasar Gedong Ratu Gede Desa sisi depan diletakkan 3 Arca Ganesha dan 1 Arca Dewi Durga.

 2. Arca Ganesha I

Arca dipahatkan duduk wirasana di atas lapik segi polos, bersandar pada stella berbentuk lingkaran, menggunakan mahkota jatamakuta berupa jalinan rambut menyerupai mahkota dengan ikatan ardha candra kapala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan ciri khas dari keluarga Siwa. Terlihat prabha sinar kedewataan yang polos di belakang mahkota. Telinga lebar, mata bulat kecil, terdapat dua gading pada mulut, gading sebelah kanan patah dan yang sebelah kiri utuh. Terlihat belalai menjuntai ke arah kiri dengan ujungnya menyentuh mangkok. Memiliki empat tangan, dua tangan belakang muncul dari siku dan masing-masing membawa atribut dewa, tangan kanan membawa parasu, tangan kiri membawa bunga padma. Dua tangan depan masing-masing membawa atribut padma mekar dan tangan kiri depan membawa patra lengkap isinya.

3. Arca Dewi Durga 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi polos lengkap dengan sandaran (stela), bibir tipis tersenyum, memakai mahkota rambut yang dipusung (jata makuta) dengan hiasan ardhacandra kapala (tengkorak bulan sabit), memakai jamang dengan motif ceplok bunga, terdapat prabha (sinar kedewataan) di belakang kepala. Arca Dewi Durga bertangan delapan,  masing-masing membawa atribut dewa, dimulai dari tangan kiri depan dengan sikap ditekuk mengarah ke depan perut bagian telapak tangan aus, tangan kedua membawa camara (pengusir lalat), tangan ketiga membawa perisai, tangan keempat membawa busur. Sikap tangan kanan depan lurus ke bawah memegang pedang, tangan kedua memegang cakra, tangan ketiga memegang trisula, tangan keempat memegang anak panah. Kedua tangan depan memakai gelang tangan keyura motif ceplok bunga. Keenam tangan lainnya muncul dari bagian siku, seperti tangan bayangan tanpa lengan.

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

6. Arca Ganesha III

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat bermotif padma ganda, bagian wajah arca sudah rusak, terlihat dua gading pada mulut dengan kondisi aus, belalai menjulur ke arah kiri menyentuh mangkuk di atas telapak tangan kiri, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih).

7. Arca – arca di Pelinggih Ratu Panji

Pelinggih Ratu Panji terletak di sebelah selatan Gedong Ratu Gede Desa. Bentuk pelinggih ini berupa bebaturan persegi dengan bahan beton. Pelinggih ini menyimpan banyak fragmen-fragmen arca yang sudah rusak, seperti arca perwujudan bhatara – bhatari bagian kaki ataupun kepalanya saja, ada juga fragmen arca Siwa Mahaguru dengan ciri jenggot dan mahkota jatamakuta, ada juga dua arca perwujudan membawa ayam, dan fragmen kemuncak bangunan. Jika dilihat dari ciri-ciri ikonografinya, arca-arca ini berasal dari abad XI – XV Masehi.

8. Arca di Pelinggih Ratu Ayu Mas Maketel

Arca juga ditemukan di Pura Ratu Biang Susunan yang masih satu arel dengan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dan masih memiliki kaitan yang erat. Arca dipahatkan sangat sederhana, mengingatkan kita pada arca-arca primitif dari zaman prasejarah. Arca  dipahatkan duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu di atas lapik persegi polos, tangan seperti sujud di depan dada, bentuk muka bulat, mata besar terbuka, hidung pesek, bibir tebal dengan rambut terurai di belakang. Tipe-tipe arca seperti ini biasanya disebut dengan tipe arca Polinesia yang merupakan produksi dari zaman prasejarah pada masa perundagian tradisi megalitik. Namun untuk perkembangan selanjutnya tipe-tipe arca ini muncul kembali pada masa Bali Pertengahan di Bali dan cenderung berkembang pada saat pengaruh Majapahit di Bali sekitar abad XIV – XVII Masehi, atau pada daerah-daerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan (kerajaan). Arca ini merupakan sebuah simbol atau perwujudan dari roh nenek moyang atau seorang tokoh yang dihormati semasa hidupnya, yang telah mencapai alam roh.

9. Arca di Pelinggih Meru Ratu Puseh

Pelinggih Meru Ratu Puseh terletak di sisi utara, ditemukan sebuah arca duduk bersimpuh di atas lapik persegi polos, kepala arca sudah patah hilang, bagian siku kanan patah dengan sikap tangan ditekuk ditaruh di atas paha, tangan kiri lurus ke depan dengan telapak tangan ditaruh diatas paha.

 1. Gedong Ratu Gede Desa

Gedong Ratu Gede Desa merupakan bangunan suci yang diperuntukkan atau tempat berstananya manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Brahma sebagai sang pencipta alam semesta, terbuat dari susunan batu bata dengan kombinasi batu padas, tiang terbuat dari kayu dan atap mempergunakan bahan ijuk.  Tiang penyangga dan ornamen lainnya yang terbuat dari kayu diberikan pewarna berupa prada emas, dan warna biru. Pada bagian atas dari pintu dihiasi dengan karang boma. Bangunan gedong terdiri dari bagian bebaturan, kaki, badan, dan atap. Terlihat bentuk bangunan tambun tanpa ornamen (polos) pada bagian badan sehingga terkesan sederhana. Selasar Gedong Ratu Gede Desa sisi depan diletakkan 3 Arca Ganesha dan 1 Arca Dewi Durga.

 2. Arca Ganesha I

Arca dipahatkan duduk wirasana di atas lapik segi polos, bersandar pada stella berbentuk lingkaran, menggunakan mahkota jatamakuta berupa jalinan rambut menyerupai mahkota dengan ikatan ardha candra kapala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan ciri khas dari keluarga Siwa. Terlihat prabha sinar kedewataan yang polos di belakang mahkota. Telinga lebar, mata bulat kecil, terdapat dua gading pada mulut, gading sebelah kanan patah dan yang sebelah kiri utuh. Terlihat belalai menjuntai ke arah kiri dengan ujungnya menyentuh mangkok. Memiliki empat tangan, dua tangan belakang muncul dari siku dan masing-masing membawa atribut dewa, tangan kanan membawa parasu, tangan kiri membawa bunga padma. Dua tangan depan masing-masing membawa atribut padma mekar dan tangan kiri depan membawa patra lengkap isinya.

3. Arca Dewi Durga 

Arca dipahatkan berdiri di atas lapik persegi polos lengkap dengan sandaran (stela), bibir tipis tersenyum, memakai mahkota rambut yang dipusung (jata makuta) dengan hiasan ardhacandra kapala (tengkorak bulan sabit), memakai jamang dengan motif ceplok bunga, terdapat prabha (sinar kedewataan) di belakang kepala. Arca Dewi Durga bertangan delapan,  masing-masing membawa atribut dewa, dimulai dari tangan kiri depan dengan sikap ditekuk mengarah ke depan perut bagian telapak tangan aus, tangan kedua membawa camara (pengusir lalat), tangan ketiga membawa perisai, tangan keempat membawa busur. Sikap tangan kanan depan lurus ke bawah memegang pedang, tangan kedua memegang cakra, tangan ketiga memegang trisula, tangan keempat memegang anak panah. Kedua tangan depan memakai gelang tangan keyura motif ceplok bunga. Keenam tangan lainnya muncul dari bagian siku, seperti tangan bayangan tanpa lengan.

4. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan Bhatari dipahatkan berdiri samabhanga diatas lapik persegi polos. Bentuk tubuh ramping, terlihat memakai memakai mahkota tetapi aus, telinga memakai kundala sebatas bahu dengan simping menempel pada stella. Arca memakai kain dari pinggang sampai pergelangan kaki bersusun tiga, didepan kain terdapat uncal dan disamping kanan kiri pinggang terdapat sampur menjulur ke bawah sampai dilapik.  

5. Arca Ganesha II

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat dengan motif padma ganda, wajah sangat rusak, belalai patah, kedua pergelangan tangan depan patah, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih). 

6. Arca Ganesha III

Arca Ganesha dipahatkan duduk wirasana di atas lapik bulat bermotif padma ganda, bagian wajah arca sudah rusak, terlihat dua gading pada mulut dengan kondisi aus, belalai menjulur ke arah kiri menyentuh mangkuk di atas telapak tangan kiri, kedua tangan bagian belakang patah, perut buncit, pergelangan kaki memakai gelang berbentuk genitri (tasbih).

7. Arca – arca di Pelinggih Ratu Panji

Pelinggih Ratu Panji terletak di sebelah selatan Gedong Ratu Gede Desa. Bentuk pelinggih ini berupa bebaturan persegi dengan bahan beton. Pelinggih ini menyimpan banyak fragmen-fragmen arca yang sudah rusak, seperti arca perwujudan bhatara – bhatari bagian kaki ataupun kepalanya saja, ada juga fragmen arca Siwa Mahaguru dengan ciri jenggot dan mahkota jatamakuta, ada juga dua arca perwujudan membawa ayam, dan fragmen kemuncak bangunan. Jika dilihat dari ciri-ciri ikonografinya, arca-arca ini berasal dari abad XI – XV Masehi.

8. Arca di Pelinggih Ratu Ayu Mas Maketel

Arca juga ditemukan di Pura Ratu Biang Susunan yang masih satu arel dengan Pura Puseh Desa lan Bale Agung Puseh Tonja dan masih memiliki kaitan yang erat. Arca dipahatkan sangat sederhana, mengingatkan kita pada arca-arca primitif dari zaman prasejarah. Arca  dipahatkan duduk dengan kedua telapak kaki saling bertemu di atas lapik persegi polos, tangan seperti sujud di depan dada, bentuk muka bulat, mata besar terbuka, hidung pesek, bibir tebal dengan rambut terurai di belakang. Tipe-tipe arca seperti ini biasanya disebut dengan tipe arca Polinesia yang merupakan produksi dari zaman prasejarah pada masa perundagian tradisi megalitik. Namun untuk perkembangan selanjutnya tipe-tipe arca ini muncul kembali pada masa Bali Pertengahan di Bali dan cenderung berkembang pada saat pengaruh Majapahit di Bali sekitar abad XIV – XVII Masehi, atau pada daerah-daerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan (kerajaan). Arca ini merupakan sebuah simbol atau perwujudan dari roh nenek moyang atau seorang tokoh yang dihormati semasa hidupnya, yang telah mencapai alam roh.

9. Arca di Pelinggih Meru Ratu Puseh

Pelinggih Meru Ratu Puseh terletak di sisi utara, ditemukan sebuah arca duduk bersimpuh di atas lapik persegi polos, kepala arca sudah patah hilang, bagian siku kanan patah dengan sikap tangan ditekuk ditaruh di atas paha, tangan kiri lurus ke depan dengan telapak tangan ditaruh diatas paha.

Sejarah Desa Tonja

Tonja merupakan sebuah wilayah desa yang terletak di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Sejarah lahirnya Desa Tonja muncul dalam Babad Dalem Batu Ireng yang diuraikan dalam Ilikita Desa Adat Tonja menyebutkan pada tahun Saka 1250 Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten dengan patih-patih hebatnya seperti Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan lain sebagainya. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang tidak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan Bali. Penundukan ini membuat membuat Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Astasura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke daerah Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, hingga dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya. Dalem Batu Ireng dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Karena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka Dalem Batu Ireng mampir ke Pura Desa adat Pagan. Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Ireng buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap mengganggu jalannya upacara, Dalem Batu Ireng disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya serta warga lainnya membuat Dalem Batu Ireng murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setelah diusir Dalem Batu Ireng kakinya tersandung (ketonjok) batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.

Uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Ireng kakinya ketonjok atau tersanjung batu, sehingga lama kelamaan menjadi Tonja

Tonja merupakan sebuah wilayah desa yang terletak di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Sejarah lahirnya Desa Tonja muncul dalam Babad Dalem Batu Ireng yang diuraikan dalam Ilikita Desa Adat Tonja menyebutkan pada tahun Saka 1250 Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten dengan patih-patih hebatnya seperti Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan lain sebagainya. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang tidak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan Bali. Penundukan ini membuat membuat Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Astasura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke daerah Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, hingga dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya. 

Dalem Batu Ireng dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Karena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka Dalem Batu Ireng mampir ke Pura Desa adat Pagan. Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Ireng buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap mengganggu jalannya upacara, Dalem Batu Ireng disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya serta warga lainnya membuat Dalem Batu Ireng murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setelah diusir Dalem Batu Ireng kakinya tersandung (ketonjok) batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.

Uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Ireng kakinya ketonjok atau tersanjung batu, sehingga lama kelamaan menjadi Tonja

Tonja merupakan sebuah wilayah desa yang terletak di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Sejarah lahirnya Desa Tonja muncul dalam Babad Dalem Batu Ireng yang diuraikan dalam Ilikita Desa Adat Tonja menyebutkan pada tahun Saka 1250 Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten dengan patih-patih hebatnya seperti Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan lain sebagainya. Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang tidak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan Bali.

Penundukan ini membuat membuat Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Astasura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke daerah Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, hingga dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya. Dalem Batu Ireng dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Karena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka Dalem Batu Ireng mampir ke Pura Desa adat Pagan.

Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Ireng buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap mengganggu jalannya upacara, Dalem Batu Ireng disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya serta warga lainnya membuat Dalem Batu Ireng murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setelah diusir Dalem Batu Ireng kakinya tersandung (ketonjok) batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.

Uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Ireng kakinya ketonjok atau tersanjung batu, sehingga lama kelamaan menjadi Tonja

Pura Desa Peguyangan

Pura Desa Peguyangan terletak pada koordinat 50 L 0303433 UTM 9048711 (85 Meter dpl), merupakan tempat suci milik masyarakat Desa Adat Peguyangan, secara administratif terletak di Kecamatan Denpasar Utara. Latar belakang sejarah keberadaan Desa Adat Peguyangan dapat dipahami melalui isi Dresta Ilikita Desa Pakraman Peguyangan, yaitu ditemukan beberapa hal yang merujuk pada kesejarahan desa, seperti nama Desa Adat Peguyangan muncul berdasarkan kisah gajah Kyai Panji Sakti yang maguyang (berguling-guling) dan ditempat gajah tersebut maguyang disebut dengan peguyangan. Istilah peguyangan juga dikaitkan dengan isi prasasti tembaga di Pura Dalem Batan Celagi yang menyebutkan penyungsung  prasasti tersebut dianugerahi kebebasan membayar pajak, karena telah diberikan tanggung jawab menyungsung dan ngaci sam sat kahyangan yang berarti “yang menjaga tempat hyang”. Menjaga prahyangan tersebut harus pageh (kukuh/konsisten) yang kemudian kata pageh dan hyang tersebut menjadi cikal bakal nama peguyangan (Anonim, 2011: 1)

Mengenai prasasti yang ditemukan di Pura Dalem Batan Celagi (Prasasti Peguyangan) tersebut ditemukan hanya satu lempeng yaitu lembar ke-8 sisi A dan B dengan menggunakan aksara Bali Kuna (Kawi – Bali) dan bahasa Jawa Kuna. Prasasti Peguyangan ini dimasukkan kedalam kelompok prasasti-prasasti terbitan Raja Sri Haji Jayapangus kisaran tahun Śaka 1099 – 1103 (1177 -1181 Masehi) yang secara ringkas isinya menyebutkan nama desa Er Saling dan tentang pembebasan beberapa jenis pajak (drwi haji) karena desa tersebut dulunya merupakan jataka (daerah pengelola bangunan suci yang bebas dari sejumlah pajak dan kewajiban lainnya) pundut dyun Bhaṭāra di Burwan yang telah dijadikan sawah oleh penduduk desa. Mereka tidak diwajibkan membayar beberapa jenis iuran yang berkaitan dengan upacara, termasuk para pengantin baru tidak diwajibkan mempersembahkan pamapas kepada Sanghyang Candi di Burwan. Isi lainnya adalah tentang ketentuan atau ijin dalam beternak itik, memelihara asu tugel, pirung, dan bebas berpergian ke desa lain (Wiguna dkk, 2015: 19).

Ada sebuah asumsi bahwa sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah Desa Adat Peguyangan pernah berdiri bangunan candi kuno serupa dengan miniatur candi yang ditemukan di Pura Desa Peguyangan, Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. 

Pura Desa Peguyangan memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala) menjadi satu dengan jaba sisi (nista mandala) Pura Bale Agung Peguyangan, jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Pura Desa Peguyangan  menjadi satu kompleks dengan Pura Bale Agung, Pura Penyarikan, Pura Puseh, dan Pura Manik Tahun Peguyangan. Utama mandala (jeroan/halaman paling suci) dengan jaba tengah (madya mandala) dibatasi dengan gapura/paduraksa dan tembok keliling terbuat dari susunan batu bata, sedangkan jaba tengah (madya mandala) dengan nista mandala (halaman luar) dibatasi dengan candi bentar. Secara karakter pura ini memiliki karakter teritorial (kahyangan tiga) tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma beserta sakti dengan pengempon dan penyungsungnya adalah masyarakat Desa Adat Peguyangan. Upacara piodalannya dilaksanakan setiap hari Redite Wuku Sinta (Banyu Pinaruh).

 

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

 

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

12. Kemuncak Sudut Atap Candi III 

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan tujuh garis melingkar, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

1. Gapura/paduraksa 

Gapura/paduraksa ini disebut juga kori agung sebagai pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari batu bata yang sudah dilapisi dengan semen dengan enam anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Gapura/paduraksa ini memiliki bentuk dan hiasan yang sama pada dua sisinya, yaitu berupa simbar duduk dan relief simbar gantung, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk pentelasi semu, kuping, dan util. Pada sebelah kiri gapura/paduraksa terdapat pahatan angka 1940 yang kemungkinan sebagai angka tahun peringatan pembangunannya. Atap gapura terdiri dari tiga tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk dan simbar gantung berbentuk persegi tiga polos, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Lumpang batu

Lumpang batu ditemukan di halaman jeroan Pura Desa Peguyangan, berupa batu monolit di tengahnya terdapat cekungan lubang, karena pada masa lampau difungsikan sebagai landasan menumbuk biji-bijian, tetapi sekarang dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

3.Kelompok batu monolit

Batu monolit ditemukan berjumlah dua buah di halaman jeroan Pura Desa peguyangan, bentuknya tidak beraturan tanpa ada proses bentukan dari tangan manusia, dan dimanfaatkan sebagai media keagamaan dan sangat disakralkan oleh masyarakat.

4. Arca Tokoh I

Arca diletakkan pada selasar sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena atribut yang dibawa tidak jelas, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot, hidung mancung, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis.

5. Arca Tokoh II

Arca diletakkan pada selasar sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos, atribut ketokohan tidak jelas, menggunakan mahkota cecandian, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan lebar di belakang telinga, mata digambarkan sangat sederhana berupa goresan, hidung sangat besar, bibir tebal dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan berkumis

6. Arca Dwarapala I

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kanan Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

7. Arca Dwarapala II

Arca diletakkan pada bebaturan di depan sebelah kiri Gedong Hyang Api, dipahatkan berdiri mengangkang dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos setinggi 10 cm. Arca menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, dan gigi taring mencuat keluar. 

8. Arca Dwarapala III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi polos. Arca dipahatkan menoleh ke kiri, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, muka arca sangat menyeramkan, mata digambarkan bulat melotot, hidung besar, bibir tebal lebar dengan memperlihatkan barisan gigi depan, gigi taring mencuat keluar, berjenggot ikal, dan rambut terurai sampai pinggang.

9. Arca Dwarapala IV

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Gedong Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Arca dipahatkan menoleh ke kanan, menggunakan mahkota pepudakan, berhiaskan petitis lancip pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga dan muka arca sangat menyeramkan.

10. Kemuncak Sudut Atap Candi I

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat paling atas berbentuk silinder, di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

11. Kemuncak Sudut Atap Candi II

Kemuncak ini juga kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 4 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

12. Kemuncak Sudut Atap Candi III 

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan tujuh garis melingkar, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

13. Kemuncak Sudut Atap Candi IV

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, bentuknya sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil dengan lima garis melingkar, puncaknya berbentuk persegi dengan pahatan halus pada keempat sudutnya, dan di atasnya terdapat lubang sedalam 3.5 cm yang kemungkinan sebagai tempat menancapkan pasak puncak kemuncak. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

14. Kemuncak Sudut Atap Candi V

Kemuncak ini kemungkinan bagian dari hiasan atap bangunan candi pada masa lampau yang terbuat dari batu padas, keadaannya sudah sangat aus. Secara mitologi, masyarakat Desa Adat  Peguyangan mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

15. Kemuncak Sudut Atap VI

Kemuncak ini bentuknya juga sama dengan kemuncak sudut atap miniatur candi di Pura Desa Peguyangan, kemuncak/menara sudut ini berbentuk bulatan bertingkat-tingkat semakin ke atas semakin kecil, dan masyarakat Desa Adat Peguyangan secara mitologi, mempercayai benda ini sebagai kepalan tangan Ki Kebo Iwa.

16. Batu Pancang

Batu pancang diletakkan berdiri oleh masyarakat, permukaannya tidak rata, dan beberapa bagiannya terdapat lubang-lubang kecil maupun besar. Kemungkinan batu padas berbentuk persegi ini merupakan bagian-bagian dari komponen bangunan (candi) pada masa lampau.

17. Arca Tokoh III

Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kanan Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, mata digambarkan bulat melotot. Arca ini tidak dapat diketahui sebagai perwujudan tokoh siapa, karena  tidak membawa atribut sebagai ciri-cirinya. 

18. Arca Tokoh IV

 Arca diletakkan pada selasar depan sebelah kiri Pelinggih Piyasan Ratu Desa, dipahatkan berdiri dengan kedua kaki ditekuk (abhanga) di atas lapik persegi bermotif patra batu. Rambut arca diikat di atas kepala, rambut belakang dibiarkan terurai pada punggung, berhiaskan petitis polos pada dahi lengkap dengan ron-ronan di belakang telinga, bibir tebal lebar tersenyum, berkumis, badan berhiaskan garis kain menyilang di depan dada, kedua lengan tangan menggunakan keyura. 

19. Cakra Biwa (miniatur candi)

Miniatur candi ini dipahat pada balok batu padas, terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki candi berbentuk persegi, sedangkan badan candi pada sisi barat dilengkapi dengan pintu semu, antara badan dan kaki disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta, sedangkan bagian badan dan atap juga disambungkan dengan pelipit mistar dan sisi genta. Bagian atap terdiri dari tiga tingkatan yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan kemuncak sudut sebanyak delapan buah pada tingkatan, kemudian setiap tingkatan atap dilengkapi dengan hiasan simbar gantung , serta pada tingkatan terakhir (paling atas) dihiasi dengan kemuncak berbentuk persegi empat semakin keatas semakin kecil sejumlah empat tingkatan. Keberadaan miniatur candi memunculkan sebuah asumsi bahawa pada masa lampau sekitar abad XIII-XIV Masehi di sekitar wilayah ini pernah berdiri sebuah bangunan candi yang serupa dengan miniatur candi ini. Asumsi ini diperkuat dengan banyaknya ditemukan fragmen-fragmen kemuncak bangunan candi di Pura Desa, Puseh, Manik Tahun, dan Penyarikan Peguyangan yang bentuknya serupa dengan kemuncak/menara sudut pada miniatur candi tersebut. Masyarakat Desa Adat Peguyangan secara kepercayaan mithologis disebut sebagai Cakra Biwa.

 

Pura Kahyangan lan Dalem penataran Taman Pohmanis

Keberadaan pura ini tidak dapat terlepas dari keberadaan Jero Agung Pohmanis. Diceritakan, ketika I Dewa Karang yang diselamatkan oleh I Ngakan Kaleran saat terjadi penumpasan kekuasaan I Gusti Agung Maruti oleh I Dewa Jambe bersama Kyai Anglurah Singharsa, Kyai Anglurah Panji Sakti, Kyai Anglurah Macan Gading, I Dewa Paduhungan I Dewa Kereng, dan I Dewa Negara di Kerajaan Swecapura Gelgel – Klungkung. I Dewa Karang merupakan cucu dari I Dewa Paduhungan putra dari I Dewa Sumerta keturunan Dalem Sagening dari istri penawing. I Dewa Karang ketika dilarikan ke Denbukit (Buleleng) diiringi oleh parekan dan panginte. Sesampainya di Denbukit I Dewa Karang dititipkan kepada pedagang (panghalu) dari Bun Badung. Pedagang dari Bun (panghalu Bun) tersebut kemudian memasukkan anak kecil tersebut ke dalam keranjang dagangannya (katung/kalesan) dan dibawa pulang ke wilayah Bun Badung (Kertha dkk, 2001 dalam Basudewa, 2017: 74-76). 

Wilayah Bun merupakan perbatasan utara Kerajaan Badung yang ketika itu dipimpin oleh seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Bija. Masyarakat Bun berkumpul di Bencingah mendengar kabar bahwa putra I Dewa Agung Karang di Klungkung telah hilang bersama parekan dan panginten nya. Mendengar kabar itu panghalu Bun menceritakan bahwa telah menerima anak kecil di Denbukit ketika berdagang, kemudian I Gusti Ngurah Bija bergegas untuk menghadap I Dewa Agung di Klungkung untuk memastikan keberadaan anak kecil tersebut, dan memohon jika benar itu adalah putra dalem agar dapat dibesarkan di Bun. Mendengar permintaan membuat I Dewa Agung di Klungkung merasa senang dan membenarkan bahwa anak kecil tersebut adalah I Dewa Karang putra I Dewa Agung Karang. Ia pun mengizinkan I Dewa Karang dibesarkan di wilayah Bun dengan serta diberikan panjak sebanyak 400 orang. I Dewa Karang setelah besar di wilayah Bun dikenal dengan nama I Dewa Kalesan, karena ketika dibawa dari Denbukit oleh panghalu Bun dimasukkan pada keranjang (kalesan) dagangannya.

Cerita hilangnya I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) menyebar ke berbagai wilayah hingga terdengar di Kerajaan Badung yang ketika itu I Gusti Ngurah Jambe Pule sebagai penguasanya. I Gusti Jambe Pule menginginkan agar I Gusti Ngurah Bija menyerahkan I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) ke Badung karena akan diberikan tempat untuk berkuasa di wilayah perbatasan timur Kerajaan Badung, yaitu di wilayah Taak dengan diberikan pengiring panjak sebanyak 1000 orang. I Dewa Karang (I Dewa Kalesan) setelah berkuasa di wilayah Taak kemudian bergelar abhiseka I Dewa Gde Sukahet dengan menempati Puri Agung Batubulan. I Dewa Gde Pameregan sebagai generasi ke-II penerus I Dewa Gde Sukahet memiliki Sembilan putra yaitu I Dewa Rai Guwang, I Dewa Gde Dukuh, I Dewa Gde Ngurah, I Dewa Made Batan, I Dewa Ketut Tegal, I Dewa Wayan Muntur, I Dewa Made Muntur, I Dewa Nyoman Badung, dan I Dewa Gde Rai. Kekuasaan I Dewa Gde Pameregan sebenarnya akan digantikan oleh I Dewa Gde Rai, tetapi terjadi pemberontakan yang dilakukan  oleh keturunan I Dewa Wayan Panenjoan bernama I Dewa Made Lukluk yang bekerjasama dengan I Dewa Manggis Jorog dari Puri Gianyar sehingga berhasil membunuh I Dewa Gde Rai di Payangan dan I Dewa Made Muntur terbunuh di Bangli. Setelah I Dewa Gde Rai terbunuh secara otomatis I Dewa Made Lukluk naik tahta tetapi tidak memiliki putra keturunan, sehingga diberikan putra dari Gianyar bernama I Dewa Gelugu selanjutnya naik tahta dengan abhiseka I Dewa Oka. Sejak I Dewa Oka naik tahta dan berkuasa di Batubulan maka dinasti I Dewa Gde Sukahet digantikan oleh dinasti I Dewa Manggis (Gianyar).

Melihat prilaku ksatria (keluarga raja) di Batubulan saat itu membuat Raja Badung marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati yang ketika itu telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar pada tahun 1810 Masehi. 

Keadaan ketika itu sangat kacau dan banyak putra-putra raja pergi meninggalkan Puri Batubulan karena merasa kecewa dengan keadaan puri. I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Nyoman Badung mengungsi menuju wilayah Badung menemui Raja Badung untuk menceritakan keadaan di Batubulan. I Dewa Nyoman Badung diiringi panjak pengiring para warga-wargi soroh pungakan Banjar Kalah Batubulan seperti I Kepang, I Taring, I Mastra, I Ngembu, dan I Garda, sedangkan panjak pengiring dari Sumerta seperti I Dawa beserta dengan anaknya bernama I Pinrih dan I Malang, I Silur beserta dengan anaknya bernama Nyoman Del dan I Medil, I Bagus Pengunteran juga dengan anak-anaknya seperti Bagus Coak dan Bagus Made Bandem. Panjak pengiring I Dewa Wayan Muntur hanya berdua yaitu I Gulingan dan I Mandesa (Kertha dkk, 2001: 20-21). 

Raja Badung ketika itu menginginkan agar I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande membangun, dan membina wilayah perdikan baru di perbatasan timur laut wilayah Badung (Denpasar sekarang) untuk menghadang Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Akhirnya I Dewa Wayan Muntur bersama dengan I Dewa Gde Pande menuju wilayah perbatasan tersebut diiringi oleh panjak pengiring warga-wargi sebanyak 40 orang terdiri dari klan Pasek, Kalah, dan Karang Buncing seperti Pan Edan, Pan Gejor, Pan Gobyah, dan Pan Gudug menetap di Kalah Penatih, sedangkan I Dunia, I Tusan, I Enteg, I Nedeng, I Runia, dan I Tebeng ikut mengiringi sampai wilayah pemanis/pomanis (Pohmanis sekarang) (Kertha dkk, 2001: 22).

Keberadaan I Dewa Wayan Muntur bersama I Dewa Gde Pande bersama pengikutnya di pemanis mampu meredam invasi militer Kerajaan Mengwi dari utara serta Kerajaan Gianyar dari timur. Keadaan aman tersebut selanjutnya membuat masyarakat berangsur-angsur membangun jero, rumah-rumah warga, tempat suci (pura), dan membagi wilayah pertanian yang nantinya digunakan untuk bercocok tanam. Mendengar keadaan wilayah pemanis semakin aman, Raja Badung sangat bahagia dan kembali mengirimkan panjak pengiring dari warga-wargi soroh Pande dan Senggehu untuk melengkapi wilayah pemamis sebagai benteng pertahanan timur laut Kerajaan Badung ketika itu.

Mengenai Pura Kahyangan lan Dalem Penataran dari beberapa keterangan penglingsir dikatakan bahwa Pura Kahyangan dibangun lebih dahulu karena berdampingan dan berhubungan dengan setra (kuburan). Beberapa tahun kemudian barulah di utama mandala (jeroan) di bangunan Pura Dalem Penataran. Struktur Pura Dalem Penataran menandakan bahwa pura ini selain sebagai Pura Kahyangan Tiga pada awalnya dikatakan sebagai pendharmaan (kawitan) keluarga Jero Agung Pohmanis dan pengiring (panjak tatadan) seperti Karang Buncing, Kalah, dan Pasek yang dibuktikan dengan adanya meru tumpang tiga, selanjutnya masyarakat yang datang belakangan ke wilayah pemanis (pohmanis) ini ikut manyungsung serta mengempon pura ditandai dengan dibangunnya tujuh Pelinggih Sanak seperti Pelinggih Sanak Pande, Senggehu, Pasek Bendesa, Bendesa Manik Mas, dan dua Pelinggih Sanak Pasek.

Pura Kahyangan lan Dalem Penataran memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala),  jaba tengah (madya mandala), jeroan (utama mandala). Pura Kahyangan terletak di madya mandala ditandai dengan adanya Palinggih Gedong Kahyangan dan Pura Dalem Penataran terletak di utama mandala ditandai dengan adanya Palinggih Gedong Dalem. Pura Dalem Penataran Taman Pohmanis ini memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa beserta sakti, selain itu dapat dikatakan memiliki karakter geneologis (keluarga) dengan bukti adanya Pelinggih Meru Tumpang Telu dan tujuh buah Palinggih Sanak dari berbagai klan masyarakat di Desa Adat Taman Pohmanis. Pura Penataran sering dikaitkan dengan pura yang dimiliki raja/penguasa dan dapat juga berarti semua klan/soroh dapat melakukan pemujaan disana. Berkenaan dengan Pengertian Milik raja/penguasa dapat dilihat berdasarkan penamaan pratima dan struktur palinggih yang berkaitan dengan jabatan dalam sebuah kerajaan seperti Ratu Dalem (raja), Ratu Kahyangan (ibu/sakti/istri), Ida Bhatara Alit (putra raja/dalem), Pamayun Agung (wakil raja), Panyarikan (sekretaris), Panglurah (pembantu raja/patih), Sedahan Agung (lembaga pengurus uang dan pajak), Pangenter (juru bicara/menteri), dan Sanak (keluarga/masyarakat). 

Upacara piodalan dilaksanakan dua kali setiap enam bulan sekali, yaitu piodalan Pura Kahyangan jatuh pada hari Saniscara (sabtu) Wuku Wayang (Tumpek Wayang) sedangkan piodalan Pura Dalem penataran jatuh pada hari Soma (senin) Pahing Wuku Langkir (Pahing Kuningan). Berdasarkan karakter pura yang mengempon dan menyungsung Pura Kahyangan lan Dalem Penataran ini adalah masyarakat Desa Adat Taman Pohmanis.

1. Gapura Kori Agung

Gapura Kori Agung sebagai penghubung halaman Pura Kahyangan dan Pura Dalem Penataran. Gapura kuna ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki gapura terbuat dari susunan batu padas yang banyak dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, serta karang manuk (kepala burung) dan karang asti (kepala gajah) menghiasi setiap sudut kaki gapura pada sisi utara dan selatan. Sisi selatan gapura terdapat dua arca dwarapala membawa gada mengapit kedua sisi pintu masuk. Badan gapura lebih didominasi menggunakan bahan batu bata merah yang dilengkapi dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. 

 Ornamen yang menghiasi kedua sisi (utara dan selatan) pada ambang pintu gapura kuno ini adalah kepala kala (karang boma) yang sangat unik dan tidak lazim ditemukan pada beberapa bangunan pura lainnya di Bali, yaitu berupa kepala kala yang diapit dengan lilitan makara (ular berkepala gajah). Ornament makara tersebut terlilit dengan posisi saling membelakangi sama seperti konsepsi ornament makara di relung Candi Sari (Jawa Tengah). Ornamen karang bhoma terbuat dari batu padas dengan memiliki tiga komponen motif, yaitu mahkota yang meliputi hiasan mahkota dan rambut, wajah yang meliputi mata, hidung, mulut, dagu, dan tanduk, serta tangan yang meliputi sikap jari dan kuku. Antara kepala kala (karang bhoma) dan makara terdapat pahatan figur manusia sederhana yang dipahatkan dengan sikap tangan disilang di depan perut. Kepala kala ini memiliki ukuran yang sangat besar dengan gaya naturalis, mata melotot, rahang atas dan bawah bertaring, serta kedua telapak tangannya terbuka seperti sikap ingin menerkam yang dililit oleh makara. (Basudewa dkk, 2015: 183-184). Menurut masyarakat atap Kori Agung dulu nya berjumlah lima tingkatan dan hancur karena gejer (gempa Bali) dan diperbaiki menjadi tiga tingkatan saja.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

1. Gapura/Paduraksa Kori Agung

Gapura/paduraksa yang dapat dikategorikan sebagai struktur Cagar Budaya ini merupakan pintu pembatas dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian dasar kaki terbuat dari balok-balok batu padas panjang besar dengan lima anak tangga di bagian tengah-tengahnya. Balok-balok batu padas panjang dan besar ini memunculkan sebuah asumsi bahwa dasar kaki gapura adalah yang masih asli belum mengalami perbaikan, sementara bagian badan sampai atap merupakan hasil perbaikan tahun 1941 Masehi dengan ditemukannya angka tahun tersebut di dinding badan sisi utara. Daun pintu terbuat dari kayu berwarna coklat, di atas ambang pintu berhiaskan kepala kala berupa karang boma dengan mata melotot dan taring mencuat keluar, pada badan samping gapura kedua sisinya dihiasi dengan subeng berbentuk tapak dara, kuping, dan util. Atap gapura terdiri dari lima tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dengan masing-masing sudutnya berhiaskan simbar duduk, simbar gantung, dan hiasan antefik berupa suluran daun, serta pada puncak atap dihiasi dengan menur/murdha.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

1. Gapura Kori Agung

Gapura Kori Agung sebagai penghubung halaman Pura Kahyangan dan Pura Dalem Penataran. Gapura kuna ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, badan, dan atap. Bagian kaki gapura terbuat dari susunan batu padas yang banyak dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, serta karang manuk (kepala burung) dan karang asti (kepala gajah) menghiasi setiap sudut kaki gapura pada sisi utara dan selatan. Sisi selatan gapura terdapat dua arca dwarapala membawa gada mengapit kedua sisi pintu masuk. Badan gapura lebih didominasi menggunakan bahan batu bata merah yang dilengkapi dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. 

 Ornamen yang menghiasi kedua sisi (utara dan selatan) pada ambang pintu gapura kuno ini adalah kepala kala (karang boma) yang sangat unik dan tidak lazim ditemukan pada beberapa bangunan pura lainnya di Bali, yaitu berupa kepala kala yang diapit dengan lilitan makara (ular berkepala gajah). Ornament makara tersebut terlilit dengan posisi saling membelakangi sama seperti konsepsi ornament makara di relung Candi Sari (Jawa Tengah). Ornamen karang bhoma terbuat dari batu padas dengan memiliki tiga komponen motif, yaitu mahkota yang meliputi hiasan mahkota dan rambut, wajah yang meliputi mata, hidung, mulut, dagu, dan tanduk, serta tangan yang meliputi sikap jari dan kuku. Antara kepala kala (karang bhoma) dan makara terdapat pahatan figur manusia sederhana yang dipahatkan dengan sikap tangan disilang di depan perut. Kepala kala ini memiliki ukuran yang sangat besar dengan gaya naturalis, mata melotot, rahang atas dan bawah bertaring, serta kedua telapak tangannya terbuka seperti sikap ingin menerkam yang dililit oleh makara. (Basudewa dkk, 2015: 183-184). Menurut masyarakat atap Kori Agung dulu nya berjumlah lima tingkatan dan hancur karena gejer (gempa Bali) dan diperbaiki menjadi tiga tingkatan saja.

2. Padmasana

Padmasana secara struktur terbuat dari susunan batu padas yang dihiasi dengan ornamen-ornamen (patra) sulur daun, bunga, karang manuk (kepala burung), karang tapel, dan karang asti (kapala gajah) yang dilengkapi dengan simbar gantung. Bagian dasar kaki padmasana dihiasi dengan be dawang (kura-kura) dililit dengan naga yang kepalanya berada di depan kaki bangunan dan ekornya berada di belakang bangunan. Badan padmasana bahan pokoknya menggunakan batu bata merah yang dikombinasikan dengan hiasan ornamen (patra) terbuat dari batu padas. Ornamen papalihan dan ceplok bunga lebih banyak menghiasi bagian-bagian yang datar, sedangkan pada sudut candi dihiasi dengan ornament karang manuk yang semuanya dilengkapi dengan simbar gantung. Badan padmasana juga dilengkapi dengan selasar yang setiap sudutnya dilengkapi dengan arca-arca perwujudan seperti arca Bala Gana di timur laut, arca perwujudan pendeta di tenggara, arca perwujudan tokoh di barat daya dan barat laut. Bagian  atas padmasana menyerupai singgasana yang dilengkapi dengan sandaran belakang berhiaskan seluran daun dan bunga (patra).

3. Arca Raksasi I

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Kedua tangan memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

4. Arca Raksasi II

Arca ditempatkan di Pelinggih Ameng-ameng (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik. Wajah digambarkan menyeramkan dengan keempat taring mencuat keluar, mata melotot, rambut terurai, payudara besar bergelayut hingga menyentuh paha, dan lidah menjulur berhiaskan pahatan api hingga menyentuh lutut. Kain yang digunakan hanya sebatas paha (di atas lutut). Tangan kanan berada di samping kepala, tangan kiri memegang helaian rambut di samping payudara dan hampir semua badan arca dipahatkan besar-besar.

5. Arca Raksasi III

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kiri) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, dan rambut seperti rumah siput diikat ke atas. Kedua tangan menggenggam sampur di pinggang. Menggunakan kankana, kelat bahu, hara (badong), telinga menggunakan subeng, kain sampai pergelangan kaki dengan motif kotak-kotak, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

6. Arca Raksasi IV 

Arca ditempatkan di Palinggih Gedong Ratu Kahyangan (sebelah kanan) dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos. Wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, kedua taring bawah mencuat ke atas, lidah menjulur hingga menyentuh lapik, dan rambut terurai. Tangan kanan membawa suatu benda diletakkan disamping pinggang, tangan kiri di letakkan di pinggang sambil menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan kankana pada tangan dan kaki, lubang telinga besar untuk menggantungkan anting-anting, menggunakan kain sampai di atas lutut, dan kaki dipahatkan kaku besar-besar.

7. Arca Raksasi V

Arca ditempatkan di Pelinggih Gedong Kahyangan (sebelah belakang) dengan sikap berdiri samabhanga di atas lapik persegi polos. Arca digambarkan sangat sederhana dan kaku, wajah arca digambarkan sangat menyeramkan dengan mata melotot, taring mencuat, rambut sudah aus, lidah menjulur sampai di perut, dan memperlihatkan buah dada. Tangan kanan membawa benda bulatan diletakkan disamping pinggang, tangan kiri terjuntai ke bawah, menggunakan kelat bahu polos, kankana pada tangan polos, kain dipahatkan sangat berat dan tebal dengan motif garis-garis menutupi sebagian telapak kaki.

8. Arca Dwarapala I

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebelah kiri) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, lengan tangan kiri patah, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang tapel yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upavita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa papudakan.

9. Arca Dwarapala II

Arca ditempatkan di depan Gapura Kuna/Kori Agung (sebalah kanan) bersikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos. Berwajah raksasa menyeramkan dengan memperlihatkan gigi taring, tangan kanan membawa gada, tangan kiri diletakkan di depan perut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata yang lidahnya menjulurkan, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun, upawita berupa susunan manik-manik, telinga berhiaskan subeng, serta mahkota yang digunakan berupa perbudakan.

10. Arca Balagana/Gajawaktra

Arca ini secara mitologi merupakan pasukan raksasa berkepala gajah milik Dewa Siwa yang dipimpin langsung oleh Dewa Ganesha. Gajawaktra dapat berarti bermuka/berwajah/bermulut gajah. Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah timur laut) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota yang dilengkapi dengan petitis, mata melotot, kedua gading mencuat, dan belalai menjulur sampai perut. Tangan kanan arca membawa senjata cakra diletakkan di pinggang, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kelat bahu, hara berupa badong, kain sampai di atas lutut, wiron yang digunakan sampai menyentuh lapik, serta kankana yang digunakan pada tangan dan kaki berbentuk lingkaran polos.

11. Arca Pendeta

Arca ditempatkan di belakang Padmasana (sebelah tenggara) bersikap berdiri dengan kedua kaki ditekuk di atas lapik persegi polos menggunakan mahkota berbentuk ketu dilengkapi dengan petitis dan ron ronan, arca penggarapannya sangat kaku dan tebal, telinga menggunakan anting-anting bulat. Tangan kanan arca diletakkan di paha dengan sikap jari tengah dan jari telunjuk diacungkan ke atas, tangan kiri diletakkan di atas paha menggenggam kain, menggunakan kelat bahu, menggunakan baju rompi, upawita berupa susunan manik-manik, kain sampai di atas lutut, serta wiron yang digunakan berujung dua sampai menyentuh lapik.

12. Arca Tokoh I

Arca tokoh I ditempatkan di depan Padmasana (sebelah barat laut) bersikap berdiri kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi polos, menggunakan mahkota supit urang dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap ibu jari dan telunjuk disatukan, tangan kiri diletakkan di depan perut menggenggam kain, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

13. Arca Tokoh II

Arca ditempatkan di depan Padmasana (sebalah barat daya) bersikap berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik persegi, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan gigi, mata melotot, telinga menggunakan anting-anting, tangan kanan di depan dada bersikap menonjolkan kuku ibu jari, tangan kiri diletakkan di atas lutut, menggunakan kain sampai di atas lutut, wiron berujung dua menjuntai hingga menyentuh lapik, ikat pinggang berhiaskan karang mata, menggunakan kankana pada kaki dan tangan, kelat bahu berupa susunan manik-manik, serta hara berupa susunan manik-manik dilengkapi dengan seluran daun.

Pura Agung Penatih

Keberadaan Pura Penataran Agung Penatih dikaitkan dengan perjalanan Maha Rsi Markandeya yang diiringi oleh muridnya bernama Bhujangga Sari dengan membangun Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan juga di Campuhan membangun Pura Tangga Hyang Api ditepian Sungai Hoos. Bhujangga Sari diceritakan telah lama menuntut ilmu, dan ingin mendirikan pasraman di sebuah tanah berwarna putih yang ternyata telah ditempati oleh orang Bali Aga berasal dari daerah Taro. Pura yang dibangun di Tanah Putih ini bernama Payogan Hyang Api sebagai pemujaan tri sakti dan tempat pemujaan pakraman. 

Tanah Putih merupakan cikal bakal dari nama Penatih yang berasal dari kata pinih dan tih yang berarti pertama (tih) (Dhaksa, t.t).  Setelah Bali berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV Masehi, maka Patih Gajah Mada  atas perintah Ratu Tribhuwana Tunggadewi mengirim Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) untuk dijadikan Adipati Bali beserta dengan beberapa pengiring seperti Arya Kanuruhan, Arya Demung, Arya Belog, Arya Mengori, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Kepakisan, Arya Pangalasan, Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para, Arya Getas, dan Arya Wang Bang.

Wilayah Penatih ditempati oleh Arya Wang Bang Pinatih yang bergelar Kyai Anglurah Pinatih Mantra dengan pasukan sejumlah 35.000. Penatih dalam kekuasaan Kyai Anglurah Penatih Mantra banyak mengalami perubahan pembangunan, salah satunya adalah bangunan-bangunan suci. Pura Payogan Hyang Api yang sebelumnya sudah ada pada masa Bhujangga Sari juga ikut dipugar yang pada awalnya sebagai pemujaan tri sakti ditambahkan dengan beberapa pelinggih leluhur (kawitan), yaitu Palinggih Manik Angkeran, Pelinggih Dukuh Belatungan, Pelinggih Padma Siwa, dan Palinggih Padma Budha (Padma Kurung). Pembangunan dua Padma (Siwa-Budha) ini sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yang bernama Mpu Sidhimantra sebagai penganut ajaran Budha dan Mpu Sedah penganut ajaran Siwa (Dhaksa, t.t).

Pura Penataran Agung Penatih memiliki struktur tri mandala, yaitu jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala), jeroan (utama mandala). Pura Penataran Agung Penatih ini memiliki karakter sebagai Pura Kahyangan Tiga Tunggal (Puseh, Desa, Dalem) tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi, selain itu memiliki karakter geneologis (kawitan/keluarga) dengan bukti adanya Pelinggih Manik Angkeran dan Pelinggih Dukuh Belatungan.

1. Kemuncak Bangunan Candi

Fragmen bangunan ini ditempatkan di sebelah kiri Pelinggih Gedong Ratu Agung yang merupakan bagian dari material bangunan candi seperti kemuncak/manara sudut memiliki pasak untuk dipasangkan ke lubang di bawahnya yang berbentuk persegi. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan purus lingkaran. Hiasan simbar gantung hanya tersisa di satu sudut saja dan bagian umpak berbentuk persegi empat. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

2. Susunan Batu 

Susunan batu ini berada di  depan Pelinggih Gedong Ratu Agung yang terdiri dari empat susunan, yaitu paling bawah merupakan fragmen batu padas dengan goresan-goresan yang diperkirakan digunakan untuk  mengasah senjata. Susunan batu di atasnya merupakan batu padas yang berukuran lebih kecil dan susunan batu paling atas terdiri dari dua buah batu andesit yang berukuran lebih kecil.

3. Lingga Semu

Lingga ini ditempatkan di depan sebelah kiri Pelinggih Bhatara Siwa, dan bukan merupakan lingga tri bhaga karena hanya berbentuk silinder diletakkan di atas umpak persegi. Lingkaran atas lingga lebih besar daripada lingkaran bawahnya.

4. Lumpang Batu dan Palung Batu

Lumpang batu, dan palung batu ini berada di  depan kanan Pelinggih Bhatara Siwa. Lumpang batu keduanya terbuat dari batu andesit, sedangkan palung batu terbuat dari batu padas. Lumpang batu berfungsi sebagai landasan menumbuk/menghancurkan biji-bijian, sedangkan palung batu pada masa lampau difungsikan sebagai alat untuk menampung air dan tempat makan ternak.

5. Kemuncak Bangunan Candi

Kemuncak ini diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman Kelod yang merupakan bagian dari atap sebuah bangunan candi dengan memiliki pasak untuk dipasangkan pada lubang di bawahnya yang berbentuk persegi, bagian puncaknya berbentuk lingkaran bersusun tiga, dan bagian kaki pada keempat sisinya dihiasi simbar gantung. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan lubang di atasnya. Umpak bangunan pada susunan paling bawah berbentuk persegi delapan. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

6. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Palinggih Gedong Pangiasan duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, tangan kiri sudah hilang, dan tangan kanan diletakkan di atas paha. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

7. Arca Perwujudan Bhatari Bersayap

Arca diletakkan di depan Palinggih Gedong Pangiasan bersikap kedua kaki ditekuk ke belakang (bersimpuh) di atas lapik bulat, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan buah dada, mata setengah terpejam, telinga menggunakan subeng, kedua tangan di arahkan ke atas diikuti dengan sayapnya, dan menggunakan kain tebal dengan motif hiasan garis-garis.

8. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, kedua tangan sudah hilang, dan hanya ada hiasan lipatan wiron pada belakang arca. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

9. Kemuncak Bangunan Candi 

Fragmen bangunan ini terdiri dari empat susun diletakkan di depan kanan Pelinggih Pangaruman Kelod. Fragmen paling atas menyerupai miniatur candi atau bahkan memang bagian dari candi (hiasan sudut atap candi). Bentuknya semakin ke atas semakin kecil dengan dihiasi simbar pada masing-masing sudutnya dengan ukuran tinggi 62 cm dan lebar 41 cm. Fragmen di bawah kemuncak/menara sudut, tepatnya susunan kedua dari atas berbentuk persegi polos dengan ukuran tinggi 28 cm dan lebar 39 cm. Susunan ketiga dari atas merupakan fragmen berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 16 cm dan lebar 70 cm. Kondisi fragmen sudah aus di semua bagiannya, serta pada salah satu sisi fragmen ini terdapat cerat untuk mengalirkan air (fragmen yoni). Fragmen paling bawah berbentuk persegi panjang polos dengan ukuran tinggi 46 cm dan lebar 33 cm.

1. Kemuncak Bangunan Candi

Fragmen bangunan ini ditempatkan di sebelah kiri Pelinggih Gedong Ratu Agung yang merupakan bagian dari material bangunan candi seperti kemuncak/manara sudut memiliki pasak untuk dipasangkan ke lubang di bawahnya yang berbentuk persegi. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan purus lingkaran. Hiasan simbar gantung hanya tersisa di satu sudut saja dan bagian umpak berbentuk persegi empat. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

2. Susunan Batu 

Susunan batu ini berada di  depan Pelinggih Gedong Ratu Agung yang terdiri dari empat susunan, yaitu paling bawah merupakan fragmen batu padas dengan goresan-goresan yang diperkirakan digunakan untuk  mengasah senjata. Susunan batu di atasnya merupakan batu padas yang berukuran lebih kecil dan susunan batu paling atas terdiri dari dua buah batu andesit yang berukuran lebih kecil.

3. Lingga Semu

Lingga ini ditempatkan di depan sebelah kiri Pelinggih Bhatara Siwa, dan bukan merupakan lingga tri bhaga karena hanya berbentuk silinder diletakkan di atas umpak persegi. Lingkaran atas lingga lebih besar daripada lingkaran bawahnya.

 

4. Lumpang Batu dan Palung Batu

Lumpang batu, dan palung batu ini berada di  depan kanan Pelinggih Bhatara Siwa. Lumpang batu keduanya terbuat dari batu andesit, sedangkan palung batu terbuat dari batu padas. Lumpang batu berfungsi sebagai landasan menumbuk/menghancurkan biji-bijian, sedangkan palung batu pada masa lampau difungsikan sebagai alat untuk menampung air dan tempat makan ternak

5. Kemuncak Bangunan Candi

Kemuncak ini diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman Kelod yang merupakan bagian dari atap sebuah bangunan candi dengan memiliki pasak untuk dipasangkan pada lubang di bawahnya yang berbentuk persegi, bagian puncaknya berbentuk lingkaran bersusun tiga, dan bagian kaki pada keempat sisinya dihiasi simbar gantung. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan lubang di atasnya. Umpak bangunan pada susunan paling bawah berbentuk persegi delapan. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

6. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Palinggih Gedong Pangiasan duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, tangan kiri sudah hilang, dan tangan kanan diletakkan di atas paha. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

7. Arca Perwujudan Bhatari Bersayap

Arca diletakkan di depan Palinggih Gedong Pangiasan bersikap kedua kaki ditekuk ke belakang (bersimpuh) di atas lapik bulat, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan buah dada, mata setengah terpejam, telinga menggunakan subeng, kedua tangan di arahkan ke atas diikuti dengan sayapnya, dan menggunakan kain tebal dengan motif hiasan garis-garis.

8. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, kedua tangan sudah hilang, dan hanya ada hiasan lipatan wiron pada belakang arca. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

9. Kemuncak Bangunan Candi 

Fragmen bangunan ini terdiri dari empat susun diletakkan di depan kanan Pelinggih Pangaruman Kelod. Fragmen paling atas menyerupai miniatur candi atau bahkan memang bagian dari candi (hiasan sudut atap candi). Bentuknya semakin ke atas semakin kecil dengan dihiasi simbar pada masing-masing sudutnya dengan ukuran tinggi 62 cm dan lebar 41 cm. Fragmen di bawah kemuncak/menara sudut, tepatnya susunan kedua dari atas berbentuk persegi polos dengan ukuran tinggi 28 cm dan lebar 39 cm. Susunan ketiga dari atas merupakan fragmen berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 16 cm dan lebar 70 cm. Kondisi fragmen sudah aus di semua bagiannya, serta pada salah satu sisi fragmen ini terdapat cerat untuk mengalirkan air (fragmen yoni). Fragmen paling bawah berbentuk persegi panjang polos dengan ukuran tinggi 46 cm dan lebar 33 cm.

1. Kemuncak Bangunan Candi

Fragmen bangunan ini ditempatkan di sebelah kiri Pelinggih Gedong Ratu Agung yang merupakan bagian dari material bangunan candi seperti kemuncak/manara sudut memiliki pasak untuk dipasangkan ke lubang di bawahnya yang berbentuk persegi. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan purus lingkaran. Hiasan simbar gantung hanya tersisa di satu sudut saja dan bagian umpak berbentuk persegi empat. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

2. Susunan Batu 

Susunan batu ini berada di  depan Pelinggih Gedong Ratu Agung yang terdiri dari empat susunan, yaitu paling bawah merupakan fragmen batu padas dengan goresan-goresan yang diperkirakan digunakan untuk  mengasah senjata. Susunan batu di atasnya merupakan batu padas yang berukuran lebih kecil dan susunan batu paling atas terdiri dari dua buah batu andesit yang berukuran lebih kecil.

3. Lingga Semu

Lingga ini ditempatkan di depan sebelah kiri Pelinggih Bhatara Siwa, dan bukan merupakan lingga tri bhaga karena hanya berbentuk silinder diletakkan di atas umpak persegi. Lingkaran atas lingga lebih besar daripada lingkaran bawahnya.

4. Lumpang Batu dan Palung Batu

Lumpang batu, dan palung batu ini berada di  depan kanan Pelinggih Bhatara Siwa. Lumpang batu keduanya terbuat dari batu andesit, sedangkan palung batu terbuat dari batu padas. Lumpang batu berfungsi sebagai landasan menumbuk/menghancurkan biji-bijian, sedangkan palung batu pada masa lampau difungsikan sebagai alat untuk menampung air dan tempat makan ternak.

5. Kemuncak Bangunan Candi

Kemuncak ini diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman Kelod yang merupakan bagian dari atap sebuah bangunan candi dengan memiliki pasak untuk dipasangkan pada lubang di bawahnya yang berbentuk persegi, bagian puncaknya berbentuk lingkaran bersusun tiga, dan bagian kaki pada keempat sisinya dihiasi simbar gantung. Badan fragmen bangunan ini memiliki lubang pada bagian atas dengan hiasan pelipit dan sisi genta dilengkapi dengan lubang di atasnya. Umpak bangunan pada susunan paling bawah berbentuk persegi delapan. Susunan kemuncak dengan badannya ini diperkirakan bukan pasangan aslinya, karena ukuran pasak dan lubangnya tidak cocok atau sesuai.

6. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Palinggih Gedong Pangiasan duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, tangan kiri sudah hilang, dan tangan kanan diletakkan di atas paha. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

7. Arca Perwujudan Bhatari Bersayap

Arca diletakkan di depan Palinggih Gedong Pangiasan bersikap kedua kaki ditekuk ke belakang (bersimpuh) di atas lapik bulat, menggunakan mahkota papudakan dilengkapi dengan petitis dan ron-ronan, menonjolkan buah dada, mata setengah terpejam, telinga menggunakan subeng, kedua tangan di arahkan ke atas diikuti dengan sayapnya, dan menggunakan kain tebal dengan motif hiasan garis-garis.

8. Arca di Atas Lilitan Ular

Arca diletakkan di depan kiri Pelinggih Pangaruman duduk bersila di atas lilitan ular, tanpa menggunakan hiasan pada badannya, kepala sudah hilang, kedua tangan sudah hilang, dan hanya ada hiasan lipatan wiron pada belakang arca. Arca-arca dengan ciri atribut ular dan tengkorak biasanya seni arca dengan ajaran tantris (bhairawa), seperti halnya beberapa arca yang ditemukan di Pura Kebo Edan Pejeng, Gianyar.

9. Kemuncak Bangunan Candi 

Fragmen bangunan ini terdiri dari empat susun diletakkan di depan kanan Pelinggih Pangaruman Kelod. Fragmen paling atas menyerupai miniatur candi atau bahkan memang bagian dari candi (hiasan sudut atap candi). Bentuknya semakin ke atas semakin kecil dengan dihiasi simbar pada masing-masing sudutnya dengan ukuran tinggi 62 cm dan lebar 41 cm. Fragmen di bawah kemuncak/menara sudut, tepatnya susunan kedua dari atas berbentuk persegi polos dengan ukuran tinggi 28 cm dan lebar 39 cm. Susunan ketiga dari atas merupakan fragmen berbentuk persegi dengan ukuran tinggi 16 cm dan lebar 70 cm. Kondisi fragmen sudah aus di semua bagiannya, serta pada salah satu sisi fragmen ini terdapat cerat untuk mengalirkan air (fragmen yoni). Fragmen paling bawah berbentuk persegi panjang polos dengan ukuran tinggi 46 cm dan lebar 33 cm.

Puri Agung Kesiman

Puri Agung Kesiman terbentuk berdasarkan atas pembagian daerah kekuasaan I Gusti Ngurah Made Pemecutan (Raja Puri Denpasar I)  kepada kedua anaknya yang bernama I Gusti Ngurah Gede, dan I Gusti Gede Kesiman. Puri Agung Kesiman berdiri sekitar abad XIX Masehi dengan pendirinya I Gusti Gede Kesiman yang naik tahta pada tahun 1813 hingga 20 November 1865 sebagai punggawa kesiman. Luas keseluruhan situs puri ini ± 12.192 m² dengan pembagian empat mandala, seperti Ancak Saji merupakan halamanan paling luar (depan), Sumengen/Senetan merupakan tempat melaksanakan upacara kematian, Pemereman/Dunungan merupakan areal tempat tinggal anggota keluarga puri, dan Pemrajan Agung  sebagai tempat suci puri.

1. Gapura/paduraksa 

Gapura pada halaman ancak saji sebagai pintu masuk ke halaman saren menghadap ke barat, terdiri dari tiga bagian yaitu kaki terbuat dari susunan batu bata berbentuk persegi dan ditengah-tengahnya terdapat anak tangga berjumlah tujuh buah. Bagian badan sangat tambun disusun menggunakan batu bata, pada tengah-tengahnya terdapat pintu masuk terbuat dari kayu, atas badan setiap sudutnya berhiaskan relief simbar gantung, samping badan masing-masingnya berhiaskan subeng, kuping, dan util. Atap gapura terbuat dari susunan batu padas bersusun satu pada keempat sudut nya berhiaskan simbar duduk berupa karang manuk dan antefik berdiri, serta pada tengah-tengahnya berhiaskan karang tapel.

Gapura sebagai pintu masuk ke halaman Pemrajan Agung Puri Kesiman terbuat dari susunan batu padas, bentuk arsitektur gapura menyerupai gapura di Pura Dalem Sakenan berbentuk tambun, pada samping badan masing-masing berhiaskan seluran daun membentuk sayap, ambang pintu di atasnya berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan menjulurkan lidahnya. Atap gapura bersusun tiga masing-masingnya berhiaskan kepala kala pada bagian tengahnya, pada beberapa sisinya berhiaskan antefik dan pada puncaknya berhiaskan bentala. 

 

2. Gapura Bentar 

Gapura bentar yang berada di halaman ancak saji dengan arah hadap berbeda-beda. Sebuah menghadap ke selatan dan satunya lagi menghadap ke barat. Candi bentar merupakan gapura yang terbelah dua yang seolah-olah seperti candi kembar. Candi bentar ini sangat tambun tetapi menjulang tinggi berhiaskan simbar gantung maupun simbar duduk, dan setiap sudutnya juga berhiaskan antefik. 

 

3. Candi Prasada

Candi prasada terbuat dari susunan batu bata, menghadap ke barat di halaman jeroan Pemrajan Agung Puri Kesiman, berbentuk ramping seperti menara yang sama dengan bangunan-bangunan candi di Jawa Timur (periode Majapahit), bagian kaki berbentuk persegi dengan hiasan relief simbar gantung, badan prasada di tengahnya berupa garbha graha, bagian atap bersusun 9 semakin ke atas semakin kecil dengan hiasan simbar gantung dan simbar duduk pada setiap sudut tingkatan atap, serta pada puncaknya berhiaskan murdha/menur. 

 

4. Meru

Meru menghadap ke barat di halaman jeroan Pemrajan Agung Puri Kesiman, secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian kaki terbuat dari susunan batu bata berhiaskan pepalihan, diatas bebaturannya diletakkan arca berjumlah 8 buah yang disebut dengan arca Asta Bratha. Badan meru terbuat dari susunan batu bata, tetapi sudah dilapisi pewarna putih, pada tengah-tengah badan terdapat pintu yang terbuat dari kayu untuk menuju garbha graha meru. Bagian atap bersusun 11 menjulang tinggi terbuat dari susunan kayu dan ijuk. 

 

5. Kolam

Struktur kolam berada di halamanan utama (jeroan) Pemrajan Agung mengikuti sisi tembok penyengker pemrajan. Struktur kolam ini sangat lebar dan dalam, serta diperkirakan sezaman dengan prasada maupun pelinggih meru, karena dalam arsip foto-foto kolonial struktur kolam ini selalu ada jika prasada dan pelinggih meru menjadi objeknya. Diperkirakan berasal dari abad XIV-XV Masehi.

 

6. Arca Asta Brata

Arca ini berjumlah 8 buah terbuat dari batu padas, dan diletakkan berjajar pada selasar Pelinggih Meru. Kedelapan arca gaya dan bentuk perhiasannya sama, empat buah arca (sisi utara) kaki kiri ditekuk ke belakang, sedangkan kaki kanan ditekuk ke atas, empat buah arca (sisi selatan) kaki kanan ditekuk belakang, sedangkan kaki kiri ditekuk ke atas, dan semua arca kedua tangannya diletakan di samping pinggang. Arca-arca asta bratha ini adalah Indra, Candra, Kuwera, Bayu, Surya, Yama, Baruna, dan Agni.

1. Gapura/paduraksa 

Gapura pada halaman ancak saji sebagai pintu masuk ke halaman saren menghadap ke barat, terdiri dari tiga bagian yaitu kaki terbuat dari susunan batu bata berbentuk persegi dan ditengah-tengahnya terdapat anak tangga berjumlah tujuh buah. Bagian badan sangat tambun disusun menggunakan batu bata, pada tengah-tengahnya terdapat pintu masuk terbuat dari kayu, atas badan setiap sudutnya berhiaskan relief simbar gantung, samping badan masing-masingnya berhiaskan subeng, kuping, dan util. Atap gapura terbuat dari susunan batu padas bersusun satu pada keempat sudut nya berhiaskan simbar duduk berupa karang manuk dan antefik berdiri, serta pada tengah-tengahnya berhiaskan karang tapel.

Gapura sebagai pintu masuk ke halaman Pemrajan Agung Puri Kesiman terbuat dari susunan batu padas, bentuk arsitektur gapura menyerupai gapura di Pura Dalem Sakenan berbentuk tambun, pada samping badan masing-masing berhiaskan seluran daun membentuk sayap, ambang pintu di atasnya berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan menjulurkan lidahnya. Atap gapura bersusun tiga masing-masingnya berhiaskan kepala kala pada bagian tengahnya, pada beberapa sisinya berhiaskan antefik dan pada puncaknya berhiaskan bentala. 

2. Gapura Bentar 

Gapura bentar yang berada di halaman ancak saji dengan arah hadap berbeda-beda. Sebuah menghadap ke selatan dan satunya lagi menghadap ke barat. Candi bentar merupakan gapura yang terbelah dua yang seolah-olah seperti candi kembar. Candi bentar ini sangat tambun tetapi menjulang tinggi berhiaskan simbar gantung maupun simbar duduk, dan setiap sudutnya juga berhiaskan antefik. 

 

3. Candi Prasada

Candi prasada terbuat dari susunan batu bata, menghadap ke barat di halaman jeroan Pemrajan Agung Puri Kesiman, berbentuk ramping seperti menara yang sama dengan bangunan-bangunan candi di Jawa Timur (periode Majapahit), bagian kaki berbentuk persegi dengan hiasan relief simbar gantung, badan prasada di tengahnya berupa garbha graha, bagian atap bersusun 9 semakin ke atas semakin kecil dengan hiasan simbar gantung dan simbar duduk pada setiap sudut tingkatan atap, serta pada puncaknya berhiaskan murdha/menur. 

4. Meru

Meru menghadap ke barat di halaman jeroan Pemrajan Agung Puri Kesiman, secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian kaki terbuat dari susunan batu bata berhiaskan pepalihan, diatas bebaturannya diletakkan arca berjumlah 8 buah yang disebut dengan arca Asta Bratha. Badan meru terbuat dari susunan batu bata, tetapi sudah dilapisi pewarna putih, pada tengah-tengah badan terdapat pintu yang terbuat dari kayu untuk menuju garbha graha meru. Bagian atap bersusun 11 menjulang tinggi terbuat dari susunan kayu dan ijuk. 

5. Kolam

Struktur kolam berada di halamanan utama (jeroan) Pemrajan Agung mengikuti sisi tembok penyengker pemrajan. Struktur kolam ini sangat lebar dan dalam, serta diperkirakan sezaman dengan prasada maupun pelinggih meru, karena dalam arsip foto-foto kolonial struktur kolam ini selalu ada jika prasada dan pelinggih meru menjadi objeknya. Diperkirakan berasal dari abad XIV-XV Masehi.

 

6. Arca Asta Brata

Arca ini berjumlah 8 buah terbuat dari batu padas, dan diletakkan berjajar pada selasar Pelinggih Meru. Kedelapan arca gaya dan bentuk perhiasannya sama, empat buah arca (sisi utara) kaki kiri ditekuk ke belakang, sedangkan kaki kanan ditekuk ke atas, empat buah arca (sisi selatan) kaki kanan ditekuk belakang, sedangkan kaki kiri ditekuk ke atas, dan semua arca kedua tangannya diletakan di samping pinggang. Arca-arca asta bratha ini adalah Indra, Candra, Kuwera, Bayu, Surya, Yama, Baruna, dan Agni.

1. Gapura/paduraksa 

Gapura pada halaman ancak saji sebagai pintu masuk ke halaman saren menghadap ke barat, terdiri dari tiga bagian yaitu kaki terbuat dari susunan batu bata berbentuk persegi dan ditengah-tengahnya terdapat anak tangga berjumlah tujuh buah. Bagian badan sangat tambun disusun menggunakan batu bata, pada tengah-tengahnya terdapat pintu masuk terbuat dari kayu, atas badan setiap sudutnya berhiaskan relief simbar gantung, samping badan masing-masingnya berhiaskan subeng, kuping, dan util. Atap gapura terbuat dari susunan batu padas bersusun satu pada keempat sudut nya berhiaskan simbar duduk berupa karang manuk dan antefik berdiri, serta pada tengah-tengahnya berhiaskan karang tapel.

Gapura sebagai pintu masuk ke halaman Pemrajan Agung Puri Kesiman terbuat dari susunan batu padas, bentuk arsitektur gapura menyerupai gapura di Pura Dalem Sakenan berbentuk tambun, pada samping badan masing-masing berhiaskan seluran daun membentuk sayap, ambang pintu di atasnya berhiaskan kepala kala dengan mata melotot dan menjulurkan lidahnya. Atap gapura bersusun tiga masing-masingnya berhiaskan kepala kala pada bagian tengahnya, pada beberapa sisinya berhiaskan antefik dan pada puncaknya berhiaskan bentala. 

2. Gapura Bentar 

Gapura bentar yang berada di halaman ancak saji dengan arah hadap berbeda-beda. Sebuah menghadap ke selatan dan satunya lagi menghadap ke barat. Candi bentar merupakan gapura yang terbelah dua yang seolah-olah seperti candi kembar. Candi bentar ini sangat tambun tetapi menjulang tinggi berhiaskan simbar gantung maupun simbar duduk, dan setiap sudutnya juga berhiaskan antefik. 

3. Candi Prasada

Candi prasada terbuat dari susunan batu bata, menghadap ke barat di halaman jeroan Pemrajan Agung Puri Kesiman, berbentuk ramping seperti menara yang sama dengan bangunan-bangunan candi di Jawa Timur (periode Majapahit), bagian kaki berbentuk persegi dengan hiasan relief simbar gantung, badan prasada di tengahnya berupa garbha graha, bagian atap bersusun 9 semakin ke atas semakin kecil dengan hiasan simbar gantung dan simbar duduk pada setiap sudut tingkatan atap, serta pada puncaknya berhiaskan murdha/menur. 

4. Meru

Meru menghadap ke barat di halaman jeroan Pemrajan Agung Puri Kesiman, secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian kaki terbuat dari susunan batu bata berhiaskan pepalihan, diatas bebaturannya diletakkan arca berjumlah 8 buah yang disebut dengan arca Asta Bratha. Badan meru terbuat dari susunan batu bata, tetapi sudah dilapisi pewarna putih, pada tengah-tengah badan terdapat pintu yang terbuat dari kayu untuk menuju garbha graha meru. Bagian atap bersusun 11 menjulang tinggi terbuat dari susunan kayu dan ijuk. 

5. Kolam

Struktur kolam berada di halamanan utama (jeroan) Pemrajan Agung mengikuti sisi tembok penyengker pemrajan. Struktur kolam ini sangat lebar dan dalam, serta diperkirakan sezaman dengan prasada maupun pelinggih meru, karena dalam arsip foto-foto kolonial struktur kolam ini selalu ada jika prasada dan pelinggih meru menjadi objeknya. Diperkirakan berasal dari abad XIV-XV Masehi.

6. Arca Asta Brata

Arca ini berjumlah 8 buah terbuat dari batu padas, dan diletakkan berjajar pada selasar Pelinggih Meru. Kedelapan arca gaya dan bentuk perhiasannya sama, empat buah arca (sisi utara) kaki kiri ditekuk ke belakang, sedangkan kaki kanan ditekuk ke atas, empat buah arca (sisi selatan) kaki kanan ditekuk belakang, sedangkan kaki kiri ditekuk ke atas, dan semua arca kedua tangannya diletakan di samping pinggang. Arca-arca asta bratha ini adalah Indra, Candra, Kuwera, Bayu, Surya, Yama, Baruna, dan Agni.

Pura Agung Petilan kesiman

Pura Agung Petilan Kesiman atau lebih populer disebut Pura Pangrebongan karena sebagai tempat dilaksanakannya ritual Ngerebong di Desa Adat Kesiman. Mengenai sejarah pendirian dan keberadaan Pura Agung Petilan Kesiman termuat dalam “Eka Ilikita Desa Adat Kesiman”, yaitu merupakan pura sentral dalam melaksanakan upacara besar keagamaan dan disungsung oleh seluruh masyarakat Desa Adat Kesiman. Pura Agung Petilan erat kaitannya dengan Pura Luhur Dalem Mutering Jagat yang terletak di tepi Sungai Ayung, dan tidak dapat terlepas dari keberadaan puri di Kedaton. 

Diceritakan Arya Wang Bang Pinatih di Puri Kertalangu yang juga membangun Pura Dalem Muter dikalahkan oleh Dukuh Pahang pada tahun saka 1527, kemudian meninggalkan puri menuju Sanur. Masyarakat, dan pengikut Arya Wang Bang Pinatih ketika itu yang tinggal di tepi sisi barat Sungai Ayung seperti Batanbuah dan Kedaton merasa kebingungan.  Akhirnya Ki Bendesa Sugriwa menuju Puri Pemecutan menghadap raja di Badung untuk memohon pengganti kepemimpinan Arya Wang Bang Pinatih. Permohonan itu dikabulkan dengan menempatkan Kyai Pemayun dan mendirikan puri di tepi timur Sungai Ayung bernama Tegal Kuwum. Kyai Pemayun juga melanjutkan nyungsung Pura Dalem Muter yang dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih bersama para pengikutnya yang masih bertempat tinggal di Batanbuah, Kehen, dan Kedaton (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 5).

Istilah petilan juga ada yang menyebut berasal dari kata pailen-ilen yang dilaksanakan di penyawangan Pura Dalem Muter Kesiman, penyawangan itu berupa turus lumbung untuk dapat melaksanakan upacara ketika sulit melewati Sungai Ayung, dan di tempat penyawangan itulah dilaksanakan pangilen-ngilen (Subawa, 1990: 74). Kemudian dalam penelitian “Upacara Ngilen dalam Pangusaban di Pura Agung Petilan Kesiman” kata pethilan berasal dari istilah tila yang artinya menanam biji atau benih, kemudian agung diartikan besar dan memiliki arti seorang raja. Pura Agung Petilan dalam hal ini diartikan tempat suci seorang raja menanam biji atau benih pemikiran berupa konsep dan ide (Ranuara, 2017: 83-84).

Pura Agung Petilan Kesiman secara karakter dapat digolongkan sebagai pura teritorial, karena memiliki ciri kesatuan wilayah (territorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu desa yang diikat oleh kesatuan wilayah, kesatuan wilayah desa tersebut adalah Desa Adat Kesiman yang diikat dengan Kahyangan Tiga. Upacara piodalan di Pura Agung Petilan Kesiman tidak sama pelaksanaannya seperti pura lainnya, karena  Pura Agung Petilan merupakan pura pasamuan sebagai pusat ritual di Desa Adat Kesiman, ditandai dengan berkumpulnya pratima, pacanangan, sesuhunan barong dan rangda dari berbagai pura se Desa Adat Kesiman. Ritual pangilen di Pura Agung Petilan dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yaitu pertama disebut dengan Pangebekan dilaksanakan pada hari Kamis (Wraspati) Umanis Wuku Dungulan (sehari setelah Hari Raya Galungan), kemudian kedua disebut dengan Pamapagan/Pamendak Agung dilaksanakan pada hari Senin (Soma) Paing Wuku Langkir (dua hari setelah Hari Raya Kuningan), dan pangilen ketiga disebut dengan Ngarebong atau Pangrebongan dilaksanakan pada hari Minggu (Redite) Pon Wuku Medangsia (delapan hari setelah Hari Raya Kuningan).

1. Gapura Kori Agung

Kori Agung merupakan pintu pembatas, dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbuat dari susunan batu bata, tetapi bagian tangga permukaan atasnya telah dilapisi dengan beton di depan, dan dilengkapi sembilan anak tangga, sedangkan pada bagian kaki sisi dalam memiliki 11 anak tangga.

Bagian badan gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan berukuran panjang 1.623 cm terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, daun pintu dan kusen terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada atas ambang pintu dipahatkan ukiran dasar kepala kala bersayap dengan susunan batu bata menjorok keluar, tetapi belum selesai diukir, setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, badan caping masing-masing pada setiap sudutnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng berbentuk tapak dara. Bagian atap gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata yang terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat tujuh semakin ke atas semakin kecil, pada bagian puncak berbentuk murdha terbuat dari batu padas, keempat sudut atap berhiaskan antefik yang terbuat dari susunan batu bata berbentuk segitiga tumpal atau disebut juga dengan simbar duduk lengkap dengan ornamen ikut celedu. 

2. Tugu Pangrebongan

Tugu Pangrebongan terletak di depan Gapura/paduraksa Kori Agung Pura Agung Petilan, terbuat dari susunan batu bata, tidak menggunakan atap, terdiri dari bagian kaki dan badan lengkap dengan hiasan simbar gantung dan duduk. Bagian puncak bentuknya menyerupai singgasana terbuat dari batu padas lengkap dengan alas dan sandaran, di Bali disebut dengan ulon. Alas puncak pada sisi depannya dipahat tanggal pendiriannya yaitu 5 – 9 – 1966. 

3. Gedong Manca Desa

Gedong Manca Desa terletak di sisi timur paling selatan  halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat, di tengahnya terdapat pintu menuju garbhagraha, pada selasar depan terdapat empat buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, selasar depan pintu garbha graha juga terdapat selasar berbentuk U difungsikan untuk meletakkan arca pratima dan pecanangan ketika upacara berlangsung. 

4. Gedong Agung Petilan

Gedong Agung Petilan disebut juga Gedong Dalem atau Gedong Mandaragiri terletak pada sisi timur menjadi bangunan sentral di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki paling dasar berupa badan kura-kura dililit naga, di atasnya berbentuk bujur sangkar terbuat dari susunan batu bata. Badan bangunan memiliki hiasan pepalihan khas bebadungan pada ketiga sisinya, memiliki lubang pintu garbha graha pada sisi barat, terdapat sembilan buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, pada bagian depan bangunan terdapat relung dari susunan batu bata, di atasnya diletakkan arca Siwa Mahadewa, Nandiswara, Mahakala, dan dua arca tokoh, sedangkan di dalam relung terdapat kepala kura-kura di lilit naga (bedawang nala). Garbhagraha merupakan ruangan suci untuk meletakkan arca pratima seperti Ratu Dalem, Ratu Pura Pauman, Ratu Kahyangan, Ratu Panji, dan Ratu Cakraningrat ketika upacara berlangsung. 

5. Gedong Pangerob

Gedong Pangerob terletak pada sisi timur tepatnya di sebelah utara Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki berhiaskan pepalihan khas bebadungan pada sisi utara dan selatan, beberapa bagiannya sudah rusak, terdapat tujuh anak tangga menuju selasar badan bangunan. Reling tangga disusun dengan batu bata, setiap ujungnya terdapat tempat arca berbentuk bebaturan. Badan bangunan terbuat dari susunan batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit membentuk pepalihan khas bebadungan, ditengahnya terdapat altar untuk meletakkan arca pratima ketika upacara berlangsung, seperti pratima Pura Tojan, Pura Siman, Pura Daton, Pura Dalem Wirasana, Pura Sekar Ambara, Pura Kahyangan Bajangan, dan Pura Petapan Dalem Denpasar. Pada selasar depan terdapat dua buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan.

6. Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana

Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah selatan gapura/paduraksa Kori Agung. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan kemuncak berbentuk murdha.

7. Pelinggih Pengrurah Agung

Pelinggih Pangrurah Agung terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah utara gapura/paduraksa Kori Agung, secara struktur bentuknya sama dengan Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan murdha.

8. Arca Balagana I

Arca berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kanan ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kiri ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. 

9. Arca Balagana II

berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kiri ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kanan ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. Kepala arca menggunakan jamang bersusun tiga dengan motif manik-manik dan karang simbar, rambut ikal dibiarkan terurai, sedangkan ikat kepala dengan motif manik-manik dan karang simbar.

10. Arca Dwarapala Nawasari I

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kanan ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kiri ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

11. Arca Dwarapala Nawasari II

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kiri ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kanan ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

12. Arca Tokoh I (Dewa Brahma)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna merah kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kanan arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur, sedangkan tangan kiri ditekuk di sebelah perut memegang ujung kain. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang asti di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

13. Arca Tokoh II (Dewa Wisnu)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna hijau kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kiri arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur. Gaya dan motif hiasan arca tokoh II sama dengan arca tokoh I, yang membedakan hanya ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah arca tokoh II tenang, sedangkan arca tokoh I matanya melotot.

14. Arca Tokoh III (Siwa Mahadewa)

Arca diletakkan di atas relung paling tengah depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna putih kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik kelopak padma. Arca dipahatkan betangan empat, kedua tangan depan disatukan di depan dada dengan sikap mudra, tangan kanan nyambir membawa bunga ditopang dengan tangan kiri, sedangkan kedua tangan belakang ditekuk ke atas membawa atribut laksana yang kondisinya sudah patah. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang manuk di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

15. Arca Mahakala

Arca Mahakala diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, kondisi arca sudah dicat dengan warna hitam kombinasi prada mas, sikap arca setengah duduk dengan kaki bersilang di atas lapik bermotif karang batu, wajah dipahatkan menyeramkan, mata melotot, dan gigi taring mencuat keluar. Tangan kanan ditekuk ke depan dada menyilang membawa gada, sedangkan tangan kiri memegang sampur di samping perut. Arca Mahakala sebenarnya arca penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Nandiswara, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

16. Arca Nandiswara

Arca Nandiswara diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, sebagai penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Mahakala, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

1. Gapura Kori Agung

Kori Agung merupakan pintu pembatas, dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbuat dari susunan batu bata, tetapi bagian tangga permukaan atasnya telah dilapisi dengan beton di depan, dan dilengkapi sembilan anak tangga, sedangkan pada bagian kaki sisi dalam memiliki 11 anak tangga.

Bagian badan gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan berukuran panjang 1.623 cm terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, daun pintu dan kusen terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada atas ambang pintu dipahatkan ukiran dasar kepala kala bersayap dengan susunan batu bata menjorok keluar, tetapi belum selesai diukir, setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, badan caping masing-masing pada setiap sudutnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng berbentuk tapak dara. Bagian atap gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata yang terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat tujuh semakin ke atas semakin kecil, pada bagian puncak berbentuk murdha terbuat dari batu padas, keempat sudut atap berhiaskan antefik yang terbuat dari susunan batu bata berbentuk segitiga tumpal atau disebut juga dengan simbar duduk lengkap dengan ornamen ikut celedu. 

2. Tugu Pangrebongan

Tugu Pangrebongan terletak di depan Gapura/paduraksa Kori Agung Pura Agung Petilan, terbuat dari susunan batu bata, tidak menggunakan atap, terdiri dari bagian kaki dan badan lengkap dengan hiasan simbar gantung dan duduk. Bagian puncak bentuknya menyerupai singgasana terbuat dari batu padas lengkap dengan alas dan sandaran, di Bali disebut dengan ulon. Alas puncak pada sisi depannya dipahat tanggal pendiriannya yaitu 5 – 9 – 1966. 

3. Gedong Manca Desa

Gedong Manca Desa terletak di sisi timur paling selatan  halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat, di tengahnya terdapat pintu menuju garbhagraha, pada selasar depan terdapat empat buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, selasar depan pintu garbha graha juga terdapat selasar berbentuk U difungsikan untuk meletakkan arca pratima dan pecanangan ketika upacara berlangsung. 

4. Gedong Agung Petilan

Gedong Agung Petilan disebut juga Gedong Dalem atau Gedong Mandaragiri terletak pada sisi timur menjadi bangunan sentral di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki paling dasar berupa badan kura-kura dililit naga, di atasnya berbentuk bujur sangkar terbuat dari susunan batu bata. Badan bangunan memiliki hiasan pepalihan khas bebadungan pada ketiga sisinya, memiliki lubang pintu garbha graha pada sisi barat, terdapat sembilan buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, pada bagian depan bangunan terdapat relung dari susunan batu bata, di atasnya diletakkan arca Siwa Mahadewa, Nandiswara, Mahakala, dan dua arca tokoh, sedangkan di dalam relung terdapat kepala kura-kura di lilit naga (bedawang nala). Garbhagraha merupakan ruangan suci untuk meletakkan arca pratima seperti Ratu Dalem, Ratu Pura Pauman, Ratu Kahyangan, Ratu Panji, dan Ratu Cakraningrat ketika upacara berlangsung. 

5. Gedong Pangerob

Gedong Pangerob terletak pada sisi timur tepatnya di sebelah utara Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki berhiaskan pepalihan khas bebadungan pada sisi utara dan selatan, beberapa bagiannya sudah rusak, terdapat tujuh anak tangga menuju selasar badan bangunan. Reling tangga disusun dengan batu bata, setiap ujungnya terdapat tempat arca berbentuk bebaturan. Badan bangunan terbuat dari susunan batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit membentuk pepalihan khas bebadungan, ditengahnya terdapat altar untuk meletakkan arca pratima ketika upacara berlangsung, seperti pratima Pura Tojan, Pura Siman, Pura Daton, Pura Dalem Wirasana, Pura Sekar Ambara, Pura Kahyangan Bajangan, dan Pura Petapan Dalem Denpasar. Pada selasar depan terdapat dua buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan.

6. Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana

Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah selatan gapura/paduraksa Kori Agung. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan kemuncak berbentuk murdha.

7. Pelinggih Pengrurah Agung

Pelinggih Pangrurah Agung terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah utara gapura/paduraksa Kori Agung, secara struktur bentuknya sama dengan Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan murdha.

8. Arca Balagana I

Arca berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kanan ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kiri ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. 

9. Arca Balagana II

berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kiri ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kanan ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. Kepala arca menggunakan jamang bersusun tiga dengan motif manik-manik dan karang simbar, rambut ikal dibiarkan terurai, sedangkan ikat kepala dengan motif manik-manik dan karang simbar.

10. Arca Dwarapala Nawasari I

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kanan ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kiri ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

11. Arca Dwarapala Nawasari II

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kiri ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kanan ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

12. Arca Tokoh I (Dewa Brahma)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna merah kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kanan arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur, sedangkan tangan kiri ditekuk di sebelah perut memegang ujung kain. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang asti di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

13. Arca Tokoh II (Dewa Wisnu)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna hijau kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kiri arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur. Gaya dan motif hiasan arca tokoh II sama dengan arca tokoh I, yang membedakan hanya ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah arca tokoh II tenang, sedangkan arca tokoh I matanya melotot.

14. Arca Tokoh III (Siwa Mahadewa)

Arca diletakkan di atas relung paling tengah depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna putih kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik kelopak padma. Arca dipahatkan betangan empat, kedua tangan depan disatukan di depan dada dengan sikap mudra, tangan kanan nyambir membawa bunga ditopang dengan tangan kiri, sedangkan kedua tangan belakang ditekuk ke atas membawa atribut laksana yang kondisinya sudah patah. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang manuk di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

15. Arca Mahakala

Arca Mahakala diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, kondisi arca sudah dicat dengan warna hitam kombinasi prada mas, sikap arca setengah duduk dengan kaki bersilang di atas lapik bermotif karang batu, wajah dipahatkan menyeramkan, mata melotot, dan gigi taring mencuat keluar. Tangan kanan ditekuk ke depan dada menyilang membawa gada, sedangkan tangan kiri memegang sampur di samping perut. Arca Mahakala sebenarnya arca penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Nandiswara, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

16. Arca Nandiswara

Arca Nandiswara diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, sebagai penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Mahakala, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

1. Gapura Kori Agung

Kori Agung merupakan pintu pembatas, dan pintu masuk dari halaman jaba tengah (madya mandala) ke halaman jeroan (utama mandala). Struktur gapura/paduraksa ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbuat dari susunan batu bata, tetapi bagian tangga permukaan atasnya telah dilapisi dengan beton di depan, dan dilengkapi sembilan anak tangga, sedangkan pada bagian kaki sisi dalam memiliki 11 anak tangga.

Bagian badan gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata secara keseluruhan berukuran panjang 1.623 cm terdiri dari badan pengawak gede, badan caping, dan badan pegandong. Badan pengawak gede terbuat dari batu bata, daun pintu dan kusen terbuat dari kayu dengan ambang pintu (dedanga/ulap-ulap) bersusun enam, pada atas ambang pintu dipahatkan ukiran dasar kepala kala bersayap dengan susunan batu bata menjorok keluar, tetapi belum selesai diukir, setiap sudut badan masing-masing sisinya dihiasi dengan relief simbar gantung pada bagian atas dan simbar duduk pada bagian bawahnya. Badan caping merupakan bagian badan yang mengapit badan pengawak gede, terbuat dari susunan batu bata, badan caping masing-masing pada setiap sudutnya berhiaskan susunan pola simbar duduk pada bagian bawah dan simbar gantung pada bagian atas, serta pada bagian kuping juga berhiaskan balok persegi terbuat dari batu bata yang biasa disebut dengan subeng berbentuk tapak dara. Bagian atap gapura/paduraksa terbuat dari susunan batu bata yang terdiri dari atap pengawak gede, atap caping, dan atap pegandong. Atap pengawak gede terbuat dari susunan batu bata, disusun bertingkat tujuh semakin ke atas semakin kecil, pada bagian puncak berbentuk murdha terbuat dari batu padas, keempat sudut atap berhiaskan antefik yang terbuat dari susunan batu bata berbentuk segitiga tumpal atau disebut juga dengan simbar duduk lengkap dengan ornamen ikut celedu. 

2. Tugu Pangrebongan

Tugu Pangrebongan terletak di depan Gapura/paduraksa Kori Agung Pura Agung Petilan, terbuat dari susunan batu bata, tidak menggunakan atap, terdiri dari bagian kaki dan badan lengkap dengan hiasan simbar gantung dan duduk. Bagian puncak bentuknya menyerupai singgasana terbuat dari batu padas lengkap dengan alas dan sandaran, di Bali disebut dengan ulon. Alas puncak pada sisi depannya dipahat tanggal pendiriannya yaitu 5 – 9 – 1966. 

3. Gedong Manca Desa

Gedong Manca Desa terletak di sisi timur paling selatan  halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat, di tengahnya terdapat pintu menuju garbhagraha, pada selasar depan terdapat empat buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, selasar depan pintu garbha graha juga terdapat selasar berbentuk U difungsikan untuk meletakkan arca pratima dan pecanangan ketika upacara berlangsung. 

4. Gedong Agung Petilan

Gedong Agung Petilan disebut juga Gedong Dalem atau Gedong Mandaragiri terletak pada sisi timur menjadi bangunan sentral di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki paling dasar berupa badan kura-kura dililit naga, di atasnya berbentuk bujur sangkar terbuat dari susunan batu bata. Badan bangunan memiliki hiasan pepalihan khas bebadungan pada ketiga sisinya, memiliki lubang pintu garbha graha pada sisi barat, terdapat sembilan buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan, pada bagian depan bangunan terdapat relung dari susunan batu bata, di atasnya diletakkan arca Siwa Mahadewa, Nandiswara, Mahakala, dan dua arca tokoh, sedangkan di dalam relung terdapat kepala kura-kura di lilit naga (bedawang nala). Garbhagraha merupakan ruangan suci untuk meletakkan arca pratima seperti Ratu Dalem, Ratu Pura Pauman, Ratu Kahyangan, Ratu Panji, dan Ratu Cakraningrat ketika upacara berlangsung. 

5. Gedong Pangerob

Gedong Pangerob terletak pada sisi timur tepatnya di sebelah utara Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke barat. Bagian kaki berhiaskan pepalihan khas bebadungan pada sisi utara dan selatan, beberapa bagiannya sudah rusak, terdapat tujuh anak tangga menuju selasar badan bangunan. Reling tangga disusun dengan batu bata, setiap ujungnya terdapat tempat arca berbentuk bebaturan. Badan bangunan terbuat dari susunan batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit membentuk pepalihan khas bebadungan, ditengahnya terdapat altar untuk meletakkan arca pratima ketika upacara berlangsung, seperti pratima Pura Tojan, Pura Siman, Pura Daton, Pura Dalem Wirasana, Pura Sekar Ambara, Pura Kahyangan Bajangan, dan Pura Petapan Dalem Denpasar. Pada selasar depan terdapat dua buah umpak menopang tiang kayu penyangga atap bangunan.

6. Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana

Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah selatan gapura/paduraksa Kori Agung. Badan bangunan juga terbuat dari batu bata dengan hiasan tonjolan pelipit, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan kemuncak berbentuk murdha.

7. Pelinggih Pengrurah Agung

Pelinggih Pangrurah Agung terletak di halaman jeroan (utama mandala) menghadap ke timur, tepat berada di sisi timur sebelah utara gapura/paduraksa Kori Agung, secara struktur bentuknya sama dengan Pelinggih Pangenter Pangider Bhuwana, memiliki ruang suci atau garbha graha, serta atap bangunan terbuat dari susunan batu bata bersusun lima semakin ke atas semakin mengecil dan puncaknya dilengkapi dengan murdha.

8. Arca Balagana I

Arca berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kanan ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kiri ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. 

9. Arca Balagana II

berdiri dengan kedua kakinya ditekuk di atas lapik berhiaskan karang bentolu, tangan kiri ditekuk di samping perut, jari tangan tergenggam lengkap dengan kuku ibu jari yang panjang, sedangkan tangan kanan ditekuk menumpu ujung belalai. Arca dipahatkan berkepala gajah dengan mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri. Kepala arca menggunakan jamang bersusun tiga dengan motif manik-manik dan karang simbar, rambut ikal dibiarkan terurai, sedangkan ikat kepala dengan motif manik-manik dan karang simbar.

10. Arca Dwarapala Nawasari I

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kiri ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kanan ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kiri ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

11. Arca Dwarapala Nawasari II

Arca diletakkan berdiri dengan kaki kanan ditekuk lebih tinggi di atas lapik bermotif karang simbar, tangan kiri ditekuk di sebelah perut dengan posisi menggenggam dimana ibu jari terlipat keluar di antara jari telunjuk dan jari tengah, sedangkan tangan kanan ditekuk di belakang kepala membawa kuncup bunga/sari bunga. Atribut yang dibawa inilah membuat arca dwarapala ini bernama nawasari. 

12. Arca Tokoh I (Dewa Brahma)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna merah kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kanan arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur, sedangkan tangan kiri ditekuk di sebelah perut memegang ujung kain. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang asti di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

13. Arca Tokoh II (Dewa Wisnu)

Arca diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandaragiri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna hijau kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik bermotif karang batu. Tangan kiri arca dipahat ditekuk ke depan dada memegang sampur. Gaya dan motif hiasan arca tokoh II sama dengan arca tokoh I, yang membedakan hanya ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah arca tokoh II tenang, sedangkan arca tokoh I matanya melotot.

14. Arca Tokoh III (Siwa Mahadewa)

Arca diletakkan di atas relung paling tengah depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri. Kondisi arca sudah dicat dengan warna putih kombinasi prada mas, dipahatkan dengan sikap berdiri kedua kaki ditekuk di atas lapik kelopak padma. Arca dipahatkan betangan empat, kedua tangan depan disatukan di depan dada dengan sikap mudra, tangan kanan nyambir membawa bunga ditopang dengan tangan kiri, sedangkan kedua tangan belakang ditekuk ke atas membawa atribut laksana yang kondisinya sudah patah. Kepala arca menggunakan mahkota cecandian lengkap dengan karang manuk di belakangnya, petitis di atas dahi berbentuk polos. 

15. Arca Mahakala

Arca Mahakala diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, kondisi arca sudah dicat dengan warna hitam kombinasi prada mas, sikap arca setengah duduk dengan kaki bersilang di atas lapik bermotif karang batu, wajah dipahatkan menyeramkan, mata melotot, dan gigi taring mencuat keluar. Tangan kanan ditekuk ke depan dada menyilang membawa gada, sedangkan tangan kiri memegang sampur di samping perut. Arca Mahakala sebenarnya arca penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Nandiswara, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

16. Arca Nandiswara

Arca Nandiswara diletakkan di atas relung depan Gedong Agung Petilan/Gedong Dalem/Gedong Mandara Giri, sebagai penjaga pintu (dwarapala) yang umumnya berpasangan dengan Arca Mahakala, tetapi di Pura Agung Petilan tepatnya di Gedong Agung Petilan kedua arca ini diletakkan di bawah dan mengapit arca Siwa Mahadewa.

Pura Dalem Kahyangan Kesiman

Pura Dalem Kahyangan sebagai tempat pemujaan Dewi Durga oleh masyarakat Desa Adat Kesiman dalam melaksanakan sistem religi dengan menggunakan konsep panca lingga, yaitu Pura Pahoman dan pura Dalem menjadi satu lingga tempat pemujaan Siwa Ludra/Siwa Adhi Guru dan Hyang Giri Putri/Uma Dewi, Pura Desa dan Pura Puseh menjadi 1 lingga tempat memuja Dewa Brahma dan Dewi Sri, Pura Dalem Kahyangan tempat memuja Dewi Durga, Pura Budha Cemeng tempat memuja Dewa Wisnu, dan Pura Kahyangan Sala khusus memuja Dewa Siwa Ludra dan Agni. Pura Dalem Kahyangan kesiman memiliki dua pintu masuk, yaitu sisi utara dibangun aling-aling dengan relief arca rangda dan sisi barat dibangun aling-aling dengan relief arca Garuda. Pura Dalem Kahyangan memiliki struktur tri mandala, yaitu terdiri dari jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Masing-masing halaman dibatasi oleh tembok, dan candi bentar terbuat dari susunan batu bata. Pada bagian jaba sisi dan jaba tengah terdapat dua buah candi bentar, yaitu di sisi utara dan di sisi barat. 

1. Aling-aling Garuda

Aling-Aling garuda terletak di sisi barat jaba tengah (madya mandala) di pintu masuk sisi barat pura. Aling-aling ini berbentuk Burung Garuda dengan sayap mengembang. Kemungkinan aling-aling ini berkisah tentang cerita Garudeya dalam kisah Samudramanthana. Di bagian bawah kaki Garuda terdapat binatang-binatang seperti Gajah, Kura-Kura, Empas (Bedawangnala), Ular, Macan. Garuda digambarkan dengan Posisi jongkok dengan tangan kanan dan kiri memegang lutut. Pada bagian belakang aling-aling terdapat hiasan sulur-suluran, kepala raksasa yang digambarkan berwajah menyeramkan, mata melotot, bertaring, menggunakan mahkota, tangan berada di samping rahang dengan kuku yang panjang, di bawahnya terdapat relief-relief binatang, namun keadaan yang aus membuat sulit mengidentifikasikan jenis-jenis binatang yang di pahatkan.

2. Aling-aling Rangda (Prajapati)

Aling-aling Rangda atau disebut juga Pura Prajapati berada di sisi utara halaman menggunakan kain di atas lutut motif simbar dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

3. Arca Balagana I 

Arca diletakkan pada Pelinggih Tajuk Ratu Agung berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri sikap abhaya tetapi jari sudah patah. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kanan/walampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan hiasan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang bentolu, menggunakan kain di atas lutut motif polos dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

4. Arca balagana II

Arca diletakkan pada Pelinggih Tajuk Ratu Agung dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor, berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri/itampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang bentulu.

5. Arca Balagana III

Arca berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan memegang belalai, tangan kanan kiri sikap seperti abhaya tetapi jari sudah patah. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kanan/walampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan hiasan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif garis dan bunga dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

6. Arca Balagana IV

Arca berdiri di atas lapik persegi motif garis – garis dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri menempel di perut. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri/itampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang simbar, menggunakan kain di atas lutut motif simbar dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

7. Bentala 

Bentala merupakan kemuncak sebuah bangunan, diletakkan di bawah sebelah selatan ruang utama mandala. Kondisi bentala baik tetapi sudah ditumbuhi lumut. Terdapat beberapa hiasan, seperti karang manuk, karang bentulu, karang simbar.

8.  Arca Mahakala

Arca diletakkan pada Bale Pengaruman dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor yang sudah pudar. Arca digambarkan dengan sikap kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri dilipat ke belakang di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri sikap abhaya dengan jempol dilipat ke dalam. 

9. Arca Nandishwara

Arca diletakkan di Bale Pengaruman dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor yang sudah pudar. Arca digambarkan dengan sikap kaki kanan dilipat ke belakang dan kaki kiri ditekuk ke depan di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri memegang wiru.

10. Arca Dwarapala I

Arca dipahatkan dengan sikap kaki kanan dilipat ke belakang dan kaki kiri ditekuk ke depan di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri memegang wiru. Menggunakan mahkota ketu terdapat hiasan karang manuk, jamang motif karang simbar, simping motif sulur daun, kundala aus, kankana motif karang bentulu, keyura motif karang simbar, gelang lengan motif sulur dan bunga, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, sampur terjuntai di kanan dan kiri, wiru motif garis vertikal terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbelah dua. Gelang kaki motif karang simbar.

11. Arca Pendeta

Arca dipahatkan bersikap bersila di atas lapik yang sudah aus. Bertangan dua, masing – masing, yaitu tangan kanan dengan sikap jari menggenggam dan tangan kiri membawa genta. Wajah persegi, mata aus, hidung sedang, bibir aus, dagu datar berjenggot, menggunakan mahkota ketu dengan hiasan karang manuk.

12. Arca Dwarapala II

Arca dipahatkan sangat menyeramkan menjaga pintu masuk pura, kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri dilipat ke belakang di atas lapik persegi motif karang bentolu dan karang manuk. Menggunakan hiasan petitis, kankana motif karang simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, wiru motif bunga terjuntai sampai lapik. Gelang kaki motif karang simbar.

13. Arca dwarapala III

Arca dipahatkan menyeramkan berpasangan dengan arca dwarapala II, bertangan dua, masing – masing, yaitu tangan kanan membawa pedang dan tangan kiri ditekuk di sebelah pinggang posisi menggenggam. Menggunakan hiasan petitis, kankana motif karang simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, wiru motif bunga terjuntai sampai lapik. Gelang kaki motif karang simbar.

1. Aling-aling Garuda

Aling-Aling garuda terletak di sisi barat jaba tengah (madya mandala) di pintu masuk sisi barat pura. Aling-aling ini berbentuk Burung Garuda dengan sayap mengembang. Kemungkinan aling-aling ini berkisah tentang cerita Garudeya dalam kisah Samudramanthana. Di bagian bawah kaki Garuda terdapat binatang-binatang seperti Gajah, Kura-Kura, Empas (Bedawangnala), Ular, Macan. Garuda digambarkan dengan Posisi jongkok dengan tangan kanan dan kiri memegang lutut. Pada bagian belakang aling-aling terdapat hiasan sulur-suluran, kepala raksasa yang digambarkan berwajah menyeramkan, mata melotot, bertaring, menggunakan mahkota, tangan berada di samping rahang dengan kuku yang panjang, di bawahnya terdapat relief-relief binatang, namun keadaan yang aus membuat sulit mengidentifikasikan jenis-jenis binatang yang di pahatkan.

2. Aling-aling Rangda (Prajapati)

Aling-aling Rangda atau disebut juga Pura Prajapati berada di sisi utara halaman menggunakan kain di atas lutut motif simbar dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

3. Arca Balagana I 

Arca diletakkan pada Pelinggih Tajuk Ratu Agung berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri sikap abhaya tetapi jari sudah patah. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kanan/walampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan hiasan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang bentolu, menggunakan kain di atas lutut motif polos dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

4. Arca balagana II

Arca diletakkan pada Pelinggih Tajuk Ratu Agung dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor, berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri/itampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang bentulu.

5. Arca Balagana III

Arca berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan memegang belalai, tangan kanan kiri sikap seperti abhaya tetapi jari sudah patah. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kanan/walampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan hiasan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif garis dan bunga dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

6. Arca Balagana IV

Arca berdiri di atas lapik persegi motif garis – garis dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri menempel di perut. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri/itampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang simbar, menggunakan kain di atas lutut motif simbar dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

7. Bentala 

Bentala merupakan kemuncak sebuah bangunan, diletakkan di bawah sebelah selatan ruang utama mandala. Kondisi bentala baik tetapi sudah ditumbuhi lumut. Terdapat beberapa hiasan, seperti karang manuk, karang bentulu, karang simbar.

8.  Arca Mahakala

Arca diletakkan pada Bale Pengaruman dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor yang sudah pudar. Arca digambarkan dengan sikap kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri dilipat ke belakang di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri sikap abhaya dengan jempol dilipat ke dalam. 

9. Arca Nandishwara

Arca diletakkan di Bale Pengaruman dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor yang sudah pudar. Arca digambarkan dengan sikap kaki kanan dilipat ke belakang dan kaki kiri ditekuk ke depan di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri memegang wiru.

10. Arca Dwarapala I

Arca dipahatkan dengan sikap kaki kanan dilipat ke belakang dan kaki kiri ditekuk ke depan di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri memegang wiru. Menggunakan mahkota ketu terdapat hiasan karang manuk, jamang motif karang simbar, simping motif sulur daun, kundala aus, kankana motif karang bentulu, keyura motif karang simbar, gelang lengan motif sulur dan bunga, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, sampur terjuntai di kanan dan kiri, wiru motif garis vertikal terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbelah dua. Gelang kaki motif karang simbar.

11.Arca Pendeta

Arca dipahatkan bersikap bersila di atas lapik yang sudah aus. Bertangan dua, masing – masing, yaitu tangan kanan dengan sikap jari menggenggam dan tangan kiri membawa genta. Wajah persegi, mata aus, hidung sedang, bibir aus, dagu datar berjenggot, menggunakan mahkota ketu dengan hiasan karang manuk.

12. Arca Dwarapala II

Arca dipahatkan sangat menyeramkan menjaga pintu masuk pura, kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri dilipat ke belakang di atas lapik persegi motif karang bentolu dan karang manuk. Menggunakan hiasan petitis, kankana motif karang simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, wiru motif bunga terjuntai sampai lapik. Gelang kaki motif karang simbar.

13. Arca dwarapala III

Arca dipahatkan menyeramkan berpasangan dengan arca dwarapala II, bertangan dua, masing – masing, yaitu tangan kanan membawa pedang dan tangan kiri ditekuk di sebelah pinggang posisi menggenggam. Menggunakan hiasan petitis, kankana motif karang simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, wiru motif bunga terjuntai sampai lapik. Gelang kaki motif karang simbar.

1. Aling-aling Garuda

Aling-Aling garuda terletak di sisi barat jaba tengah (madya mandala) di pintu masuk sisi barat pura. Aling-aling ini berbentuk Burung Garuda dengan sayap mengembang. Kemungkinan aling-aling ini berkisah tentang cerita Garudeya dalam kisah Samudramanthana. Di bagian bawah kaki Garuda terdapat binatang-binatang seperti Gajah, Kura-Kura, Empas (Bedawangnala), Ular, Macan. Garuda digambarkan dengan Posisi jongkok dengan tangan kanan dan kiri memegang lutut. Pada bagian belakang aling-aling terdapat hiasan sulur-suluran, kepala raksasa yang digambarkan berwajah menyeramkan, mata melotot, bertaring, menggunakan mahkota, tangan berada di samping rahang dengan kuku yang panjang, di bawahnya terdapat relief-relief binatang, namun keadaan yang aus membuat sulit mengidentifikasikan jenis-jenis binatang yang di pahatkan.

2. Aling-aling Rangda (Prajapati)

Aling-aling Rangda atau disebut juga Pura Prajapati berada di sisi utara halaman menggunakan kain di atas lutut motif simbar dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

3. Arca Balagana I 

Arca diletakkan pada Pelinggih Tajuk Ratu Agung berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri sikap abhaya tetapi jari sudah patah. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kanan/walampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan hiasan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang bentolu, menggunakan kain di atas lutut motif polos dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

4. Arca balagana II

Arca diletakkan pada Pelinggih Tajuk Ratu Agung dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor, berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri/itampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang bentulu.

5. Arca Balagana III

Arca berdiri di atas lapik persegi motif karang bentolu dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan memegang belalai, tangan kanan kiri sikap seperti abhaya tetapi jari sudah patah. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kanan/walampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan hiasan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif garis dan bunga dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

6. Arca Balagana IV

Arca berdiri di atas lapik persegi motif garis – garis dengan kedua kaki sedikit ditekuk. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan sikap seperti abhaya dengan jari ditekuk, tangan kanan kiri menempel di perut. Wajah bulat, mata melotot, belalai terjuntai hingga perut mengarah ke kiri/itampiri, mulut lebar, bibir tebal, dagu lancip, kuping besar, rambut ikal sampai pinggang, leher pendek, dada besar, perut buncit, tangan besar, kaki besar. Menggunakan kankana motif simbar, hara motif simbar, menggunakan udarabandha dengan gasper motif karang simbar, menggunakan kain di atas lutut motif simbar dengan sampur polos terjuntai di kanan dan kiri sampai ke lapik, wiru tanpa motif terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbagi dua dengan tiga lipatan, gelang kaki motif simbar.

7. Bentala 

Bentala merupakan kemuncak sebuah bangunan, diletakkan di bawah sebelah selatan ruang utama mandala. Kondisi bentala baik tetapi sudah ditumbuhi lumut. Terdapat beberapa hiasan, seperti karang manuk, karang bentulu, karang simbar.

8.  Arca Mahakala

Arca diletakkan pada Bale Pengaruman dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor yang sudah pudar. Arca digambarkan dengan sikap kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri dilipat ke belakang di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri sikap abhaya dengan jempol dilipat ke dalam. 

9. Arca Nandishwara

Arca diletakkan di Bale Pengaruman dengan kondisi mulai aus, dan dilapisi pamor yang sudah pudar. Arca digambarkan dengan sikap kaki kanan dilipat ke belakang dan kaki kiri ditekuk ke depan di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri memegang wiru.

10. Arca Dwarapala I

Arca dipahatkan dengan sikap kaki kanan dilipat ke belakang dan kaki kiri ditekuk ke depan di atas lapik persegi motif karang bentulu. Bertangan dua, masing – masing dengan sikap, yaitu tangan kanan membawa gada, tangan kanan kiri memegang wiru. Menggunakan mahkota ketu terdapat hiasan karang manuk, jamang motif karang simbar, simping motif sulur daun, kundala aus, kankana motif karang bentulu, keyura motif karang simbar, gelang lengan motif sulur dan bunga, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, sampur terjuntai di kanan dan kiri, wiru motif garis vertikal terjuntai sampai lapik, ujung wiru terbelah dua. Gelang kaki motif karang simbar.

11. Arca Pendeta

Arca dipahatkan bersikap bersila di atas lapik yang sudah aus. Bertangan dua, masing – masing, yaitu tangan kanan dengan sikap jari menggenggam dan tangan kiri membawa genta. Wajah persegi, mata aus, hidung sedang, bibir aus, dagu datar berjenggot, menggunakan mahkota ketu dengan hiasan karang manuk.

12. Arca Dwarapala II

Arca dipahatkan sangat menyeramkan menjaga pintu masuk pura, kaki kanan ditekuk ke depan dan kaki kiri dilipat ke belakang di atas lapik persegi motif karang bentolu dan karang manuk. Menggunakan hiasan petitis, kankana motif karang simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, wiru motif bunga terjuntai sampai lapik. Gelang kaki motif karang simbar.

13. Arca dwarapala III

Arca dipahatkan menyeramkan berpasangan dengan arca dwarapala II, bertangan dua, masing – masing, yaitu tangan kanan membawa pedang dan tangan kiri ditekuk di sebelah pinggang posisi menggenggam. Menggunakan hiasan petitis, kankana motif karang simbar, menggunakan udarabandha, menggunakan kain di atas lutut motif polos, wiru motif bunga terjuntai sampai lapik. Gelang kaki motif karang simbar.

Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman

Pura Dalem Mutering Jagat terletak di tepi Sungai Ayung. Keberadaanya erat kaitannya dengan Pura Agung Petilan (Pura Ngerebong). Berdasarkan data yang termuat dalam “Eka Ilikita Desa Adat Kesiman”, Pura Dalem Muter dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih di Puri Kertalangu. Lokasinya berada di tempat Ida Dalem Batu Ireng mencapai moksa di tepi We Ayu. “we” berarti air dan “ayu” berarti kedamaian. Lokasi ini sekarang dikenal dengan Sungai Ayung. 

Diceritakan, bahwa setelah Ida Dalem Batu Ireng  mencapai moksa, para pengikutnya mendirikan sebuah tugu peringatan berupa batu besar yang dinamakan Batu Sima. Putranya yang bernama Arya Panji kemudian mendirikan kerajaan yang terletak di Buruan Tegal Asah Sanur sekitar Tahun Saka 1265. Batu peringatan yang terletak di Sungai Ayung kemudian dikenal bernama Batumenjong. 

Seiring berjalannya waktu, ketiga keturunan Ida Dalem Batu Ireng menuju Sungai Ayung yang diikuti oleh Bendesa Manik Mas. Mereka kemudian bertemu di Gaduh mengambil batu peringatan (Batu Sima), dan diletakkan di tepi Sungai Ayung. Ketiga keturunan Dalem Batu Ireng mengikuti yadnya moksa di Sungai Ayung. Bendesa Mas dan Gaduh kemudian membangun grema (desa pakraman) bernama Pendem, lengkap dengan Prahyangan Desa Puseh dan Manik Aji di Hutan Ambengan Abian Nangka (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 3-4).

Di tepi Sungai Ayung tepat di tempat Ida Dalem Batu Ireng moksa, Arya Wang Bang Pinatih bertemu dengan masyarakat Bali, dan memperkenalkan diri sebagai utusan dari Sang Prabhu Majapahit untuk melanjutkan Simakrama yang dijalankan oleh masyarakat Bali di wilayah kekuasaan Dalem Batu Ireng. Wilayah tersebut bernama Ngerebongan. Setelah Arya Wang Bang  menerima warisan dari Ida Dalem Batu Ireng (Dalem Moksa) di tepi Sungai Ayung, kemudian Arya Wang Bang mengukuhkan tempat peninggalan Ida Dalem Batu Ireng dengan nama Kusima dan tempat inti Ida Dalem Batu Ireng moksa apengrebongan bernama Amuter Bhuana. Arya Wang Bang menegaskan arti Kusima, yaitu “ku” berarti kukuh atau kuat dan “sima” merupakan wilayah Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Arya Wang Bang di tepi Sungai Ayung selesai pada hari Wraspati wuku Sungsang (Sugihan Jawa), sebagai penanda masyarakat Bali yang berasal dari Jawa melaksanakan upacara piodalan Sugihan Jawa. Kemudian kata Kusima lama kelamaan disebut dengan Kesiman hingga saat ini (Eka Ilikita Desa Adat Kesiman, 1990: 4). 

Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman terletak pada koordinat  50 L 0307399; UTM 9043602; 38 Mdpl, tepat di timur Dam Sungai Ayung di lingkungan Kertapura, Desa Kesiman Kertalangu. Pura ini memiliki halaman yang begitu luas. Selain itu, pura ini juga menggunakan konsep Tri Mandala yang terdiri dari halaman luar (nista mandala/jaba sisi), halaman tengah (madya mandala/jaba tengah) dan halaman utama (utama mandala/jeroan). Halaman tengah dihubungkan dengan gapura Kori Agung untuk masuk ke halaman utama.

1. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Pengider Bhuana)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian yakni bagian kaki, badan, dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan, dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat bertumpang 3 dengan hiasan kemuncak seperti mahkota di bagian atasnya.

2. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Agung)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian yakni bagian kaki, badan dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat semakin keatas semakin mengecil seperti piramida, serta terdapat hiasan kuncup bulat pada puncaknya.

3. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Jong)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian, yakni bagian kaki, badan, dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, dan terdapat tangga berjumlah 4 pada sisi depannya. Sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan, dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat bertumpang 3 dengan hiasan kemuncak seperti kuncup bulat di bagian atasnya.

4. Gapura Kori Agung 

Gapura ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana dengan 3 pintu masuk untuk menuju halaman utama (jeroan). Pada sisi depan gapura bagian bawah, tepatnya di tengah-tengah terdapat 7 buah anak tangga yang dibuat dengan susunan batu kali. Pada bagian tengah gapura dibuat dengan pola bangunan lebih besar dan tinggi, serta bagian atapnya terdiri dari 5 tingkatan berbentuk persegi empat semakin keatas semakin mengecil dengan hiasan simbar pada setiap sisinya. 

5. Belong 

Belong merupakan tempat air yang terbuat dari batu padas, atau disebut juga gentong berbentuk polos tanpa hiasan dengan bentuk bulat. Bagian kaki kendi dibuat agak mengecil pada bagian bawahnya, sementara bagian atas kendi terdapat tepian bibir untuk penyangga tutup kendi. Tutup kendi dibuat agak meruncing, serta di dalam kendi terdapat lubang yang cukup dalam dan lebar untuk tempat menaruh air.

6. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan bhatari dengan sikap duduk bersimpuh diatas lapik yang berhiaskan sulur-suluran. Posisi tangan kanan ditekuk di sebelah pinggang, sementara tangan kiri lurus diletakkan diatas paha kiri. Pada bagian telinga memakai perhiasan, bagian leher menggunakan kalung, bagian dada di tengah-tengah terdapat hiasan menjuntai, serta pada bagian pinggang terlihat menggunakan kain hingga ke lutut. Bibir dalam keadaan tersenyum, sementara rambut berbentuk ikal dan terurai di belakang.

7. Arca Perwujudan Bhatara

Arca perwujudan bhatara duduk diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kiri dilipat ke belakang seperti bersimpuh dan kaki kanan ditekuk ke depan. Posisi tangan kiri agak ditekuk ke belakang seperti memegang ikat pinggang dan tangan kanan dilipat kedepan seperti memegang benda menghadap keatas. Telinga menggunakan anting, lengan kiri dan kanan menggunakan gelang, pada bagian dada, dan pinggang menggunakan hiasan, serta pada bagian paha kanan dan kiri terlihat menggunakan kain yang menjuntai hingga kaki. Posisi mulut dalam keadaan tersenyum.

8. Arca Perwujudan Wanita

Arca perwujudan seorang wanita dengan posisi kaki bersimpuh ditutupi kain yang terjuntai pada bagian depannya. Posisi tangan dalam sikap asana menempel di depan dada di tengah-tengah. Kepala memakai hiasan, telinga memakai anting, kedua tangan memakai gelang, jari manis memakai cincin, leher memakai hiasan, dada memakai hiasan, mulut tertutup, serta pandangan mata menghadap kebawah.

9. Arca Perwujudan Laki-laki

Arca perwujudan seorang laki-laki dengan posisi kaki bersila ditutupi kain yang terjuntai pada bagian depannya. Posisi tangan dalam sikap asana menempel di depan dada di tengah-tengah. Kepala memakai hiasan, telinga memakai anting, kedua tangan memakai gelang, jari manis memakai cincin, leher memakai hiasan, dada memakai hiasan,  mulut tertutup, serta mata menghadap ke bawah.

10.Arca Dwarapala I

Arca penjaga dalam posisi jongkok diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kanan dilipat kedalam dan kaki kiri ditekuk di depan. Posisi kedua tangan ditekuk di sebelah pinggang dengan jari-jari mengepal. Wajah arca terlihat menyeramkan dengan mata melotot dan mulut terbuka, serta terdapat taring. Lengan memakai hiasan gelang, kepala memakai hiasan, serta rambut diikat agak tinggi. Terlihat memakai kancut pada bagian tengah kaki

11. Arca Dwarapala II

Arca penjaga dalam posisi jongkok diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kiri dilipat kedalam dan kaki kanan ditekuk di depan. Posisi kedua tangan ditekuk di sebelah pinggang dengan jari-jari mengepal. Wajah arca terlihat menyeramkan dengan mata melotot dan mulut terbuka, serta terdapat taring. Lengan memakai hiasan gelang, kepala memakai hiasan, memakai hiasan di dada, memakai ikat pinggang, serta rambut diikat agak tinggi. Terlihat memakai kancut pada bagian tengah kaki.

12. Fragmen Arca

Fragmen arca karena bagian kepala telah patah dan hilang. Terlihat arca dalam posisi berdiri diatas lapik. Sementara permukaan arca telah aus dan tidak dapat diidentifikasi secara ikonografi.

13. Batu Alam

Batu alam berbentuk persegi empat agak lonjong pada salah satu sudut, bentuknya tidak beraturan, ditemukan 6 buah batu alam di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman. 

14. Arca Dwarapala III

Arca dwarapala merupakan arca penjaga pintu berdiri diatas lapik berhias dengan sikap kaki agak ditekuk. Posisi tangan kanan dibentangkan di depan dada memegang senjata, sementara tangan kiri memegang sesuatu di pinggang. Tangan memakai gelang, memakai hiasan telinga, hiasan bahu. Terlihat memakai kain menjuntai ke samping kanan dan kiri, serta kancut pada bagian depan yang menjuntai ke bawah. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring, rambut tergerai panjang di belakang.

15. Arca Dwarapala IV

Arca dwarapala berdiri diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dan terdapat hiasan kedok muka. Posisi kaki keduanya agak ditekuk. Posisi tangan kanan ditekuk di sebelah dada memegang senjata, sementara tangan tangan kiri menempel di perut. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring, rambut tergerai di belakang. Kedua tangan memakai gelang, leher memakai hiasan, memakai kain diatas lutut, serta terdapat kancut di bagian depan yang terjuntai kebawah.

16. Arca Dwarapala V 

Arca dwarapala duduk diatas lapik dengan posisi kaki kanan ditekuk di depan, sementara kaki kiri dilipat ke belakang. Posisi tangan kiri ditekuk menghadap ke depan di sebelah dada, serta tangan kanan diletakkan diatas paha kanan dengan posisi terlipat memegang sesuatu. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring tajam, dan rambut ikal terurai di belakang. Memakai gelang pada kedua tangan, memakai hiasan telinga, memakai hiasan perut, serta terdapat kain pada bagian depan.

17. Arca Dwarapala VI

Arca dwarapala duduk diatas lapik dengan posisi kaki kanan ditekuk di depan, sementara kaki kiri dilipat ke belakang. Posisi tangan kanan dibentangkan ke bahu kiri memegang sesuatu, serta tangan kiri ditekuk di sebelah pinggang diletakkan diatas paha kiri dengan menjulurkan dua jari kedepan. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring yang tajam, rambut ikal terurai di belakang. Kedua lengan dan pergelangan tangan memakai gelang, serta terlihat kain terjuntai kebawah pada sisi depan dengan motif hias bunga dan garis.

1. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Pengider Bhuana)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian yakni bagian kaki, badan, dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan, dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat bertumpang 3 dengan hiasan kemuncak seperti mahkota di bagian atasnya.

2. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Agung)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian yakni bagian kaki, badan dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat semakin keatas semakin mengecil seperti piramida, serta terdapat hiasan kuncup bulat pada puncaknya.

3. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Jong)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian, yakni bagian kaki, badan, dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, dan terdapat tangga berjumlah 4 pada sisi depannya. Sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan, dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat bertumpang 3 dengan hiasan kemuncak seperti kuncup bulat di bagian atasnya.

4. Gapura Kori Agung 

Gapura ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana dengan 3 pintu masuk untuk menuju halaman utama (jeroan). Pada sisi depan gapura bagian bawah, tepatnya di tengah-tengah terdapat 7 buah anak tangga yang dibuat dengan susunan batu kali. Pada bagian tengah gapura dibuat dengan pola bangunan lebih besar dan tinggi, serta bagian atapnya terdiri dari 5 tingkatan berbentuk persegi empat semakin keatas semakin mengecil dengan hiasan simbar pada setiap sisinya. 

5. Belong 

Belong merupakan tempat air yang terbuat dari batu padas, atau disebut juga gentong berbentuk polos tanpa hiasan dengan bentuk bulat. Bagian kaki kendi dibuat agak mengecil pada bagian bawahnya, sementara bagian atas kendi terdapat tepian bibir untuk penyangga tutup kendi. Tutup kendi dibuat agak meruncing, serta di dalam kendi terdapat lubang yang cukup dalam dan lebar untuk tempat menaruh air.

6. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan bhatari dengan sikap duduk bersimpuh diatas lapik yang berhiaskan sulur-suluran. Posisi tangan kanan ditekuk di sebelah pinggang, sementara tangan kiri lurus diletakkan diatas paha kiri. Pada bagian telinga memakai perhiasan, bagian leher menggunakan kalung, bagian dada di tengah-tengah terdapat hiasan menjuntai, serta pada bagian pinggang terlihat menggunakan kain hingga ke lutut. Bibir dalam keadaan tersenyum, sementara rambut berbentuk ikal dan terurai di belakang.

7. Arca Perwujudan Bhatara

Arca perwujudan bhatara duduk diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kiri dilipat ke belakang seperti bersimpuh dan kaki kanan ditekuk ke depan. Posisi tangan kiri agak ditekuk ke belakang seperti memegang ikat pinggang dan tangan kanan dilipat kedepan seperti memegang benda menghadap keatas. Telinga menggunakan anting, lengan kiri dan kanan menggunakan gelang, pada bagian dada, dan pinggang menggunakan hiasan, serta pada bagian paha kanan dan kiri terlihat menggunakan kain yang menjuntai hingga kaki. Posisi mulut dalam keadaan tersenyum.

8. Arca Perwujudan Wanita

Arca perwujudan seorang wanita dengan posisi kaki bersimpuh ditutupi kain yang terjuntai pada bagian depannya. Posisi tangan dalam sikap asana menempel di depan dada di tengah-tengah. Kepala memakai hiasan, telinga memakai anting, kedua tangan memakai gelang, jari manis memakai cincin, leher memakai hiasan, dada memakai hiasan, mulut tertutup, serta pandangan mata menghadap kebawah.

9. Arca Perwujudan Laki-laki

Arca perwujudan seorang laki-laki dengan posisi kaki bersila ditutupi kain yang terjuntai pada bagian depannya. Posisi tangan dalam sikap asana menempel di depan dada di tengah-tengah. Kepala memakai hiasan, telinga memakai anting, kedua tangan memakai gelang, jari manis memakai cincin, leher memakai hiasan, dada memakai hiasan,  mulut tertutup, serta mata menghadap ke bawah.

10.Arca Dwarapala I

Arca penjaga dalam posisi jongkok diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kanan dilipat kedalam dan kaki kiri ditekuk di depan. Posisi kedua tangan ditekuk di sebelah pinggang dengan jari-jari mengepal. Wajah arca terlihat menyeramkan dengan mata melotot dan mulut terbuka, serta terdapat taring. Lengan memakai hiasan gelang, kepala memakai hiasan, serta rambut diikat agak tinggi. Terlihat memakai kancut pada bagian tengah kaki.

11. Arca Dwarapala II

Arca penjaga dalam posisi jongkok diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kiri dilipat kedalam dan kaki kanan ditekuk di depan. Posisi kedua tangan ditekuk di sebelah pinggang dengan jari-jari mengepal. Wajah arca terlihat menyeramkan dengan mata melotot dan mulut terbuka, serta terdapat taring. Lengan memakai hiasan gelang, kepala memakai hiasan, memakai hiasan di dada, memakai ikat pinggang, serta rambut diikat agak tinggi. Terlihat memakai kancut pada bagian tengah kaki.

12. Fragmen Arca

Fragmen arca karena bagian kepala telah patah dan hilang. Terlihat arca dalam posisi berdiri diatas lapik. Sementara permukaan arca telah aus dan tidak dapat diidentifikasi secara ikonografi.

13. Batu Alam

Batu alam berbentuk persegi empat agak lonjong pada salah satu sudut, bentuknya tidak beraturan, ditemukan 6 buah batu alam di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman. 

14. Arca Dwarapala III

Arca dwarapala merupakan arca penjaga pintu berdiri diatas lapik berhias dengan sikap kaki agak ditekuk. Posisi tangan kanan dibentangkan di depan dada memegang senjata, sementara tangan kiri memegang sesuatu di pinggang. Tangan memakai gelang, memakai hiasan telinga, hiasan bahu. Terlihat memakai kain menjuntai ke samping kanan dan kiri, serta kancut pada bagian depan yang menjuntai ke bawah. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring, rambut tergerai panjang di belakang.

15. Arca Dwarapala IV

Arca dwarapala berdiri diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dan terdapat hiasan kedok muka. Posisi kaki keduanya agak ditekuk. Posisi tangan kanan ditekuk di sebelah dada memegang senjata, sementara tangan tangan kiri menempel di perut. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring, rambut tergerai di belakang. Kedua tangan memakai gelang, leher memakai hiasan, memakai kain diatas lutut, serta terdapat kancut di bagian depan yang terjuntai kebawah.

16. Arca Dwarapala V 

Arca dwarapala duduk diatas lapik dengan posisi kaki kanan ditekuk di depan, sementara kaki kiri dilipat ke belakang. Posisi tangan kiri ditekuk menghadap ke depan di sebelah dada, serta tangan kanan diletakkan diatas paha kanan dengan posisi terlipat memegang sesuatu. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring tajam, dan rambut ikal terurai di belakang. Memakai gelang pada kedua tangan, memakai hiasan telinga, memakai hiasan perut, serta terdapat kain pada bagian depan.

17. Arca Dwarapala VI

Arca dwarapala duduk diatas lapik dengan posisi kaki kanan ditekuk di depan, sementara kaki kiri dilipat ke belakang. Posisi tangan kanan dibentangkan ke bahu kiri memegang sesuatu, serta tangan kiri ditekuk di sebelah pinggang diletakkan diatas paha kiri dengan menjulurkan dua jari kedepan. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring yang tajam, rambut ikal terurai di belakang. Kedua lengan dan pergelangan tangan memakai gelang, serta terlihat kain terjuntai kebawah pada sisi depan dengan motif hias bunga dan garis.

1. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Pengider Bhuana)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian yakni bagian kaki, badan, dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan, dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat bertumpang 3 dengan hiasan kemuncak seperti mahkota di bagian atasnya.

2. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Agung)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian yakni bagian kaki, badan dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat semakin keatas semakin mengecil seperti piramida, serta terdapat hiasan kuncup bulat pada puncaknya.

3. Tugu (Pelinggih Ratu Penglurah Jong)

Struktur bangunan pelinggih ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana, serta berdenah persegi empat. Pelinggih terdiri dari 3 bagian, yakni bagian kaki, badan, dan atap. Pada bagian kaki dibuat polos dengan bentuk persegi empat, dan terdapat tangga berjumlah 4 pada sisi depannya. Sementara pada bagian badan terdapat ceruk persegi empat sebagai tempat bersthananya Tuhan, dan tempat untuk meletakkan sesaji (banten/canang). Pada bagian atap pelinggih dibuat bertumpang 3 dengan hiasan kemuncak seperti kuncup bulat di bagian atasnya.

4. Gapura Kori Agung 

Gapura ini terbuat dari susunan batu bata yang disusun sederhana dengan 3 pintu masuk untuk menuju halaman utama (jeroan). Pada sisi depan gapura bagian bawah, tepatnya di tengah-tengah terdapat 7 buah anak tangga yang dibuat dengan susunan batu kali. Pada bagian tengah gapura dibuat dengan pola bangunan lebih besar dan tinggi, serta bagian atapnya terdiri dari 5 tingkatan berbentuk persegi empat semakin keatas semakin mengecil dengan hiasan simbar pada setiap sisinya. 

5. Belong 

Belong merupakan tempat air yang terbuat dari batu padas, atau disebut juga gentong berbentuk polos tanpa hiasan dengan bentuk bulat. Bagian kaki kendi dibuat agak mengecil pada bagian bawahnya, sementara bagian atas kendi terdapat tepian bibir untuk penyangga tutup kendi. Tutup kendi dibuat agak meruncing, serta di dalam kendi terdapat lubang yang cukup dalam dan lebar untuk tempat menaruh air.

6. Arca Perwujudan Bhatari

Arca perwujudan bhatari dengan sikap duduk bersimpuh diatas lapik yang berhiaskan sulur-suluran. Posisi tangan kanan ditekuk di sebelah pinggang, sementara tangan kiri lurus diletakkan diatas paha kiri. Pada bagian telinga memakai perhiasan, bagian leher menggunakan kalung, bagian dada di tengah-tengah terdapat hiasan menjuntai, serta pada bagian pinggang terlihat menggunakan kain hingga ke lutut. Bibir dalam keadaan tersenyum, sementara rambut berbentuk ikal dan terurai di belakang.

7. Arca Perwujudan Bhatara

Arca perwujudan bhatara duduk diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kiri dilipat ke belakang seperti bersimpuh dan kaki kanan ditekuk ke depan. Posisi tangan kiri agak ditekuk ke belakang seperti memegang ikat pinggang dan tangan kanan dilipat kedepan seperti memegang benda menghadap keatas. Telinga menggunakan anting, lengan kiri dan kanan menggunakan gelang, pada bagian dada, dan pinggang menggunakan hiasan, serta pada bagian paha kanan dan kiri terlihat menggunakan kain yang menjuntai hingga kaki. Posisi mulut dalam keadaan tersenyum.

8. Arca Perwujudan Wanita

Arca perwujudan seorang wanita dengan posisi kaki bersimpuh ditutupi kain yang terjuntai pada bagian depannya. Posisi tangan dalam sikap asana menempel di depan dada di tengah-tengah. Kepala memakai hiasan, telinga memakai anting, kedua tangan memakai gelang, jari manis memakai cincin, leher memakai hiasan, dada memakai hiasan, mulut tertutup, serta pandangan mata menghadap kebawah.

9. Arca Perwujudan Laki-laki

Arca perwujudan seorang laki-laki dengan posisi kaki bersila ditutupi kain yang terjuntai pada bagian depannya. Posisi tangan dalam sikap asana menempel di depan dada di tengah-tengah. Kepala memakai hiasan, telinga memakai anting, kedua tangan memakai gelang, jari manis memakai cincin, leher memakai hiasan, dada memakai hiasan,  mulut tertutup, serta mata menghadap ke bawah.

10.Arca Dwarapala I

Arca penjaga dalam posisi jongkok diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kanan dilipat kedalam dan kaki kiri ditekuk di depan. Posisi kedua tangan ditekuk di sebelah pinggang dengan jari-jari mengepal. Wajah arca terlihat menyeramkan dengan mata melotot dan mulut terbuka, serta terdapat taring. Lengan memakai hiasan gelang, kepala memakai hiasan, serta rambut diikat agak tinggi. Terlihat memakai kancut pada bagian tengah kaki.

11. Arca Dwarapala II

Arca penjaga dalam posisi jongkok diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dengan posisi kaki kiri dilipat kedalam dan kaki kanan ditekuk di depan. Posisi kedua tangan ditekuk di sebelah pinggang dengan jari-jari mengepal. Wajah arca terlihat menyeramkan dengan mata melotot dan mulut terbuka, serta terdapat taring. Lengan memakai hiasan gelang, kepala memakai hiasan, memakai hiasan di dada, memakai ikat pinggang, serta rambut diikat agak tinggi. Terlihat memakai kancut pada bagian tengah kaki.

12. Fragmen Arca

Fragmen arca karena bagian kepala telah patah dan hilang. Terlihat arca dalam posisi berdiri diatas lapik. Sementara permukaan arca telah aus dan tidak dapat diidentifikasi secara ikonografi.

13. Batu Alam

Batu alam berbentuk persegi empat agak lonjong pada salah satu sudut, bentuknya tidak beraturan, ditemukan 6 buah batu alam di Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman. 

14. Arca Dwarapala III

Arca dwarapala merupakan arca penjaga pintu berdiri diatas lapik berhias dengan sikap kaki agak ditekuk. Posisi tangan kanan dibentangkan di depan dada memegang senjata, sementara tangan kiri memegang sesuatu di pinggang. Tangan memakai gelang, memakai hiasan telinga, hiasan bahu. Terlihat memakai kain menjuntai ke samping kanan dan kiri, serta kancut pada bagian depan yang menjuntai ke bawah. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring, rambut tergerai panjang di belakang.

15. Arca Dwarapala IV

Arca dwarapala berdiri diatas lapik berhiaskan sulur-suluran dan terdapat hiasan kedok muka. Posisi kaki keduanya agak ditekuk. Posisi tangan kanan ditekuk di sebelah dada memegang senjata, sementara tangan tangan kiri menempel di perut. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring, rambut tergerai di belakang. Kedua tangan memakai gelang, leher memakai hiasan, memakai kain diatas lutut, serta terdapat kancut di bagian depan yang terjuntai kebawah.

16. Arca Dwarapala V 

Arca dwarapala duduk diatas lapik dengan posisi kaki kanan ditekuk di depan, sementara kaki kiri dilipat ke belakang. Posisi tangan kiri ditekuk menghadap ke depan di sebelah dada, serta tangan kanan diletakkan diatas paha kanan dengan posisi terlipat memegang sesuatu. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring tajam, dan rambut ikal terurai di belakang. Memakai gelang pada kedua tangan, memakai hiasan telinga, memakai hiasan perut, serta terdapat kain pada bagian depan.

17. Arca Dwarapala VI

Arca dwarapala duduk diatas lapik dengan posisi kaki kanan ditekuk di depan, sementara kaki kiri dilipat ke belakang. Posisi tangan kanan dibentangkan ke bahu kiri memegang sesuatu, serta tangan kiri ditekuk di sebelah pinggang diletakkan diatas paha kiri dengan menjulurkan dua jari kedepan. Wajah terlihat seram dengan mata melotot, mulut terbuka memperlihatkan taring yang tajam, rambut ikal terurai di belakang. Kedua lengan dan pergelangan tangan memakai gelang, serta terlihat kain terjuntai kebawah pada sisi depan dengan motif hias bunga dan garis.